Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Ci Tarum berkelok, berliku, dan mengalir pelan di dataran Bandung Selatan. Kemudian menabrak batuan beku intrusi berumur 4 juta tahun di Perbukitan Selacau-Lagadar, tepatnya di Gunung Paseban. Karena menabrak dinding yang kuat dan resisten, Ci Tarum berbelok ke utara mengitari Gunung Pancir, kemudian berbelok ke barat menerobos lembah antara Pasir Malang di sebelah selatan dan Gunung Lagadar di utaranya.

Di kiri-kanan lembah ini terdapat beberapa bukit seperti Gunung Korehkotok, Gunung Gadung, dan Gunung Selacau. Di lembahan inilah, dengan batuan dasar batuan beku intrusif Dasit-Andesit, aliran Ci Tarum terdisrupsi batuan keras, membentuk jeram-jeram bertingkat, salah satu yang paling terkenal adalah Curug Jompong.

Air terjun ini dulu pernah menjadi primadona pariwisata di Bandung Raya. Dalam Panduan Pariwisata Bandung Tempo Dulu Gidds van Bandoeng en Midden Priangan, Reitsma dan Hoogland menulis Curug Jompong sebagai destinasi wisata favorit warga Kota Bandung pada awal abad ke-20.


cover
Halaman Muka Buku Panduan ke Bandung dan Priangan Tengah karya Reitsma dan Hoogland

Salah satu jalur yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland untuk mengunjungi Curug Jompong adalah dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Stasiun Andir ke arah selatan melewati daerah Cigondewah hilir (sekarang Taman Kopo Indah), menyeberangi Ci Tarum, kemudian sampai di daerah Gadjah, kurang lebih di daerah Kampung Mahmud (baca tentang Kampung Mahmud oleh Budi Brahmantyo di sini).  Gadjah adalah daerah penting dalam sejarah Priangan, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang (lebih lanjut tentang Batulayang baca reportase Tirto).

Berikut deskripsi Reitsma dan Hoogland tentang jalur ini (diterjemahkan bebas dengan bantuan Google Translate):

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

Dalam catatan lain di buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tinggi), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, Professor Th. H.F. Klompe, yang namanya diabadikan menjadi nama Perpustakaan Teknik Geologi ITB, menulis artikel Geologische Geschiedenis van de Vlaakte van Bandoeng (Kisah Geologi Dataran Bandung) dalam segmen Wat de Stennen zeggen (Apa yang disampaikan bebatuan). Dalam tulisannya ini Professor Klompe menulis tentang Curug Jompong.

Bandoeng en haar Hoogvlakte.png
Halaman muka buku Bandoeng en haar Hoogvlakt

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. 

Di bagian bawah dari tebing, ditemukan endapan berlapis datar yang tidak selaras dengan tebing, yaitu endapan danau. Di sini ditemukan sisa-sisa kerang air tawar, sementara jika kita menggali lebih dalam akan menemukan batuan vulkanik dan tersier. Menurut Junghuhn, endapan ini terdiri atas endapan debu volkanik yang membentuk lapisan datar dan telah mengeras. Dari fakta-fakta geologi yang didapatkan bahwa dataran Bandung terbentuk dari seri endapan gunungapi dan lapisan paling muda (sebelum endapan danau) juga merupakan endapan gunungapi, maka pada masa pra-sejarah, erupsi gunungapi pastilah memiliki signifikansi yang tinggi.” 

Membaca catatan-catatan tua tentang Curug Jompong saya meringis, miris. Monumen alam luar biasa yang menempati tempat spesial di hati orang-orang yang menghargai keindahan alam, yang menghargai signifikansi sejarah suatu kisah, kini nasibnya begitu menyedihkan.

Boro-boro menjadi tempat wisata. Curug Jompong yang sekarang sangatlah memilukan. Jika seratus tahun yang lalu Reitsma bilang sungai yang mengalir jernih kemilau, yang ada sekarang adalah aliran dengan air beracun, penuh limbah, dan jeramnya menjadi pusaran sampah. Beberapa kali pembunuhan terjadi dan mayat yang dibuang ke Ci Tarum tersangkut di sini hingga masyarakat enggan berdekatan dengan sungai karena takut direpotkan.

Geomorfologinya yang megah yang menjeram air dari hulu malah dianggap sebagai penyebab banjir karena melambatkan aliran air. Ia dituduh sana-sini, menjadi kambing hitam atas kondisi alamiah Cekungan Bandung yang bahkan sudah banjir sejak sebelum Klompe menulis artikelnya.

Gunung-gunung di sekitar Curug Jompong yang ditulis Reitsma dan Hoogland sebagai salah satu latar pemandangan paling indah di Pulau Jawa pun kini malang nasibnya. Bopeng-bopeng dipocel sana-sini. Coba susuri jalan dari Stadion Si Jalak Harupat ke Cililin, jika hari normal maka debu beterbangan. Jika hari hujan maka lumpur berbanjiran di jalan. Tidak ada yang ingat bahwa kawasan itu pernah punya predikat yang luar biasa.

Dua dari tiga tingkatan jeram yang tercatat dalam tulisan Klompe pun tidak ada lagi sejak Saguling digenangi tahun 1985.

Lantas kita sekarang harus bagaimana?

Salah satu cara agar kita bisa mengapresiasi yang kita miliki adalah dengan mengenali lebih dekat. Napak tilas jalur wisata yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland boleh jadi salah satu titik awalnya. Dengan membuka catatan lama kita seolah menghidupkan kembali memori yang diabadikan penulis dalam tulisannya, seolah memutar balik waktu, mencoba membayangkan apa yang dilihat orang-orang di Bandung tempo dulu, hampir seratus tahun yang lalu.

Kembangkan jalur wisata, jalur berjalan kaki dari Soreang ke Batujajar dari Mohammad Toha sampai ke Cililin, dengan Curug Jompong sebagai pusatnya, dengan pemuda sebagai motornya. Jangan sampai Perbukitan Selacau-Lagadar hanya jadi halaman belakang pabrik-pabrik dan tambang seperti sekarang. Yang enggan kita mengunjunginya, yang segan kita mampir karena satpam menjagainya.

Sebelum semua kerucut intrusi gunungapi purba di Perbukitan Selacau-Lagadar dilinggis habis, sebelum jeram megah Curug Jompong dipangkas tumpas.

Selagi masih bisa kita menjaganya, selagi masih mungkin kita mengembalikan kejayaannya. Membawanya pada kejayaan yang baru, yang membikin orang nanti lupa bahwa Curug Jompong pernah begini merana, seperti kita sekarang lupa Curug Jompong pernah begitu memesona pada masanya.

Semoga.

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2).jpeg
Tjurug Djompong
curug-jompong
Curug Jompong dari udara. Foto Jurnalis Peduli Citarum

Membuka Ulang Catatan Franz Junghuhn Tentang Papandayan

Ketika sedang asik main di perpustakaan TU Darmstadt, saya tak sengaja melihat koleksi luar biasa di katalog daring, sebuah buku klasik dari salah satu pionir peneliti Pulau Jawa yang paling banyak dikutip peneliti setelahnya, Franz Wilhelm Junghuhn, judulnya “Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart”, cetakan kedua, diterbitkan di Leipzig tahun 1857.

Capture

Buat yang belum tahu Junghuhn itu siapa bisa lihat tulisan saya tentang Junghuhn di sini

Buku Junghuhn memuat catatannya ketika menjelajahi Pulau Jawa, dari barat ke timur. Ia membuat catatan terperinci mengenai geografi, flora, fauna, geologi, peristiwa kebencanaan, dan banyak lainnya di Pulau Jawa. Kualitas catatannya diakui sangat baik, terutama sketsa-sketsanya yang sangat detil dan menarik.

Junghuhn membagi bukunya yang lebih dari 1000 halaman ke dalam tiga bagian besar, bagian pertama “Beitrage zur Geschichte der Vulkane von West und Mittel Java” yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Kontribusi terhadap Kisah Gunung Api di Jawa Bagian Barat dan Tengah”.

Kemudian bagian kedua “Ost-Java, in Skizzen, entworfen auf einer Reise durch die Insel zu Ende des Jahres 1844″ yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Jawa Timur dalam sketsa, didesain dalam perjalanan menyusuri Pulau Jawa pada tahun 1844”.

Dan bagian ketiga “Die Vulkane der ubrigen Inseln des Indischen Archipels ausser Java, und die Erscheinungen die mit den Vulkanen in ursachlichem Zussamenhange stehen” kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Gunungapi di luar Jawa di Kepulauan Hindia dan fenomena yang berkaitan dengan toponimi asal-usul nama gunungapi tersebut”

Karena bukunya dalam bahasa Jerman, saya sulit untuk baca dan mengerti. Saya hanya membuka-buka sekilas melihat sketsa-sketsa gambar dan daftar pustaka. Salah satu yang saya lihat adalah catatan Junghuhn tentang Papandayan yang saya kira cukup menarik untuk dibaca ulang tentu dibantu oleh Google Translate. Catatan ini berada di bagian kesatu buku,

“Pada malam hari tanggal  11 dan 12 Agustus 1772, terjadi satu-satunya erupsi yang diketahui dari gunung ini (Papandayan). Salah satu letusan terkuat yang terjadi dan mengakibatkan kekacauan di Pulau Jawa, terutama bagi mereka yang pernah berkunjung ke Jawa. Penduduk yang tinggal di lembahan di Garut berlarian kacau di tengah malam, karena melihat Puncak Gunung Papandayan yang berpijar benderang oleh nyala letusan. Pijarnya menyala terang, mengalahkan gelap malam. 

Dentuman bongkah dan gemuruh asap menjadi latar suara orang-orang yang panik berlarian. Bola api dan bongkah panas yang berpijar beterbangan di udara. Empat puluh desa di kaki Papandayan binasa, dan hampir tiga ribu orang menemui ajalnya, dikubur awan panas yang menerjangnya. 

Penduduk desa-desa yang lebih terpencil menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka bersegera melarikan diri, menghindari kehancuran oleh hujan batu berikutnya. Keesokan hari mereka menyadari dahsyatnya letusan Papandayan. Puncak Gunung Papandayan yang mereka kenal sudah tiada, hanya menyisakan celah kawah yang dalam terbuka, terbatuk-batuk hembuskan debu dan letusan yang masih tersisa. 

Pada hari yang sama dengan letusan Papandayan, dua gunungapi lainnya tak mau kalah dan terbangun juga, yaitu Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Gunung-gunung ini saling berjauhan! Entah ada hubungan apa di antara mereka?

Sejak 1843 hingga sekarang, ketika saya (Junghuhn) terakhir mengunjungi gunung ini, artinya dalam periode 71 tahun, pertumbuhan gunung telah menutupi hingga dua pertiga dari jurang kawah yang terbentuk 71 tahun sebelumnya. Endapan-endapan lontaran gunungapi seperti pasir dan abu yang menutupi lembah Garut telah ditutupi tanah, desa-desa baru bangkit kembali di kuburan yang lama.”

Picture1
Sketsa Papandayan oleh Junghuhn

Dalam laporannya, Junghuhn menuliskan tanggapannya mengenai laporan-laporan yang dibacanya untuk menuliskan kisah Papandayan. Salah satu kesimpulan Junghuhn kala itu adalah bahwa tidak ada orang Eropa yang melihat langsung kejadian letusan Papandayan. Catatan-catatan yang ada merupakan penutusan dari orang lokal sehingga banyak laporan yang tidak akurat karena keterbatasan pengetahuan bahasa Sunda bagi orang Eropa saat itu. Perlu dipahami juga bahwa pada 1772, Belanda hanya menguasai wilayah pantai, sementara di pedalaman hampir tidak ada orang Eropa.

Junghuhn juga menuliskan ulang kisah 40 orang yang selamat dari letusan Papandayan karena mereka bersembunyi di kebun pisang kecil (mungkin karena lokasi kebun pisang di dataran tinggi kata Junghuhn). juga kisah tentang dua orang Jawa yang sudah terkubur di dalam tanah tapi entah bagaimana caranya bisa menyelamatkan diri dari kematian. Secara total hampir 3000 orang meninggal dunia, sementara kerugian yaitu 40 desa lenyap, 1500 ternak, perkebunan kapas, indigo, serta kopi yang cukup luas juga hancur lebur.

Begitulah Junghuhn, ada banyak lagi yang bisa saya dapat dari buku ini jika saja saya mahir berbahasa Jerman. Membaca buku ini membuat saya semakin bersemangat untuk memperlancar bahasa Jerman saya yang terbata-bata dan tergagu-gagu.

Terima kasih Junghuhn, Der Humboldt von Java, jasamu abadi.

Junghuhn_self-portrait
Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864)

Menyusur Deretan Air Terjun di Curug Malela

Curug Malela adalah aset berharga Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Air terjun ini merupakan destinasi wisata nomor satu di Kabupaten Bandung Barat bagian selatan. Pencarian google per tanggal 14 Juli 2018 menghasilkan 96100 halaman membahas mengenai Curug Malela dan terdapat lebih dari 12 ribu kiriman dengan tagar (hashtag) #CurugMalela di Instagram.

Pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Curug Malela sudah memetakan potensi kawasan di Curug Malela. Hasilnya adalah jika kita menyusur ke hilir Ci Curug dari Curug Malela, maka kita bisa temui deretan curug-curug lainnya, mulai dari Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Sumpel, Curug Ngebul, Curug Palisir, dan Curug Pameungpeuk. Informasi mengenai curug-curug ini masih sukar didapat meski sudah ada beberapa kiriman foto di media seperti Facebook atau Instagram.

Kesan-kesan mereka yang sudah mengunjungi curug-curug ini adalah tentang potensi besarnya untuk berkembang. Curug-curug ini memiliki potensinya masing-masing, seperti Curug Katumiri yang berpelangi di pagi hari, Curug Sumpel yang tinggi yang kita bisa mengamati fenomena geologi sesar, atau Curug Ngebul yang alirannya jatuh tegak dan menimbulkan percikan hebat, bahkan seringkali seolah-olah langit “ngebul” atau berasap, semua air terjun punya karakter dan keindahannya masing-masing. Namun permasalahan utama dari deretan air terjun penuh potensi ini adalah belum adanya akses. Saat ini untuk menyusuri deretan air terjun ini, kita harus merintis jalur menyusuri lereng yang sangat terjal. Jalurnya masih sangat berbahaya dan sangat tidak dianjurkan untuk dilewati.

Saat ini jika kita berkunjung ke Curug Malela, maka hampir dipastikan bahwa kita akan datang dan pergi melalui jalur yang sama. Di sepanjang jalur ini, fasilitas yang tersedia sudah sangat baik. Banyak pula warga sekitar yang mendapatkan manfaat dengan membuka warung, membuat anjungan untuk berfoto, menjual jagung, dan lain-lain. Namun jika kita membuka jalur ke bagian hilir dari Ci Curug menyusuri curug-curug yang ada, kita bisa membuat suatu lintasan wisata tertutup. Jadi kita bisa pergi dan pulang lewat jalur yang berbeda. Ini bisa memberikan pengalaman baru yang positif bagi mereka yang berwisata ke Curug Malela.

Pada peta di bawah ini, dapat dilihat bahwa ada potensi untuk membuka jalan setapak sepanjang 2 kilometer sepanjang aliran Ci Curug untuk kemudian menyambungkan jalur wisata yang sudah ada dengan jalur di Kampung Cikadumanglid yang selama ini mungkin kurang mendapat ekspos dibandingkan kampung tetangganya, Kampung Manglid yang berada di area parkir Curug Malela.

curugmalelacopyright
Saran rancangan jalur geotrek Curug Malela. Dari Curug Malela harus membuka jalur baru hingga ke Curug Ngebul dan ke Lembur Cikadumanglid. Potensi besar untuk mengembangkan perekonomian Lembur Cikadumanglid.

Dengan membuka jalan setapak baru ini juga, kita bisa memperpanjang waktu kunjungan wisatawan ke Curug Malela. Saat ini belum ada data pastinya, tapi diperkirakan rata-rata pengunjung Curug Malela menghabiskan 2-3 jam untuk bermain di sekitar Curug Malela. Jika ada jalur wisata baru kita bisa menambah waktu kunjungan 3 jam untuk 1 penelusuran (jika jalur sudah siap dan baik). Tiga jam tambahan waktu ini bisa menjadi alasan kuat untuk pengunjung memutuskan bermalam di Curug Malela, baik berkemah maupun menyewa rumah penduduk. Selain itu juga karena jalurnya ekstrim, tidak menutup kemungkinan pula pengurus Pokdarwis membatasi kunjungan ke hilir dan mewajibkan pemanduan. Tentu ini menjadi peluang baik bagi masyarakat untuk bekerja di sektor jasa wisata.

Bayangkan Curug Malela seperti Taman Hutan Raya Djuanda yang jalurnya nyaman, pengunjungnya datang menyusuri jalur yang sudah ada, berfoto di air terjun, Curug Malela, Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul dan seterusnya. Dari situ berkembang lagi potensi yang lain, mendaki Gunung Malela misalnya, atau entah apa lagi potensi yang bisa terbuka lebar jika kita serius memanfaatkan potensi yang kita punya.

Bagi yang ingin tahu lebih lanjut tentang curug Malela bisa mampir di Geotrek Curug Malela, Ekspresi Rasa Takjub pada Ciptaan Yang Maha Kuasa

Kembali (Lagi) ke 49 Juta Tahun Yang Lalu di Messel

Hari Kamis, 12 Juli 2018, saya berkesempatan lagi untuk berkunjung ke Messel Pit. Bagi yang belum pernah dengar Messel Pit, bisa mampir ke tulisan saya yang pertama tentang situs ini.

Pada kunjungan pertama, saya hanya berkunjung ke museumnya saja. Padahal inti dari Messel ya pit-nya ini, tempat terbaik di dunia untuk belajar tentang kala Eosen, 49 juta tahun yang lalu.

Kami dipandu oleh pemandu resmi dari pengurus Situs Messel, seorang sarjana geologi dengan spesialisasi paleontologi. Dia bercerita sudah bekerja di Messel sejak 2015. Memang sangat terlihat bahwa ia sangat terlatih untuk memandu, sebuah contoh yang keren bagi pegiat geowisata seperti saya.

20180712_151542

Di Messel, situsnya seperti masuk ke dalam kawah, kita menyusuri jalan yang dibuat melingkar menurun hingga ke dalam situs. Sebenarnya tak banyak yang bisa dilihat karena semua hanya hutan, alang-alang, dan beberapa situs penggalian. Pengunjung tidak dibolehkan untuk mengambil fosil, meskipun ada satu tempat di mana kita bisa melihat batuan dan mengecek apakah ada fosil di dalamnya.

Dengan tempat yang praktis tidak banyak pemandangannya, maka kemampuan si pemandu untuk bercerita sangat penting, dan pemandu kami selain kemampuannya hebat, persiapannya juga mantap.

Selama pemanduan ia membawa banyak gambar berlaminating dengan alur cerita yang sedemikian rupa menarik. Contoh di awal kita berhenti di percabangan jalan. Tidak ada apapun untuk dilihat, hanya pohon dan alang-alang. Lalu ia berhenti dan mengeluarkan gambar, menunjukkan fosil tanaman yang ada di Messel, lalu meminta kami untuk menebak kira-kira ini tanaman apa? Foto yang ia tunjukkan pada kami adalah foto fosil daun lili, itu menjadi petunjuk selanjutnya untuk membuat pengunjung menebak, kira-kira lingkungan Messel 49 juta tahun yang lalu itu seperti apa. Selanjutnya ia mengeluarkan gambar fosil ikan, fosil katak, dan fosil binatang-binatang danau untuk kita menggiring bisa menebak bahwa lingkungan pengendapannya adalah danau.

1280px-palaeoperca_proxima
Fosil Ikan di Messel. By Petter Bøckman – Own work, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=7061612

Kemudian dia mengeluarkan lagi botol-botol, isinya adalah daun-daun dan bubuk-bubuk. Sang pemandu kemudian meminta kami mencium bau yang ada di dalam botol itu. Petunjuk lainnya adalah, di Messel daun-daun dan bubuk-bubuk itu ada fosilnya. Di Messel ditemukan fosil kakao, kayu manis, dll. Menarik kan?

Saya belajar bahwa penting untuk seorang pemandu untuk mengisi waktu perjalanan dengan materi. Ketika perjalanan cukup jauh atau cukup lama, kita tidak boleh membiarkan pengunjung bosan. Kita harus beri informasi-informasi. Berikan dengan cara yang menarik!

Kami kemudian sampai di tengah pit. Di sini kami berhenti di titik pengeboran untuk mencari tahu ada batuan apa di bawah Messel dan bagaimana sejarahnya evolusinya. Dia menjelaskan lewat gambar yang dipasang di dekat sumur tentang geologi bawah permukaan situs Messel. Situs Messel terbentuk karena letusan gunungapi tipe Maar. Kemudian ia menunjukkan contoh letusan gunungapi tipe Maar.

Di tengah Pit ada beberapa titik penggalian. Waktu kami datang, sedang tidak ada penggalian, kami tidak diizinkan mendekat. Tapi pengurus situs sudah menyiapkan kontainer-kontainer berisi fosil, baik asli maupun replika, dan lagi si pemandu dengan pandainya menjelaskan.

Di situs Messel ditemukan 8 spesies buaya. Bayangkan satu lokasi di selang zaman yang pendek, hanya sekitar 1.5 juta tahun, ditemukan 8 spesies buaya. Selain itu ada juga fosil leluhur kuda yang ukurannya sangat kecil. Ada juga semacam tupai tapi besar. Kemudian ular, kadal, katak, dan yang menarik adalah fosil kura-kura yang sedang dalam posisi kawin. Menariknya dari fosil kura-kura ini, menurut pemandu kami, dari semua fosil kura-kura, mereka menemukan bahwa 25% fosilnya dalam posisi kawin, artinya ada sebuah pola kapan kura-kura itu mati dan memfosil.

grube-messel-pit-pair-of-007
These 49 million-year-old freshwater turtle fossils are believed to have died of poisoning during copulation
Photograph: Jonathan Blair/Corbis

Kemudian hal lain yang menarik adalah saking bagusnya tingkat preservasi fosil, kita bisa mengamati isi perut dari binatang-binatang zaman purba, bagaimana cara mereka makan, bagaimana cara mereka hidup. Satu yang menarik adalah ketika si pemandu menunjukkan fosil kelelawar. Di sini fosil kelelawar bukan hanya tulangnya saja, tapi ada juga jejak sayapnya. Di dalam perut kelelawar itu ada rambut kelelawar. Dia minta kita menebak, kira-kira apa interpretasinya.

Ada yang menebak kelelawarnya kanibal, makan kelelawar juga. Tapi kata pemandu kami itu tebakan yang kurang oke. Sampai keluar tebakan-tebakan konyol, tapi justru mencairkan suasana dan akhirnya si pemandu memberikan interpretasi paleontologinya, yaitu kelelawar itu punya perilaku seperti kucing, mereka suka menjilat badannya dan di badannya ada rambut, sehingga masuk akal bila ada rambut di perutnya.

Di kontainer yang lain, si pemandu menunjukkan pada kami fosil serangga, semacam kumbang. Bayangkan yang memfosil bukan hanya badannya saja, tapi juga warnanya terawetkan. Ini sangat-sangat jarang dan saya merasa sangat beruntung bisa melihatnya. Selain warnanya, ada juga fosil sayap serangga. Kalau sayap burung jangan ditanya, banyak!

800px-prachtkc3a4fer_aus_der_grube_messel
Fosil serangga dengan warna di kulitnya. By Foto: Torsten Wappler, Hessisches Landesmuseum Darmstadt – Hessisches Landesmuseum Darmstadt, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3236678

Hingga akhirnya terakhir di tempat favorit saya, yaitu di singkapan. Si pemandu mengajak kami ke singkapan serpih minyak, singkapan yang dulu menjadi tambang minyak, sempat menghasilkan 40% minyak produksi Jerman. Serpih ini sangat aneh, dia sangat tipis dan getas. Batuan paling tipis yang pernah saya lihat. Lebih mirip kayu atau bahkan kertas.

20180712_155025

1024px-messelshalesplitting
Paleontologist is preparing the fossil. By Wilson44691 – Own work, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=11256926

Di batuan ini, kami semua diberi segenggam batu dan meminta untuk mencari fosil di dalamnya. Sontak saja kami kegirangan dan mulai mencari dengan tekun. Sayang saya tidak berhasil menemukan apa-apa. Hanya teman saya menemukan fosil daun, teman yang lain menemukan sirip ikan. Si pemandu bilang, pernah suatu hari ada yang menemukan fosil utuh, luar biasa. Fosil hasil penemuan kami kemudian dibawa ke kontainer, disimpan di dalam air untuk diawetkan, karena lapisan batu ini sangat mudah hancur. Jika terpapar panas maka akan cepat hancur.

Jalan-jalan di Messel adalah pengalaman luar biasa buat saya. Untuk kali pertama berkunjung ke situs geologi yang dikelola secara profesional dan dipandu oleh pemandu yang juga profesional memberi saya pengetahuan baru tentang geowisata. Ada begitu banyak cara untuk mengelola situs geowisata, tapi yang paling utama adalah kemauan kita untuk memahami apa yang kita punya untuk kemudian membagikannya pada orang lain. Situs Messel adalah contoh, tanpa peran dari paleontolog untuk melindungi situs ini, mungkin 40 tahun lalu situs ini berubah jadi tempat pembuangan sampah dan tak akan ada cerita ini. Tapi karena ada keinginan untuk menjaga dan mengonservasi, maka jadilah situs Messel, situs terbaik di dunia untuk kembali ke 49 juta tahun yang lalu.

 

 

 

 

 

Lomba Geosites of the Year

Capture

Ada satu hal menarik yang saya amati dari pengelolaan Geopark Odenwald-Bergstrasse (baca tulisan saya tentang geopark ini Belajar dari Geopark di Jerman), yaitu tentang Geotopes of the Year. Ini adalah hal yang sederhana, sangat mudah ditiru, tapi bisa memberikan dampak yang besar bagi perkembangan geopark di Indonesia.

Pada prinsipnya kita akan menyeleksi situs-situs di dalam geopark untuk kemudian dipilih sebagai Geotopes tahun ini. Hal ini kita lakukan setiap tahun sehingga setiap kelompok yang mengelola masing-masing situs bisa berlomba-lomba memperbaiki situsnya.

Yang saya lihat di Jerman, pengelolaan geopark sudah dilaksanakan sangat baik oleh komunitas-komunitas lokal. Sebagai contoh Situs Felsenmeer yang merupakan Geotopes tahun 2002 (lihat di sini: Mengarungi Lautan Bebatuan Felsenmeer) sudah memiliki pengelola sendiri, juga situs yang saya kunjungi terakhir yaitu situs Kekar Kolom Otzberg (Geotopes 2005) juga memiliki pengelolanya sendiri (lihat di sini). Juga Situs Grube Messel (baca di sini) yang merupakan Geotopes tahun 2010.

Ide ini saya kira sangat bisa dipraktikkan di Indonesia. Melalui perlombaan ini saya kira kita bisa mempercepat tumbuh kembang komunitas-komunitas lokal pengelola geopark. Sebuah pengakuan bahwa situsnya memenangi perlombaan saya kira akan menimbulkan rasa bangga dan keinginan untuk mengembangkan diri lagi dan lagi.

Selain perlombaan Geotopes of the Year, saya kira bisa juga dilakukan perlombaan membuat desain poster informasi situs di dalam geopark. Hal ini juga untuk menambah partisipasi warga dalam memiliki dan membagikan informasi mengenai geopark.

Beberapa ide lomba:

  1. Lomba Situs Geopark Tahun Ini
  2. Lomba Membuat Poster Situs Geopark
  3. Lomba Membuat Rekomendasi Jalur Geowisata di Geopark
  4. dll.

http://www.geo-naturpark.net/en/geologie/geotope-des-jahres.php

contoh brosur Geotopes of the Year

Grube Messel 2010

Der Otzberg 2005

Die Grube Marie 2017

 

Kembali Ke 49 Juta Tahun Lalu di Messel

20180519_151536

Saya ingat pertama kali menonton film Jurassic Park saya sangat terinspirasi oleh tokoh-tokohnya. Betapa kerennya bekerja mencari fosil dan kembali ke masa lalu. Meskipun di kemudian hari saya tidak mendalami paleontologi tapi tetap ada rasa kagum saya pada mereka yang bekerja mengekskavasi fosil-fosil.

Saya sering memikirkan tentang wisata paleontologi seperti yang pernah saya tulis dalam artikel saya tentang fosil moluska di Gunung Halu. Wisata jenis ini sangat mungkin berkembang dan menjadi sarana hebat untuk menginspirasi anak-anak mencintai ilmu pengetahuan.

Di situs Messel, Jerman, sekitar 15 km dari tempat saya tinggal, kawasan ekskavasi fosil dikembangkan menjadi situs pariwisata. Situs ini juga menjadi bagian dari Geopark Odenwald-Bergstrasse (mampir tulisan saya yang lain tentang geopark Belajar dari Geopark di Jerman).

Dari lebih seratus tahun lalu hingga hampir 50 tahun lalu, situs ini merupakan area penambangan minyak serpih (oil shale). Meskipun sudah banyak penemuan fosil-fosil sejak awal proses eksplorasi, baru pada 1970an, ketika proses eksploitasi tak lagi menguntungkan secara ekonomi, daerah ini mulai dipikirkan untuk dilindungi, meskipun sempat pula ada ide untuk mengalihfungsikan situs ini sebagai tempat penimbunan sampah.

Beruntung pemerintah, komunitas peneliti, dan masyarakat melindungi situs ini hingga akhirnya pada 1995 UNESCO memutuskan situs ini sebagai warisan dunia karena signifikansinya terhadap ilmu pengetahuan, terutama di bidang paleontologi. Situs ini merupakan satu lokasi di mana kita bisa memahami mengenai periode Eosen, ketika mamalia secara mantap hidup di ekosistem darat. Tingkat keterawetan fosil sangat luar biasa sehingga data yang dihasilkan memungkinkan penelitian saintifik yang sangat mendalam.

Begitu pentingnya situs ini bagi umat manusia karena saking lengkapnya fosil yang ada, ia bisa menggambarkan lingkungan kala Eosen, evolusi, dan perkembangan mamalia modern.

Fosil-fosil yang ditemukan di sini seperti: Nenek moyang primata, fosil kura-kura yang sedang berhubungan seksual, lebih dari 10 ribu fosil ikan dari berbagai spesies, ribuan serangga air dan darat dengan warna yang masih bisa dibedakan, mamalia seperti kuda pigmi, tikus, primata, trenggiling, kelelawar, burung (terutama burung predator), reptil dan amfibi seperti buaya, kura-kura, kodok, kadal, lebih dari 30 spesies tumbuhan, dan begitu banyak lagi fosil lain yang ditemukan di sini (sumber: wikipedia).

German_Heritage-2014-1773_new

(Paleontolog menyiapkan sampel di Messel. Kita bisa melakukan melihat langsung aktivitas ini di lapangan. gambar dari https://goo.gl/images/U8bReE)

Situs Fosil Messel dikelola sebagai kawasan wisata khusus. Ada tur dengan pemandu yang bisa menjelaskan dengan sangat baik proses ekskavasi fosil, informasi mengenai fosil, dan juga signifikansinya terhadap ilmu pengetahuan. Lebih menariknya lagi bahwa kita bisa melakukannya langsung di lokasi ekskavasi.

Ada banyak pilihan yang ditawarkan seperti tur di area ekskavasi baik singkat maupun tur panjang, atau bisa juga hanya di dalam museum yang juga luar biasa. Di dalam museum, ada seorang petugas yang sedang melakukan preparasi fosil yang kita bisa melihatnya langsung. Ia dengan senang hati menceritakan bagaimana caranya melakukan preparasi fosil dan menunjukkannya.

Sebuah pilihan yang tepat, hebat, dan berani dari Pemerintah Negara Bagian Hesse hampir 30 tahun lalu untuk melindungi dan melestarikan kawasan ini untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kini ia menjadi situs yang begitu menarik dan saya yakin menginspirasi banyak anak-anak untuk menggemari geologi dan menginspirasi dunia untuk lebih melindungi cagar geologinya.

Di Indonesia kita punya banyak juga tempat sejenis yang mungkin bisa dikembangkan. Situs Sangiran saya kira sudah cukup berkembang. Ada juga situs fosil di Ciamis, Cirebon, Majalengka yang sangat menarik juga untuk dikembangkan. Sudah ada contohnya dan bisa, sangat bisa berkembang, tinggal kita punya keinginan yang kuat untuk mewujudkannya.

 

 

Mengarungi Lautan Bebatuan Felsenmeer

20180324_113732
Felsenmeer di Lautertal, Odenwald, Hessen, Jerman.

Karena musim dingin sudah berakhir, udara sudah mulai hangat, dan matahari sudah bersinar, maka waktunya jalan-jalan dimulai. Akhir minggu ini saya berkesempatan untuk jalan-jalan lagi ke geosite lain di Geopark Odenwald-Bergstrasse, yaitu ke Geosite Felsenmeer (Felsen=batu, Meer=laut). Felsenmeer terletak di daerah Lautertal, sekitar 40 kilometer arah selatan dari Darmstadt, kota saya melanjutkan studi. Seperti namanya, lautan batu, tempat ini tersusun atas bongkahan-bongkahan besar granodiorit yang begitu banyak seolah-olah seperti lautan bebatuan.

1Secara geologis, daerah ini tersusun atas batuan granodiorit berumur Permian, atau sekitar 300 juta tahun yang lalu. Batuan granodiorit yang membeku jauh di bawah permukaan bumi perlu waktu ratusan juta tahun hingga akhirnya tersingkap ke permukaan, yaitu pada kala Tersier. Karena batuan yang sebelumnya berada di atas batuan granodiorit ini tidak ada lagi, maka tekanan yang biasa menekan granodiorit ini pun hilang. Batuan granodiorit merespon hilangnya tekanan ini dengan merekah dan membentuk pola rekahan yang kemudian mempercepat proses pelapukan. Pada daerah-daerah yang berlereng, bongkahan bebatuan ini menumpuk, seperti di Lautertal ini. (Gambar: Proses pembentukan lautan bebatuan di Lautertal, Geopark Odenwald-Berstrasse, 2002). Proses pelapukan seperti ini dikenal sebagai proses pelapukan bantal atau Woolsack Weathering, atau dalam bahasa Jerman Wollsackverwittung.

20180324_105401Selain fenomena geologinya yang luar biasa, ternyata Felsenmeer juga mempunyai sejarah panjang yang tak kalah mengagumkan. Tercatat Bangsa Roma sejak awal abad ke-3 sudah mulai mengeksploitasi bebatuan di Lautertal. Di gerbang masuk Felsenmeer terdapat miniatur gergaji batu yang membuat saya berdecak kagum, “Bangsa Roma, Gila!”. Bayangkan saja batuan Granodiorit, keras, berat, dipotong manual dengan gergaji.

20180324_105825Di gerbang masuk Felsenmeer juga ada museum kecil yang berisikan cerita proses geologi Felsenmeer beserta batuan-batuan yang ditemukan di area sekitar. Selain itu juga ada mainan-mainan bebatuan dari Zaman Romawi Kuno, seperti main SOS zaman sekarang. Juga ada juga maket bengkel situs yang kemudian jadi panduan kami untuk menjelajahi Felsenmeer. Tapi yang paling utama dari museum ini adalah gratisnya, hahaha.

Mendaki Felsenmeer cukup melelahkan. Batuan-batuan besar, jarak yang cukup jauh, dan juga beda elevasi yang cukup tinggi lumayan menguras tenaga. Di tengah-tengah kita sampai di sebuah jembatan yang jadi lokasi istirahat yang lumayan melegakan. Setelah jembatan ini, trek tidak begitu menanjak seperti sebelumnya, lebih landai dan bebatuan mulai jarang-jarang. Disini kita akan bertemu bengkel bebatuan zaman Roma.

WhatsApp Image 2018-03-25 at 9.51.37 AM (1)

Menurut informasi, ada sekitar 300 artefak yang ditemukan di kawasan Felsenmeer, tapi kami hanya menjumpai beberapa, mungkin karena kurang awas. Salah satu yang paling menarik adalah sebuah tiang batu yang sangat besar, mungkin panjangnya 10 meter dengan estimasi berat 30 ton. Pilar-pilar dari Felsenmeer dipakai di beberapa tempat, seperti di Trier Domstein, Kota Trier, dan di Kastil Heidelberg (sumber: wikipedia). Bayangkan proses pengangkutannya, pemotongannya, dan segala kerumitan yang dilakukan ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu.

Di Felsenmeer saya belajar bagaimana orang Jerman mengelola warisan geologi dan warisan sejarahnya. Di Felsenmeer, terutama di museumnya, kita bisa tahu apa yang ada di dalam situs ini, flora-faunanya, geologinya, sejarahnya. Peta jalur tersedia begitu informatif dan juga di setiap stop bisa kita temukan, sehingga kita bisa berjalan tanpa pemandu, meskipun jika mau, pengurus menawarkan jasanya. Selain itu secara rutin ada acara khusus untuk anak-anak. Bentuknya bermacam-macam, ada tur, ada permainan, dan lain-lain. Semuanya semata-mata sebagai upaya menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan fenomena alam sebagai sarana edukasi dan wisata.

Statusnya sebagai Geotopes of the Year 2002 juga sangat membantu, karena setiap tempat yang mendapat gelar Geotopes of the Year memiliki brosur dan keterangan yang cukup informatif yang bisa kita unduh dari situs Geopark Odenwald-Bergstrasse.

 

Sumber: Brosur Geotopes Tahun 2002 – http://www.geo-naturpark.net/deutsch/infothek/infomaterial.php#anchor_1bd3c59a_Accordion-4-Flyer-zu-Geotopen

 

Belajar dari Geopark di Jerman

Di Indonesia sedang begitu marak tentang euforia Geopark. Terhitung sejak 2012, saat sidang Global Geopark Networks (GGN) di Portugal yang menetapkan Geopark Gunung Batur sebagai bagian dari GGN, hingga kini di Indonesia sudah ada 2 Geopark yang berstatus GGN, yaitu Batur dan Gunung Sewu. Sementara itu geopark nasional pun cukup banyak, di antaranya: Rinjani, Ciletuh-Palabuhan Ratu, Merangin, Toba, dan lainnya. Daerah-daerah pun berupaya memajukan keunggulan wilayahnya untuk dijadikan geopark. Tentu ini sebagai angin segar bahwa kita percaya geopark sebagai salah satu solusi konservasi alam yang selaras dengan semangat konservasi dan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Penulis saat ini berdomisli di Jerman, sebagai seorang yang bergiat dalam geowisata sejak hampir 5 tahun yang lalu, tentu penulis merasa penasaran dengan geowisata di Jerman. Bagaimana Jerman mengelola geowisatanya? Hal-hal apa saja yang bisa ditiru dan dikembangkan di Indonesia?

Geopark di Provinsi Hessen

Di Provinsi Hessen, tempat penulis melanjutkan studi, terdapat 3 geopark. Satu GGN, yaitu Geopark Odenwald-Bergstrasse, satu geopark nasional, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus, dan satu kawasan yang sedang dimajukan menjadi geopark nasional, yaitu Vogelsberg.

Geopark Odenwald-Bergstrasse menjual kisah geologi tentang batuan granitik berumur 300-500 juta tahun yang lalu. Selain itu ada juga batuan sedimen berumur Mezosoikum dan juga batuan sedimen Tersier yang mengisi lembah Graben Rhine.

Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus kita akan melihat jejak-jejak terumbu karang tropis, sisa-sisa volkanisme tua, juga sistem gua yang masif. Sejarah geologinya pun sangat panjang, terhitung sejak kala Paleozoikum. Disini banyak ditemui fosil-fosil tua yang menjadi jejak sejarah panjang kawasan ini.

Sedangkan Vogelsberg adalah kawasan volkanik paling luas di Eropa Tengah yang terbentuk pada 15-18 juta tahun yang lalu. Lava mengalir dimana-mana. Jejak gunungapi purba, retakan-retakan kekar dan sesar, bom vulkanik berukuran raksasa mewarnai daerah ini menjadikannya sebagai salah satu tempat terbaik untuk mempelajari jejak gunungapi di Jerman.

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita amati dari geopark di Jerman. Yang pertama adalah hampir semua geopark memiliki jalur treking yang nyaman. Jalurnya terbagi menjadi trek berjalan kaki dan juga trek bersepeda.

Sebagai contoh di Geopark Odenwald-Bergstrasse telah ada 33 jalur treking yang disesuaikan dengan temanya masing-masing. Di Vogelsberg ada 6 jalur dengan total panjang 115 kilometer yang bisa ditempuh dalam 6 hari. Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus pun demikian, ada banyak jalur treking dengan temanya masing-masing, namun yang paling terkenal disini adalah Druidensteig, treking sepanjang 83 kilometer yang terbagi atas 6 rute.

Keberadaan jalur treking ini tentu untuk memenuhi kegemaran masyarakat Jerman untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan di luar ruang seperti bersepeda atau berjalan kaki menikmati alam bebas. Sering terlihat rombongan orang tua atau anak-anak yang mengunjungi kawasan geopark.

Hal kedua yang menarik dari geopark-geopark di Provinsi Hessen adalah informasi yang mudah diakses. Informasi daring tentang geopark tersedia dalam laman masing-masing geopark. Pada umumnya informasi yang tersedia seperti informasi lokasi menarik, informasi jalur menarik, geosite terbaik setiap tahun, program-program geopark setiap bulannya, info materi yang bisa diunduh, dan juga peluang-peluang kerja sama antara geopark dengan institusi pendidikan.

Program geosite setiap tahun sangat menarik dan sangat mungkin direplikasi. Modelnya adalah setiap komunitas mengajukkan situs di kawasannya yang kemudian dipilih dalam hari penghargaan. Kawasan yang diajukkan harus memiliki topik geologi yang menarik, juga aspek alamiah, kultur, dan budaya sehingga memungkinkan pandangan yang holistik bagi pengunjung yang datang ke sana.

Geopark di Jerman sudah cukup dewasa, ia sudah ada sejak tahun 2002, sedang kita baru memulainya 6 tahun yang lalu. Untuk itu tentu banyak pelajaran yang bisa kita petik, karena Indonesia tinggal mereplikasi dan melakukan lebih baik dari pada praktik yang sudah ada. Masih ada begitu banyak hal tentang geopark di Jerman yang bisa diceritakan, semoga ada waktu dan kesempatan untuk belajar dan berbagi.

Salam geowisata!

 

Meninggalkan Hati di Jembatan Bastei

20171224_123833
Basteibrucke dari titik pengamatan. Perhatikan sebagai latar bukit Mesa Konigstein.

Pengembaraan saya di Jerman membawa saya kepada singkapan batupasir berumur kapur yang tersingkap luar biasa di tepian Sungai Elbe, Provinsi Saxony, sekitar 1 jam berkereta api dari ibukota Provinsi Saxony, Dresden, sebuah kota cantik di bagian timur Jerman.

Basteibrucke begitu namanya (brucke=jembatan dalam bahasa Jerman), adalah jembatan batu setinggi 194 meter yang dibangun di atas Formasi Batupasir Elbe sekitar tahun 1854 untuk tujuan wisata, setidaknya begitu yang saya baca dari wikipedia. Sejak lebih 200 tahun yang lalu, Bastei telah jadi fenomena alam yang menarik wisatawan. Pada 1814 dibangun jembatan kayu untuk mengakomodasi turis yang ingin menjelajahi bebatuan eksotis ini yang kemudian dikembangkan lebih permanen 40 tahun kemudian.

20171224_110304
Stasiun Rathen dengan latar Batupasir Elbe

Terpesona adalah kata yang mungkin mendeskripsi perasaan saya mengunjungi tempat ini. Sejak dalam perjalanan berkereta, kita menyusuri Sungai Elbe yang dibatasi oleh tebing-tebing eksotis Batupasir Elbe yang berumur Kapur, atau sekitar 100-80 juta tahun yang lalu. Saya sempat menduga bahwa ini bebatuan karst seperti Maros karena bentukan bukit pinnacle, bahkan dosen saya (Pak Budi Brahmantyo) ketika saya melihat foto ini pun menduga hal yang sama. Tapi ternyata batupasir bisa membentuk morfologi yang serupa.

Kereta kami berhenti di Stasiun Rathen, tepat di tepian point bar Sungai Elbe, kami harus menyeberangi Sungai Elbe untuk mulai berjalan kaki di kawasan Bastei. Menggunakan kapal yang dikelola masyarakat lokal kami menyebrang dengan cukup membayar EUR 1.8 untuk pergi pulang. Kami sampai di Desa Rathen. Desa Rathen adalah desa kecil yang indah. Dengan rumah-rumah cantik seperti di dalam cerita-cerita dongeng. Di bagian atasnya ada reruntuhan kastil tua Altrathen Schloss yang diduga dibangun sekitar abad ke-12.

20171224_134446
Perlu menyebrang Sungai Elbe untuk memulai trekking. Di seberang adalah Desa Rathen dengan kastil Altrathen di bukitnya

Karena sudah dikelola sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, pariwisata di Bastei ini kalau boleh saya bilang sangat matang. Jalur wisata dibuat sangat nyaman, jelas, dan tentu aman. Meskipun elevasi yang ditempuh berbeda cukup jauh (sekitar 200-300 mdpl) namun pendakian terasa sangat nyaman. Kami bahkan bertemu banyak Oma dan Opa yang mendaki bersama (orang Jerman sangat senang trekking). Dengan fasilitas sedemikian rupa, kita tak perlu membayar apa-apa untuk kesini selain biaya transportasi, itu pun saya rasa sangat murah, EUR 13 untuk tiket harian pergi dan pulang di sekitaran Dresden.

Geologi Batupasir Elbe

Bastei adalah singkapan Formasi Batupasir Elbe yang berumur Kapur (100-80 juta tahun yang lalu). Batupasir Elbe adalah penamaan untuk semua jenis batupasir yang tersingkap di sekitar lembah Elbe dengan jenis utama yaitu batupasir kuarsa dengan semen silikaan. Batupasir ini melampar jauh 20 km x 30 km meliputi dua negara yaitu Jerman dan Republik Ceko dengan ketebalan hingga 600 meter (Migori, 2010).

Batupasir ini terbentuk pada lingkungan pengendapan laut regresi. Sumber sedimennya diduga berasal dari bagian utara, yaitu tubuh granitoid yang lebih tua (Vařilová, 2016). Yang menarik dari daerah ini adalah morfologi pinnacle pada bukit-bukitnya. Lagi-lagi menurut wikipedia, bentukan ini terjadi karena tebalnya lapisan batupasir dan juga kekar yang tegak lurus vertikal dengan lapisan yang datar. Ini kemudian menjadi sebuah istilah dalam bahasa Jerman yaitu Quadersandsteingebirge atau Square sandstone mountains atau bukit batupasir mengotak jika saya coba menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Istilah ini dikenalkan oleh Hans Brunno Geinitz pada 1849 untuk mendeskripsi fenomena sejenis, namun sebenarnya merujuk secara spesifik pada batupasir Elbe.

20171224_114025
Jalur trekking menuju Bastei. Sepanjang jalan anak tangga lebar dan aman
20171224_122359
Batupasir Elbe dari titik pertama. Perhatikan bentuk-bentuk mengotak yang kadang mengecoh seolah seperti bukit-bukit pinnacle Karst

Di Bastei, jenis-jenis morfologi Plato bisa kita pelajari dengan mudah. Plato adalah dataran tinggi yang dibentuk dari lapisan datar. Ada bukit Mesa Konigstein yang bisa dilihat dari titik vista pengamatan jembatan Bastei. Mesa adalah morfologi tinggian berbentuk seperti meja (lihat gambar pertama).

Bastei, Elbe, dan Kisah di Baliknya

Buat saya, sungai adalah morfologi yang paling romantis. Ia adalah mula dari semua kisah manusia. Kita bisa membahas semua mula budaya, yang kesemuanya dimulai dari tepian sungai. Seperti sejarah panjang kebudayaan Mohenjo Daro dan Harappa yang berkembang di tepian Sungai Indus. Atau Mesopotamia yang masyhur karena diapit Eufrat dan Tigris yang melimpahinya dengan tanah subur. Juga Mesir yang dikenal sebagai “Hadiah dari Sungai Nil” karena lekatnya sejarah peradaban bangsa Mesir di sekitar lembah Nil. Begitu pula di Indonesia, peradaban manusia purba Sangiran bertumpu pada aliran Bengawan Solo. Bangkit runtuhnya kerajaan di tatar Sunda pun disaksikan oleh aliran Ci Tarum.

Kita punya begitu banyak karya sastra dengan sungai sebagai sumber inspirasinya, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho adalah salah satu favorit saya yang bercerita tentang perjalanan spiritual Pilar. Juga cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono, Sungai.

Sungai Elbe pun sama. Ia bermula dari Pegunungan Krkonose atau Giant Mountains di utara Republik Ceko, mengalir menuju kawasan Bohemia, Saxony di Jerman, hingga bermuara di Laut Utara. Sungai Elbe telah lama dikenal sebagai batas geografis negara-negara. Sejak zaman Romawi, Kekaisaran Roma membatasi wilayahnya di sekitar Elbe dan terus berperang mempertahankan batas negaranya dari serangan kaum barbar.

Di puncak Bastei kita bisa menjumpai artefak-artefak kerajaan dan bekas benteng. Kami mendapati sebuah ketapel raksasa (catapult) dengan ukuran peluru sebesar kepala orang dewasa. Selain itu dijumpai juga pecahan-pecahan gerabah dan bekas benteng dari kayu. Mungkin pada zaman dahulu tempat ini merupakan benteng perlindungan. Kadang saya suka membayangkan betapa berat tinggal disini pasti sulit mendapat air.

20171224_123155
Sungai Elbe membelah perbukitan batupasir Elbe.

 

20171224_115639
Singkapan batupasir Elbe membentuk kotak-kotak. Jadi teringat pelajaran zaman dulu bahwa batupasir yang masif bisa membentuk pelapukan mengulit bawang.
20171224_125424
Artefak ketapel raksasa di puncak Bastei
20171224_124931
Sketsa Felsenburg (bukit batu) dari Bastei. Ingin rasanya duduk dan membuat sketsa, tapi musim dingin tidak memungkinkan saya melakukannya. 
20171224_125138
Bagian paling saya suka, peta gunung-gunung. Buat saya penting untuk kita memahami geomorfologi sekitar. Contoh yang bagus banget buat ditiru di Indonesia.

Bagi saya, Jembatan Bastei adalah salah satu tempat paling bagus yang pernah saya kunjungi. Unsur-unsur yang saya senangi hampir semua ada, bentang alam, singkapan, tinggian, lembah, bukit, sungai, puncak, jejak sejarah, dan unsur geowisata yang paripurna yaitu informasi yang memadai untuk kita mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh tempat wisata ini.

Entah kapan saya bisa kesini lagi, tapi Jembatan Bastei punya tempat yang spesial di hati saya. Sampai jumpa lagi Bastei, sampai kita bertemu lagi.

Auf wiedersehen

 

Migoŕi, P. (2010). Geomorphological Landscapes of the World. Springer. p. 202. ISBN 978-90-481-3054-2. Retrieved 30 April 2011.

Vařilová Z. (2016) Elbe Sandstones. In: Pánek T., Hradecký J. (eds) Landscapes and Landforms of the Czech Republic. World Geomorphological Landscapes. Springer, Cham

Rheingraben, Sebuah Perkenalan

20171118_103258
Dinding horst Rheingraben, Zwingenberg, Hesse, Jerman.

Kota tempat studi saya, Darmstadt, berada di ujung utara dari Upper Rheingraben, tepat di sebelah utara dari horstnya, yaitu batuan dasar granitik Odenwald. Daerah ini oleh pemerintah Jerman dijadikan sebagai kawasan Geopark Odenwald-Bergstrasse dengan aspek geologi utamanya adalah batuan dasar kristalin Odenwald, Graben Rhine Atas, dan Buntsandstein Odenwald (batupasir Odenwald) yang berumur Trias.

Saya berkesempatan untuk menyusuri geopark ini melalui jalur yang telah tersedia. Dimulai dari kota kecil Zwingenberg kami berjalan menuju Gunung Melibokus, bukit granit dengan ketinggian sekitar 500 mdpl. Disini kami disuguhi pemandangan Rheingraben yang tertutup kabut tebal dan mendung awan musim gugur November yang dingin.

Ada beberapa kastil tua di sekitar perbukitan yang memanjang utara selatan ini. Kemungkinan besar dibangun ratusan tahun lalu sebagai tempat perlindungan, mungkin dulu banyak peperangan disini. Beberapa kastil yang kami kunjungi seperti Kastil Auberbach, Kastil Alsbach, Kastil Heilenberg, dan Kastil Frankenstein. Kastil yang terakhir ini hampir 200 tahun yang lalu menginspirasi Mary Shelley untuk menulis novelnya yang terkenal, Frankenstein.

Kembali ke batuan. Batuan granit yang menjadi latar foto saya, berumur Paleozoik, mungkin sekitar 300-350 juta tahun pada era Permian. Pembentukannya terjadi karena kolisi antara lempeng Afrika dan Eropa ketika itu. Jutaan tahun berlalu dan batuan-batuan telah menumpuk di atas batuan granit ini, seperti batupasir Buntsandstein, juga batugamping Muschelkalk yang berumur Trias atau sekitar 250-200 juta tahun yang lalu.

Pada kala Eosen hingga puncaknya pada Oligosen, terbentuklah struktur graben akibat tumbukan Lempeng Afrika dan Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Orogenesa Alpen. Proses yang sebenarnya agak rumit karena agak sulit menjelaskan bagaimana suatu orogenesa bisa menghasilkan struktur graben yang begitu besar. Saat ini, penjelasan utama yang diterima oleh para peneliti adalah Orogenesa Alpen menjadi salah satu pemicu pemekaran pasif di Lempeng Eurasia dan menghasilkan Rheingraben. Graben memanjang utara selatan hampir 400 km dari Basel di Swiss hingga Frankfurt yang merupakan bagian dari European Cenozoic Rift System (ECRIS) yang memanjang 1100 km dari Mediterrania hingga ke Laut Utara.

20171118_101022
Sketsa geologi Geonaturpark Odenwald-Bergstrasse, Jerman

Menyusuri geopark di Jerman menjadi hiburan menyenangkan bagi saya yang cukup penasaran dengan kondisi geologi tempat saya tinggal. Ke depannya, saya berniat untuk mencari singkapan-singkapan dari batuan Bundsandstein dan juga Muschelkalk karena cukup banyak juga singkapan-singkapan menarik untuk dikunjungi dan dipelajari.

Selain Geopark Odenwald, di provinsi Hesse juga terdapat geopark lain, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus yang berada di bagian barat laut dari Frankfurt. Akan sangat menyenangkan juga untuk mengunjungi geopark itu.

Aufwiedersehen

Tschuss!