Membuka Ulang Catatan Franz Junghuhn Tentang Papandayan

Ketika sedang asik main di perpustakaan TU Darmstadt, saya tak sengaja melihat koleksi luar biasa di katalog daring, sebuah buku klasik dari salah satu pionir peneliti Pulau Jawa yang paling banyak dikutip peneliti setelahnya, Franz Wilhelm Junghuhn, judulnya “Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart”, cetakan kedua, diterbitkan di Leipzig tahun 1857.

Capture

Buat yang belum tahu Junghuhn itu siapa bisa lihat tulisan saya tentang Junghuhn di sini

Buku Junghuhn memuat catatannya ketika menjelajahi Pulau Jawa, dari barat ke timur. Ia membuat catatan terperinci mengenai geografi, flora, fauna, geologi, peristiwa kebencanaan, dan banyak lainnya di Pulau Jawa. Kualitas catatannya diakui sangat baik, terutama sketsa-sketsanya yang sangat detil dan menarik.

Junghuhn membagi bukunya yang lebih dari 1000 halaman ke dalam tiga bagian besar, bagian pertama “Beitrage zur Geschichte der Vulkane von West und Mittel Java” yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Kontribusi terhadap Kisah Gunung Api di Jawa Bagian Barat dan Tengah”.

Kemudian bagian kedua “Ost-Java, in Skizzen, entworfen auf einer Reise durch die Insel zu Ende des Jahres 1844″ yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Jawa Timur dalam sketsa, didesain dalam perjalanan menyusuri Pulau Jawa pada tahun 1844”.

Dan bagian ketiga “Die Vulkane der ubrigen Inseln des Indischen Archipels ausser Java, und die Erscheinungen die mit den Vulkanen in ursachlichem Zussamenhange stehen” kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Gunungapi di luar Jawa di Kepulauan Hindia dan fenomena yang berkaitan dengan toponimi asal-usul nama gunungapi tersebut”

Karena bukunya dalam bahasa Jerman, saya sulit untuk baca dan mengerti. Saya hanya membuka-buka sekilas melihat sketsa-sketsa gambar dan daftar pustaka. Salah satu yang saya lihat adalah catatan Junghuhn tentang Papandayan yang saya kira cukup menarik untuk dibaca ulang tentu dibantu oleh Google Translate. Catatan ini berada di bagian kesatu buku,

“Pada malam hari tanggal  11 dan 12 Agustus 1772, terjadi satu-satunya erupsi yang diketahui dari gunung ini (Papandayan). Salah satu letusan terkuat yang terjadi dan mengakibatkan kekacauan di Pulau Jawa, terutama bagi mereka yang pernah berkunjung ke Jawa. Penduduk yang tinggal di lembahan di Garut berlarian kacau di tengah malam, karena melihat Puncak Gunung Papandayan yang berpijar benderang oleh nyala letusan. Pijarnya menyala terang, mengalahkan gelap malam. 

Dentuman bongkah dan gemuruh asap menjadi latar suara orang-orang yang panik berlarian. Bola api dan bongkah panas yang berpijar beterbangan di udara. Empat puluh desa di kaki Papandayan binasa, dan hampir tiga ribu orang menemui ajalnya, dikubur awan panas yang menerjangnya. 

Penduduk desa-desa yang lebih terpencil menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka bersegera melarikan diri, menghindari kehancuran oleh hujan batu berikutnya. Keesokan hari mereka menyadari dahsyatnya letusan Papandayan. Puncak Gunung Papandayan yang mereka kenal sudah tiada, hanya menyisakan celah kawah yang dalam terbuka, terbatuk-batuk hembuskan debu dan letusan yang masih tersisa. 

Pada hari yang sama dengan letusan Papandayan, dua gunungapi lainnya tak mau kalah dan terbangun juga, yaitu Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Gunung-gunung ini saling berjauhan! Entah ada hubungan apa di antara mereka?

Sejak 1843 hingga sekarang, ketika saya (Junghuhn) terakhir mengunjungi gunung ini, artinya dalam periode 71 tahun, pertumbuhan gunung telah menutupi hingga dua pertiga dari jurang kawah yang terbentuk 71 tahun sebelumnya. Endapan-endapan lontaran gunungapi seperti pasir dan abu yang menutupi lembah Garut telah ditutupi tanah, desa-desa baru bangkit kembali di kuburan yang lama.”

Picture1
Sketsa Papandayan oleh Junghuhn

Dalam laporannya, Junghuhn menuliskan tanggapannya mengenai laporan-laporan yang dibacanya untuk menuliskan kisah Papandayan. Salah satu kesimpulan Junghuhn kala itu adalah bahwa tidak ada orang Eropa yang melihat langsung kejadian letusan Papandayan. Catatan-catatan yang ada merupakan penutusan dari orang lokal sehingga banyak laporan yang tidak akurat karena keterbatasan pengetahuan bahasa Sunda bagi orang Eropa saat itu. Perlu dipahami juga bahwa pada 1772, Belanda hanya menguasai wilayah pantai, sementara di pedalaman hampir tidak ada orang Eropa.

Junghuhn juga menuliskan ulang kisah 40 orang yang selamat dari letusan Papandayan karena mereka bersembunyi di kebun pisang kecil (mungkin karena lokasi kebun pisang di dataran tinggi kata Junghuhn). juga kisah tentang dua orang Jawa yang sudah terkubur di dalam tanah tapi entah bagaimana caranya bisa menyelamatkan diri dari kematian. Secara total hampir 3000 orang meninggal dunia, sementara kerugian yaitu 40 desa lenyap, 1500 ternak, perkebunan kapas, indigo, serta kopi yang cukup luas juga hancur lebur.

Begitulah Junghuhn, ada banyak lagi yang bisa saya dapat dari buku ini jika saja saya mahir berbahasa Jerman. Membaca buku ini membuat saya semakin bersemangat untuk memperlancar bahasa Jerman saya yang terbata-bata dan tergagu-gagu.

Terima kasih Junghuhn, Der Humboldt von Java, jasamu abadi.

Junghuhn_self-portrait
Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *