Desa Garung

Berikut adalah penerjemahan mengenai Desa Garung dari buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java karya Franz Junghuhn. Saya sudah menelusuri lokasi Desa Garung yang kemungkinan besar berada di sekitar PLTMH Cikangean di Garut Selatan. Lokasinya tergambar pada screenshot citra 3D Google Earth pada gambar di bawah.

Desa kecil Garung terletak di sebuah dataran sempit di lereng bagian barat lembah, yang berada sekitar 700 kaki di bawah tepi tertinggi, membentang menjadi dataran yang cenderung landai, tetapi kemudian semakin curam ke dasar lembah yang sebenarnya. Dari sisi kami, kami melihat ke bawah ke dasar yang paling rendah ini, masih sekitar 300 kaki lebih dalam. Di sisi lain, tanah tersebut naik lagi, pertama secara bertahap, seperti teras, kemudian lebih curam, dan akhirnya sebagai dinding batu yang curam, meningkat ke tepi lembah timur, yang mungkin berjarak 1.5 hingga 2 pal jaraknya dari yang barat.

Kemungkinan lokasi Desa Garung. Gambar merupakan citra Google Earth. Lokasi di dekat PLTMH Cikangean, 20 km arah utara dari Leuweung Sancang. Lokasi diestimasi berdasarkan peta Junghuhn.

Di atas desa ini, terdapat Tipar kecil yang kering dan Uma (sawah) yang tersebar di antara belantara rumput Alang-alang, yang terakhir ini bahkan telah menggantikan ladang yang sebelumnya ada.. Tapi dasar dari lembah dan lereng-lereng terjal ini ditutupi oleh hutan belantara yang menakjubkan, dengan pohon-pohon raksasa setinggi 100-120 kaki, yang batang-batangnya seperti tiang dengan mahkota kanopi yang dipenuhi daun. Begitu tinggi pohon-pohon ini, seolah mereka tumbuh menembus udara, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Hanya di beberapa tempat saja tidak ada pohon, terutama di dinding-dinding tegak, di mana batuan tersingkap.

Hutan di atas dinding pegunungan ini kini disinari cahaya perak sinar rembulan, yang terang benderang bersinar di angkasa. Sinar ini begitu terang, hingga kita tak bisa melihat senja setelah terbenamnya mentari. Warna biru langit ini tak redup bahkan oleh awan terkecil sekalipun. Tapi tak lama terbenamnya mentari baru-terasa. Bukan tampak secara kasat mata, tapi dari suara. Meskipun tak ada angin berhembus, dan tak satupun daun bergerak, tapi suara-suara malam mulai terdengar semakin kentara. Karena tidak ada sinar matahari, maka terjadi perubahan arus panas. Arus panas ini berperan sebagai penghalang rambatan suara. Karena tidak ada perambatan suara, maka ombak di pantai, yang jaraknya lebih dari 20 pal, bisa terdengar lebih jelas. Juga riuh gemuruh sungai, yang berada jauh dari gunung ini ke arah pantai, suaranya merambat melewati dasar lembah yang dalam, lalu tiba di telinga kami. Semakin kuat suara malam yang membosankan ini mulai bergema, kira-kira sebanyak itulah juga kesunyian di desa semakin terasa.

Seratus lima puluh orang, lelaki, perempuan, dan anak-anak, menempati dunia kecil di lembah ini, dengan hewan peliharaannya: ayam, anjing, kambing, sepasang kerbau dan kuda. Dunia ini dipisahkan oleh hutan belantara dari keramaian peradaban berpuluh mil jauhnya. Mereka kini bersantai-santai di balai-balai di pondok mereka. Tak memikirkan apa-apa, hanya berkumpul tanpa melakukan apa-apa. Dari beberapa pondok kadang terdengar kidung nyanyian, yang entah kenapa seolah tak punya nada atau lirik yang jelas, tapi orang-orang senang bernyanyi dan berkreasi dengan lagunya, sambil bersantai duduk-duduk di bangku. Nyanyian monoton ini perlahan senyap.

Lalu pembantu kami yang mulanya bergabung dengan penduduk, perlahan kembali dan mulai mencari tempat untuk beristirahat. Satu per satu pintu ditutup. Lalu nyala lampu meredup. Beberapa masih tampak menembus lubang-lubang dinding bambu. Suara-suara binatang peliharaan tak lagi terdengar. Hingga akhirnya tak satupun suara peradaban tersisa. Betapa begitu dekat jarak antara kebisingan dan kesunyian, antara kebahagiaan dan kepedihan.

Kami terduduk diam dalam sunyi. Melamun seperti tersihir. Lalu lamunan kami segera tertuju pada dinding lembah, di mana satu lembah kecil secara misterius tenggelam dalam gelap bayangan, di sana suatu batu yang sangat besar atau batang kayu raksasa bercahaya terang di bawah sinar bulan. Tapi di beberapa tempat, malam begitu gelap. Di antara kayu-kayu raksasa, seolah seperti di antara celah, seperti di dalam jurang yang begitu dalam.

Langit tertutup hutan yang lebat, tanpa sekelebat cahaya pun yang lewat. Namun terdengar deras gemuruh sungai Tjikangean. Alirannya mengalir dari jeram ke jeram, dari batu ke batu, lalu terjun bebas mengalir hingga ke lautan. Bagian lain dari hutan, terutama kanopi-kanopi raksasa begitu benderang tersinari cahaya rembulan, hingga kita bisa lihat burung merak, yang raungan kerasnya tadi terdengar ketika senja berganti malam, bergema terpantulkan dinding pegunungan. Burung-burung itu kini terdiam sunyi, hinggap di puncak-puncak pepohonan. Dari waktu ke waktu berkepak-kepak sayap kelelawar. Tak lama burung hantu berteriak „hooot“, lalu berpindah menyusuri lembah.

Semua gerakan ini bisa teramati dari kejauhan. Menjadi kontras dari alam yang begitu sunyi terdiam. Selain gemuruh sungai yang riuh, kami juga mendengar ketukan pelatuk burung cabak, yang bergemeretak seperti hantaman palu pada besi. Jauh di dalam hutan jarang-jarang terdengar suara mengembik seperti kerbau, tapi suara ini lebih pelan, agak serak, dan lebih liar. Itu adalah suara Badak, yang hanya bisa didengar ketika musim kawin tiba.

Aduhai, betapa malam memberikan keindahan tersendiri pada bentang alam ini! Betapa magis cahaya bulan menyinari pemandangan ini, seolah-olah melewati gelas transparan berwarna keperakan. Dimana bisa aku cari kata-kata untuk mendeskripsikan kecantikan ini. Apa nama untuk warna cahaya magis ini? Aku tidak bisa menggambarkannya. Ini hanya bisa dirasakan. Coba rasakan.

Doa Pagi Hari Junghuhn

Dalam buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa), Franz Junghuhn menuliskan tentang tafakurnya terhadap terbitnya matahari. Tulisan ini berlatarkan matahari terbit di suatu bukit di sekitar Desa Garung, yang berada di sekitar Garut Selatan. Kejadiannya mungkin setelah tahun 1845. Saya rasa proses berpikir Junghuhn ini sangat kaya akan makna dan layak untuk dipraktikkan. Berikut terjemahannya:

Oh matahari yang agung, tiada lain engkau adalah salah satu ciptaan Tuhan yang Abadi, yang hanya dengan satu sapuan saja mampu untuk memintal ribuan benang. Aku menyambutmu sebagai simbol terindah bagi kami para penduduk bumi. Engkau adalah mukjizat Tuhan yang selalu diperbaharui, karena cahayamu kembali setiap pagi selama ribuan tahun tanpa henti, bersama gerakanmu semua ikut bergerak. Bumi kami terikat kepada massa-mu, tidak mungkin tanpamu bumi bisa berputar. Tanpamu tidak mungkin ada musim, tidak mungkin ada siang dan malam. Kamu adalah segalanya bagi seluruh kehidupan di bumi. Kamu sebarkan cahaya dan membuat semua menjadi kentara. Tanpamu kami tak perlu punya mata, karena tak ada cahaya yang kami lihat. Cahayamu membentuk segala keindahan di bumi, memberikannya warna, memanjakan mata. Ya dengan cahaya kamu memberikan kehangatan, melembutkan yang keras menjadi lembut dan elastis. Bagaimana mungkin bumi bisa bergerak tanpamu? Bagaimana kami bernafas tanpa udara, dan bagaimana kami bisa mendengar jika tak ada suara? Bagaimana tanaman bisa tumbuh, sungai bisa mengalir, dan awan serta angin bisa berhembus? Tanpa kehangatan energimu, keindahan cahayamu, yang membuat segala hal menjadi mungkin. Semua pergerakan binatang dan tumbuhan, segalanya tergantung kepadamu. Ya, bahkan listrik di langit pun tunduk padamu, sehingga kamulah penguasa petir. Hanya dalam semalam tanpa matahari saja kita bisa rasakan suhu udara turun, padahal kemarin masih mengambang di udara sebagai uap. Kini semua turun ke tanah sebagai embun. Sekarang ribuan tetes masih menggantung di ujung daun. Tidak ada angin, tapi sampai kapan. Planet ini adalah dalam gerakan rotasi yang abadi.

Seluruh permukaan lembah dan pegunungan telah tersinari cahayamu. Bentang alam ini mulai bergetar dan menguapkan seluruh embun yang ada di dalamnya. Sama seperti manusia dan seluruh binatang ciptaan, semua begitu antusias menyambut cahayamu. Semua mulai bergerak lagi, seperti jutaan kuncup tanaman yang mulai bermekaran, juga air dan udara semua terikat dalam gerakan. Kemudian udara dari lapisan terbawah bumi semakin menipis dan menjadi makin ringan karena panas darimu. Udara ini naik ke atas, mulai dari tanah gundul hingga ke pegunungan tinggi yang diselimuti hutan. Laut tidak akan terhangatkan serupa dengan daratan, sehingga ada berbagai macam perbedaan jenis udara di berbagai tempat di negara ini. Udara dingin yang lebih berat mengalir menuju atmosfer yang lebih renggang. Ketenangan yang kini terasa di udara tak akan lama terganggu oleh angin yang berhembus dari puncak-puncak pohon. Pada saat yang sama, embun akan menguap dan naik sebagai uap air menuju lapisan udara yang lebih dingin. Hal ini akan mengakibatkan kenaikan suhu dan penambahan tekanan uap air. Listrik di langit akan terbangun, guntur akan bergemuruh, hujan akan menyirami lahan, dan aliran sungai akan mengalir deras menuruni undakan-undakan dari pegunungan. Banjir akan membawa batang kayu melewati celah. Semua perubahan yang terjadi di muka bumi ini, segalanya terjadi karenamu. Kamu bersinar begitu terang dan memancarkan cahaya dengan begitu tenang.

Seluruh alur ini sangat penuh dengan harmoni, sehingga tak ada bagian dari proses ini yang terpisah sendiri. Seluruh rantai alur ini tak bisa terbayangkan, jika salah satu bagiannya hilang. Begitu luar biasanya hingga tak hanya keindahannya terlihat oleh mataku, tapi juga suaranya terdengar dalam hati yang paling dalam. Kata-katanya adalah: ”Aku mengenalimu, tujuan tertinggi dari alam. Tidak ada satupun, tidak ada kekuatan apapun yang berdiri sendiri. Segala sesuatu hadir demi yang lain, dan segala sesuatu diatur dengan koherensi berdasarkan hukum sebab akibat. Aku tidak tahu apakah mataku diciptakan untuk cahaya, atau sebaliknya, tapi keduanya hadir untuk satu sama lain.

Lantas jiwa ini, yang hidup di dalam diriku, melalui seluruh indraku, terkait dengan seluruh ciptaan di sekelilingku, yang tidak bisa kubayangkan bisa ku dengar dan ku lihat tanpa cahaya dan suara, sementara cahaya dan suara tak akan terpikirkan olehku tanpa telinga dan mata. Lalu apakah jiwa ini seharusnya ada untuk sesuatu? Bukannya seharusnya jiwa punya hubungan dengan sesuatu yang lain?

Aku bisa memikirkan tentang segala sesuatu yang diketahui atau dirasakan oleh indraku. Aku sadar atas diriku sendiri. Ada saat ketika aku bukan diriku yang sekarang. Begitu lama aku tidak tahu darimana aku berasal, darimana datangnya pemikiran dan jiwa rasional ini berasal? Aku juga tidak tahu kemana aku akan pergi. Aku tidak menjadi diriku sendiri. Di alam bahkan cacing yang paling kecil pun saling memiliki keterkaitan. Apalagi matahari, yang juga saling terkait dengan bintang-bintang lainnya. Itu hanya akan menjadi satu benang, yang tersambung dengan jutaan benang, yang merupakan bagian dari penciptaan, dari sesuatu yang abadi, yang tidak dapat binasa, yang masuk akal. Pastilah satu ruh yang sempurna yang menciptakanku, yang kecil, tidak sempurna. Ruh itu menciptakan dan memberikan jiwa kepada alam, dengan semuanya yang penuh dengan keteraturan, kemanfaatan, dan kebaikan. Ya, Engkau telah menunjukkan Diri-Mu kepadaku dan terus menunjukkan kebesaran-Mu dalam semua ciptaan, dalam dada setiap manusa. Aku terhubung kepada-Mu wahai zat yang abadi.

Sebuah Ulasan Buku: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa

Saya baru selesai membaca buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java, atau jika diterjemahkan seperti judul dari artikel ini. Buku ini adalah karya Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Naturalis kelahiran Jerman, yang merupakan salah satu Naturalis terbesar yang pernah berkarya di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.

Buku ini tercipta sebagai kontemplasi Junghuhn ketika melakukan perjalanan ke hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni pada pertengahan abad ke-19. Setiap orang pada hakikatnya selalu mempertanyakan asal usul dan makna kehidupannya. Begitu pula Junghuhn. Observasi alam menggiringnya pada pertanyaan tentang eksistensi dan makna kehidupan.

Cara Junghuhn menulis buku ini cukup menarik dan terbagi menjadi beberapa bagian. Dikisahkan bahwa dua orang Eropa, Siang (personifikasi Junghuhn) dan Malam (personifikasi orang yang ingin mendakwahkan ajaran Kristen di Jawa) sedang melakukan perjalanan di Pulau Jawa. Perjalanannya bermula dari sebuah desa kecil bernama Gnurag.

Gnurag adalah kode Junghuhn untuk sebuah desa bernama Garung (lihat gambar di atas). Hasil penelusuran saya, daerah Garung ini berada di sekitar Garut Selatan, sekitar 50 km arah utara dari Leuweung Sancang. Di Garung mereka mendaki beberapa bukit dan bermalam cukup lama karena kesulitan mencari Kuli yang mau membantu mereka membawakan barang-barang. Karena cukup lama di Garung, maka mereka sempat untuk melaksanakan ceramah kepada masyarakat untuk mengajarkan pemikiran mereka.

Dari Garung mereka bergerak ke arah barat. Tak begitu rinci diterangkan berapa jauh mereka berjalan, namun tempat selanjutnya yang mereka datangi adalah sebuah pantai bernama Tanjung Sodong. Di pantai ini Siang dan Malam menyaksikan pembantaian penyu oleh Ajag, Harimau, dan Buaya.

Berdasarkan Peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat oleh Junghuhn, Tanjung Sodong terletak di dekat Ujung Kulon. Kenapa kita bisa tahu letaknya di sini. Mungkin kejadian ini sangat berkesan bagi Junghuhn, hingga ia menamai pantai itu di petanya itu Reuzenschildpadden, penyu raksasa.

Hal ini ditelusuri oleh Kang Rifaldi dari Museum Geologi yang menuliskan tentang kisah pembantaian penyu. Dari jarak yang begitu jauh (Pameungpeuk-Ujung Kulon, sekitar 370 km), kita bisa menduga bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan yang fiktif, atau merupakan gabungan dari dua perjalanan yang berbeda.

Kemudian dari Tanjung Sodong, Siang dan Malam melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, di mana ia bertemu tiga orang Eropa lainnya, Senja, Fajar, dan Si Praktis. Di Situ Patengan mereka kembali terlibat dalam diskusi filosofi yang seru. Kemudian mereka kembali ke Bandung.

Di Garung

Banyak hal yang terjadi di desa ini. Pertama mereka menerima sambutan yang hangat. Kemudian mereka sempat juga membantu masyarakat desa membunuh harimau yang pernah memangsa seorang warga, yaitu suami seorang janda yang rumahnya mereka tempati.

Garung adalah tempat yang indah. Siang menuliskan kekagumannya pada alam Garung.

„Kami merasa seolah ada di surga. Tidak begitu sulit untuk merasa begitu. Bukankah kita menghirup udara yang murni, sejuk, dan nyaman? Bukannya langit biru paling indah menghampar di atas kita? Bukannya pohon pisang „dari surga“ (seperti kata Linneaus), dengan buah yang besar dan matang, tumbuh tepat di samping pondok kita? Bukannya buah mangga berwarna keemasan, jambu merah, durian seukuran kepala, serta nangka, juga buah-buahan indah, nampak di antara dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar desa? Bukannya hutan paling indah dan paling berbunga ada di atas, bawah, depan, dan belakang kita? Tidakkah kamu merasa bahwa para penduduk di desa terpencil ini, dengan kehidupan sederhananya, hidup seperti orang-orang yang pertama tinggal di surga, yang hidup tanpa mengenal dosa?“

Setelah berkegiatan serta berinteraksi dengan warga lokal dan merasakan keramahannya, Siang dan Malam berdiskusi di malam hari. Malam menyayangkan bahwa di tempat seindah dan orangnya sebaik ini, belum ada masuk ajaran Kristen. Siang mempertanyakan untuk apa ajaran Kristen masuk. Malam menjawab lagi agar mereka bisa mencapai budaya setinggi Bangsa Eropa, yang menganut Kristen. Siang menolak pendapat itu dan menerangkan bahwa kemajuan budaya di Eropa berasal dari berkembangnya ilmu pengetahuan, justru agamalah yang menghambat ilmu pengetahuan ini untuk maju, sembari mencontohkan Galileo dan Kopernikus yang dipersekusi oleh gereja.

Perdebatan ini sangat panjang. Namun ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik. Siang berpendapat bahwa kebaikan dan moral bukanlah ajaran agama, melainkan hal yang manusiawi yang tertanam di dalam diri manusia. Hal ini merupakan topik perdebatan seru dalam dunia filosofi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Saya merasa bahwa Siang menganut ajaran filosofi Kant, yang mendasarkan segala sesuatu pada alasan.

Siang adalah orang yang logis yang percaya bahwa yang nyata itu adalah segala hal yang bisa ditangkap oleh panca indera. Tapi ide, pikiran, konsep adalah satu ranah yang fana. Tidak ada bentuknya, tapi dia tahu itu ada di sana. Ruh, jiwa, pikiran, itu adalah konsep yang tidak bisa diterangkan Siang, sehingga ia menerangkan hal tersebut sebagai domain Ketuhanan. Segala hal di alam saling terkait dan tersusun dengan tingkat presisi yang luar biasa, yang menurut Siang adalah bukti tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hanya ada satu mukjizat, yaitu alam semesta. Hanya satu kebenaran, yaitu pengungkapan dari hukum alam, dari karya Sang Pencipta. Semua hal yang ada di alam semesta ini bisa diterangkan secara fisik dan kepadanya berlaku hukum-hukum yang abadi, yang bisa dipahami dan dipelajari oleh manusia. Begitu juga semua fenomena di di langit dan di bumi. Hanya satu yang tidak dapat dipahami, tapi aku bisa merasakannya setiap saat, yaitu apa-apa yang ada di dalam batin, juga ruh, yang bermanifestasi dalam berjuta bentuk. Aku tidak mengerti tentang batin, tapi aku selalu merasakannya setiap waktu, ia selalu hadir di setiap saat, di setiap hal yang aku periksa, pada tanaman, pada bebatuan, pada fenomena atmosfer, juga di langit dan di bumi, pada manusia, pada serangga terkecil sekalipun. Di mana-mana aku menyadari adanya hukum bahwa segala sesuatu memiliki manfaat, juga kerumitan yang mencerminkan kemahatahuan. Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup di bumi diciptakan untuk berbahagia. Meskipun aku tidak mengerti esensi dari alam, jiwanya, ruhnya, dari mana semua berasal, yang menggerakan segalanya, aku tetap merasa bahwa Dia ada di sana. Yang Maha Bijak, Maha Baik, aku berharap pada-Nya, percaya pada-Nya, menyembah-Nya, memuja-Nya, Tuhan.

Siang dan Malam bersepakat bahwa mereka akan memberikan ceramah mengenai ajaran masing-masing kepada warga Garung. Malam pertama adalah giliran Malam, sementara keesokannya adalah giliran Siang.

Malam menyampaikan beberapa pokok ajaran Kristen, yang dia ambil dari buku Vraagboekje tot Onderwijzing in de Christelijke leer. Buku ini semacam buku panduan pertanyaan terkait ajaran agama Kristen. Yang menarik adalah setelah Malam selesai berceramah, ada seorang ulama muslim yang ikut berbicara. Ulama Islam itu menolak ajaran bahwa Tuhan mempunyai anak sambil mengutip beberapa ayat dalam 3 surat Al-Quran, antara lain An-Nisa 171, Yusuf 105-106, dan Maryam 88-93. Ketiganya adalah penjelasan Al-Quran mengenai Isa putra Maryam.

Keesokan harinya giliran Siang yang mengajarkan ajarannya. Dia memulai dengan menunjukkan peralatan-peralatan lapangannya.

„Di depanku, aku mempunyai bola bumi dan langit, sekstan dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psikrometer, kompas, magnet buatan, mikrospkop, hidrometer Nicholson, prisma tiga sisi, kamera obskura portabel, apparat daguerreotype, sekotak regen kimia, serta beberapa instrumen sains terapan sebagai simbol keyakinanku.“

Ajaran Siang terdiri atas 25 prinsip. Prinsip-prinsip ini adalah cara Siang untuk menjelaskan bagaimana ia menjawab fenomena-fenomena alam dalam keterkaitannya dengan penciptaan. Ia menolak segala takhayul dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Dengan mata telanjang kita hanya mampu melihat biru langit saja, sementara jika menggunakan teleskop, kita bisa menemukan bintang dan nebula. Dengan teleskop yang lebih besar, pengamat bintang lain bisa menemukan nebula yang lebih jauh, juga gugusan bintang-bintang lainnya, yang berjarak begitu jauh dari bumi kita. Bahkan sinar matahari perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak 20 juta mil menembus ruang angkasa untuk sampai kepada kita. Dengan begitu maka benda langit yang jauh lebih jauh lagi yang bisa terlihat oleh teleskop itu tak mungkin kita lihat jika mereka belum ada ratusan ribu tahun yang lalu. Materi pengisi ruang di langit sama tak terbatasnya dengan luas ruang yang bisa mereka isi. Isinya bisa dibagi-bagi lagi menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus, sehingga tak bisa kita perkecil lagi, bahkan dengan perbesaran paling besar sekalipun. Jika dalam dunia ciptaan kita tak dapat menjelajahi awal, menemukan batas, dan membayangkan akhir, maka bayangkan, Dia yang menciptakannya, pasti tidak terbatas, abadi, dan tidak berawal lagi tiada berakhir.

Pada akhirnya ulama Islam yang juga ikut dalam ceramah ini merasa ajaran Siang lebih sesuai dengan pemikirannya.

Hubungan Sosial Siang, Malam, dan Warga Pengikutnya

Hal yang cukup menarik bagi saya ketika membaca buku ini adalah mengamati interaksi antara Siang, Malam, dan warga lokal yang ikut dalam timnya. Di dalam buku ini ada beberapa nama yang disebut, antara lain: Sidin, Masputri, Pangkat, Ario, dan Sungsang. Sidin adalah pembantu Siang yang paling sering disebut. Sementara pembantu Malam bernama Lapiah.

Cara mereka berkomunikasi dengan para pembantunya ini pun saya rasa sangat egaliter. Para pembantu ini tidak segan untuk mengeluh, “Banyak capek Tuan, sakit perut”, sebagaimana mereka sampaikan di awal ketika baru sampai di Garung.

Atau ketika para Kuli ini terpaksa harus terlambat 1 malam karena tidak bisa melewati sungai. Akhirnya pada malam itu, Siang dan Malam tidak punya baju ganti dan anggur untuk malam hari. Ketika Siang marah pada mereka, kuli-kuli ini menjawab, ”Kami para kuli sudah terbiasa tidur tanpa alas dan kami juga tidak minum anggur. Kami pikir kalau Tuan sekali-sekali seperti itu juga tidak akan apa-apa.”

Lalu setelah Malam selesai berceramah tentang ajaran Injil, konon Lapiah, pembantunya, berencana pindah menjadi seorang Kristen. Tapi kemudian dia batal. Alasannya begini,”Tuan bilang kalau orang Kristen harus mencintai sesama seperti mencintai dirinya sendiri, tapi Tuan tidak lakukan itu. Tuan merokok 12 batang setiap hari. Aku juga mau merokok dan hanya minta 2 batang, tapi Tuan tidak kasih. Tuan kaya, tapi pas aku minta naik gaji pas perjalanan kita selesai, Tuan malah marah. Apa gunanya ajaran bagus kalau cuma tertulis di buku dan tidak diikuti.”

Meskipun Lapiah ini memang kurang ajar, tapi hal ini menunjukkan bahwa Siang dan Malam bisa berkomunikasi dengan egaliter dengan pembantunya.

Peristiwa Alam Menginsipirasi

Selama perjalanan ini, Siang dan Malam merasakan beberapa peristiwa alam yang mengguncang perasaan. Pertama adalah ketika naik gunung di dekat Garung. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan badai petir datang. Pohon di puncak gunung tersambar petir, dan mereka hanya bisa bertiarap dan berharap agar tidak ikut tersambar.

Tapi cerdasnya Junghuhn ini adalah dia bisa merefleksikan segala kejadian dan bagaimana semua itu saling terkait. Dari matahari yang jauh memberikan sinarnya. Di bumi energi panas ini menghangatkan uap air, menjadikannya naik ke awan, sehingga menjadi bibit-bibit hujan. Hujan turun dan rintiknya mengerosi lembah membawa tanah.

Juga ketika menyeberang sungai, Siang dan Malam hampir tersapu banjir bandang. Ketika banjir bandang itu mereda, ia melihat bangkai badak dan banteng yang tak berdaya terhantam banjir. Ketika mereka mau memakannya, seekor harimau keburu datang dan mengambilnya. Di sini juga ia berpikir bahwa yang hidup dan mati semua memiliki fungsi dan perannya.

Tapi tentu yang paling mengagumkan adalah ketika ia melihat pembantaian penyu raksasa di tepi pantai di Tanjung Sodong.

Akhir Perjalanan

Siang dan Malam meninggalkan pegunungan Selatan Jawa melalui jalur Situ Patengan. Di sana mereka bertemu dengan dua orang Eropa lainnya, Fajar dan Senja. Di Situ Patengan keempat orang Eropa ini kembali terlibat dalam diskusi filosofi.

Senja meyakini bahwa segala sesuatu itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Semacam keyakinan deterministik. Sementara Fajar meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak. Kemudian seorang Belanda lainnya, Residen Priangan, yang disebut sebagai Orang Praktis, ikut berpendapat, menurunya orang Jawa tidak perlu diajarkan ajaran Kristen. Karena menurutnya orang Jawa sudah cukup melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dalam kesehariannya.

Pembelajaran

Tentu saja kita harus ingat bahwa perjalanan Junghuhn terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu (mungkin sekitar 1837-1840, atau antara 1845-1848). Semua yang terkandung dalam buku ini harus disesuaikan dengan konteks pada saat itu. Buku ini menggambarkan keadaan yang otentik bagaimana seorang petualang hebat menggambarkan pandangannya tentang kehidupan. Manusia dibekali panca indera untuk digunakan menangkap persepsi terhadap alam semesta, dan sudah semestinya panca indera ini digunakan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fana.

Junghuhn menolak segala macam takhayul, yang banyak sekali orang Indonesia mempercayainya. Tapi dia percaya Tuhan, bahkan ia berdoa kepada Tuhannya, setiap pagi ketika menghirup udara yang segar, atau setiap ia menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Dia berusaha untuk berlaku adil dan mempraktikan ajaran moral, bahkan berupaya untuk mengajarkan ajaran yang dia percayai. Dalam buku ini dia menyebut ajarannya sebagai Ajaran Agama dan Moralitas Alam, yang terdiri atas 25 prinsip. Buku ini telah dia tulis dalam bahasa Belanda, dan juga telah ia terjemahkan sarinya ke dalam bahasa Melayu. Bukti bahwa dia mempunyai niat untuk mengajarkan ajarannya.

Tapi beberapa yang dia pahami juga kelak terbukti keliru. Misal keyakinan Junghuhn bahwa kemajuan bangsa Eropa salah satu alasannya adalah faktor biologis ras yang lebih unggul. Bahkan keyakinan terhadap ini didasarkan pada pengukuran ukuran tengkorak ras-ras di dunia oleh para ahli biologi dan kedokteran di Eropa pada masa itu.

Yang pasti, ajaran Junghuhn bukanlah kebenaran tunggal, meski tidak berarti yang dia tulis dan dia ajarkan sepenuhnya adalah keliru. Ada hal-hal yang bisa kita pelajari dan kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara Junghuhn mencari Tuhan melalui observasi? Mungkin itu mirip dengan eksplorasi Ibrahim ketika mencari tahu siapa Tuhannya. Berapa banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir? Mungkin pendekatan berpikir Junghuhn inilah yang perlu kita adopsi untuk kenal dan bisa lebih dekat kepada Tuhan, Pencipta Semesta Alam.

Kerinduan Junghuhn Pada Alam Jawa

Dalam buku Drie en Dertig Jaren op Java (33 Tahun di Jawa), Dr. C.W. Wormser sebagai pembuka bukunya, mengutip pernyataan dari Franz Junghuhn mengenai kerinduan Junghuhn pada Pulau Jawa. Ketika itu Junghuhn sedang berada di Belanda, memulihkan dirinya setelah selama 12 tahun bergulat dalam belantara Hindia.

Aku sangat ingat hutan di sana yang berhias warna hijau yang abadi, ribuan bunga dengan semerbak wangi yang tak pernah pudar. Dalam pikiranku terdengar angin laut yang berdesir melewati rerimbun pohon pisang dan pucuk pohon kelapa. Aku dengar gemuruh air terjun yang berundak turun dari dinding gunung tinggi di pedalaman negeri. Seolah-olah aku sedang menghirup udara pagi yang dingin. Seolah aku sedang melangkah di depan pondok orang Jawa yang ramah. Keheningan yang sunyi dari hutan belantara mengepungku dari segala sisi. Tinggi di langit di atasku terlihat kepakan kelelawar yang berkerumun, beterbangan kembali ke tempat mereka pulang di siang hari. Perlahan kehidupan bergerak semakin dalam ke hutan. Burung merak berteriak berlomba saling pamer suara. Monyet-monyet melanjutkan permainan mereka dan teriakannya menggema dalam sunyi hutan pegunungan, seolah membangunkan hutan dengan nyanyian paginya. Ribuan burung benyanyi merdu. Bahkan sebelum matahari menampakkan warnanya di timur langit, puncak-puncak gunung telah menyala keemasan. Dari ketinggiannya yang agung, mereka seolah melihatku sebagai seorang kawan lama. Betapa rindu dan membuncah keinginanku untuk mendaki, hingga pada hari nanti di mana aku bisa bilang, Salam padamu, Wahai Gunung-Gunung!

Franz Junghuhn,
Leiden, November 1851

Junghuhn Seorang Geologist

Dalam pengetahuan komunal masyarakat Indonesia, Junghuhn dikenal sebagai orang yang membuat grafik lokasi ideal tumbuh kembang tanaman berdasarkan elevasi ketinggian. Pengetahuan ini tersebar, karena dimuat dalam pelajaran geografi ketika SD dan SMP. Setidaknya begitu belasan tahun lalu, ketika saya masih sekolah dasar dan sekolah menengah dulu.

Ketika masuk dalam pelajaran sejarah, nama Junghuhn kembali mengemuka mengingat jasanya dalam budidaya kina. Junghuhn dikenang sebagai perintis budidaya kina di Indonesia, hingga pada awal abad 20, Indonesia menguasai pasar kina dunia.

Tugu Makam Junghuhn di Lembang, dikelilingi pohon-pohon kina. Telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Junghuhn seluas 2.5 ha

Selain dari dua bidang tersebut, nama Junghuhn tak banyak saya lihat. Ketika saya berkuliah di jurusan geologi, namanya tak muncul. Mungkin hanya sekali, yaitu ketika almarhum Pak Budi Brahmantyo menceritakan tentang sketsa Junghuhn di Situ Patengan. Namun selebihnya ia tak terdengar.

Padahal Franz Junghuhn (lahir di Mansfeld Jerman, 1809 dan wafat di Bandung, 1864) adalah salah satu perintis penelitian geologi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Karyanya yang paling masyhur, Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart (Jawa, Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Pembentuknya), yang terdiri atas tiga volume, pada volume III setebal 329 halaman, khusus membahas mengenai geologi Pulau Jawa. Di dalamnya tercakup pembahasan mengenai sebaran mineral, sedimen, morfologi pegunungan, fosil hewan dan tanaman, formasi-formasi penting, batuan gunungapi, keberadaan metal, bahkan hingga mata air panas. Deskripsi fosil dan lokasi penemuannya menjadi lokasi A-Z, menjadi sumbangan sangat berharga bagi penelitian stratigrafi di Hindia.

Sementara volume I membahas mengenai tanaman-tanaman dan volume II membahas mengenai gunungapi. Pada tahun 1855, Junghuhn mempublikasikan peta Pulau Jawa skala 1:350.000 yang ia bagi ke dalam 4 lembar. Salah satu edisi peta ini merupakan peta geologi dengan warna-warna yang membedakan formasi-formasi batuan. Peta ini merupakan peta geologi kedua Pulau Jawa, setelah peta geologi oleh Horsfield pada awal abad-19.

Peta Geologi Bandung dan Sekitarnya oleh Junghuhn (1855)

Jika kita menelusuri karya-karya Junghuhn secara kronologis, maka kita akan tahu bahwa mulanya Junghuhn tidak begitu awas dengan kondisi geologi. Passion-nya ketika itu lebih ke aspek botani. Menurut Rogier Verbeek, kemungkinan besar Junghuhn mulai awas dengan kondisi geologi adalah pada tahun 1834, ketika ia berkunjung ke Laacher See (Danau Laach) di sekitar Pegunungan Eifel. Di sini, Junghuhn muda terkesima dengan pegunungan vulkanik ini, dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa geologi juga merupakan hal menarik yang belum banyak dipahami.

Pada awal karir Junghuhn di Hindia pun, ia tak begitu awas dengan kondisi geologi. Ia lebih banyak memperhatikan tanaman-tanaman, mendeskripsi, kemudian mengumpulkan spesimennya. Baru pada tahun 1837, ketika Junghuhn ditugaskan menjadi deputi dari Dr. Fritze, ia mulai memiliki pembimbing dalam ilmu geologi. Dalam buku “Topograpische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java, Magdeburg 1845”, Junghuhn menuliskan bahwa dalam perjalanannya dengan Dr. Fritze, Junghuhn melakukan penelitian mengenai tanaman; sementara Dr. Fritze melakukan observasi geologi, mengunjungi kawah, dan mengoleksi bebatuan. Pada bulan Mei 1839, Fritze meninggal dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi Junghuhn.

Ernst Albert Fritze (1791-1839)

Junghuhn melanjutkan petualangannya di Jawa hingga tahun 1841, untuk kemudian berpindah ke Sumatera dan melakukan penelitian di Tanah Batak selama 13 bulan. Di rimba yang liar ini, Junghuhn berhasil memetakan topografi kawasan ini dengan sangat baik, sekaligus mempublikasikan pengamatannya mengenai Tanah Batak di Sumatera (Die Battaländer auf Sumatra). Menurut Verbeek, dalam buku tersebut Junghuhn secara eksplisit menyebutkan mengenai rencana pembahasan geologi yang akan dituliskan dalam buku volume kedua. Namun buku tersebut tak pernah terpublikasikan. Buku Die Battaländer auf Sumatra hanya terbit dalam bahasa Jerman. Ini karena naskah buku ini ditolak oleh pemerintah kolonial karena catatan-catatan kritis mengenai perlakuan buruk tawanan Jawa oleh serdadu kolonial.

Pada periode awal Junghuhn di Hindia, selama 13 tahun (1835-1848), kemudian kita kurangkan dua tahun bekerja di Sumatera, dan dua tahun lainnya untuk membuat laporan tentang Tanah Batak, maka sebenarnya Junghuhn hanya punya sekitar 9 tahun untuk meneliti Jawa. Bayangkan 9 tahun untuk mendaki 45 gunung, beberapa di antaranya berkali-kali, 16 di antaranya ia merupakan orang yang pertama, kemudian mengunjungi lembah-lembah yang dalam dan deras, serta menerobos rimba belantara yang kejam, mengumpulkan spesimen dalam peti-peti dan mengirimkannya ke Eropa. Bahkan pada periode awal, kebanyakan dari waktu tersebut bahkan dilakukan pada masa-masa cuti, karena pada awalnya Junghuhn adalah seorang dokter militer. Ini merupakan prestasi yang hebat, menimbang seluruh kesulitan yang ada ketika itu. Perjalanan-perjalanan geologi Junghuhn hanya bisa dilakukan jika ada persitensi yang tinggi, mengingat begitu terperincinya laporan yang ditulis Junghuhn.

“Sebuah cahaya baru yang telah lama dinantikan, baru-baru ini terbit mengenai karakter geognostic Pulau Jawa, melengkapi karya-karya terdahulu Horsfield, Raffles, dan Reinwardt, yang masih belum lengkap. Dibuat oleh peneliti alam yang cerdas, piawai, dan pantang menyerah, Franz Junghuhn. Setelah tinggal lebih dari 12 tahun ia merampungkan karya yang sangat berharga: Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart.”

Alexander von Humboldt dalam Kosmos jilid 4, tahun 1858

Junghuhn harus kita kenang sebagai geologist yang handal. Kita harus ingat bahwa Junghuhn memelajari geologi secara otodidak. Ia tak punya pendidikan khusus geologi. Hal ini juga kemudian mengakibatkan banyak observasinya yang kurang presisi, meski tidak mengurangi rasa apresiasi kita padanya. Verbeek menuliskan bahwa Junghuhn mengklaim bahwa basalt hanya ditemukan di tiga gunungapi di Jawa, padahal batuan ini bisa ditemukan di begitu banyak gunung. Junghuhn juga banyak mendeskripsi batuan plagioklas-trakhit, yang ternyata merupakan batuan andesit. Lebih lanjut Verbeek mengapresiasi Junghuhn begitu tinggi, terkait deskripsi medan yang begitu detil terperinci dengan ilustrasi yang dilengkapi banyak sketsa, profil, dan peta. Namun harus diakui bahwa ketika Junghuhn membahas substansi geologi, maka maknanya kurang begitu berarti, terutama jika kita bandingkan dengan ilmu yang berkembang sekarang.

Beberapa teori penting yang dikemukakan Junghuhn, terutama teori mengenai pembentukan gunungapi. Junghuhn lah yang pertama menyatakan dan membuktikan bahwa kerucut gunungapi volkanik itu bertumbuh dan membangun kerucutnya secara berturut-turut dari letusan debu gunungapi dan aliran lava. Naiknya elevasi gunungapi bukan karena pengangkatan, tetapi karena proses letusan-letusan yang berulang. Teori ini mungkin sekarang sudah usang dan kuno, tetapi pada zaman Junghuhn, teori itu diterima sebagai teori yang benar, dan bahkan didukung oleh Leopold von Buch. Tak hanya von Buch, Charles Lyell, bapak geologi abad 19, dalam bukunya yang legendaris, The Principle of Geology (1868) tak ragu untuk menyebut nama Junghuhn 6 kali dalam bukunya, dan menyitir pendapat Junghuhn, membuktikan betapa berharganya informasi dan analisis yang dikembangkan Junghuhn di Jawa.

Pada akhirnya, Junghuhn harus kita kenang sebagai salah satu perintis ilmu geologi di Indonesia. Seperti yang disampaikan Verbeek dalam memoir mengenang 100 tahun Franz Junghuhn, bahwa Junghuhn memberikan efek sugestif pada generasi muda. Ia menginspirasi pemuda generasi Verbeek untuk berkarya mengeksplorasi bumi Hindia, dan harusnya juga pada generasi-generasi setelahnya, termasuk generasi kita. Junghuhn adalah contoh dari orang berjiwa Promethean, yaitu orang yang memberikan segalanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa memedulikan konsekuensi terhadap dirinya sendiri.

Wahai Junghuhn, karyamu abadi!

Sketsa geologi pantai dengan undercut di bawahnya. Terdiri atas lapisan batupasir dan kapur
Sketsa Bukit Breksi Batu Nini di sekitar Gunung Buleud Cililin
Sketsa batuan sedimen berlapis nyaris tegak di Sanghyang Heuleut

Beberapa sumber tulisan ini:
1. Junghuhn als Geologe – Rogier Verbeek
2. Forschen – Vermessern – Streiten – oleh Renate Sternagel dan Gerhard Aus
3. Buku Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart volume III – Franz Junghuhn

Curug Tjigeureu di Gunung Malabar

Sejak dua tahun lalu, saya rajin nongkrong di halaman situsnya Tropenmuseum, Rijksmuseum, dan Perpustakaan Universitas Leiden. Tujuan saya adalah untuk mencari foto, lukisan, atau sketsa lama yang membuat saya senang ketika membuka dan melihat-lihatnya. Mungkin seperti orang yang hobi belanja senang buka-buka lapak pasar-el (e-commerce), begitu pun saya senang buka-buka situs gambar sejarah.

Dari hasil telusuran saya, saya mengetahui bahwa ada beberapa pelukis zaman kolonial yang hasil dokumentasinya sangat banyak, salah satunya adalah Antoine Payen. Ia adalah seorang pelukis berkebangsaan Belgia yang bekerja bagi pemerintah kolonial pada awal abad ke-19. Ketika Payen bekerja, ia menemukan seorang mutiara terpendam yang kelak akan menjadi pelukis Indonesia paling masyhur. Namanya Raden Saleh. Tulisan lengkap mengenai siapa Antoine Payen bisa dilihat pada tulisan Pak Ridwan Hutagalung berjudul “Payen dan Sang Pangeran Jawa“.

Salah satu gambar paling baru yang saya temukan adalah gambar berjudul “Gezicht op de waterval van de Tjigeureu in de bossen van de berg Malabar” atau jika diterjemahkan bebas menjadi “Pemandangan air terjun Tjigeureu di hutan Gunung Malabar”. Dalam keterangan lukisan tertulis: Dit is de waterval van Cigeureuh bij de berg Malabar. Op de voorgrond zijn twee mannen te zien die kijken naar een Javaanse neushoorn in de verte, atau berarti: Ini adalah air terjun Cigeureuh di gunung Malabar. Di latar depan dua lelaki dapat terlihat sedang melihat badak Jawa di kejauhan.

Gezicht op de waterval van de Tjigeureu in de bossen van de berg Malabar. Antoine Payen – 1841. Sumber Tropenmuseum

Dalam gambar ini, sebuah air terjun yang sangat tinggi menjadi objek utama. Menuju ke air terjun, terdapat jeram-jeram bertingkat dengan aliran yang cukup deras. Hutan digambarkan tidak padat, tapi terbuka. Di tengah bagian dekat dengan pengamat, dua orang tampak bersembunyi. Seorang seolah mengokang senjata, atau mungkin keduanya memegang sejata. Mereka mengamati seekor badak di kejauhan. Cukup menarik juga mengingat Payen menggambarkan satu bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum Becc) yang berada di bagian kanan bawah lukisan.

Saya takjub dengan ketelitian ini. Saya merasa perlu tahu di mana curug ini berada. Dengan penuh semangat saya mencoba mencari tahu, di mana air terjun Tjigeureu ini berada.

Pilihan pertama saya adalah dengan mencari di google dengan kata kunci “Curug Tjigeureu”. Tapi hasilnya nihil. Kemudian ketika saya cari Cigeureuh, maka saya menemukan blog dari http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/11/berjuang-menggapai-hulu-cigeureuh.html. Dalam blog ini penulis mencantumkan judul “berjuang menggapai hulu Cigeureuh”. Dalam tulisan ini, ia bercerita tentang perjuangannya dan teman-temannya menyusuri hulu Cigeureuh untuk menuju Curug Siliwangi. Masuk akal juga. Berarti sungai di mana curug ini berada bernama Ci Geureuh, dan curugnya bernama Curug Siliwangi.

Ketika saya mengamati foto Curug Siliwangi, saya merasa ada sedikit persamaan dengan Curug Tjigeureu yang dilukis Payen, terutama dari ketinggian air terjun. Sayang tidak ada foto yang diambil dari lebih jauh. Kemungkinan besar karena vegetasi sangat lebat.

Curug Siliwangi, Gunung Puntang. Sumber Facebook Gunung Puntang

Dalam lukisan Payen, Curug Cigeureuh digambar dari jauh. Namun kita bisa duga bahwa air terjun ini sangatlah tinggi. Begitu pun Curug Siliwangi yang ditulis berketinggian 150 meter. Dalam video-video perjalanan ke Curug Siliwangi yang saya tonton di Youtube, perjalanannya sangat berat dan melewati jeram-jeram. Mungkin itulah jeram yang digambar juga oleh Payen.

Selain itu, saya juga mencoba membandingkan Curug Cigeureuh ini dengan peta-peta lama yang saya punya. Pertama saya membandingkan dengan Peta Wisata Bandung dan Sekitarnya, touristenkaart van bandoeng en omstreken, yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1939. Dalam peta ini, di lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Haruman, terletak air terjun tanpa nama yang hanya disebut sebagai Waterval.

Gunung Malabar pada Peta Wisata Bandung yang dipublikasikan oleh Dinas Pariwisata Hindia Belanda

Kemudian saya mencoba mencari informasi mengenai Gunung Malabar di buku Java volume 1, karya Junghuhn. Di dalam buku ini, Junghuhn mendeskripsi menggambarkan profil ketinggian gunung-gunung di Jawa, salah satunya gunung-gunung di Cekungan Bandung. Ketika menggambarkan kompleks Gunung Malabar, yang disebut oleh Junghuhn sebagai Malawar, secara menarik ia menggambarkan satu air terjun, Tjuruk Tjiguru. Saya menduga ini air terjun yang juga dimaksud oleh Payen, Tjurug Tjigeureuh

Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.1

Kesimpulan: Curug Cigeureuh hampir pasti merupakan air terjun yang berada di lembah di antara Gunung Puntang dan Gunung Haruman, di kompleks Gunung Malabar. Jika benar di sanalah curug berada, maka elevasinya sekitar 1500-1800 mdpl. Kemungkinan curug ini ekivalen dengan Curug Siliwangi yang kita kenal sekarang, namun perlu memastikan koordinat Curug Siliwangi berada. Ada dua informasi penting yang bisa kita dapat dari lukisan Antoine Payen, yaitu: 1) keberadaan bunga bangkai raksasa, dan 2) keberadaan badak jawa. Dua spesies ini merupakan spesies langka, bahkan sekarang badak hanya ditemukan di Ujungkulon saja. Laporan ini menunjukkan bahwa Kompleks Gunung Malabar pernah menjadi rumah bagi spesies-spesies langka Nusantara, entah kondisinya sekarang bagaimana. Meskipun badak sudah pasti tidak ada, semoga yang lain masih ada.

Tentang Gunung Malabar

Mungkin orang-orang kurang awas terhadap Gunung Malabar karena bentuknya yang tidak seikonik Gunung Tangkuban Perahu. Padahal kedua gunung ini berhadap-hadapan. Keduanya megah dibatasi oleh lembah luas di mana jutaan manusia hidup. Dari titik mana pun di tengah Cekungan Bandung kita bisa melihat Gunung Malabar ini. Setiap pagi, dari rumah saya di bilangan Ciwaruga, setiap saya memandang ke arah selatan, terutama di pagi hari, maka gunung ini akan tampak megah berdiri. Mungkin pemandangan yang serupa dengan gambar Payen di bawah ini.

Pemandangan Gunung Malabar yang dilukis oleh Payen dari Bandung Utara

Dalam buku Java jilid 2, Junghuhn mendeskripsi Gunung Malabar sebagai berikut:

Obgleich kein Krater und keine Solfatara als diesem Gebirge zugehörig bis jetzt bekannt ist, so wird er hier dennoch unter die Zahl der Feuerberge aufgenommen, -weil sowohl die Gestalt desselben als auch seine Gebirgsarten. — Lava —, aus welchen er zusammengesetzt ist, deutlich verrathen, dass auch er einst ein thätiger Vulkan war. Siehe die augitische und basaltische L.Nr. 55 und 56 und die Gluthbrezzie: L.Nr.54, welche in seinem nordlichen Vorgebirge gefunden werden. — Über seine Lage und Verbindung mit den benachbarten Bergen wird hier sowohl, wie bei allen übrigen Preanger Vulkanen auf die beigefügte Skizze verwiesen. Sein Gipfel ist keineswegs konisch, sondern er besteht aus zwei lang hingezogenen, schmalen Firsten, die ostwärts in einem spitzen Winkel zusammenstossen und die 7090′ hohe Ostkuppe des Gebirges bilden. Auch ihre entgegengesetzten Endigungen sind schroff und kuppenartig. Sie schliessen einen beinahe dreieckigen Raum ein, der sich westnordwestwärts in weiter, klüftiger Öffnung zum Berge hinabzicht und den man nicht anstehen kann, für den alten spaltenförmigen Krater des G.-Malawar (wahrscheinlich abgeleitet von Mawar = Rose und würde dann so viel bedeuten als : überall mit Rosen geschmückt) zu halten, wenn man die schroffe Senkung beider Bergfirsten nach innen wahrnimmt, die mit ihren steilen Wänden einander gegenüberstehen und sich als Kratennauern beurkunden. Die südlichere der Firsten zieht sich mehre Pfähle lang hin. Es ist sehr zu vermuthen, dass man im Grunde der genannten
grossen Kluft zwischen den Firsten bei genauer Nachsuchung noch überzeugendere Beweise ihres ehemaligen Charakters finden und vielleicht noch dampfende Fumarolen oder kochende Schlammpfützen daselbst antreffen wird. Übrigens sind sowohl die Kluft als die Firsten mit uralter Waldung überzogen, deren Physiognomie ich an einem andern Orte versucht habe zu schildern und nur zwei warme Quellen am Südabhange des Berges sind die einzigen jetzt bekannten Überbleibsel ehemaliger Vulkanität. ~ Ich besuchte den Berg im Monat October 1839 von seiner Ostseite her, wo der Pasanggrahan Malawar tjiparai gelegen ist.

Franz Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.2

Berikut adalah penerjemahan bebas oleh penulis dibantu dengan Google Translate:

Meskipun tidak dijumpai kawah dan solfatara di gunung ini dan sekitarnya, gunung ini tetap termasuk sebagai gunung api, terutama karena bentuk, jenis gunung, serta lava yang menyusun gunung ini menandakan bahwa gunung ini dulunya merupakan gunungapi yang aktif. Sampel batuan yang saya kumpulan berjeniskan lava augit dan lava basaltik (lihat nomor 55 dan 56) serta Gluthbrezzie (Breksi berwarna arang gelap, glut = arang dalam bahasa Jerman) bernomor 54 yang saya temukan di punggungan sebelah utara.

Sebagaimana gunungapi lainnya di Priangan, saya membuat referensi lokasi pengambilan spesimen ini relatif terhadap lokasi gunung dan hubungannya dengan gunung-gunung di sekitarnya. Puncak gunung ini tidak berbentuk kerucut, tetapi terdiri atas dua tebing sempit yang memanjang yang pertemuannya membentuk sudut lancip di sebelah timur dengan ketinggian 7090 kaki, di sebelah timur kompleks pegunungan ini. Ujung dari tebing-tebing ini kasar dan berbentuk kubah. Mereka melampirkan ruang hampir segitiga yang memanjang barat-barat laut di celah yang lebar, bergerigi ke G. Malawar (kemungkinan berasal dari kata Mawar yang berarti bunga, sehingga diasumsikan Junghuhn berarti gunung yang dipuja layaknya bunga). Mungkin bagian tengah dari gunung ini adalah kawah. Sangat dicurigai bahwa pada celah yang disebutkan di antara punggungan-punggungan akan ditemukan bukti yang lebih meyakinkan mengenai keberadaan fumarol yang mengepul atau genangan lumpur mendidih di sana. Kebetulan, pola lembahan dan punggungan ditutupi dengan hutan lebat, fisiognomi yang saya coba gambarkan di tempat lain, dan hanya dua mata air hangat di lereng selatan gunung adalah satu-satunya sisa vulkanisitas bekas gunung berapi yang diketahui. ~ Saya mengunjungi gunung ini pada bulan Oktober 1839 dari sisi timurnya, di mana Pasanggrahan Tjiparai Malawar berada.

Franz Junghuhn, Java volume 2, dengan penerjemahan bebas penulis.

Dalam katalog spesimen yang dikumpulkan oleh Junghuhn: Catalog der Geologischen Sammlung von Java. Oder Verzeichniss der Felsarten gesammelt zur erlauterung des geologischen baues dieser Insel niedergelegt und geordnet im Reichs-museum fur Naturgesichte zu Leiden von Fr. Junghuhn (Katalog Koleksi Geologi Jawa. Atau daftar jenis batuan yang dikumpulkan untuk menjelaskan struktur geologi pulau ini diletakkan dan dipesan di Museum Sejarah Alam Reich oleh Leiden oleh Franz Junghuhn), sampel dari Malabar bernomorkan L.54-L.56. Sampel-sampel ini adalah:

Halaman 13
  1. Batu trachytic dari gluthbrezzie. Ujung barat punggungan G. Malawar: dari dinding vertikal, ke kiri jalan yang mengarah dari Bandong ke Bandjaran.
  2. Lava doleritik dan basaltik. Lereng G. Malawar: Bandjaran dan Pengalengan, dasar sungai Tji-Biana (distrik yang sama)
  3. Lava syenitik dan basaltik. G. Malawar. dasar sungai Tji-Ngiroan dekat Pengalengan

Sumber:

  1. Lukisan Tjurug Tjigeureu dari Tropenmuseum
  2. https://mooibandoeng.com/2016/02/02/payen-dan-sang-pangeran-jawa/
  3. http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/11/berjuang-menggapai-hulu-cigeureuh.html
  4. https://www.facebook.com/BuperGPCommunity/posts/air-terjun-curug-siliwangiterletak-di-areal-wana-wisata-gunung-puntang-di-komple/511613966045832/
  5. Touristenkaart van bandoeng en omstreken. 1939
  6. Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.1
  7. Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.2
  8. Catalog der Geologischen Sammlung von Java. Oder Verzeichniss der Felsarten gesammelt zur erlauterung des geologischen baues dieser Insel niedergelegt und geordnet im Reichs-museum fur Naturgesichte zu Leiden von Fr. Junghuhn

Apakah Tuna Netra Bisa Jadi Geolog?

Beberapa bulan lalu ada perdebatan seru di Twitter, tentang apakah seorang buta warna bisa berkuliah di jurusan geologi di Indonesia. Di kampus saya dulu, Insitut Teknologi Bandung, memang ada aturan ini. Bahwa salah satu pra-syarat masuk jurusan geologi adalah mampu menunjukkan surat bebas buta warna. Entah apakah sekarang masih ada atau tidak.

Sebelumnya saya tidak pernah benar-benar memikirkan hal ini, tapi saya kemudian sadar bahwa ini adalah aturan diskriminatif yang harus dihapuskan. Geologi adalah ilmu yang harus bisa dipelajari oleh siapa saja. Lebih umum lagi, pendidikan harus bisa diakses siapa pun, terlepas dari kondisi fisiknya. Jadi siapa saja bisa belajar apa saja yang dikehendakinya.

Apa hak kampus untuk melarang seorang buta warna belajar geologi? Apakah seorang buta warna tidak bisa menjadi geolog? Jika buta warna saja tidak bisa, apalagi tuna netra. Lalu muncul pertanyaan lain, apakah seorang tuna netra tidak bisa menjadi geolog?

Tuna netra jadi geolog? Jawabannya bisa!

Ini adalah cerita yang menjungkirbalikkan semua asumsi-asumsi keliru, yang membuktikan bahwa ketika kesempatannya ada, semua orang bisa, mampu, dan bahkan menjadi yang terbaik. Bahkan seorang tuna netra bisa menjadi nomor satu di dunia dalam bidangnya.

Ini cerita tentang Dr. Geerat Vermeij, seorang ahli moluska, profesor di bidang Paleobiologi di Universitas California Davis (UC Davis), Amerika Serikat. Ia bukanlah seorang buta warna. Ia adalah seorang tuna netra. Ia kehilangan pandangan sejak umurnya 3 tahun.

Profesor Vermeij membuktikan bahwa ketidakmampuan untuk melihat bukanlah hambatan untuk berkarya. Dalam puluhan tahun karirnya ia mempublikasikan lebih dari 200 publikasi, termasuk 5 buku. Publikasinya tersebar di jurnal ternama, Paleobiology, Science, American Naturalist, dll.

Contoh publikasi Vermeij

Buku terbarunya, Nature an Economic History, membahas mengenai ekonomi dan evolusi. Ia membandingkan antara prinsip dasar evolusi dengan prinsip dasar ekonomi, kemudian mengorelasikannya dengan tren sejarah kehidupan dan sejarah kemanusiaan.

Profesor Vermeij adalah seorang tuna netra. Tapi itu tak mencegah ia menjadi yang terbaik di bidangnya. Tahun 2001, ia dianugerahi Medali Daniel Giraud Elliot. Penghargaan ini diberikan oleh U.S. National Academy of Sciences bagi mereka yang memberikan dampak besar di bidang zoologi atau paleontologi.

Pada tahun 2017, ia dianugerahi Fellow Medalist dari Fellows of the California Academy of Sciences. Ini adalah penghargaan tertinggi di California untuk ilmuwan yang memberikan kontribusi ilmiah di bidang ilmu alam.

Kedua penghargaan prestisius ini tentu tidak diberikan karena Dr. Vermeij adalah seorang tuna netra. Kedua penghargaan ini diberikan karena karya-karya Vermeij memang eksepsional dan memberikan dampak yang luar biasa.

Tidak mudah tapi mungkin
Perjalanan Profesor Vermeij hingga di posisinya sekarang itu sama sekali tidak mudah. Tapi ia membuktikan bahwa ia bisa. Sejak kecil ia dibimbing oleh orang tuanya untuk menyukai ilmu pengetahuan. Pada umur 10 tahun, mereka pindah ke Amerika Serikat, dan Vermeij mulai tertarik pada kerang-kerangan. Ia mulai mengoleksi kerang. Orang tua dan saudara-saudaranya sangat senang dan antusias dengan kegemarannya. Mereka membacakan, mentranskrip, dan mendiktekan setiap buku ilmu pengetahuan yang mereka bisa dapat.

Sejak kecil, ia selalu mendapat dukungan yang ia perlukan. Semua guru-gurunya menerima dengan hangat dan mendengarkan dengan antusias ketika Vermeij muda menceritakan keinginannya untuk menjadi ahli kerang atau biologi. Bidang yang sama sekali visual. Tak pernah sekalipun mereka menyatakan bahwa bidang yang ingin ia geluti ini tidak cocok dengan kondisinya. Mungkin dalam hatinya mereka berpikir bahwa tuna netra janganlah belajar biologi karena itu akan merepotkan, tapi tak pernah sekalipun pikiran-pikiran itu mereka sampaikan.

Vermeij muda kemudian diterima masuk Universitas Princeton di jurusan Biologi dan Geologi. Profesor-profesornya di sana memberikan dukungan penuh.

Selepas dari Princeton, tahun 1971 Vermeij melanjutkan studi doktoral di Yale. Ketika ia diwawancara oleh kepala departemen, ia dites. Ia diberikan dua buah cangkang dan ditanya apakah ia mengenali cangkang itu. Vermeij muda hanya tersenyum, karena dua cangkang itu sangat dikenalinya.

Kepala departemen sangat puas dengan kecerdasan Vermeij dan kemudian memberikan dukungan penuhnya. Vermeij mendapatkan beasiswa penuh dan juga diberikan dana untuk riset doktoralnya. Posisi terakhirnya adalah profesor paleontologi di UC Davis, kampus ternama di Negara bagian California, Amerika Serikat.

Yang dilakukan Vermeij sama dengan yang dilakukan geolog-geolog lainnya. Ia pergi ke lapangan. Ia mengumpulkan sampel. Ia menganalisis sampel yang dikumpulkannya di laboratorium. Ia pergi ke museum, ke perpustakaan. Ia meneliti sampel yang ada. Ia mempelajari literatur yang tersedia.

Kegiatan lapangannya pun sama seperti geolog-geolog lainnya. Ia meneliti terumbu karang. Ia berbasah-basahan di rawa mangrove, di rawa berlumpur, di pantai, di gurun, hutan hujan, di kapal, di stasiun pengamatan, dan banyak tempat lainnya.

Apakah kebutaan menjadi halangan? Tidak. Sama sekali tidak.

Vermeij mendapat bantuan ketika ia bekerja. Ada orang yang memandunya. Tapi apakah ini kemewahannya sebagai seorang peneliti yang tuna netra? Tidak juga. Penulis sendiri ketika dulu bekerja selalu ditemani oleh asisten. Franz Junghuhn di tahun 1830an ketika meneliti di Indonesia, konon ditemani lebih dari 20 asisten.

Bagi Vermeij, kebutaan bukanlah hal yang menghalangi ia untuk bekerja sama seperti peneliti lainnya. Bahkan menurut dia, tak ada hal dalam pekerjaannya yang membuat seorang tuna netra lain tak bisa melakukan apa yang dia lakukan. Ketika di lapangan, ia pernah disengat lebah, dicapit kepiting, terpeleset di batu, terkena batu tajam, dan banyak hal lainnya. Baginya, baik tuna netra, maupun mereka yang bisa melihat mempunyai risiko yang sama saja.

Pesan Vermeij
Pengalaman Vermeij bertahun-tahun sebagai ahli kerang bisa menjadi contoh bagi kita semua bahwa ketika kesempatannya ada, maka tuna netra bisa menjadi yang terbaik di bidangnya. Bahkan lebih baik dari mereka yang bisa melihat. Bahkan di bidang yang sangat visual seperti biologi, dan juga geologi.

Menurut Vermeij, pendidikan umum selama ini harus direformasi. Terlalu lama pendidikan memperlakukan tuna netra dengan tidak adil. Selama ini tuna netra selalu diarahkan menuju ilmu sosial atau jurusan-jurusan yang “aman”, jauh dari laboratorium atau jurusan yang berkegiatan di lapangan. Ini tidak adil, katanya. Kunci dari semua ini adalah kesetaraan, dan kunci kesetaraan adalah kesempatan dan respek. Selama kesempatannya tidak sama, maka tidak akan pernah ada kesetaraan.

Lantas bagaimana?
Bagi saya, yang utama adalah mendukung kesetaraan. Setiap orang harus dapat kesempatan yang sama. Sekarang bagaimana bisa semua orang dapat kesempatan yang sama jika aturan dasar masuk sekolah saja sudah sangat diskriminatif?

Maka ayolah kita sudahi perdebatan-perdebatan tidak perlu perihal penerimaan mahasiswa jurusan geologi atau jurusan lain harus begini begitu, yang aturannya malah diskriminatif dan memberatkan orang lain. Cukuplah persyaratan akademik yang menjadi batas.

Kampus janganlah mendiskriminasi orang dari kondisi fisiknya. Beri kesempatan untuk semua orang. Siapa yang tahu kalau jenius paleontologi moluska itu seorang tuna netra? Apakah ini mungkin terjadi jika dulu Princeton dan Yale menolak mahasiswa tuna netra di kampusnya?

Menurut Yayasan Mitra Netra, ada sekitar 3,5 juta orang tuna netra di Indonesia. Ini termasuk mereka yang parsial dan total. Sudah berapa banyak orang kita rebut haknya untuk belajar dengan aturan-aturan yang membelenggu itu? Bagaimana jika ada orang-orang jenius seperti Vermeij yang kita lupakan. Betapa meruginya dunia sains Indonesia.

Ketika masuk hal teknis, misal seorang tuna netra terdaftar di jurusan geologi yang banyak kegiatan lapangan. Mungkin kampus dapat meminta mahasiswa untuk menyanggupi menyediakan pemandu yang bisa mendampingi. Jangan mahasiswa ditolak ketika ia punya keinginan kuat dan kemampuan untuk mewujudkan keinginannya. Atau kita tidak akan pernah punya Vermeij-Vermeij lain di Indonesia. Yang bisa mewakili kaumnya, yang bisa menjadi inspirasi kelompoknya. Yang bisa menjadi bukti bahwa kesempatan bisa mewujudkan kesetaraan. Yang bisa menjadi bukti bahwa setiap orang, tak peduli kondisi fisiknya, bisa menjadi yang terbaik di bidang apapun.

Sumber:
https://nfb.org/images/nfb/publications/books/kernel1/kern0610.htm

Tuna netra hebat lainnya: Rumphius.

Image result for rumphius
Rumphius, salah satu botanist ternama yang meneliti Indonesia di tahun 1600an. Karyanya Herbarium Amboinense, adalah katalog tanaman di Maluku. Rumphius menulis bukunya dalam keadaan buta.

Cilanang Beds, Sebuah Sejarah Panjang Penelitian Fosil Moluska dari Bandung Barat Daya

Apa yang terlintas dalam benak anda saat dengan kata “fosil”? Mungkin hal pertama yang terpikirkan adalah fosil-fosil dinosaurus dan petualangan Jurassic Park yang menjadi sumber imajinasi anak-anak tahun 90-an. Tapi jika ditambahkan satu kata “moluska” di belakang kata fosil, maka seolah-olah kata itu kehilangan daya tariknya. “Hah apaan fosil moluska? So what?” mungkin begitu respon yang ada.

Bagi kebanyakan orang mungkin begitu, tapi tidak bagi peneliti-peneliti klasik tempo dulu yang menemukan begitu banyak informasi berharga dari fosil moluska. Catatan orang-orang yang melaporkan tempat penemuan fosil dibaca dan kemudian jejaknya ditelusuri. Mereka berusaha agar bisa melakukan suatu ekspedisi penelitian ke sana dan mengumpulkan spesimen-spesimen untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan.

Tulisan ini adalah tentang Cilanang Beds. Suatu lapisan sedimen kaya dengan fosil moluska yang masyhur di antara para paleontolog di Jawa, terutama mereka yang membaca literatur-literatur klasik. Sayangnya, meski hanya berjarak 50 kilometer dari Kota Bandung, kota yang memiliki begitu banyak lembaga penelitian geologi, tempat ini hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Padahal, ternyata tempat ini memiliki sejarah penelitian yang panjang, sejak lebih dari 150 tahun yang lalu.

Kisah panjang Cilanang bermula pada pertengahan abad ke 19, kala Franz Junghuhn, seorang naturalis berkebangsaan Jerman, melakukan perjalanan penelitiannya yang masyhur di Pulau Jawa. Junghuhn menulis 4 jilid buku tentang Jawa dengan tebal lebih dari dua ribu halaman yang dipublikasikan secara berkala dari tahun 1850 hingga 1854.

Dalam buku jilid ke 4, Junghuhn melaporkan tentang kondisi geologi dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Catatannya ini sangat mengagumkan. Deskripsinya penuh presisi dengan sketsa yang luar biasa. Ketika membacanya seolah kita tak percaya bahwa buku ini ditulis hampir dua ratus tahun yang lalu.

Salah satu catatan geologi yang dilaporkan Junghuhn adalah penemuan fosil-fosil yang lokasi penemuannya ia kelompokkan dengan kode lokasi A-Z. Salah satu lokasi yang penemuan fosilnya cukup banyak dan catatannya cukup detil adalah Lokasi O.

Tentang Lokasi O Junghuhn menulis:

“Bagian barat daya dari dataran tinggi Bandung, terutama di Distrik Rongga, di sebelah selatan dari Ngarai Ci Tarum, antara Curug Jompong dan lembah yang menerobos pegunungan memanjang antara Bandung dan Rajamandala. Bagian selatan dari tempat ini adalah suatu pegunungan yang berasal dari endapan gunung api. Dari Lio Tjitjangkang berjalan turun ke arah barat hingga Gunung Sela, kita akan temui daratan yang menjorok ke sungai, di mana kita bisa lihat lapisan lempung dan batupasir marl yang lunak dan berwarna kebiruan dengan kandungan fosil yang luar biasa baik dengan tingkat keterawetan yang sangat tinggi. Dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut, singkapan ini berada di tepian Ngarai Ci Lanang hingga ke Gunung Sela, di mana sepanjang ngarai inilah fosil-fosil bisa ditemukan.”

Terpesona oleh catatan Junghuhn, pada tahun 1857, dalam sebuah ekspedisi sains berkeliling dunia yang didanai Kerajaan Austria, Ferdinand von Hochstetter bersama timnya menyusuri kembali jalur yang dilaporkan Junghuhn. Perlu diketahui bahwa pada masa itu dunia riset di Eropa sedang giat-giatnya melakukan ekspedisi untuk mengumpulkan spesimen-spesimen fosil dari seluruh dunia. Dalam ekspedisi yang diberi nama Ekspedisi Novara ini (berdasarkan nama kapal ekspedisi), Hochstetter dan timnya mengumpulkan begitu banyak spesimen yang dikirimkan ke Vienna. (lihat Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro)

Kemudian pada tahun 1879, seorang geolog dan paleontolog berkebangsaan Jerman Johann Karl Ludwig Martin, mempublikasikan laporannya tentang hasil analisis fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Junghuhn dan oleh ekspeditor lain yang dilakukan di Jawa. Laporan ini berjudul “Die Tertiärschichten Auf Java” atau “Lapisan Tersier di Jawa”. Dalam laporan ini Martin juga menganalisis mengenai Lokasi O yang disebutkan Junghuhn. Lokasi ini cukup istimewa karena jumlah spesies yang bisa diidentifikasi sangat banyak, lebih dari 100 fosil bisa diidentifikasi dari lokasi ini.

Sedikit bocoran tentang Martin. Ia lahir di Jever, Jerman pada 1851 dan kemudian pada 1877 diangkat menjadi  profesor geologi di Universitas Leiden, Belanda. Kemudian dari tahun 1878 hingga 1922 ia menjadi direktur Museum Geologi di Leiden. Sebagai seorang saintis, penelitiannya terutama pada bidang paleontologi dan stratigrafi di Hindia Belanda, terutama di Maluku. Martin ini dianggap sebagai sesepuhnya paleontologi di Belanda.

Martin pertama kali berkunjung ke Jawa pada tahun 1910. Setahun kemudian ia mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “Vorläufiger Bericht über geologische Forschungen auf Java” atau jika diterjemahkan menjadi “Laporan Awal Mengenai Penelitian Geologi di Jawa”. Dalam publikasi ini, Martin melaporkan banyak hal menarik, seperti letusan Gunung Tangkuban Perahu pada tahun 1910. Tapi yang paling utama adalah laporannya mengenai lapisan-lapisan sedimen kaya moluska di Jawa, salah satunya di Cilanang. Bermula dari makalah inilah istilah Tjilanang Beds atau Lapisan Cilanang dikenal, yang kemudian menjadi penamaan lapisan ini.

Martin mencari tahu lokasi-lokasi mana saja yang dideksripsi oleh Junghuhn sebagai Lokasi O. Setelah mempelajari detil laporan Junghuhn dan Hochstetter, Martin mengunjungi Cilanang dan mendapati 4 lokasi penemuan fosil, yaitu; di pertemuan Ci Lanang dan Ci Tangkil, kemudian di Lembah Ci Lanang menuju Gunung Sela, kemudian di Lembah Ci Bining, dan di Lio Cicangkang. Tempat-tempat ini beberapa masih bisa dikenali hingga sekarang.

Ci Lanang adalah sungai menjadi batas dua desa di Kecamatan Gunung Halu, yaitu Desa Wargasaluyu dan Desa Tamansari. Ciburial adalah nama kampung di Desa Celak, Kecamatan Gunung Halu, juga merupakan nama sungai.

Lio Cicangkang tidak dikenali lagi, tapi ada nama daerah Cicangkang di perbatasan Kecamatan Gununghalu dan Sindangkerta. Menurut Hochstetter, Lio Cicangkang adalah tempat pembakaran kapur, dan tempat ini merupakan satu-satunya lokasi bisa ditemukan kapur di daerah ini. Dalam peta geologi lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), terdapat satuan batuan Mtjl atau anggota batugamping Formasi Cilanang di sekitar Cicangkang yang kemungkinan besar merupakan sisa-sisa Lio Cicangkang. Sementara Ci Bining tidak dikenali lagi.

Dari keempat lokasi ini Martin mengumpulkan 2563 spesimen dari 119 spesies yang berbeda. Ditemukan 104 spesies di Ci Burial, kemudian 46 spesies di Ci Lanang, dan 29 spesies di Ci Bining.

Contoh sketsa fosil-fosil yang disketsa Martin dalam buku Die Tertiarschichten auf Java (1879)

Martin melanjutkan penelitiannya tentang lapisan Tersier di Indonesia dan melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1928 melalui publikasinya “Eine Nachlese zu den Neogenen Mollusken von Java”, “Sekilas tentang Moluska berumur Neogen di Jawa”. Dalam publikasinya ini, Martin memberikan sintesis fosil-fosil yang ditemukan di Ci Lanang. Secara total terdapat 189 spesies moluska yang dikenali di Cilanang. Moluska ini berasal dari dua kelas, yaitu kelas Gastropoda (kelas siput) dan kelas Lammelibranchiata (kerang-kerangan yang memiliki dua tangkup cangkang atau bivalvia). Dari 189 spesies ini, 63 spesies masih ditemukan hidup hingga sekarang, sehingga terdapat persentase 34%. Fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Martin dapat dilihat dalam katalog di sini.

Persentase antara fosil yang masih hidup dengan jumlah fosil yang ditemukan ini digunakan Martin untuk mengklasifikasikan umur lapisan-lapisan sedimen. Untuk lapisan di Cilanang, Martin menyimpulkan lapisan ini berumur Miosen tengah atas atau sekitar 7-10 juta tahun yang lalu.

Oleh Martodjojo (1984) lapisan kaya moluska di Cilanang dikelompokkan ke dalam Formasi Cimandiri yang berumur Miosen atas. Singkapan di sepanjang aliran Ci Lanang diusulkan Martodjojo sebagai hipostratotipe dari Formasi Cimandiri.

Stratotipe adalah perwujudan alamiah satuan stratigrafi yang memberikan gambaran ciri umum dan batas-batas satuan stratigrafi. Hipostratotipe adalah tambahan bagi stratotipe. Lokasi tipe dari Formasi Cimandiri terletak di Ci Talahab, Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Pengukuran penampang stratigrafi di Ci Talahab hanya menunjukkan ketebalan 167 meter, sementara pengukuran di Ci Lanang menghasilkan ketebalan 407 meter. Lapisan yang kaya moluska memiliki ketebalan sekitar 100 meter.

Lama waktu berselang, lebih dari 100 tahun sejak publikasi Martin tahun 1911. Pada tahun 2013 di Ci Burial saya sedang menggali singkapan dengan palu geologi saya. Suatu lapisan batupasir berwarna terang yang kaya dengan kandungan fosil moluska. Bingung dan payah tak tahu bagaimana cara mengidentifikasi moluska yang ada di hadapan saya. Padahal ia telah begitu lama diidentifikasi, telah lebih seratus tahun lamanya.

Begitulah cerita tentang Cilanang. Tentang suatu lapisan penting yang mengandung cerita panjang lingkungan pengendapan purba di Pulau Jawa dan saya yang baru sekarang memahami penting dan indahnya lapisan sedimen yang pernah saya teliti.

Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro

Pada tahun 1857, angkatan laut Kerajaan Austria meluncurkan ekspedisi saintifik skala besar menjelajahi dunia dengan nama Ekspedisi Novara (1857-1859). Penelitian ini berlangsung selama 2 tahun 3 bulan, dari 30 April 1857 hingga 30 Agustus 1859. Penjelajahan ini dilakukan dengan kapal Novara di bawah komando Komodor Bernhard von Wüllerstorf-Urbair dengan 345 kru dan 7 orang saintis. Persiapan ekspedisi riset ini dilakukan oleh “Imperial Academy of Sciences in Vienna” oleh para peneliti terkemuka di bawah arahan geolog Ferdinand von Hochstetter dan zoolog Georg von Frauenfeld.

Ferdinand von Hochstetter dan laporannya

Kisah perjalanan ini dilaporkan dalam laporan “Reise der österreichischen Fregatte Novara um die Erde in den Jahren 1857, 1858, 1859 unter den befehlen des Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Narrative of the circumnavigation of the globe by the Austrian frigate Novara (Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair)”, atau kalau dalam bahasa Indonesia menjadi Kisah Naratif Perjalanan Mengarungi Bumi dengan Kapal Penjelajah Novara.

Yang menarik dari ekspedisi ini adalah perjalanannya melewati Indonesia, dan Bandung pada 1857. Hochstetter, sebagai geolog dalam tim riset ini melaporkan perjalanan mereka berkunjung ke Bandung menelusuri Ci Tarum melewati Curug Jompong, kemudian melewati Ci Lanang hingga sampai di Gunung Guha dan Sanghyang Tikoro. Catatan yang lengkapnya dalam bahasa Jerman saya coba alih bahasakan dengan bantuan Google Translate.

Bagaimana ceritanya? Silakan ikuti berikut ini:

“Pada 19 Mei kami mengarahkan tujuan kami ke timur ke Bandung untuk mengunjungi Tji Tarum (baca: Ci Tarum) . Keinginan kami adalah mengeksplorasi bentang alam indah yang dihasilkan dari interaksi sungai dan batuan dasarnya, terutama ketika Ci Tarum menerobos bebatuan hijau dan batuan porfiritik membentuk deretan air terjun, Tjuruk Kapek (entah padanannya sekarang apa), Tjuruk-Lanong (baca: Curug Lanang, sudah tidak ada sejak digenang Saguling), dan Tjuruk Djombong (baca: Curug Jompong). Dari sana kami berkuda menerobos perbukitan porfiritik menuju kerucut bebatuan Batu Susun, di tepi Gunung Bulut (Gunung Buleud?) yang terbentuk dari kolom batuan beku porfiritik.

Batu Susun Gunung Bulut. Sumber: Hochstetter

Gunung Buleud masa kini. Foto dari Instagram Desa Situwangi

Pada sore hari yang sama, kami mencapai Tjililui (baca: Cililin), ibu kota dari kabupaten Rongga, karena kekayaan bebatuannya. Yang sangat mengejutkan adalah ramahnya sambutan dari masyarakat ketika kami sampai di sana. Makanan penuh di Pesanggrahan, bahkan Wedana Cililin juga menyediakan spesimen geologi yang ia kumpul dan siapkan, kemudian berikan pada kami. Nama orang sunda yang bersemangat ini adalah Mas Djaja Bradja, Wedana Cililin.

Pada tanggal 20 Mei kami mengecek tempat di mana spesimen itu ditemukan. Di tengah hari kami menemukan tempat pembakaran kapur, Liotji Tjangkang (Lio Ci Cangkang? Ci Cangkang adalah daerah di dekat Gunung Halu), di mana koral yang telah membatu berlimpah dan dapat diamati dari kejauhan. Karenanya kami mengarahkan kompas kami ke barat laut, masuk semakin dalam ke pegunungan, di sekitaran Gonnong Gatu (Gunung Batu?). Daerah ini terkenal karena banyaknya harimau, juga karena tebalnya alang-alang. Kami menyusuri Tji Lanang (Ci Lanang) dan cabang-cabang sungainya. Pertama kami harus turun jauh menuju pertemuan Tji Burial (Ci Burial) dan Tji Tangkil (Ci Tangkil), di mana di sana ada korok trakhit. Kami mengidentifikasi fosil kerang conchylia di antara puing-puing bebatuan yang terlepas dari dinding sungai. Batuan dasarnya adalah lumpur tufan.

Kami berkuda dengan kecepatan penuh melewati gunung yang tidak banyak penduduknya. Ini karena kami harus menghindari hujan badai karena petir dan kilat sudah menyambar-nyambar. Kami beruntung tiba tepat waktu di desa kecil di kaki gunung, yaitu Desa Gunung-Alu (baca: Gunung Halu), di tepi Tji Dadass (baca: Ci Cadas), di kaki pegunungan yang menjadi batas air antara pegunungan utara dan selatan Jawa.

Pada tanggal 21 Mei, kami pergi ke Lembah Tji Lanang yang membentang di lereng terjal Gunung Sela yang terbentuk dari batupasir yang miring terjal. Lokasi ini adalah di mana petrifaksi melimpah dan di mana sisa-sisa fosil bisa diamati pada posisi fosil itu terendapkan di antara lapisan lumpur dan batupasirnya. Satu spesies fosil resin sering juga ditemukan di sini, berdampingan dengan fosil-fosil indah lainnya. Dari titik ini kami mengikuti lembah Tji-Lanang ke arah utara, dan di ujung lembah ini kami berbelok ke jalan yang jarang dilalui menuju lembah Tji-Tjamotha (baca: Ci Camota?), yaitu di batuan breksi gampingan Batu-Kakapa (?). Masih sedikit jauh dari desa perbukitan Tji-Jabang (?), di mana kemudian kami akan kembali ke sungai Tji-Tarum, di mana di titik ini Tji Tarum membentuk air terjun paling megah di Pulau Jawa, yang membelah pegunungan yang menjadi batas dataran Bandung, terbentuk dari batu hijau porfiritik, basal-trakit, dan tebing-tebing tegak kapur. Mengalir ke hilir, setelah melewati jeram-jeram yang indah, Tji Tarum kemudian menjadi sungai yang bisa dilayari, mengalir pelan melewati teras Rajamandala.

Pemandangan alam Jawa terasa sangat megah dengan deretan bukit berbatu, hutan primer yang dihantui kisah-kisah mengerikan binatang-binatang liar. Di daerah ini ada tiga titik yang sangat menarik, Tjukang-Raon (baca: Cukang Rahong), Tjuruk-Almion (baca: Curug Halimun), dan Sangjang-Holut (baca: Sanghyang Heuleut). Ketiganya menyimpan potensi menarik, yang orang-orang dapat mempelajari struktur-struktur geologinya. Ketiga titik ini terletak saling berdekatan. Untuk mencapai daerah ini, orang dapat memulai dari desa Tjijabang, di dataran perbukitan, kemudian menuruni lereng-lereng terjal dengan ketinggian 300-500 meter! Orang-orang dapat mempercayai apa yang ditulis Junghuhn pada 1854, bahwa meskipun Tjurak-Almion (Curug Halimun, air terjun kabut) adalah air terjun paling megah di Pulau Jawa, tapi tidak ada satu pun orang Eropa, kecuali dirinya yang pernah ke sana. Kami bisa membayangkan penderitaan masyarakat lokal yang membuat jalur ke sana untuk membuat akses memungkinkan. Kami menemukan jejak-jejak langkah, tangga, dan tali rotan, dan karenanya kami bisa bilang bahwa kami mengikuti jalur Junghuhn.

Pada tanggal 21 Mei, kami hanya mengunjungi Tjukang-Raon, di mana Tji-Tarum mengalir dahsyat karena dipaksa melewati celah yang lebarnya tidak lebih dari 4 meter. Di sini ada tangga bambu yang tampak rapuh dengan tali rotan tergantung di kedua sisinya, mengarah ke dinding tegak lurus dari portal batu ini.

Pada pagi hari tanggal 22 Mei, kami mengunjungi Tjuruk-Almion, air terjun terindah di Tji Tarum, di mana di sini air terjun jatuh di atas tebing batu hijau setinggi empat meter. Kemudian kami melewati rantai basal Gunung Lanang, turun sangat jauh dari ketinggian 2653 kaki ke bagian terdalam, yaitu suatu lembah jurang, Sangjang Holut, yang diduga merupakan suatu kawah purba yang sejajar dengan batuan tersier batupasir menyisakan sungai selebar 4 meter saja.

Di hari yang sama, kami sampai di desa kecil Gua, di kaki gunung bagian utara Gunung Nungnang, suatu formasi batugamping yang megah, yang sisi curamnya menjadi batas antar perbukitan batugamping dengan dataran Radjamandala yang luas ke utaranya. Gunung Nungnang memeiliki banyak rekahan-rekahan, yang dimanfaatkan oleh burung walet untuk membuat sarang. Sarang ini kemudian diambil oleh masyarakat lokal untuk diserahkan pada Bupati, sebuah pekerjaan yang sangat berbahaya.

Gunung Nungnang bei Gua – Batugamping Eosen. Sumber: Hochstetter

Pada tanggal 23 Mei, kami dengan hati-hati menjelajahi Sangjang Tjikoro, suatu bukit batugamping, di mana Tji-Tarum bercabang masuk menembus masuk ke dalam bukit. Sangat menarik dari sudut pandang geolog, karena pada titik ini kita menemukan batugamping yang sama dalam posisi horizontal membentuk struktur bukit di tepi seberang sungai ini. Dari Radjamandala kami kembali ke jalan utama ke Tjiandjur dan kemudian kembali ke Batavia.

Kegiatan membaca buku-buku lama tentang Bandung membuat saya semakin hanyut dalam kisahnya. Terutama di buku ini dibahas tentang Ci Lanang yang merupakan tempat tugas akhir saya waktu kuliah sarjana dulu. Semoga bisa menggali lebih detil lagi.

Silakan bertanya, meninggalkan komentar, atau memberi saran bacaan menarik tentang sejarah cekungan bandung, saya akan senang sekali.

 

sumber

 

Membuka Ulang Catatan Franz Junghuhn Tentang Papandayan

Ketika sedang asik main di perpustakaan TU Darmstadt, saya tak sengaja melihat koleksi luar biasa di katalog daring, sebuah buku klasik dari salah satu pionir peneliti Pulau Jawa yang paling banyak dikutip peneliti setelahnya, Franz Wilhelm Junghuhn, judulnya “Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart”, cetakan kedua, diterbitkan di Leipzig tahun 1857.

Capture

Buat yang belum tahu Junghuhn itu siapa bisa lihat tulisan saya tentang Junghuhn di sini

Buku Junghuhn memuat catatannya ketika menjelajahi Pulau Jawa, dari barat ke timur. Ia membuat catatan terperinci mengenai geografi, flora, fauna, geologi, peristiwa kebencanaan, dan banyak lainnya di Pulau Jawa. Kualitas catatannya diakui sangat baik, terutama sketsa-sketsanya yang sangat detil dan menarik.

Junghuhn membagi bukunya yang lebih dari 1000 halaman ke dalam tiga bagian besar, bagian pertama “Beitrage zur Geschichte der Vulkane von West und Mittel Java” yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Kontribusi terhadap Kisah Gunung Api di Jawa Bagian Barat dan Tengah”.

Kemudian bagian kedua “Ost-Java, in Skizzen, entworfen auf einer Reise durch die Insel zu Ende des Jahres 1844″ yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Jawa Timur dalam sketsa, didesain dalam perjalanan menyusuri Pulau Jawa pada tahun 1844”.

Dan bagian ketiga “Die Vulkane der ubrigen Inseln des Indischen Archipels ausser Java, und die Erscheinungen die mit den Vulkanen in ursachlichem Zussamenhange stehen” kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Gunungapi di luar Jawa di Kepulauan Hindia dan fenomena yang berkaitan dengan toponimi asal-usul nama gunungapi tersebut”

Karena bukunya dalam bahasa Jerman, saya sulit untuk baca dan mengerti. Saya hanya membuka-buka sekilas melihat sketsa-sketsa gambar dan daftar pustaka. Salah satu yang saya lihat adalah catatan Junghuhn tentang Papandayan yang saya kira cukup menarik untuk dibaca ulang tentu dibantu oleh Google Translate. Catatan ini berada di bagian kesatu buku,

“Pada malam hari tanggal  11 dan 12 Agustus 1772, terjadi satu-satunya erupsi yang diketahui dari gunung ini (Papandayan). Salah satu letusan terkuat yang terjadi dan mengakibatkan kekacauan di Pulau Jawa, terutama bagi mereka yang pernah berkunjung ke Jawa. Penduduk yang tinggal di lembahan di Garut berlarian kacau di tengah malam, karena melihat Puncak Gunung Papandayan yang berpijar benderang oleh nyala letusan. Pijarnya menyala terang, mengalahkan gelap malam. 

Dentuman bongkah dan gemuruh asap menjadi latar suara orang-orang yang panik berlarian. Bola api dan bongkah panas yang berpijar beterbangan di udara. Empat puluh desa di kaki Papandayan binasa, dan hampir tiga ribu orang menemui ajalnya, dikubur awan panas yang menerjangnya. 

Penduduk desa-desa yang lebih terpencil menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka bersegera melarikan diri, menghindari kehancuran oleh hujan batu berikutnya. Keesokan hari mereka menyadari dahsyatnya letusan Papandayan. Puncak Gunung Papandayan yang mereka kenal sudah tiada, hanya menyisakan celah kawah yang dalam terbuka, terbatuk-batuk hembuskan debu dan letusan yang masih tersisa. 

Pada hari yang sama dengan letusan Papandayan, dua gunungapi lainnya tak mau kalah dan terbangun juga, yaitu Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Gunung-gunung ini saling berjauhan! Entah ada hubungan apa di antara mereka?

Sejak 1843 hingga sekarang, ketika saya (Junghuhn) terakhir mengunjungi gunung ini, artinya dalam periode 71 tahun, pertumbuhan gunung telah menutupi hingga dua pertiga dari jurang kawah yang terbentuk 71 tahun sebelumnya. Endapan-endapan lontaran gunungapi seperti pasir dan abu yang menutupi lembah Garut telah ditutupi tanah, desa-desa baru bangkit kembali di kuburan yang lama.”

Picture1
Sketsa Papandayan oleh Junghuhn

Dalam laporannya, Junghuhn menuliskan tanggapannya mengenai laporan-laporan yang dibacanya untuk menuliskan kisah Papandayan. Salah satu kesimpulan Junghuhn kala itu adalah bahwa tidak ada orang Eropa yang melihat langsung kejadian letusan Papandayan. Catatan-catatan yang ada merupakan penutusan dari orang lokal sehingga banyak laporan yang tidak akurat karena keterbatasan pengetahuan bahasa Sunda bagi orang Eropa saat itu. Perlu dipahami juga bahwa pada 1772, Belanda hanya menguasai wilayah pantai, sementara di pedalaman hampir tidak ada orang Eropa.

Junghuhn juga menuliskan ulang kisah 40 orang yang selamat dari letusan Papandayan karena mereka bersembunyi di kebun pisang kecil (mungkin karena lokasi kebun pisang di dataran tinggi kata Junghuhn). juga kisah tentang dua orang Jawa yang sudah terkubur di dalam tanah tapi entah bagaimana caranya bisa menyelamatkan diri dari kematian. Secara total hampir 3000 orang meninggal dunia, sementara kerugian yaitu 40 desa lenyap, 1500 ternak, perkebunan kapas, indigo, serta kopi yang cukup luas juga hancur lebur.

Begitulah Junghuhn, ada banyak lagi yang bisa saya dapat dari buku ini jika saja saya mahir berbahasa Jerman. Membaca buku ini membuat saya semakin bersemangat untuk memperlancar bahasa Jerman saya yang terbata-bata dan tergagu-gagu.

Terima kasih Junghuhn, Der Humboldt von Java, jasamu abadi.

Junghuhn_self-portrait
Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864)