Ci Limus di Sukajadi

Dua minggu terakhir ini saya merasa rindu kampung halaman saya di Bandung, karena sekarang sudah tepat setahun saya pindah ke Braunschweig, sister-city nya Kota Bandung di Jerman. Oleh karena itu saya ingin menulis tentang kampung halaman saya, Sukajadi di Bandung.

(perhatian! Membaca ini disarankan sambil melihat peta google maps)

Saya lahir tahun 1991 dan sejak itu hingga tahun 2012 saya besar di Sukajadi. Rumah masa kecil saya terletak di tepi sungai kecil yang ada di dasar lembah Sukajadi, namanya Ci Limus. Jangan keliru dengan Cilimus yang ada di Ledeng. Juga jangan keliru ketika saya menulis Ci dengan disambung atau dipisah. Ketika disambung maka itu merujuk pada nama tempat, sementara ketika dipisah maka itu merujuk pada nama sungai.

Rumah saya tak jauh dari titik pertemuan Ci Limus dengan jalan Sukajadi, yaitu sekitar 300 meter arah utara dari titik paling selatan Jalan Sukajadi di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Jalan Sukajadi sendiri bermula di pertigaan Prof. Eyckman hingga ke pertigaan Jalan Dr. Setiabudi, tepat di depan SMPN 15, panjangnya sekitar 2.5 km. Selain menjadi nama jalan, Sukajadi juga menjadi nama kecamatan, yang meliputi lima kelurahan: Cipedes, Pasteur, Sukabungah, Sukagalih, dan Sukawarna. Rumah saya di Kelurahan Sukabungah.

Menurut T. Bachtiar, Sukajadi merujuk pada suatu cekungan. Kata „Jadi“ merupakan istilah lama untuk menyebut periuk, bentuknya cekung bahkan cenderung seperti gentong, lembahnya dalam. Sementara kata „Suka“ merujuk pada kata pada bahasa Kawi, yang berarti membuat hati merasa senang. Dari situ T. Bachtiar berinterpretasi bahwa Sukajadi merupakan suatu cekungan yang keadaan alamnya sangat indah dan membuat orang merasa nyaman menempatinya.

Jika kita memandang Jalan Sukajadi dari arah selatan ke utara, tepatnya dari pertigaan Prof. Eyckman, maka kita akan melihat satu turunan lalu kemudian tanjakan sejak mulai dari Sukagalih hingga ke PVJ. Begitu pun jika memandang dari utara ke arah selatan, tepatnya dari Polsek Sukajadi, kita akan melihat turunan, yang kemudian tanjakan di depan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dasar cekungan ini adalah Lembah Ci Limus, persis di sekitar rumah saya tinggal. Tinggian di sebelah selatan disebut Pasir Kaliki, sementara yang di sebelah utara merupakan punggungan utama yang menerus hingga ke Setiabudi. Dalam kondisi hujan besar, kita akan saksikan air mengalir mengarah ke cekungan Sukajadi.

Ci Limus berhulu di utara Jalan Cemara, di belakang Rumah Mode Jalan Dr. Setiabudi. Mulanya mengalir ke arah timur kemudian berbelok ke sebelah barat Jalan Jurang di belakang Ayam Goreng Suharti. Dari Jalan Jurang sungai ini mengalir ke selatan-barat daya, melewati Jalan Sukamaju, Pasar Sederhana, Jalan Bijaksana, hingga akhirnya berbelok ke arah barat di Jalan Sukajadi. Di sini Ci Limus dialirkan melalui terowongan yang ada di bawah Jalan Sukajadi. Tidak jauh dari terowongan ini adalah rumah saya di sebelah kanan sungai. Di sini terdapat gang Marjaban, yang merupakan tempat saya, ibu saya, kakek saya, dan nenek buyut saya, lahir dan dibesarkan.

Dari terowongan Sukajadi Ci Limus mengalir ke arah barat daya, melewati Gang Eme, Gang Asli, kemudian berbelok di kampung Cibarengkok. Di sini sungai mengalir berkelok-kelok, sehingga pantas nama kampungnya disebut Cibarengkok. Kemudian sungai berbelok ke arah selatan. Di sini terdapat jembatan Kali Ci Limus, yang mencirikan nama sungai ini. Sungai terus mengalir ke arah selatan, bertemu dengan Jalan Pasteur, kemudian mengalir di bawah jalan Pasteur ke arah timur Pemakaman Pandu. Pada akhirnya sungai ini bertemu dengan Ci Tepus di sekitar Astana Anyar.

Terkait toponimi Ci Limus, dalam kamus Jonathan Rigg, Limus adalah sejenis mangga, Mangifera foetida, yaitu jenis mangga yang asam, yang cocok untuk rujak atau asinan, mungkin dulu di tepi-tepi sungai ini banyak ditemukan buah ini. Menurut ibu saya, ketika dulu kampung saya masih sepi, tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, jengkol, pete, nangka, dan pisang.

Gang Marjaban

Sedikit cerita tentang Gang Marjaban tempat saya tinggal. Gang Marjaban adalah gang utama yang arahnya tegak lurus dengan Jalan Sukajadi. Lebarnya muat untuk dua motor saling berpapasan. Nama Marjaban diambil dari Aki Marjaban, yang merupakan bapak dari nenek buyut saya, yang namanya Ibu Sadinah. Jadi Aki Marjaban adalah kakek dari kakek saya. Menurut ibu saya, Aki Marjaban bukan orang Bandung, melainkan pendatang dari Pekalongan. Ia datang merantau ke Bandung untuk membuka lahan dan kebun, mungkin sekitar akhir abad ke-19. Bagaimana keadaan Sukajadi waktu Aki Marjaban datang?

Untuk tahu keadaan pada masa itu, kita lihat satu kampung bernama Garunggang, yang letaknya di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Nama ini juga tercantum pada beberapa peta lama untuk merujuk pada kawasan di sekitar rumah saya. Menurut T. Bachtiar dalam „Situ Garunggang Pernah Ada di Bandung“, dimuat di Harian Pikiran Rakyat pada November 2019, Garunggang bermakna tempat yang sangat sunyi, tempat yang belum ada penghuninya. Ini sesuai dengan masa ketika Aki Marjaban datang untuk membuka lahan di kampung halaman saya.

Pada peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, rumah saya berada persis di luar batas kota. Sementara itu di sekitarnya terdapat simbol-simbol yang menggambarkan keberadaan sawah, tegalan, dan kebun pisang. Dari Jalan Cipaganti ke arah barat hampir seluruhnya merupakan persawahan, mungkin hanya satu ada dua petak pemukiman saja. Maka menjadi wajar bahwa Aki Marjaban kemudian memiliki tanah yang luas dan namanya abadi menjadi nama gang, karena ia salah satu yang pertama membuka, mengolah lahan, dan menjadikannya persawahan.

Untuk tahu siapa bermukim di mana, kita bisa menganalisis nama-nama gang dan jalan di Sukajadi. Kita bisa menemukan beberapa pola. Pola pertama adalah pola nama-nama orang. Biasanya pola ini berada di sebelah barat Jalan Sukajadi sebelum Jalan Sukagalih. Pola ini misal: Gang Marjaban, Gang Masadinah, Gang H. Moch.Tabri (di Pasir Kaliki), Gang Eme, Gang Ma Inol, Gang Pa Ahya, Gang Muhammad, Gang Pa Elas (di belakang PVJ), Gang Durahman, Gang Bapa Rukanta (keduanya di Karang Tineung). Penamaan ini mencirikan orang-orang yang pertama membuka lahan di sini pertama kali.

Contoh yang saya ketahui Aki Marjaban, dia pertama datang pada akhir abad-19, kemudian meninggal di Mekah ketika pergi haji pada tahun 1922. Aki Marjaban punya tiga orang putri: Ibu Sadinah, Ibu Daimah (Ibu Emeh), dan Ibu Kalmah. Dua nama putri Aki Marjaban jadi nama gang juga. Gang Ma Sadinah ada 30 meter arah utara dari Gang Marjaban, sementara Gang Emeh ada sekitar 50 meter arah selatan dari Gang Marjaban. Jika kita telusuri makam-makam di Sukajadi dan mencari orang-orang yang meninggal paling awal, mungkin kita akan temukan nama-nama orang yang kini diabadikan menjadi nama gang ini di sana.

Pola kedua adalah yang menggunakan nama-nama “Suka”, ini terutama merujuk pada jalan utama, antara lain: Sukajadi, Sukagalih, Sukamaju, Sukabungah, Sukasari, Sukamulya, Sukahati. Saya belum menemukan referensi penamaan nama-nama ini.

Kemudian ada pola ketiga adalah pola tematik, misal jalan-jalan dengan tema sifat-sifat mulia: Setia, Bijaksana, Sabar, Makmur, Kesehatan, dll. Lalu jalan dengan tema Karang-Karang: Karang Tinggal, Karang Tineung. Pola ketiga ini adalah pola-pola pemukiman terstruktur yang dikembangkan pada zaman kolonial atau setelah kemerdekaan. Atep Kurnia menulis tentang Indische Bronbeek yang merupakan pemukiman bagi pensiunan KNIL, ini adalah rumah-rumah di Sukajadi di utara PVJ dan sekitar komplek Karang. Komplek ini dibangun sekitar tahun 1920an. Sebelum menjadi Jalan Sukajadi, jalan ini lebih dulu disebut sebagai Bronbeekweg. Atep Kurnia juga menulis bahwa pada periode Bersiap, terjadi peristiwa mengerikan, di mana 85 orang penghuni Bronbeek menjadi korban “aksi” dari Pemuda Republik.

Pola penamaan gang ini mencirikan kepemilikan lahan pada periode tersebut. Gang-gang atau nama jalan yang bernama orang, kemungkinan berasal dari tanah luas milik orang-orang yang pertama tinggal di sana. Sementara nama gang atau jalan yang bersifat tematik, mungkin berasal dari pemerintah kota atau dari perkembangan kota di masa yang lebih baru. Teramati juga bahwa pemukiman masyarakat asli kebanyakan berada di sepanjang kiri kanan sungai, mulai dari Jalan Jurang hingga ke Cibarengkok, mencirikan pentingnya sungai sebagai pendukung kehidupan.

Semakin menggali, semakin banyak hal baru yang saya ketahui dari kampung halaman saya ini. Misal ketika ibu saya kecil, kampung saya (Lembah Ci Limus) dikenal sebagai Kampung Legok. Nama Kampung Legok bahkan masih tercatat pada meteran PLN di rumah saya. Nama Kampung Legok bisa ditelusuri pada Peta Bandung Guide Map Edisi Keempat berskala 1:10.000 yang terbit tahun 1946. Jalan Sukajadi masih disebut Bronbeekweg. Antara pertigaan Prof. Eyckman sampai ke jalan Sukagalih disebut Kampung Legok. Legok dalam bahasa Sunda berarti lubang, atau bisa juga berarti cekungan yang dalam, senada dengan pendapat T. Bachtiar mengenai sukajadi yang mirip periuk atau gentong.

Selain pada peta tahun 1921, ada beberapa pendapat mengenai nama sungai di Sukajadi. Toponimi Ci Limus sebagai nama sungai muncul pada Peta Kota Bandung berskala 1:15.000 yang terbit pada tahun 1953. Pada peta ini, sungai di kampung halaman saya dinamai Leuwilimus. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti lubuk, yaitu merujuk pada sungai yang punya lembah yang dalam. Dan sungai di belakang rumah saya punya karakteristik yang demikian.

Rumah saya berada tepat di kanan Ci Limus (untuk mengetahui kiri dan kanan sungai dengan cara kita berdiri searah dengan aliran sungai), di tepi lereng, hanya beberapa rumah saja dari tepi jalan. Susukan ini sejak saya kecil sudah diturap, ditembok sehingga menyisakan dinding-dinding yang terjal setinggi 4 meter dengan kali yang mungkin lebarnya 4-5 meter. Menurut ibu saya pembetonan dilakukan ketika ibu saya masih sekolah SD (beliau kelahiran 1964), mungkin terjadi sekitar pertengahan tahun 1970an. Pembetonan dilakukan dari hilir sampai ke hulu, dari Pasteur sampai ke Jalan Jurang.

Masih menurut ibu saya, ketika dia masih muda di tahun 1980an, seorang anak kecil warga Jalan Jurang meninggal karena hanyut masuk ke aliran sungai ketika hujan deras. Dugaan saya bahwa sungai ini memang sejak dulu punya lembah yang dalam, sehingga mungkin Jalan Jurang dinamai demikian karena menggambarkan kondisi alamnya yang berjurang (karena ada lembah sungai yang terjal). Perhatikan juga nama kawasan yang diberi nama Jalan Jurang (terusan Jalan Sederhana) itu sebelumnya dikenal sebagai nama Lamping (kini nama Jalan di belakang Kantor Pos Cipaganti). Lamping bermakna lereng.

Saya menduga perkampungan di Jalan Jurang juga sama tuanya dengan perkampungan di Gang Marjaban, karena pola penamaannya mengikuti nama-nama orang: Gang Pa Ehom, Gang Aki Nari, Gang Mama Pura, Gang Bapa Adma, Gang Arpat, Gang Mama Uwar, dst.

Nama Ci Limus ini tidak selalu sama pada setiap lembar peta yang dipublikasikan, beberapa nama mungkin keliru karena kekurangakuratan pemetanya. Pada Peta Kota Bandung tahun 1928 berskala 1:10.000, sungai ini dinamai Ci Kakak. Ini sama dengan pada Peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, sungai ini merupakan sungai yang bermuara ke Ci Kakak. Ci Kakak sendiri muaranya berada di selatan Pemakaman Astana Anyar, di sebelah barat Lapangan Tegallega. Selain itu ada juga toponimi Ci Kalintu yang muncul dari Kaart van de gemeente Bandoeng Schaal 1:10.000 yang terbit tahun 1938. Cikalintu dikenal dalam sejarah Kota Bandung sebagai tempat tinggal Bupati pertama Bandung R.A. Wiranatakusumah II ketika mencari tempat untuk ibukota Bandung dari sebelumnya di Krapyak, Dayeuh Kolot. Ada yang menyebut bahwa Cikalintu berada di sekitar Jalan Jurang. Google maps menggunakan nama Cikalintu untuk menyebut Ci Limus.

Ci Limus pada masa sekarang

Ci Limus kini merupakan sungai yang merana. Tubuhnya telah habis dibeton, hingga tinggal menyisakan tebing yang tegak dan aliran air di bawahnya. Hampir di semua tempat badan sungainya dipunggungi, kecuali di sekitar Cibarengkok, di mana sungai bersebelahan dengan badan gang.

Karena merupakan pemukiman masyarakat yang berkembang secara organik, maka sejak awal hampir semua orang memenuhi kebutuhannya sendiri: air mengebor sendiri, limbah membuang sendiri. Sepanjang sungai akan terlihat pipa-pipa buangan rumah tangga.

Baru beberapa tahun belakangan ada program-program Pamsimas, yang meliputi air bersih dan juga sanitasi. Saya memperhatikan program-program kebersihan juga sering dilaksanakan oleh Kelurahan, baik pembersihan saluran, perawatan tanggul dan turap, serta penyebaran informasi perlindungan sungai. Ini sangat penting jika kita ingin menganggap sungai sebagai denyut nadi masyarakat urban.

Kita harus menyadari bahwa air mempunyai aturannya tersendiri. Ia selalu mencari elevasi yang paling rendah. Sungai adalah titik-titik elevasi terendah pada setiap relief. Sungai tidak bisa dimodifikasi sembarangan, misal ditutup, dibelokkan, dibendung, atau diubah peruntukannya, karena itu bisa mengubah begitu banyak hal dan memengaruhi begitu banyak orang yang tinggal di sepanjang alirannya.

Setiap kali hujan deras, jalanan dipenuhi air. Jalan seolah menjadi sungai, mencirikan tidak ada lagi jalur air untuk mengalir Ditambah lagi dengan sungai-sungai yang ditutup, baik oleh pemukiman, oleh jalan, oleh parkiran, dan lain-lain. Jika kita gunakan kata kunci „Banjir Sukajadi“, maka kita akan temukan sangat banyak kejadian banjir yang seharusnya tidak terjadi, jika saluran drainase kita terjaga.

Sungai harus kita muliakan, ia melindungi kita, ia sudah menyediakan begitu banyak untuk manusia, sejak era Aki Marjaban hingga sekarang. Mari kita jaga!

Petualangan Pertama Junghuhn di Jawa

Junghuhn pertama tiba di Jawa pada bulan Oktober tahun 1835. Bulan-bulan pertamanya dihabiskan di Weltevreden (kini Menteng) sebagai petugas kesehatan di rumah sakit pemerintah kolonial. Di waktu-waktu itu dia tidak banyak berjalan-jalan, hanya ke sekitar Weltevreden dan Batavia. Pertama kali Junghuhn benar-benar bepergian untuk berwisata adalah pada bulan Mei tahun 1836, ketika ia dipindahtugaskan ke Jogja.

Cerita ini adalah kisah Junghuhn berpetualangang ke Gunung Kidul, tepatnya ke Gua Rongkop. Ceritanya ditulis oleh Wormser pada buku Frans Junghuhn (1840), yang berbahasa Belanda. Cerita ini saya terjemahkan bebas dengan sedikit modifikasi. Saya menggunakan kata ganti orang pertama untuk merujuk Junghuhn. Sebelumnya Wormser menggunakan kata ganti orang ketiga.

Cerita ini menarik karena Junghuhn membuat lukisan Gua Rongkop yang dimuat dalam Elf Landschaft- Ansichten von Java (1853). Selain Gua Rongkop, Junghuhn juga melukis Gunung Sewu dan Gunung Gamping dan masih banyak lukisan lainnya dalam periode waktunya di Jogja. Gambarnya digunakan sebagai feature image dari artikel ini. Untuk memperjelas deskripsi teks, disarankan sambil melihat lukisannya.

Berikut ceritanya:

Aku bertugas di Jogja sebagai petugas kesehatan kelas mulai dari 3 Maret 1836 hingga Oktober 1836, tidak lama, hanya 7 bulan saja. Dua bulan pertama itu sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa banyak menjelajah. Baru setelah dua bulan aku mengambil cuti seminggu untuk pergi ke Pegunungan Selatan. Sepulang dari Pegunungan Selatan aku dipaksa untuk terus bekerja lagi selama 3 bulan, sampai akhirnya pada 5 September aku bisa pergi lagi untuk melakukan penjelajahan gunungapi. Pendakian pertamaku di Jawa, ke Gunung Merapi.

Di sela-sela waktuku bekerja, aku hanya bisa sesekali pergi di sekitar kota. Aku berjalan-jalan mengunjungi Keraton dan Tamansari. Istana yang banyak berupa reruntuhan ini mengingatkanku pada reruntuhan Istana Mansfeld di kampung halamanku, tempat aku menghabiskan begitu banyak waktu di masa kecilku. Ada bentuk-bentuk yang menarik perhatianku, juga candi-candi yang aku kunjungi, seperti Prambanan, Kalasan, Candi Sari, Candi Sewu. Aku juga banyak melihat peninggalan-peninggalan Hindu. Batuan-batuan disusun terundak dan membentuk gerbang, batuannya adalah trakhit. Aku mendeskripsi begitu banyak vegetasi, menangkap serangga, mengumpulkan specimen-spesimen sebanyak yang aku bisa.

Sketsa Junghuhn di Yogya, dimuat dalam buku: Topographischer und naturwissenschaftlicher Atlas zur Reise Durch Java (1845)

Pada bulan Mei aku mengambil cuti dan mengajak dua orang pembantuku, yang sudah aku ajari cara menangkap serangga dan mengeringkan tanaman, untuk pergi ke Pegunungan Selatan, menuju gua tempat sarang burung dipanen. Aku ditolong oleh Perdana Menteri-nya Sultan, yang bergelar Raden Adipati, karena dia memberiku surat pengantar untuk diberikan kepada kepala desa – kepala desa. Karena ada surat ini, maka pengalamanku pergi ke Pegunungan Selatan menjadi sangat mudah dan menyenangkan, ini juga mencirikan betapa kekuasaan kolonial telah menembus dalam sampai ke pelosok negeri.

Sesampainya aku di desa, banyak orang yang sudah siap untuk ikut dalam rombongan dengan dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang disebut Demang atau Ronggo. Ketika aku masuk ke dalam rumah, tuan rumah menyambutku dengan hangat, sambil membungkuk berulang kali dengan penuh hormat. Pembantu lelaki sibuk menggelar tikar, baik di balai-balai, di gubuk bambu, dan juga di lantai tanah, di depan rumah. Aku duduk di bangku, sementara para penduduk desa duduk bersila di bawahku, sambil menempelkan kedua tangan di depan dadanya, membuat pose sembah, kemudian mengangkatnya ke depan hidungnya, sambil membungkuk. Lalu dia memandang ke depan, menunggu surat dari Sultan untuk dibacakan.

Anggota keluarga lelaki duduk di belakang kepala desa. Sementara itu bocah-bocah memanjat pohon kelapa di halaman. Mereka mencengkeram pohonnya dengan tangan mereka yang kuat, dengan jari-jari mereka ada di antara lekuk-lekuk batang kelapa. Ketika mereka sampai di atas pohon, mereka mengeluarkan golok mereka dari pinggang dan memotong buahnya hingga buah itu jatuh ke bawah. Di bawah orang-orang mengambilnya, membelah bagian atas, kemudian mencongkel bagian yang tipis untuk membuka kelapa itu dengan ujung goloknya yang tajam. Tak lama pelayan dari dapur datang sambil menawarkan kelapa sebagai minuman segar untukku. Kelapa dipegang di atas tangan kanan, sementara tangan kirinya membantu menopang tangan kanan. Aku mengambil kelapa itu dan meninumnya, kepala desa tertawa. Aku merasa minuman itu sangat menyegarkan, seolah-olah aku minum dari mata air yang hidup.

Di desa-desa lain, kedatanganku sudah diumumkan oleh tim pendahulu, maka mereka sudah menyiapkan sambutan. Dari kejauhan terdengar riuh melodi gamelan, membuatku tahu bahwa desa sudah dekat ketika kami masih di hutan. Meja-meja disusun dengan rapi, isinya penuh dengan makanan: nasi, ayam panggang, telur, kopi dan buah-buahan. Kemudian gadis-gadis penari dengan bajunya yang berwarna-warni dan perhiasan yang bergemerincing, mereka sudah siap bergerak seketika perintah diberikan. Ke manapun aku pergi aku selalu ditemani oleh kepala desa, yang berkendara bersamaku dengan kuda. Ia menyiapkan semua jalan untukku. Dari sana aku menjadi tahu tentang keramahan dan kebaikan orang Jawa.

Gunung Sewu dalam Elf Landschaft-Ansichten von Java (1853)

Setelah beberapa hari berkendara naik kuda dan berjalan kaki dari desa ke desa, melewati bukit-bukit yang rapat, dataran, padang alang-alang yang tinggi dan tajam, aku akhirnya tiba di Pantai Selatan Jawa. Samudera Hindia terbentang di hadapanku seolah tak berujung, seperti hamparan mahaluas yang terbentang hingga ke Kutub Selatan. Dari tinggian, daratan menurun perlahan ke arah selatan, tertutupi oleh pohon-pohon Jati muda (Tectonia grandis), yang bunga kecilnya berwangi manis, seolah melembutkan udara. Di antara batang—batang jati terdapat semak rumput yang tinggi, sangat tinggi, hingga seringkali kuda dan penunggangnnya seolah hilang di antara jalan setapak yang seperti bergelombang disapu angin. Jalan setapak ini diketahui juga merupakan jalur jelajah Harimau, yang seringkali bersembunyi memburu mangsa. Tak hanya sekali kuda-kuda mendengus seolah insting bertahan hidupnya merasa terancam.

Di lembah yang sempit terdapat sawah yang hijau, dan di sana pondok-pondok kecil tersebar di antara teras sungai dan tersembunyi di balik semak-semak bambu yang rapat. Terlihat dari tidak adanya pohon kelapa atau kebun pisang, maka bisa diduga bahwa pemukiman ini belum begitu lama didirikan. Menuju malam kami tiba di Dusun Kebo Koening, yang terdiri atas empat buah rumah, yang dibangun di lereng. D sepanjang teras sungai kecil tumbuh semak Cassia alata yang seolah bersinar kehijauan di atas batupasir berwarna putih yang berselang-seling dengan massa batuan volkanik. Aku berusaha untuk mendeskripsi setiap tempat yang aku datangi dengan seksama, sebagaimana seorang pengelana yang melihat sesuatu untuk kali pertama.

Aku bermalam di salah satu pondok dan membakar api unggun yang besar tak jauh dari pondok untuk mengusir nyamuk-nyamuk, dan terutama agar tidak memancing si Raja Hutan, yang menurut penduduk desa seringkali datang mencari mangsa.

Waktu embun pagi masih menggantung di dedaunan, kami sudah melanjutkan perjalanan. Aku senang menemukan jamur, yang di sini hidup tidak tergantung pada musim, apalagi di pegunungan, karena tingginya curah hujan, bahkan saat musim munson timur sekalipun.

Aku melanjutkan perjalanan di pesisir pantai dan perbukitan Gunung Sewu, yang letaknya di sebelah tenggara dari Jogja. Waktu itu aku belum familiar denga bahasa Melayu, sehingga aku menyebutnya sebagai Gunung Sebu. Aku serasa berada di surga.

Puluhan sapi merumput di kaki bukit. Mereka dikalungi lonceng kayu berbentuk kotak di lehernya. Suara gemeretak lonceng mengingatkanku pada melodi hutan di Pegunungan Harz. Aku menduga bahwa lonceng-lonceng ini dipakai untuk menakuti harimau. Belakangan aku tahu bahwa itu keliru, karena di mana-mana di seluruh Jawa kerbau dan sapi dipasangi lonceng, bahkan di tempat yang tak ada harimau sekalipun. Tujuan dari lonceng ini adalah untuk si penggembala, agar dia tahu di mana gembalanya berada. Seringkali si penggembala ini main-main mencari jangkrik, atau ketiduran, sehingga kehilangan jejak hewan gembalaannya.

Oh betapa aku ingin menggambarkan keindahan perbukitan sunyi dan sepi, yang ada di tempat terpencil di bumi. Ketika itu keindahannya tak berbanding. Tentu saja, ini adalah perjalanan berwisataku yang pertama. Aku belum melihat begitu banyak tempat indah lain di Jawa seperti Ijen atau Priangan. Tapi Gunung Sewu adalah pemandangan yang menakjubkan. Ada ratusan atau ribuan bukit, yang tingginya seratus hingga dua ratus kaki. Bukit-bukit ini terpisah oleh lembah-lembah sempit yang seperti labirin. Bukit-bukit ini serupa satu sama lain, seluruhnya diselimuti hutan yang rapat oleh berbagai macam tanaman. Pada lembah-lembah yang cukup lebar, hutan akasia seolah memamerkan tajuknya yang renggang, membuatku seperti menatap birunya langit dari anyaman yang halus. Di hutan yang begitu padat, daun pisang yang lebar dan datar seolah bersinar. Keheningan yang syahdu kadang dipecahkan oleh kikuk burung merpati atau kokok ayam hutan. Itulah yang aku rasakan ketika menerobos Gunung Sewu untuk menuju gua sarang burung di Rangkop, pantai di tepi Samudera Hindia.

Tak jauh dari pantai terdapat rawa-rawa kecil, di sana capung dan bermacam-macam serangga berbunyi nyaring pada rawa yang berlumpur. Tak jauh terdapat sebuah lubang besar antara dua dinding yang terjal. Bagian atas penuh diselimuti semak, yang menggantung seperti mau jatuh. Di bawahnya terdapat celah sempit yang mengerikan. Orang lokal menyebutnya sebagai Liang dan aku menuruninya dan tiba di satu dataran kecil yang dikepung oleh perbukitan dan memandang ke arah lautan tak berbatas, dengan sedikit terhalang pohon-pohon palem yang sangat rapat.

Ada satu rumah kayu di sana. Rumah itu kosong tak berpenghuni, setidaknya penghuni yang hidup. Menurut warga, penghuninya adalah Nyai Rangkop, roh gaib yang berkuasa atas Gua Rangkop. Pada malam hari dia konon suka bertetirah di sini, sesuka hatinya. Rumah ini dirawat oleh warga lokal. Ada balai untuk Nyai Rangkop duduk, ada sarung dan kebaya digantung di dinding untuk dipersembahkan kepadanya. Aku berjalan melewati rumah ini dan sampai di ujung dari Batu Rangkop, tebing batu tegak yang dalamnya mencapai 80 kaki hingga permukaan laut. Di bawahnya deburan ombak terlihat kentara, meskipun dasar batuannya tak tampak karena bagian bawahnya menjorok ke dalam. Di seberangnya ada batuan berwarna abu kehitaman yang hancur-hancur diselimuti semak, yang seperti karpet. Di antara celh, orang Jawa melintangkan kayu, yang kemudian ke kayu itu dikaitkan tangga bambu yang disambungkan dengan rotan. Tangga ini menggantung 30 kaki di atas permukaan laut. Orang Jawa menuruni tangga ini untuk mencapai Gua Rangkop, yang di sana terdapat sarang burung yang bisa dimakan.

Aku bertemu dengan seorang Belanda yang sudah tua. Dia tinggal di desa ini dan menjadi satu-satunya orang Eropa di antara mereka. Dia bertanggung jawab untuk mensupervisi pemanenan sarang burung. Orang ini memanggil pemanen dan menyuruh mereka untuk menunjukkan cara memanen kepada tamu yang datang ke sana, apalagi yang mendapat rekomendasi dari Sultan Yogya. Aku dan rombonganku duduk di tepi tebing di sisi timur Rangkop, di mana aku bisa melihat gua tempat sarang burung ini dengan begitu jelas. Pintu masuk gua itu ada 20 kaki di atas permukaan laut. Pada ketinggian itu ada anyaman rotan yang berfungsi sebagai pijakan. Pemanen sarang menginjak pinjakan di dinding Rangkop dan dengan perlahan menuruni tangga. Mereka berhenti sekali-sekali tapi tidak lama. Mereka juga menunggu saat yang tepat untuk bisa masuk ke dalam gua, karena ombak terus bergemuruh. Ombak datang menghantam dan masuk ke dalam gua, bergemuruh seperti petir. Beberapa saat berlalu, akhirnya ombak mundur cukup jauh ke laut dan warna merah bebatuan kini tersingkap lagi, hingga kmudian ombak menghantam lagi dengan suara yang nyaring, juga dengan uap yang memenuhi udara seperti asap.

Ratusan burung wallet juga bergerak mengikuti irama ombak. Mereka masuk dan keluar seolah-olah mengikuti saat ombak mengizinkan mereka. Setelah duduk di anyaman sekian lama, orang Jawa mengikat tali rotan di pinggang kawannya. Orang yang diikat kemudian meloncat ke laut dan berenang menuju gua di saat ombak tinggi. Tak lama kemudian ketika ombak mereda ia Kembali. Penjaga bilang bahwa sebelum musim panen di Januari, Mei, dan Agustus, oran yang sama masuk ke dalam gua, juga dengan cara yang sama, dan kemudan memperbaiki anyaman rotan di dalam gua. Merayap di tali rotan, teman-temannya datang membawakannya tangga, yang akan dipasang sepanjang 70 kaki ke dalam gua hingga mereka bisa sampai di sarang wallet. Sebelum mereka bekerja, mereka minum candu, agar mereka jadi berani dan tidak meragu.

Amarah lautan dan gemuruh di gua adalah ulah Nyai Rangkop. Untuk itu maka sesajian diberikan untuk menghormati Nyai Rongkop. Sebagian di rumahnya, sebagian lagi di ujung batas jurang. Seorang tetua akan berlutut di dekat meja persembahan sambil berteriak, „roh telah tiba!” Mereka kemudian duduk dengan kepala menunduk sampai si tetua mengizinkan mereka untuk menegakkan kepala. Ketika selesai, maka mereka dipersilakan untuk memakan sesajian. Makanannya tidak berkurang secara jumlah, tapi rasanyan hilang, karena arwah gaib telah menyerap seluruh saripati dari makanan tersebut. Roh itu sangat dihormati di seluruh desa, bahkan pada pesta pernikahan, tarian pertama para penari harus dipersembahkan kepada Nyai Rangkop.

Sketsa Junghuhn menggambarkan bagaimana ekstrimnya proses mencari sarang burung walet di Gua Rongkop. Sumber. Franz Junghuhn: Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart. Jilid 1. Hal. 469

Pertempuran Malam Para Pemangsa

Pada April 1846, Junghuhn yang sudah menjadi anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indie ditugaskan untuk menginvestigasi kondisi geologi Pulau Jawa, terutama untuk mencari sumber daya batubara. Investigasi ini berlangsung selama 2 tahun, hingga sebelum kepulangan Junghuhn ke Eropa pada tahun 1848. Dia memulai investigasinya dari bagian paling barat Karesidenan Banten, menyusuri pesisir hingga akhirnya tiba di pantai selatan. Di pesisir selatan ini dia mengalami kejadian yang begitu berkesan di hatinya, hingga ia menuliskan begitu rinci mengenai kejadian tersebut dalam buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (selanjutnya disebut buku Cahaya).

Kejadian apakah itu?

Junghuhn menulis dalam buku Java jilid 1 (halaman 193) bahwa kejadian itu terjadi pada tanggal 14 Mei 1846, di sebuah semenanjung kecil yang begitu terpencil jauh di pantai selatan Banten, bernama Tanjung Sodong. Di sini ia menyaksikan kejadian brutal, yaitu peristiwa pertempuran para pemangsa untuk memperebutkan penyu. Yang bertempur di sini adalah anjing hutan, buaya, dan sang raja di hutan Jawa, harimau.

Ada dua versi dari cerita ini. Versi pendek dimuat dalam buku Java, sementara versi lebih lengkap dimuat dalam buku Cahaya. Versi cerita dalam buku Cahaya menurut Nieuwenhuys dalam buku Java’s Onuitputtelijke Natuur (hal.94) adalah salah satu tulisan Junghuhn paling indah dalam semua karyanya. Bahkan ketika buku Cahaya pertama terbit tahun 1854, cerita “Pertempuran Para Pemangsa” sudah menarik perhatian khalayak ramai. Filsuf terkenal Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860), juga mengapresiasi dan memuji cerita ini. Nieuweunhuys mengutip pujiannya sebagai berikut:

Objektivierung Wille zur Macht, Perwujudan Keinginan untuk Berkuasa/Bertindak”

Posisi Tanjung Sodong ditunjukkan oleh Junghuhn dalam peta Java skala 1:350.000, yaitu pada lembar pertama, lembar Jawa bagian barat. Jika kita telusuri letaknya berada di sekitar koordinat: 6°52’15″Lintang Selatan dan 105°32’09” Bujur Timur, sudah termasuk di dalam Taman Nasional Ujung Kulon. Dalam petanya, Junghuhn memberi nama lokasi ini: Reuzenschildpadden, yang dalam bahasa berarti Kura-Kura Raksasa atau Penyu.

Dalam citra google Earth, jika kita telusuri lokasinya, maka kita akan menemukan satu tanjung yang begitu lebat ditutupi hutan dataran rendah. Kita bisa lihat hamparan pasir yang memanjang beserta sungai kecil yang bermuara ke sisi timur teluk, selain muara sungai yang lebih besar (Tjimokla) di tengah-tengahnya.

Saya berkesempatan untuk menerjemahkan buku Cahaya karya Junghuhn. Dalam tulisan ini saya melampirkan terjemahan mengenai bagian Pertempuran Para Pemangsa di Tanjung Sodong. Selamat membaca!

Terjemahan:

Kami berjalan menyusuri pantai sepanjang hari. Sementara aku sibuk menggambar pantai, saudara MALAM mengumpulkan benda-benda baru atau langka yang kami temui. Selama perjalanan ini, kami hanya menemui satu desa kecil tempat kami berhenti untuk makan siang, lalu melanjutkan perjalanan hingga sekitar pukul 4 sore karena kami kelelahan dan harus berhenti untuk mencari tempat berkemah yang nyaman, dengan air mengalir di dekatnya. Sekitar setengah hari perjalanan lebih jauh ke arah barat dari sini, harusnya ada desa besar di pantai yang ingin kami capai besok pagi untuk kemudian berbelok ke arah utara menuju dataran tinggi pulau tersebut.

Kami memilih sisi timur tanjung yang menjorok ke laut, yaitu Tandjung Sodong, sebagai tempat berkemah malam kami. Di sana terdapat aliran sungai sebening kristal yang mengalir ke laut. Daerah tersebut sangat liar, hutan hujan yang lebat menurun dari pegunungan hingga ke laut, bahkan daunnya menyentuh air dengan cabang-cabang yang menjulur sehingga hanya sedikit area berpasir di beberapa tempat, terutama di bagian belakang teluk-teluk kecil, yang tidak ditumbuhi hutan. Sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia yang dapat ditemukan.

Kami dengan cepat menyiapkan bivak yang diperlukan; pembantu kami beserta para kuli memotong cabang pohon, membangun pondok, menyalakan api, sementara aku pergi ke barat diikuti oleh saudara MALAM dan dua orang Jawa untuk mengeksplorasi kondisi sekitar. Tanjung atau ujung daratan (Tandjung, bahasa Melayu Udjung) terbukti sebagai ujung dari lereng yang turun dari pegunungan, sebagai tonjolan bukit yang mungkin sekitar 15 hingga 25 kaki lebih tinggi dari garis pantai di teluk-teluk yang berdekatan. Banyak tonjolan yang lebih atau kurang tinggi di daerah ini, menjorok ke laut antara teluk-teluk kecil yang lebih datar, semuanya ditutupi oleh hutan yang tebal.

Setelah kami melewati tanjung tersebut dan keluar dari hutan, kami disajikan dengan pemandangan yang menarik. Kami melihat antara tanjung ini dan tanjung berikutnya adalah pantai berbentuk melengkung seperti bulan separuh yang datar dan perlahan-lahan naik dari laut hingga sekitar 500 hingga 700 kaki dari laut dan berakhir di bukit pasir, kemudian segera memasuki hutan yang membentang terus hingga ke pegunungan. Pantai pasir datar ini, pantai teluknya, mungkin panjangnya 3/4 jam berjalan.

Di udara, burung pemangsa (burung elang atau jenis Haliaetus) melayang-layang membentuk lingkaran, sementara di pantai terdapat ratusan tulang dan cangkang kura-kura yang sangat besar, sebagian telah memutih, sebagian lainnya berwarna gelap, seperti terhampar di medan perang. Pemandangan itu sangatlah sunyi.

Terkejut dan penuh rasa ingin tahu, kami turun dari tanjung dan berjalan di pantai yang gundul di antara rangka-rangka. Segera, kami melihat banyak jejak yang jelas tercetak, dari harimau dan hewan-hewan kecil, terutama di dekat laut, di mana pasir, karena kelembapannya, memiliki kehalusan dan kekuatan yang lebih baik. Di sisi yang lebih ke kanan, di mana pantai secara lembut dan seragam condong ke bukit, pasir menjadi lebih longgar dan kering. Di sini, di banyak tempat, pasirnya bolak-balik dengan sangat tidak merata. Terkadang menggumpal, terkadang tenggelam dalam alur, menciptakan kesan bahwa berbagai hewan telah bergulat dengan sengit satu sama lain.

Seluruh wilayah pantai tertutupi tulang dan cangkang penyu, dan sejauh mata kami memandang, kami bisa menghitung puluhan cangkang penyu utuh, yang pasti berjumlah lebih dari seratus di seluruh pantai. Sebagian besar dari cangkang ditemukan di bagian dalam pantai, di dasar bukit, dan yang paling menonjol adalah semua cangkang tersebut terbalik. Ini adalah cangkang penyu laut (Chelonia mydas, jarang Ch. imbricata) dengan panjang berkisar dari 3 hingga 5 kaki, tergantung pada tinggi dan lebar yang sesuai.

Beberapa dari rangka sudah lama berada di sana. Warnanya sudah memudar dan mulus karena terpapar matahari dan hujan. Lainnya memiliki warna yang lebih gelap dan masih memiliki potongan daging kering yang menempel di bagian dalamnya. Bahkan beberapa di antaranya masih segar, berbaring dengan cangkangnya terbelah terbuka dan isi perutnya yang busuk berserakan di sekitarnya. Di beberapa tempat, kami melihat alur panjang dan lurus. Lebarnya sekitar 3-4 kaki, terdiri dari dua parit sisi, di tengahnya seakan-akan tubuh berat telah ditarik melintasi pasir. Tanda atau jejak-jejak ini dimulai di tepi pantai dan berjalan lurus melalui rangka-rangka hingga ke dasar bukit. Dua orang Jawa yang bersama kami tampaknya mengenali fenomena tersebut karena mereka telah mengikuti salah satu jejak itu, dan dari bukit tempat kami melihat mereka menggali di sekitar pasir, mereka bersorak dengan bahagia: “Tampat telor telor!” (sarang telur!)

Bukit-bukit tersebut adalah bukit pasir sejati yang langsung beralaskan dasar gunung. Pasir yang kering dan berwarna terang dihiasi di beberapa tempat oleh belukar panjang Daon katang (jenis Convolvolus) yang panjang serta bunga besar berwarna merah-ungu yang dibawa oleh belukar ini di batang tipisnya. Di tempat lain, pasirnya kosong atau hanya ditutupi oleh rumput merambat berduri, Djukut lari lari (Spinifex squarrosus).

Dari puncak bukit pasir tersebut, selain pohon-pohon kecil seperti Babak goan (Tournefortia argentea) dan yang lainnya, kita bisa melihat berbagai semak daun pandan yang paling subur. Di dasar bukit pasir ini, kami menemukan satu tempat (sarang) di mana, hanya dalam kedalaman pasir yang tipis, ada lebih dari seratus butir telur bundar berwarna putih kekuningan yang sebesar apel kecil dan memiliki cangkang yang lembut dan seperti kulit kertas. Jadi, jejak panjang tadi adalah jejak penyu raksasa yang, setelah naik dari dasar laut, merangkak di pantai sejauh 500 hingga 700 kaki untuk meletakkan telur di dasar bukit pasir dan meninggalkan penetasan telur pada sinar matahari yang hangat?! Dan selama perjalanan darat singkat ini yang mungkin mereka lakukan hanya beberapa kali setahun, mereka diserang oleh hewan buas?

Kami memutuskan untuk bersembunyi sambil mengintai malam itu, mengambil sebanyak mungkin telur yang bisa kami temukan, dan kembali ke bivak. Hutan pantai yang tumbuh di tanjung itu memiliki wajah yang sangat berbeda dari semak belukar di bukit pasir dan terdiri hampir hanya dari pohon Kibunaga (Calophyllum inophyllum), yang daunnya berwarna hijau cerah dan berkilau menyatu membentuk sebuah atap teduh yang melengkung 30 sampai 40 kaki di atas tanah. Ribuan bunga putih yang menghiasi daun yang indah ini menyebarkan aroma yang menyenangkan di sekitarnya.

Banyak batang tua bercabang-cabang tinggi yang panjangnya menjulur jauh ke semua arah dan dengan daunnya sering menunduk hingga ke tanah. Di atas cabang-cabang horizontal seperti itu, orang-orang Jawa telah membangun tempat tidur mereka dan tempat tidur kami sekitar 7 hingga 8 kaki di atas tanah. Mereka memotong cabang-cabang, meletakkannya mendatar di atas cabang utama, satu di samping yang lain, dan menutupnya dengan ranting dan daun. Di bawah pohon, di antara batang-batang, api menyala.

Beberapa dari pembantu kami telah melihat buaya. Buaya (Crocodilus biporcatus) di muara sungai yang, seperti yang dikenal, cenderung merayap ke tepi malam hari dan karena kulit mereka yang keras, lebih berbahaya daripada harimau. Kami memutuskan untuk mendirikan tempat perlindungan agak tinggi dari tanah pada salah satu pohon Kibunaga yang berada di tepi hutan dekat dengan hamparan tulang-belulang, dan kami memanjatnya sekitar pukul 6 sore bersama dengan tiga orang Jawa, setelah telur penyu yang lezat menjadi bagian utama dari makan malam kami. – Orang Jawa yang lain telah diperintahkan, segera setelah mereka mendengar tembakan, untuk segera datang kepada kami dengan membawa obor.

Kami menunggu. Sore mulai tiba. Kami pertama-tama melihat seekor penyu, kemudian beberapa penyu lainnya muncul dari air. Begitu mereka berada di daratan kering, di mana mereka hanya terkena ombak terakhir yang lemah, mereka berhenti sejenak. Mereka merentangkan leher panjang mereka ke depan dan ke atas, memutar sedikit ke samping, melihat, dan kemudian merangkak dengan cepat dalam garis lurus, tanpa berhenti, melintasi pantai—atau lebih tepatnya, mereka mendorong diri dengan kaki seperti sirip mereka dan buru-buru menuju dasar bukit. Karena semakin gelap, kami hampir tidak bisa melihat seperempat panjang pantai. Namun, sejauh yang dapat kami lihat, kami telah melihat empat tubuh hitam dan kaku bergerak di sepanjang pantai.

Tidak ada suara selain gemuruh pelan ombak lautan. Kemudian kami mendengar sesuatu yang berdesir dan bergerak di bawah kami. Bentuknya jauh lebih panjang daripada seekor penyu dan bergerak jauh lebih lincah di sepanjang pantai. Seekor buaya, setidaknya sepanjang 15 kaki, bergerak mencari mangsa. Sekarang juga, buaya itu bergerak menuju dasar bukit.

Kami menahan nafas. Di kejauhan, seekor penyu berjalan mundur dan menghilang ke laut. Tidak butuh waktu lama sebelum tubuh hitam lainnya dari daerah yang paling dekat dengan kami berbalik dan mendekati kami. Namun, saat itu belum mencakup setengah perjalanan kembali ketika tiba-tiba sejumlah besar hewan meloncat keluar dari hutan yang terdekat.

Awalnya, mereka tidak bersuara sedikit pun, tetapi pada saat mereka mencapai penyu-penyu itu, mereka tiba-tiba mengeluarkan raungan yang terputus-putus. Mereka mengepung hewan tersebut dari segala sisi dan menyerangnya dengan buas. Kami bisa hitung jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Mereka meraih mangsa mereka. Kepalanya, lehernya, kakinya yang seperti sirip, ekornya, dan bagian belakangnya, menariknya, dan memutarinya membentuk lingkaran. Raungan halus dan serak mereka yang terputus-putus mengungkapkan rasa lapar atau rasa haus akan darah yang paling gila dan mengerikan. Mereka bertindak seolah-olah dalam kegilaan dan sepertinya tidak memperhatikan buaya, yang mendekat, sama seperti seekor tokek yang menangkap lalat di dinding ruangan dan semakin mendekati.

Kemudian, dengan gerakan tiba-tiba seperti pegas yang terlepas, buaya tersebut melesat maju ke depan, dan sebelum yang lainnya menyadarinya, ia telah menghancurkan dua atau tiga potongan hewan yang berteriak di dalam rahangnya yang besar. Kemudian mereka berkumpul dalam jarak tertentu satu sama lain.

Itu adalah anjing adjag (Canis rutilans), juga dikenal sebagai anjing liar, yang hidup berkelompok, lebih kecil daripada serigala, tetapi jauh lebih rakus dan liar daripada serigala. Penyu itu tampak mati, tetapi telah sangat terkoyak sehingga tidak dapat lagi bergerak, sementara buaya, yang mungkin telah berhasil mendapat mangsa, berenang ke laut.

Anjing adjag sekali lagi menyerang mangsa mereka dari segala sisi, menarik bersama-sama, dan tampaknya sedang mencoba membuka cangkangnya. Aku mengangkat senjata dan siap menembak, tetapi salah satu orang Jawa menepuk tanganku dengan arti bahwa dia melihat sesuatu.

Pandangan tajamnya telah mendeteksi kehadiran makhluk yang muncul perlahan dari kegelapan hutan. Makhluk itu berdiri di sana, berhenti, memperhatikan tempat kejadian dengan mata berkilauan, merendahkan badannya lalu melompat dengan lompatan besar ke tengah-tengah kerumunan anjing adjag. Terdengar raungan yang keras dan menggelegar, dan anjing adjag berhamburan. Panik berhamburan ke segala arah.

Mereka melarikan diri dengan raungan lebih seperti mendesis daripada menggeram ke dalam hutan, dan sang raja rimba, harimau, yang muncul di atas panggung, meletakkan cakarnya, mengambil alih, dan menduduki cangkang penyu itu. Kemudian, harimau kedua mendekat; yang pertama menoleh dengan menggeram dan mendesis. Aku mengarahkan senjataku, menarik pelatuk, dan tembakan terdengar, bergema di pegunungan, menerobos sunyi udara senja. Pertarungan antara penyu raksasa, buaya, anjing liar, dan harimau untuk saat ini telah berakhir.

Aku dan MALAM menembak hampir bersamaan. Namun, di bawah kanopi pohon tempat kami duduk, sudah terlalu gelap untuk bisa menembak dengan tepat, meskipun kami masih bisa cukup jelas melihat siluet makhluk di sepanjang pantai yang terang dan berpasir. Kami belum berhasil atau setidaknya tidak mengenai sasaran fatal, karena harimau-harimau itu bisa melarikan diri. Kami masih punya dua tembakan, tetapi sambil berjaga-jaga, kami mengisi ulang senjata ganda kami ketika, terkejut oleh suara tembakan yang mereka dengar, rekan-rekan kami dari bivak datang dengan teriakan keras “Halloh!” dan menerangi adegan itu dengan obor yang mereka bawa.

Kami menemukan seekor anjing adjag mati di samping penyu yang, meskipun sangat terkoyak, masih hidup, dan kemudian dibunuh dengan sadis oleh para pribumi kami dengan Golok. Kepala dan kaki (sirip) penyu laut tidak dapat ditarik kembali ke dalam cangkangnya, sehingga, terlepas dari ukuran dan ketebalan cangkang yang besar, mereka masih rentan sebagai mangsa oleh predator yang jauh lebih kecil daripada mereka, terutama ketika datang bersama-sama dalam jumlah besar, seperti anjing liar di sini. Hal ini menjelaskan keberadaan banyak rangka dan cangkang yang menghiasi tempat ini, tempat makhluk-makhluk itu saling berkelahi demi mangsa. Apa yang ditinggalkan oleh anjing liar, harimau, macan tutul, dan buaya dari daging dan organ yang mereka tarik keluar dari cangkang setelah merobek perutnya pada malam hari, kemudian dimakan oleh burung pemangsa lainnya, termasuk elang laut dan burung pemangsa lainnya yang selalu mengintai tinggi di udara di atas tempat ini sepanjang hari.

Kami sangat terkejut melihat bahwa penyu raksasa sudah terbalik dan dengan cangkang perutnya yang sebagian terbuka menghadap ke atas, dan kami tidak tahu apakah tindakan ini dilakukan oleh harimau atau anjing liar yang sebelumnya telah bekerja sama melakukan ini. Para kuli Jawa berpendapat yang terakhir. Kami kemudian mengikat penyu tersebut dengan tali pikolan kami ke tiga batang bambu; namun, penyu itu sangat berat sehingga harus enam kuli, tiga di setiap sisi yang menopang batang bambu di bahu mereka, untuk mengangkat beban tersebut sepenuhnya. Penyu ini kemudian dibongkar di bivak kami dan memberikan daging yang lezat yang mungkin bisa memberi makan lima kali lipat jumlah orang daripada yang kami miliki, serta sejumlah besar telur muda yang sangat kecil, seukuran atau sedikit lebih besar dari kenari, yang hanya terdiri dari kuning telur dan sangat lezat jika dijadikan sop.

Kami menghabiskan sebagian malam dengan tetap berjaga di sekitar api, dan kami mulai berbicara tentang hukum alam. Apakah jumlah telur yang sangat banyak yang ditetaskan oleh seekor penyu laut, lebih dari seratus telur dalam satu kali bertelur, hanyalah hasil dari kebetulan semata? Bisakah kami mempercayainya, setelah kami baru saja melihat begitu banyaknya jumlah musuh yang mengintai induk yang bertelur? Kami tahu bahwa sebagian besar telur yang ditetaskan akan hilang, karena pemangsa berkaki empat yang kecil, bahkan termasuk kera dan di tempat yang dihuni manusia, biasanya menggali telur dari pasir dan merampasnya. Sementara sebagian telur lainnya tidak akan menetas dalam cuaca buruk yang berkabut dan hujan. Tentu saja kami tidak dapat mengatakan, mengapa begitu banyak musuh diberikan kepada hewan ini, kecuali jika tujuannya adalah mencapai keragaman kehidupan yang paling besar dengan cara yang paling sederhana. Namun, melalui jumlah telur yang banyak (yang tidak semuanya dapat menetas), kelangsungan hidup spesies dijamin. Spesies ini jelas akan punah dan lenyap dari bumi jika jumlah telur hanya sepuluh atau hanya satu, seperti yang terjadi pada gajah dan harimau. Dari keterkaitan harmonis antara peristiwa-peristiwa, dari lingkaran magis yang saling terkait antara sebab dan akibat, dimana satu ada karena yang lain, satu mengharuskan yang lain, rencana yang masuk akal terungkap; itu tidak bisa menjadi hasil dari kebutuhan tanpa sadar. Meskipun kita tidak dapat memahami tujuan akhir penciptaan, karena begitu banyak akal muncul dalam sarana untuk mencapai tujuan ini, bagaimana kita bisa menganggap tujuan itu tidak masuk akal? Itulah yang kita pikirkan, dan bahkan pertempuran hewan di malam hari, campur aduk yang tampaknya tanpa rencana, tidak bisa meruntuhkan keyakinan kita pada kebijaksanaan yang tertinggi. Tidak, kami memutuskan untuk selalu menyimpan keyakinan ini di dalam hati kami, sehingga keyakinan akan keberadaan Tuhan yang hidup dapat menenangkan kita dalam semua kesulitan dan semua kejadian kehidupan yang kita tidak mengerti.

Desa Garung

Berikut adalah penerjemahan mengenai Desa Garung dari buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java karya Franz Junghuhn. Saya sudah menelusuri lokasi Desa Garung yang kemungkinan besar berada di sekitar PLTMH Cikangean di Garut Selatan. Lokasinya tergambar pada screenshot citra 3D Google Earth pada gambar di bawah.

Desa kecil Garung terletak di sebuah dataran sempit di lereng bagian barat lembah, yang berada sekitar 700 kaki di bawah tepi tertinggi, membentang menjadi dataran yang cenderung landai, tetapi kemudian semakin curam ke dasar lembah yang sebenarnya. Dari sisi kami, kami melihat ke bawah ke dasar yang paling rendah ini, masih sekitar 300 kaki lebih dalam. Di sisi lain, tanah tersebut naik lagi, pertama secara bertahap, seperti teras, kemudian lebih curam, dan akhirnya sebagai dinding batu yang curam, meningkat ke tepi lembah timur, yang mungkin berjarak 1.5 hingga 2 pal jaraknya dari yang barat.

Kemungkinan lokasi Desa Garung. Gambar merupakan citra Google Earth. Lokasi di dekat PLTMH Cikangean, 20 km arah utara dari Leuweung Sancang. Lokasi diestimasi berdasarkan peta Junghuhn.

Di atas desa ini, terdapat Tipar kecil yang kering dan Uma (sawah) yang tersebar di antara belantara rumput Alang-alang, yang terakhir ini bahkan telah menggantikan ladang yang sebelumnya ada.. Tapi dasar dari lembah dan lereng-lereng terjal ini ditutupi oleh hutan belantara yang menakjubkan, dengan pohon-pohon raksasa setinggi 100-120 kaki, yang batang-batangnya seperti tiang dengan mahkota kanopi yang dipenuhi daun. Begitu tinggi pohon-pohon ini, seolah mereka tumbuh menembus udara, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Hanya di beberapa tempat saja tidak ada pohon, terutama di dinding-dinding tegak, di mana batuan tersingkap.

Hutan di atas dinding pegunungan ini kini disinari cahaya perak sinar rembulan, yang terang benderang bersinar di angkasa. Sinar ini begitu terang, hingga kita tak bisa melihat senja setelah terbenamnya mentari. Warna biru langit ini tak redup bahkan oleh awan terkecil sekalipun. Tapi tak lama terbenamnya mentari baru-terasa. Bukan tampak secara kasat mata, tapi dari suara. Meskipun tak ada angin berhembus, dan tak satupun daun bergerak, tapi suara-suara malam mulai terdengar semakin kentara. Karena tidak ada sinar matahari, maka terjadi perubahan arus panas. Arus panas ini berperan sebagai penghalang rambatan suara. Karena tidak ada perambatan suara, maka ombak di pantai, yang jaraknya lebih dari 20 pal, bisa terdengar lebih jelas. Juga riuh gemuruh sungai, yang berada jauh dari gunung ini ke arah pantai, suaranya merambat melewati dasar lembah yang dalam, lalu tiba di telinga kami. Semakin kuat suara malam yang membosankan ini mulai bergema, kira-kira sebanyak itulah juga kesunyian di desa semakin terasa.

Seratus lima puluh orang, lelaki, perempuan, dan anak-anak, menempati dunia kecil di lembah ini, dengan hewan peliharaannya: ayam, anjing, kambing, sepasang kerbau dan kuda. Dunia ini dipisahkan oleh hutan belantara dari keramaian peradaban berpuluh mil jauhnya. Mereka kini bersantai-santai di balai-balai di pondok mereka. Tak memikirkan apa-apa, hanya berkumpul tanpa melakukan apa-apa. Dari beberapa pondok kadang terdengar kidung nyanyian, yang entah kenapa seolah tak punya nada atau lirik yang jelas, tapi orang-orang senang bernyanyi dan berkreasi dengan lagunya, sambil bersantai duduk-duduk di bangku. Nyanyian monoton ini perlahan senyap.

Lalu pembantu kami yang mulanya bergabung dengan penduduk, perlahan kembali dan mulai mencari tempat untuk beristirahat. Satu per satu pintu ditutup. Lalu nyala lampu meredup. Beberapa masih tampak menembus lubang-lubang dinding bambu. Suara-suara binatang peliharaan tak lagi terdengar. Hingga akhirnya tak satupun suara peradaban tersisa. Betapa begitu dekat jarak antara kebisingan dan kesunyian, antara kebahagiaan dan kepedihan.

Kami terduduk diam dalam sunyi. Melamun seperti tersihir. Lalu lamunan kami segera tertuju pada dinding lembah, di mana satu lembah kecil secara misterius tenggelam dalam gelap bayangan, di sana suatu batu yang sangat besar atau batang kayu raksasa bercahaya terang di bawah sinar bulan. Tapi di beberapa tempat, malam begitu gelap. Di antara kayu-kayu raksasa, seolah seperti di antara celah, seperti di dalam jurang yang begitu dalam.

Langit tertutup hutan yang lebat, tanpa sekelebat cahaya pun yang lewat. Namun terdengar deras gemuruh sungai Tjikangean. Alirannya mengalir dari jeram ke jeram, dari batu ke batu, lalu terjun bebas mengalir hingga ke lautan. Bagian lain dari hutan, terutama kanopi-kanopi raksasa begitu benderang tersinari cahaya rembulan, hingga kita bisa lihat burung merak, yang raungan kerasnya tadi terdengar ketika senja berganti malam, bergema terpantulkan dinding pegunungan. Burung-burung itu kini terdiam sunyi, hinggap di puncak-puncak pepohonan. Dari waktu ke waktu berkepak-kepak sayap kelelawar. Tak lama burung hantu berteriak „hooot“, lalu berpindah menyusuri lembah.

Semua gerakan ini bisa teramati dari kejauhan. Menjadi kontras dari alam yang begitu sunyi terdiam. Selain gemuruh sungai yang riuh, kami juga mendengar ketukan pelatuk burung cabak, yang bergemeretak seperti hantaman palu pada besi. Jauh di dalam hutan jarang-jarang terdengar suara mengembik seperti kerbau, tapi suara ini lebih pelan, agak serak, dan lebih liar. Itu adalah suara Badak, yang hanya bisa didengar ketika musim kawin tiba.

Aduhai, betapa malam memberikan keindahan tersendiri pada bentang alam ini! Betapa magis cahaya bulan menyinari pemandangan ini, seolah-olah melewati gelas transparan berwarna keperakan. Dimana bisa aku cari kata-kata untuk mendeskripsikan kecantikan ini. Apa nama untuk warna cahaya magis ini? Aku tidak bisa menggambarkannya. Ini hanya bisa dirasakan. Coba rasakan.

The Belle of Tjililin

The Belle of Tjililin adalah roman klasik karangan Soeka Hati yang dipublikasikan pada 15 November 1934 dalam Majalah “Penghidoepan”. Majalah ini diterbitkan oleh penerbit Tan’s Drukkery yang beralamat di Tepekongstraat nomor 28, Surabaya. The Belle of Tjjililin dimuat pada edisi ke 119, dengan total 98 halaman.

The Belle of Tjililin yang berarti gadis tercantik di Cililin adalah kisah cinta multi etnik di Jawa Barat dengan latar tahun 1920-1930an. Ceritanya tentang Siti Arsiah, gadis paling cantik di Cililin, yang saling jatuh cinta dengan Seng Ho, seorang peranakan Tionghoa. Mereka bersahabat sejak bersekolah di MULO di Semarang.

Halaman Muka Majalah Penghidupan edisi Novel The Belle of Tjililin

Siti Arsiah yang cantik menolak semua pinangan lelaki di kampungnya karena ia lebih memilih Seng Ho. Abdullah, putra kepala desa yang juga jatuh cinta pada Siti Arsiah kesal dan berusaha memperkosa Siti Arsiah, tapi digagalkan oleh Seng Ho.

Kisah Siti Arsiah dan Seng Ho adalah contoh klasik tradisi multikultur di Indonesia. Meski begitu konflik keluarga menjadi bumbu menarik kisah ini. Orang tua Siti cenderung bersetuju pada Seng Ho, karena mereka telah melihat Seng Ho sebagai lelaki berbudi baik dan menyayangi Siti apa adanya. Sementara orang tua Seng Ho sebaliknya. Mereka berpikir Siti sebagai pribadi yang mata duitan yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan Seng Ho saja.

Orang tua Seng Ho mencoba membayar Siti agar ia meninggalkan Seng Ho. Mereka juga berkata bahwa Seng Ho sudah punya tunangan di Semarang. Siti menolak pemberian uang ini dan berkata jika hubungannya tidak disetujui maka ia sendiri yang akan memutuskan hubungan dengan Seng Ho.

Siti mencoba mematahkan stereotip bahwa penduduk lokal itu mata duitan dan bisa dibeli dengan uang. Ia juga menunjukkan bahwa wanita lokal juga berdaya usaha dan mampu mencari uang sendiri.

Orang tua Seng Ho terus memaksa mereka berpisah. Seng Ho diminta pergi berbisnis ke Singapura selama tiga bulan. Ketika kembali, Seng Ho kaget karena Siti dan orang tuanya telah pindah. Seng Ho kemudian sakit keras karena di kepalanya hanya ada Siti saja.

Di akhir cerita, Siti dan Seng Ho bertemu secara tidak sengaja di Conggeang, suatu pemandian air panas di Sumedang. Mereka kemudian menikah dan ternyata Siti berhasil mengambil hati mertuanya. Di akhir cerita mertua Siti memuji-muji menantunya berkata bahwa menantunya ini orang yang tepat untuk anaknya.

Cerita The Belle of Tjililin merupakan cerita dengan konflik yang sederhana. Yang menarik dari kisah ini adalah deskripsi tempat-tempatnya yang menggambarkan latar waktu ketika itu. Soeka Hati menggambarkan penduduk Cililin yang pekerjaannya membuat minyak dari kacang. Bahkan minyak kacang dari Cililin kualitasnya terbaik di Jawa Barat. Ia juga menggambarkan Cililin sebagai daerah yang penduduknya religius dan taat beragama. Karenanya jarang ada kejahatan di Cililin sehingga penjagaan polisi tidak begitu diperlukan. Dalam cerita ini juga Soeka Hati menggambarkan keberadaan stasiun radio Malabar di tengah-tengah kota Cililin. Di akhir cerita juga ia menggambarkan Desa Conggeang sebagai tempat mandi air panas, yang masih ada hingga sekarang.

Soeka Hati berhasil mendeskripsi gaya hidup orang ketika itu. Bagaimana mereka pergi ke Bandung untuk mengikuti Jaarbeurs (pameran terbesar kala itu). Kemudian gambaran tentang plesirnya orang dari Cililin ke Bandung, ingin membeli makan di restoran, beli es krim, dan ini itu. 

Tentu novel ini sangat berharga untuk melihat bagaimana kehidupan kala itu bahkan sudah ada beberapa publikasi ilmiah mengenai novel ini, seperti makalah dari Hiqma Nur Agustina, yang merupakan seorang Dosen Bahasa Inggris di Universitas Islam Syekh Yusuf, Banten yang membandingkan antara Novel The Belle of Tjililin dan Raden Adjeng Moerhia. Kedua novel ini berkisah tentang multikulturalisme pada masa kolonial Belanda.

Selain itu juga terdapat penelitian skripsi dari Andriyati dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, yang menulis tentang gambaran latar sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan dalam novel The Belle of Tjililin. Dalam skripsinya, Andriyanti menyimpulkan tiga hal. Saya salin dan tempel kesimpulan yang ditulis Andriyanti sebagai berikut:

Kesimpulan pertama berkaitan dengan penggambaran latar sosial budaya masyarakat. The Belle of Tjililin merupakan novel yang mengetengah kehidupan masyarakat heterogen. Tokoh-tokohnya berasal dari dua kebudayaan yang berbeda yaitu pribumi dan Tionghoa peranakan, Kedua kelompok masyarakat ini hidup bersama dalam latar tempat dan fatal- sosial masyarakat Semarang, Cililin, Bandung, dan Sumedang. Keadaan ini menempatkan masyarakat kedua kelompok untuk saling kontak dan menjalani proses sosial. Berdasarkan kontak dan proses sosial, perbedaan yang ada di antara masyarakat pribumi dan Tionghoa dalam The Belle of Tjililin ini justru digambarkan mengarah pada satu perubahan positif yaitu asimilasi atau pembauran.

Kesimpulan kedua adalah bahwa kontak dan proses sosial yang terjadi dalam The Belle of Tjililin mendorong adanya perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dalam novel ini berupa perubahan pada pola pikir dan orientasi hidup para tokoh. Baik masyarakat pribumi maupun masyarakat Tionghoa dalam novel ini digambarkan tidak lagi hanya berorientasi pada hal-hal pokok seperti sandang, pangan, dan papan, namun juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan hiburan. Masyarakat tidak lagi terpaku pada aspek_-aspek kehidupan yang sifatnya tradisional, namun juga pada kehidupan modern masyarakat perkotaan.

Kesimpulan yang ketiga adalah bahwa berbagai perubahan yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-raktor penyebab perubahan-perubahan tersebut adalah adanya kontak antar budaya yang berbeda dalam masyarakat yang heterogen, serta sistem pendidikan yang sudah maju.

Andriyanti, 2006.
Gambaran latar sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan dalam the Belle of Tjililin oleh Andriyati

Doa Pagi Hari Junghuhn

Dalam buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa), Franz Junghuhn menuliskan tentang tafakurnya terhadap terbitnya matahari. Tulisan ini berlatarkan matahari terbit di suatu bukit di sekitar Desa Garung, yang berada di sekitar Garut Selatan. Kejadiannya mungkin setelah tahun 1845. Saya rasa proses berpikir Junghuhn ini sangat kaya akan makna dan layak untuk dipraktikkan. Berikut terjemahannya:

Oh matahari yang agung, tiada lain engkau adalah salah satu ciptaan Tuhan yang Abadi, yang hanya dengan satu sapuan saja mampu untuk memintal ribuan benang. Aku menyambutmu sebagai simbol terindah bagi kami para penduduk bumi. Engkau adalah mukjizat Tuhan yang selalu diperbaharui, karena cahayamu kembali setiap pagi selama ribuan tahun tanpa henti, bersama gerakanmu semua ikut bergerak. Bumi kami terikat kepada massa-mu, tidak mungkin tanpamu bumi bisa berputar. Tanpamu tidak mungkin ada musim, tidak mungkin ada siang dan malam. Kamu adalah segalanya bagi seluruh kehidupan di bumi. Kamu sebarkan cahaya dan membuat semua menjadi kentara. Tanpamu kami tak perlu punya mata, karena tak ada cahaya yang kami lihat. Cahayamu membentuk segala keindahan di bumi, memberikannya warna, memanjakan mata. Ya dengan cahaya kamu memberikan kehangatan, melembutkan yang keras menjadi lembut dan elastis. Bagaimana mungkin bumi bisa bergerak tanpamu? Bagaimana kami bernafas tanpa udara, dan bagaimana kami bisa mendengar jika tak ada suara? Bagaimana tanaman bisa tumbuh, sungai bisa mengalir, dan awan serta angin bisa berhembus? Tanpa kehangatan energimu, keindahan cahayamu, yang membuat segala hal menjadi mungkin. Semua pergerakan binatang dan tumbuhan, segalanya tergantung kepadamu. Ya, bahkan listrik di langit pun tunduk padamu, sehingga kamulah penguasa petir. Hanya dalam semalam tanpa matahari saja kita bisa rasakan suhu udara turun, padahal kemarin masih mengambang di udara sebagai uap. Kini semua turun ke tanah sebagai embun. Sekarang ribuan tetes masih menggantung di ujung daun. Tidak ada angin, tapi sampai kapan. Planet ini adalah dalam gerakan rotasi yang abadi.

Seluruh permukaan lembah dan pegunungan telah tersinari cahayamu. Bentang alam ini mulai bergetar dan menguapkan seluruh embun yang ada di dalamnya. Sama seperti manusia dan seluruh binatang ciptaan, semua begitu antusias menyambut cahayamu. Semua mulai bergerak lagi, seperti jutaan kuncup tanaman yang mulai bermekaran, juga air dan udara semua terikat dalam gerakan. Kemudian udara dari lapisan terbawah bumi semakin menipis dan menjadi makin ringan karena panas darimu. Udara ini naik ke atas, mulai dari tanah gundul hingga ke pegunungan tinggi yang diselimuti hutan. Laut tidak akan terhangatkan serupa dengan daratan, sehingga ada berbagai macam perbedaan jenis udara di berbagai tempat di negara ini. Udara dingin yang lebih berat mengalir menuju atmosfer yang lebih renggang. Ketenangan yang kini terasa di udara tak akan lama terganggu oleh angin yang berhembus dari puncak-puncak pohon. Pada saat yang sama, embun akan menguap dan naik sebagai uap air menuju lapisan udara yang lebih dingin. Hal ini akan mengakibatkan kenaikan suhu dan penambahan tekanan uap air. Listrik di langit akan terbangun, guntur akan bergemuruh, hujan akan menyirami lahan, dan aliran sungai akan mengalir deras menuruni undakan-undakan dari pegunungan. Banjir akan membawa batang kayu melewati celah. Semua perubahan yang terjadi di muka bumi ini, segalanya terjadi karenamu. Kamu bersinar begitu terang dan memancarkan cahaya dengan begitu tenang.

Seluruh alur ini sangat penuh dengan harmoni, sehingga tak ada bagian dari proses ini yang terpisah sendiri. Seluruh rantai alur ini tak bisa terbayangkan, jika salah satu bagiannya hilang. Begitu luar biasanya hingga tak hanya keindahannya terlihat oleh mataku, tapi juga suaranya terdengar dalam hati yang paling dalam. Kata-katanya adalah: ”Aku mengenalimu, tujuan tertinggi dari alam. Tidak ada satupun, tidak ada kekuatan apapun yang berdiri sendiri. Segala sesuatu hadir demi yang lain, dan segala sesuatu diatur dengan koherensi berdasarkan hukum sebab akibat. Aku tidak tahu apakah mataku diciptakan untuk cahaya, atau sebaliknya, tapi keduanya hadir untuk satu sama lain.

Lantas jiwa ini, yang hidup di dalam diriku, melalui seluruh indraku, terkait dengan seluruh ciptaan di sekelilingku, yang tidak bisa kubayangkan bisa ku dengar dan ku lihat tanpa cahaya dan suara, sementara cahaya dan suara tak akan terpikirkan olehku tanpa telinga dan mata. Lalu apakah jiwa ini seharusnya ada untuk sesuatu? Bukannya seharusnya jiwa punya hubungan dengan sesuatu yang lain?

Aku bisa memikirkan tentang segala sesuatu yang diketahui atau dirasakan oleh indraku. Aku sadar atas diriku sendiri. Ada saat ketika aku bukan diriku yang sekarang. Begitu lama aku tidak tahu darimana aku berasal, darimana datangnya pemikiran dan jiwa rasional ini berasal? Aku juga tidak tahu kemana aku akan pergi. Aku tidak menjadi diriku sendiri. Di alam bahkan cacing yang paling kecil pun saling memiliki keterkaitan. Apalagi matahari, yang juga saling terkait dengan bintang-bintang lainnya. Itu hanya akan menjadi satu benang, yang tersambung dengan jutaan benang, yang merupakan bagian dari penciptaan, dari sesuatu yang abadi, yang tidak dapat binasa, yang masuk akal. Pastilah satu ruh yang sempurna yang menciptakanku, yang kecil, tidak sempurna. Ruh itu menciptakan dan memberikan jiwa kepada alam, dengan semuanya yang penuh dengan keteraturan, kemanfaatan, dan kebaikan. Ya, Engkau telah menunjukkan Diri-Mu kepadaku dan terus menunjukkan kebesaran-Mu dalam semua ciptaan, dalam dada setiap manusa. Aku terhubung kepada-Mu wahai zat yang abadi.

Sebuah Ulasan Buku: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa

Saya baru selesai membaca buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java, atau jika diterjemahkan seperti judul dari artikel ini. Buku ini adalah karya Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Naturalis kelahiran Jerman, yang merupakan salah satu Naturalis terbesar yang pernah berkarya di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.

Buku ini tercipta sebagai kontemplasi Junghuhn ketika melakukan perjalanan ke hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni pada pertengahan abad ke-19. Setiap orang pada hakikatnya selalu mempertanyakan asal usul dan makna kehidupannya. Begitu pula Junghuhn. Observasi alam menggiringnya pada pertanyaan tentang eksistensi dan makna kehidupan.

Cara Junghuhn menulis buku ini cukup menarik dan terbagi menjadi beberapa bagian. Dikisahkan bahwa dua orang Eropa, Siang (personifikasi Junghuhn) dan Malam (personifikasi orang yang ingin mendakwahkan ajaran Kristen di Jawa) sedang melakukan perjalanan di Pulau Jawa. Perjalanannya bermula dari sebuah desa kecil bernama Gnurag.

Gnurag adalah kode Junghuhn untuk sebuah desa bernama Garung (lihat gambar di atas). Hasil penelusuran saya, daerah Garung ini berada di sekitar Garut Selatan, sekitar 50 km arah utara dari Leuweung Sancang. Di Garung mereka mendaki beberapa bukit dan bermalam cukup lama karena kesulitan mencari Kuli yang mau membantu mereka membawakan barang-barang. Karena cukup lama di Garung, maka mereka sempat untuk melaksanakan ceramah kepada masyarakat untuk mengajarkan pemikiran mereka.

Dari Garung mereka bergerak ke arah barat. Tak begitu rinci diterangkan berapa jauh mereka berjalan, namun tempat selanjutnya yang mereka datangi adalah sebuah pantai bernama Tanjung Sodong. Di pantai ini Siang dan Malam menyaksikan pembantaian penyu oleh Ajag, Harimau, dan Buaya.

Berdasarkan Peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat oleh Junghuhn, Tanjung Sodong terletak di dekat Ujung Kulon. Kenapa kita bisa tahu letaknya di sini. Mungkin kejadian ini sangat berkesan bagi Junghuhn, hingga ia menamai pantai itu di petanya itu Reuzenschildpadden, penyu raksasa.

Hal ini ditelusuri oleh Kang Rifaldi dari Museum Geologi yang menuliskan tentang kisah pembantaian penyu. Dari jarak yang begitu jauh (Pameungpeuk-Ujung Kulon, sekitar 370 km), kita bisa menduga bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan yang fiktif, atau merupakan gabungan dari dua perjalanan yang berbeda.

Kemudian dari Tanjung Sodong, Siang dan Malam melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, di mana ia bertemu tiga orang Eropa lainnya, Senja, Fajar, dan Si Praktis. Di Situ Patengan mereka kembali terlibat dalam diskusi filosofi yang seru. Kemudian mereka kembali ke Bandung.

Di Garung

Banyak hal yang terjadi di desa ini. Pertama mereka menerima sambutan yang hangat. Kemudian mereka sempat juga membantu masyarakat desa membunuh harimau yang pernah memangsa seorang warga, yaitu suami seorang janda yang rumahnya mereka tempati.

Garung adalah tempat yang indah. Siang menuliskan kekagumannya pada alam Garung.

„Kami merasa seolah ada di surga. Tidak begitu sulit untuk merasa begitu. Bukankah kita menghirup udara yang murni, sejuk, dan nyaman? Bukannya langit biru paling indah menghampar di atas kita? Bukannya pohon pisang „dari surga“ (seperti kata Linneaus), dengan buah yang besar dan matang, tumbuh tepat di samping pondok kita? Bukannya buah mangga berwarna keemasan, jambu merah, durian seukuran kepala, serta nangka, juga buah-buahan indah, nampak di antara dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar desa? Bukannya hutan paling indah dan paling berbunga ada di atas, bawah, depan, dan belakang kita? Tidakkah kamu merasa bahwa para penduduk di desa terpencil ini, dengan kehidupan sederhananya, hidup seperti orang-orang yang pertama tinggal di surga, yang hidup tanpa mengenal dosa?“

Setelah berkegiatan serta berinteraksi dengan warga lokal dan merasakan keramahannya, Siang dan Malam berdiskusi di malam hari. Malam menyayangkan bahwa di tempat seindah dan orangnya sebaik ini, belum ada masuk ajaran Kristen. Siang mempertanyakan untuk apa ajaran Kristen masuk. Malam menjawab lagi agar mereka bisa mencapai budaya setinggi Bangsa Eropa, yang menganut Kristen. Siang menolak pendapat itu dan menerangkan bahwa kemajuan budaya di Eropa berasal dari berkembangnya ilmu pengetahuan, justru agamalah yang menghambat ilmu pengetahuan ini untuk maju, sembari mencontohkan Galileo dan Kopernikus yang dipersekusi oleh gereja.

Perdebatan ini sangat panjang. Namun ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik. Siang berpendapat bahwa kebaikan dan moral bukanlah ajaran agama, melainkan hal yang manusiawi yang tertanam di dalam diri manusia. Hal ini merupakan topik perdebatan seru dalam dunia filosofi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Saya merasa bahwa Siang menganut ajaran filosofi Kant, yang mendasarkan segala sesuatu pada alasan.

Siang adalah orang yang logis yang percaya bahwa yang nyata itu adalah segala hal yang bisa ditangkap oleh panca indera. Tapi ide, pikiran, konsep adalah satu ranah yang fana. Tidak ada bentuknya, tapi dia tahu itu ada di sana. Ruh, jiwa, pikiran, itu adalah konsep yang tidak bisa diterangkan Siang, sehingga ia menerangkan hal tersebut sebagai domain Ketuhanan. Segala hal di alam saling terkait dan tersusun dengan tingkat presisi yang luar biasa, yang menurut Siang adalah bukti tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hanya ada satu mukjizat, yaitu alam semesta. Hanya satu kebenaran, yaitu pengungkapan dari hukum alam, dari karya Sang Pencipta. Semua hal yang ada di alam semesta ini bisa diterangkan secara fisik dan kepadanya berlaku hukum-hukum yang abadi, yang bisa dipahami dan dipelajari oleh manusia. Begitu juga semua fenomena di di langit dan di bumi. Hanya satu yang tidak dapat dipahami, tapi aku bisa merasakannya setiap saat, yaitu apa-apa yang ada di dalam batin, juga ruh, yang bermanifestasi dalam berjuta bentuk. Aku tidak mengerti tentang batin, tapi aku selalu merasakannya setiap waktu, ia selalu hadir di setiap saat, di setiap hal yang aku periksa, pada tanaman, pada bebatuan, pada fenomena atmosfer, juga di langit dan di bumi, pada manusia, pada serangga terkecil sekalipun. Di mana-mana aku menyadari adanya hukum bahwa segala sesuatu memiliki manfaat, juga kerumitan yang mencerminkan kemahatahuan. Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup di bumi diciptakan untuk berbahagia. Meskipun aku tidak mengerti esensi dari alam, jiwanya, ruhnya, dari mana semua berasal, yang menggerakan segalanya, aku tetap merasa bahwa Dia ada di sana. Yang Maha Bijak, Maha Baik, aku berharap pada-Nya, percaya pada-Nya, menyembah-Nya, memuja-Nya, Tuhan.

Siang dan Malam bersepakat bahwa mereka akan memberikan ceramah mengenai ajaran masing-masing kepada warga Garung. Malam pertama adalah giliran Malam, sementara keesokannya adalah giliran Siang.

Malam menyampaikan beberapa pokok ajaran Kristen, yang dia ambil dari buku Vraagboekje tot Onderwijzing in de Christelijke leer. Buku ini semacam buku panduan pertanyaan terkait ajaran agama Kristen. Yang menarik adalah setelah Malam selesai berceramah, ada seorang ulama muslim yang ikut berbicara. Ulama Islam itu menolak ajaran bahwa Tuhan mempunyai anak sambil mengutip beberapa ayat dalam 3 surat Al-Quran, antara lain An-Nisa 171, Yusuf 105-106, dan Maryam 88-93. Ketiganya adalah penjelasan Al-Quran mengenai Isa putra Maryam.

Keesokan harinya giliran Siang yang mengajarkan ajarannya. Dia memulai dengan menunjukkan peralatan-peralatan lapangannya.

„Di depanku, aku mempunyai bola bumi dan langit, sekstan dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psikrometer, kompas, magnet buatan, mikrospkop, hidrometer Nicholson, prisma tiga sisi, kamera obskura portabel, apparat daguerreotype, sekotak regen kimia, serta beberapa instrumen sains terapan sebagai simbol keyakinanku.“

Ajaran Siang terdiri atas 25 prinsip. Prinsip-prinsip ini adalah cara Siang untuk menjelaskan bagaimana ia menjawab fenomena-fenomena alam dalam keterkaitannya dengan penciptaan. Ia menolak segala takhayul dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Dengan mata telanjang kita hanya mampu melihat biru langit saja, sementara jika menggunakan teleskop, kita bisa menemukan bintang dan nebula. Dengan teleskop yang lebih besar, pengamat bintang lain bisa menemukan nebula yang lebih jauh, juga gugusan bintang-bintang lainnya, yang berjarak begitu jauh dari bumi kita. Bahkan sinar matahari perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak 20 juta mil menembus ruang angkasa untuk sampai kepada kita. Dengan begitu maka benda langit yang jauh lebih jauh lagi yang bisa terlihat oleh teleskop itu tak mungkin kita lihat jika mereka belum ada ratusan ribu tahun yang lalu. Materi pengisi ruang di langit sama tak terbatasnya dengan luas ruang yang bisa mereka isi. Isinya bisa dibagi-bagi lagi menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus, sehingga tak bisa kita perkecil lagi, bahkan dengan perbesaran paling besar sekalipun. Jika dalam dunia ciptaan kita tak dapat menjelajahi awal, menemukan batas, dan membayangkan akhir, maka bayangkan, Dia yang menciptakannya, pasti tidak terbatas, abadi, dan tidak berawal lagi tiada berakhir.

Pada akhirnya ulama Islam yang juga ikut dalam ceramah ini merasa ajaran Siang lebih sesuai dengan pemikirannya.

Hubungan Sosial Siang, Malam, dan Warga Pengikutnya

Hal yang cukup menarik bagi saya ketika membaca buku ini adalah mengamati interaksi antara Siang, Malam, dan warga lokal yang ikut dalam timnya. Di dalam buku ini ada beberapa nama yang disebut, antara lain: Sidin, Masputri, Pangkat, Ario, dan Sungsang. Sidin adalah pembantu Siang yang paling sering disebut. Sementara pembantu Malam bernama Lapiah.

Cara mereka berkomunikasi dengan para pembantunya ini pun saya rasa sangat egaliter. Para pembantu ini tidak segan untuk mengeluh, “Banyak capek Tuan, sakit perut”, sebagaimana mereka sampaikan di awal ketika baru sampai di Garung.

Atau ketika para Kuli ini terpaksa harus terlambat 1 malam karena tidak bisa melewati sungai. Akhirnya pada malam itu, Siang dan Malam tidak punya baju ganti dan anggur untuk malam hari. Ketika Siang marah pada mereka, kuli-kuli ini menjawab, ”Kami para kuli sudah terbiasa tidur tanpa alas dan kami juga tidak minum anggur. Kami pikir kalau Tuan sekali-sekali seperti itu juga tidak akan apa-apa.”

Lalu setelah Malam selesai berceramah tentang ajaran Injil, konon Lapiah, pembantunya, berencana pindah menjadi seorang Kristen. Tapi kemudian dia batal. Alasannya begini,”Tuan bilang kalau orang Kristen harus mencintai sesama seperti mencintai dirinya sendiri, tapi Tuan tidak lakukan itu. Tuan merokok 12 batang setiap hari. Aku juga mau merokok dan hanya minta 2 batang, tapi Tuan tidak kasih. Tuan kaya, tapi pas aku minta naik gaji pas perjalanan kita selesai, Tuan malah marah. Apa gunanya ajaran bagus kalau cuma tertulis di buku dan tidak diikuti.”

Meskipun Lapiah ini memang kurang ajar, tapi hal ini menunjukkan bahwa Siang dan Malam bisa berkomunikasi dengan egaliter dengan pembantunya.

Peristiwa Alam Menginsipirasi

Selama perjalanan ini, Siang dan Malam merasakan beberapa peristiwa alam yang mengguncang perasaan. Pertama adalah ketika naik gunung di dekat Garung. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan badai petir datang. Pohon di puncak gunung tersambar petir, dan mereka hanya bisa bertiarap dan berharap agar tidak ikut tersambar.

Tapi cerdasnya Junghuhn ini adalah dia bisa merefleksikan segala kejadian dan bagaimana semua itu saling terkait. Dari matahari yang jauh memberikan sinarnya. Di bumi energi panas ini menghangatkan uap air, menjadikannya naik ke awan, sehingga menjadi bibit-bibit hujan. Hujan turun dan rintiknya mengerosi lembah membawa tanah.

Juga ketika menyeberang sungai, Siang dan Malam hampir tersapu banjir bandang. Ketika banjir bandang itu mereda, ia melihat bangkai badak dan banteng yang tak berdaya terhantam banjir. Ketika mereka mau memakannya, seekor harimau keburu datang dan mengambilnya. Di sini juga ia berpikir bahwa yang hidup dan mati semua memiliki fungsi dan perannya.

Tapi tentu yang paling mengagumkan adalah ketika ia melihat pembantaian penyu raksasa di tepi pantai di Tanjung Sodong.

Akhir Perjalanan

Siang dan Malam meninggalkan pegunungan Selatan Jawa melalui jalur Situ Patengan. Di sana mereka bertemu dengan dua orang Eropa lainnya, Fajar dan Senja. Di Situ Patengan keempat orang Eropa ini kembali terlibat dalam diskusi filosofi.

Senja meyakini bahwa segala sesuatu itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Semacam keyakinan deterministik. Sementara Fajar meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak. Kemudian seorang Belanda lainnya, Residen Priangan, yang disebut sebagai Orang Praktis, ikut berpendapat, menurunya orang Jawa tidak perlu diajarkan ajaran Kristen. Karena menurutnya orang Jawa sudah cukup melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dalam kesehariannya.

Pembelajaran

Tentu saja kita harus ingat bahwa perjalanan Junghuhn terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu (mungkin sekitar 1837-1840, atau antara 1845-1848). Semua yang terkandung dalam buku ini harus disesuaikan dengan konteks pada saat itu. Buku ini menggambarkan keadaan yang otentik bagaimana seorang petualang hebat menggambarkan pandangannya tentang kehidupan. Manusia dibekali panca indera untuk digunakan menangkap persepsi terhadap alam semesta, dan sudah semestinya panca indera ini digunakan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fana.

Junghuhn menolak segala macam takhayul, yang banyak sekali orang Indonesia mempercayainya. Tapi dia percaya Tuhan, bahkan ia berdoa kepada Tuhannya, setiap pagi ketika menghirup udara yang segar, atau setiap ia menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Dia berusaha untuk berlaku adil dan mempraktikan ajaran moral, bahkan berupaya untuk mengajarkan ajaran yang dia percayai. Dalam buku ini dia menyebut ajarannya sebagai Ajaran Agama dan Moralitas Alam, yang terdiri atas 25 prinsip. Buku ini telah dia tulis dalam bahasa Belanda, dan juga telah ia terjemahkan sarinya ke dalam bahasa Melayu. Bukti bahwa dia mempunyai niat untuk mengajarkan ajarannya.

Tapi beberapa yang dia pahami juga kelak terbukti keliru. Misal keyakinan Junghuhn bahwa kemajuan bangsa Eropa salah satu alasannya adalah faktor biologis ras yang lebih unggul. Bahkan keyakinan terhadap ini didasarkan pada pengukuran ukuran tengkorak ras-ras di dunia oleh para ahli biologi dan kedokteran di Eropa pada masa itu.

Yang pasti, ajaran Junghuhn bukanlah kebenaran tunggal, meski tidak berarti yang dia tulis dan dia ajarkan sepenuhnya adalah keliru. Ada hal-hal yang bisa kita pelajari dan kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara Junghuhn mencari Tuhan melalui observasi? Mungkin itu mirip dengan eksplorasi Ibrahim ketika mencari tahu siapa Tuhannya. Berapa banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir? Mungkin pendekatan berpikir Junghuhn inilah yang perlu kita adopsi untuk kenal dan bisa lebih dekat kepada Tuhan, Pencipta Semesta Alam.

Mencari Singkapan Danau Bandung

Hampir semua sudah tahu bahwa Dataran Bandung dulunya adalah suatu danau purba raksasa. Legenda ternama di Bandung, yaitu Legenda Sangkuriang berkisah tentang Pembendungan Ci Tarum untuk membuat danau dalam satu malam. Yang mana menjadi sasakala, atau asal usul kejadian dari Bandung. Sejak zaman Belanda, fakta tentang Danau sebagai bagian sejarah Bandung bahkan telah dijadikan sebagai identitas kota. Gambar danau menjadi bagian dari logo kota Bandung pada zaman kolonial dan juga sekarang. Kabupaten Bandung pun sama, memasukkan unsur danau ke dalam logonya.

Jika orang-orang ditanya, di mana jejak danau itu berada? Kebanyakan akan menjawab dengan mengaitkannya pada toponimi daerah-daerah yang ada di Bandung. Dulu Bandung adalah danau, buktinya ada banyak situ, misal Situ Aksan. Ketika danau mengering, maka menyisakan rawa, yang dalam bahasa Sunda disebut sebagai Ranca. Maka dari itu banyak toponimi yang menggunakan kata Ranca, misal Rancabadak, Rancabolang. Topik terkait hal ini dibahas sangat renyah oleh Pak T. Bachtiar dalam bukunya Toponimi, Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat.

Meski demikian, sebenarnya tempat-tempat itu sudah tak menyisakan sama sekali bentuk-bentuk danau. Hampir semua sudah diurug dan diubah menjadi pemukiman atau perkantoran. Hingga mungkin kita jadi bingung, di mana sebenarnya jejak danau itu bisa kita lihat langsung dengan mata kepala sendiri?

Danau Bandung Purba sendiri, seperti namanya, hanya ada di masa lampau. Danau ini terbentuk karena aktivitas tektonik, yang mengakibatkan Bandung membentuk cekungan, menghambat air bisa mengalir. Ini terjadi sekitar 135 ribu tahun yang lalu. Ditambah lagi dengan letusan Gunung Tangkubanperahu yang membendung Ci Tarum sekitar 105 ribu tahun yang lalu mengakibatkan naiknya muka danau cukup tinggi. Namun ternyata catatan geologi menyatakan bahwa tak selamanya danau ini ada. Selama lebih dari 100 ribu tahun antara 135-20 ribu tahun silam, setidaknya ada 4 fase danau. Jadi danau ini pernah kering juga, namun kemudian terisi lagi, lalu kering lagi, dan seterusnya. Keringnya danau secara permanen terjadi sekitar 20 ribu tahun silam, pada masa Glasial terakhir. Pembahasan mengenai Danau Bandung bisa dibaca pada buku The late quaternary evolution of the Bandung Basin, West-Java, Indonesia karya Rien Dam, 1994.

Kembali lagi ke pertanyaan, di mana kita bisa menemukan singkapan danau Bandung yang baik?

Dari berbagai referensi, danau Bandung Purba elevasi tertingginya berada antara 690-725 mdpl. Pada elevasi inilah maksimal kita bisa menemukan endapan danau. Maka kita bisa mencari singkapan endapan danau pada elevasi di bawah ini. Sebaiknya kita menghindari mencari pada elevasi-elevasi antara 690-725 mdpl, kenapa? Karena pada elevasi tinggi ini, kita akan sulit menemukan singkapan yang baik, gara-gara masih ada pengaruh dari endapan-endapan sungai atau kipas aluvial.

Prof. Koesoemadinata dalam makalahnya pada tahun 1981 berjudul Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung mengelompokkan endapan danau ke dalam Formasi Kosambi, dengan lokasi tipe di sungai kecil di sekitar Kosambi, Cikudapateuh, Bandung. Lokasi tipe artinya adalah lokasi di mana formasi geologi ini tersingkap baik.

Saya mencoba mengunjungi sungai di sekitar Kosambi, namun hanya menemukan singkapan batuan yang berbutir kasar, mungkin pasir kasar. Dugaan saya batuan di sini merupakan batuan vulkaniklastik rombakan dari letusan Gunung Tangkubanperahu. Memang deskripsi litologi Formasi Kosambi tak hanya batuan endapan danau saja, melainkan juga batulempung gunungapi, batulanau gunungapi dan batupasir gunungapi. Mungkin yang di daerah Kosambi itu adalah yang batupasir gunungapi.

Saya mencoba mencari lebih ke hilir, yaitu di Jembatan Ci Kapundung di sekitar Jalan Pungkur, belakang Universitas Langlangbuana. Di dasar sungai tersingkap batuan, namun sekilas batuan ini terlihat cukup keras, sehingga saya menduga ini masih berupa batupasir gunungapi.

Singkapan paling baik akhirnya saya temukan di Ci Kapundung pada segmen antara Jalan Soekarno-Hatta – Batununggal, tepatnya di tepi jalan Sukaati, sekitar Puskesmas Mengger. Agak ke hulu dari titik singkapan ini, Ci Kapundung dibendung, alirannya dialihkan ke kanal yang ada di tepi jalan. Karena ada bendungan, debit air sungai di tempat singkapan ini berada menjadi kecil. Singkapan menjadi terbuka dengan baik.

Di titik yang kondisinya sekarang ini agak menyedihkan, tersingkap batuan lempung, yang merupakan jejak endapan danau Bandung Purba. Batuannya berwarna abu gelap, berlapis tipis, cukup mudah dihancurkan. Dalam 10 tahun saya tertarik mengeksplor Cekungan Bandung, baru kali ini saya melihat singkapan Danau Bandung di bagian timur Cekungan Bandung. Sebelumnya saya melihatnya di sebelah barat, tepatnya di sekitar Cililin. Sehingga saya pikir tempat ini cukup penting untuk sejarah geologi Kota Bandung.

Seperti yang saya bilang tempat ini menyedihkan. Di tepi jalan berdiri bangunan-bangunan pengepul rongsok/sampah, yang bangunannya membelakangi sungai. Di sungai banyak sampah-sampah berserakan. Kita bisa lihat juga mulut-mulut pipa pembuangan mengarah ke sungai, melimpasi dengan limbah. Limbah apapun itu. Tak ingin saya membayangkan atau menceritakannya.

Pada titik singkapan ini, setahu saya belum ada orang yang melaporkannya. Mungkin ada peneliti geologi sebelum saya yang pernah mengunjungi titik ini. Karena itu saya berani mengklaim bahwa saya yang pertama menuliskan tentang titik ini ke dalam media daring. Saya ingin mencoba memberikan makna bagi tempat ini, menginterpretasi mengenai informasi yang disimpan di sini, sehingga orang bisa mengetahuinya. Mengapresiasinya.

Ada beberapa pelajaran geologi yang bisa kita pelajari di sini. Yang pertama adalah bagaimana sedimen sungai berkembang mulai dari hulu ke hilir. Jika kita menyusuri Ci Kapundung sejak Maribaya hingga ke Sukaati, kita bisa melihat perubahan yang kentara dari batuan yang menyusun sungai ini. Di Maribaya kita akan temukan batuan lava basalt, yang menerus hingga ke Curug Dago. Dari Curug Dago hingga ke Cihampelas kita akan temukan endapan lahar dan endapan sungai yang berukuran besar. Bongkah-bongkah basalt yang membundar. Kemudian semakin ke hilir dari Cihampelas hingga ke Braga dan Pungkur, kita akan temukan endapan pasir gunungapi. Lalu menjadi endapan lempung di Sukaati. Sejauh yang saya tahu, ke arah hilir hingga ke muara Ci Kapundung di Dayeuh Kolot, tidak ada lagi singkapan yang tersingkap.

Pelajaran yang kedua adalah mengenai Danau Bandung itu sendiri. Bayangkan berapa lama yang dibutuhkan untuk mengendapkan lempung membentuk singkapan yang kita lihat sekarang. Kemudian kita bisa berimajinasi tentang tinggi kolom air yang menggenangi kawasan tempat kita berdiri, jika kita asumsikan bahwa permukaan danau ada pada elevasi 690-720 mdpl. Titik ini ada pada elevasi 676 mdpl, maka kita bisa membayangkan tinggi kolom air antara 14-44 meter!

Jika ingin menelusuri lebih jauh tentang endapan danau, maka kita bisa membuka buku Evolusi Geologi Kuarter Cekungan Bandung yang ditulis oleh Rien Dam. Endapan danau ini menyimpan catatan perubahan iklim purba, beberapa kali siklus glasial-interglasial, yang berguna untuk merekonstruksi keadaan masa lampau.

Pelajaran yang ketiga, adalah mengenai keadaan lingkungan di Cekungan Bandung. Sangat menyedihkan jika kita mengingat bahwa penghargaan kita terhadap sungai sangatlah minim. Sungai belum jadi urat peradaban kota, melainkan menjadi saluran pembuangan, yang kotor, dan kita punggungi. Padahal kota-kota yang beradab selalu membangun dengan menggunakan sungai sebagai beranda kota. Lihat Frankfurt dengan Sungai Main-nya, Praha dengan Sungai Elbe-nya, London dengan Sungai Thames-nya.

Dari titik ini kita bisa mencoba memperkaya makna yang kita pahami atas Ci Kapundung. Bahwa sungai ini menyimpan informasi yang penting, terkait sejarah pembentukannya, yang bisa dipelajari dan dilihat langsung dengan mata kepala sendiri. Bukan hanya dari toponimi-toponimi saja, yang kini sudah semakin kehilangan identitasnya, karena berubahnya tata guna lahan menjadi kawasan terbangun. Lalu titik singkapan ini bisa menjadi simpul kegiatan geowisata, menjadi lokasi yang menarik untuk dikunjungi, sehingga semakin banyak orang yang peduli.

Kesimpulan

Salah satu singkapan jejak Danau Bandung Purba terletak di Ci Kapundung pada segmen Jalan Sukaati, antara Jalan Soekarno Hatta dan Batununggal. Di sini tersingkap endapan lempung berwarna hitam yang berlapis, yang merupakan jejak endapan danau Bandung Purba.

Singkapan ini sangat baik jika digunakan sebagai salah satu simpul geowisata di selatan Bandung, karena di wilayah ini sangat minim objek geowisata. Kita bisa kembangkan kegiatan ekskursi berjalan kaki, misal dari Batununggal hingga ke Taman Regol di Pasirluyu, dengan perjalanan sekitar 3 km.

Mari ikuti Geotrek: Mengenal Danau Bandung Purba, hari Sabtu 9 Oktober 2021, jam 06:30 – 10:00, titik kumpul di Pool Primajasa Batununggal. Untuk mendaftar bisa lewat

malikarrahiem.com/geotrekdanaubandung

Geotrek: Mengenal Danau Bandung

Mengundang Bapak, Ibu, adik-adik, rekan-rekan sejawat, handai taulan, untuk ikut dalam Geotrek: Mengenal Danau Bandung, yang akan diadakan pada hari Sabtu, 9 Oktober 2021, pukul 06:30-10.00. Terbatas untuk 25 orang. Untuk mendaftar silakan mengeklik tautan berikut:

Rute perjalanan Pool Primajasa Batununggal (start) – Jembatan Cikapundung Batununggal – Jalan Sukaati – Taman Regol Sukaluyu (finish). Materi yang akan dibahas: Cekungan Bandung, Sejarah Danau Bandung Purba, Singkapan Danau Bandung Purba, dan Permasalahan Lingkungan di Bandung.

Pemandunya saya sendiri, Muhammad Malik Ar Rahiem, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Geotrek ini tidak gratis, tapi bersifat pay as you wish artinya Anda bebas untuk membayar pemandu senilai yang Anda mampu, sebagai apresiasi kepada pemandu. Silakan membayar setelah acara selesai.

Akan ada sedikit menyusur sungai, semoga sepatu tidak basah, tapi perlu siap dengan kondisi ini. Outfit: pakaian yang nyaman, baiknya tidak menjuntai.

Doorprize: 1 eksemplar buku Wisata Bumi Cekungan Bandung karya Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar (2009)