Desa Garung

Berikut adalah penerjemahan mengenai Desa Garung dari buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java karya Franz Junghuhn. Saya sudah menelusuri lokasi Desa Garung yang kemungkinan besar berada di sekitar PLTMH Cikangean di Garut Selatan. Lokasinya tergambar pada screenshot citra 3D Google Earth pada gambar di bawah.

Desa kecil Garung terletak di sebuah dataran sempit di lereng bagian barat lembah, yang berada sekitar 700 kaki di bawah tepi tertinggi, membentang menjadi dataran yang cenderung landai, tetapi kemudian semakin curam ke dasar lembah yang sebenarnya. Dari sisi kami, kami melihat ke bawah ke dasar yang paling rendah ini, masih sekitar 300 kaki lebih dalam. Di sisi lain, tanah tersebut naik lagi, pertama secara bertahap, seperti teras, kemudian lebih curam, dan akhirnya sebagai dinding batu yang curam, meningkat ke tepi lembah timur, yang mungkin berjarak 1.5 hingga 2 pal jaraknya dari yang barat.

Kemungkinan lokasi Desa Garung. Gambar merupakan citra Google Earth. Lokasi di dekat PLTMH Cikangean, 20 km arah utara dari Leuweung Sancang. Lokasi diestimasi berdasarkan peta Junghuhn.

Di atas desa ini, terdapat Tipar kecil yang kering dan Uma (sawah) yang tersebar di antara belantara rumput Alang-alang, yang terakhir ini bahkan telah menggantikan ladang yang sebelumnya ada.. Tapi dasar dari lembah dan lereng-lereng terjal ini ditutupi oleh hutan belantara yang menakjubkan, dengan pohon-pohon raksasa setinggi 100-120 kaki, yang batang-batangnya seperti tiang dengan mahkota kanopi yang dipenuhi daun. Begitu tinggi pohon-pohon ini, seolah mereka tumbuh menembus udara, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Hanya di beberapa tempat saja tidak ada pohon, terutama di dinding-dinding tegak, di mana batuan tersingkap.

Hutan di atas dinding pegunungan ini kini disinari cahaya perak sinar rembulan, yang terang benderang bersinar di angkasa. Sinar ini begitu terang, hingga kita tak bisa melihat senja setelah terbenamnya mentari. Warna biru langit ini tak redup bahkan oleh awan terkecil sekalipun. Tapi tak lama terbenamnya mentari baru-terasa. Bukan tampak secara kasat mata, tapi dari suara. Meskipun tak ada angin berhembus, dan tak satupun daun bergerak, tapi suara-suara malam mulai terdengar semakin kentara. Karena tidak ada sinar matahari, maka terjadi perubahan arus panas. Arus panas ini berperan sebagai penghalang rambatan suara. Karena tidak ada perambatan suara, maka ombak di pantai, yang jaraknya lebih dari 20 pal, bisa terdengar lebih jelas. Juga riuh gemuruh sungai, yang berada jauh dari gunung ini ke arah pantai, suaranya merambat melewati dasar lembah yang dalam, lalu tiba di telinga kami. Semakin kuat suara malam yang membosankan ini mulai bergema, kira-kira sebanyak itulah juga kesunyian di desa semakin terasa.

Seratus lima puluh orang, lelaki, perempuan, dan anak-anak, menempati dunia kecil di lembah ini, dengan hewan peliharaannya: ayam, anjing, kambing, sepasang kerbau dan kuda. Dunia ini dipisahkan oleh hutan belantara dari keramaian peradaban berpuluh mil jauhnya. Mereka kini bersantai-santai di balai-balai di pondok mereka. Tak memikirkan apa-apa, hanya berkumpul tanpa melakukan apa-apa. Dari beberapa pondok kadang terdengar kidung nyanyian, yang entah kenapa seolah tak punya nada atau lirik yang jelas, tapi orang-orang senang bernyanyi dan berkreasi dengan lagunya, sambil bersantai duduk-duduk di bangku. Nyanyian monoton ini perlahan senyap.

Lalu pembantu kami yang mulanya bergabung dengan penduduk, perlahan kembali dan mulai mencari tempat untuk beristirahat. Satu per satu pintu ditutup. Lalu nyala lampu meredup. Beberapa masih tampak menembus lubang-lubang dinding bambu. Suara-suara binatang peliharaan tak lagi terdengar. Hingga akhirnya tak satupun suara peradaban tersisa. Betapa begitu dekat jarak antara kebisingan dan kesunyian, antara kebahagiaan dan kepedihan.

Kami terduduk diam dalam sunyi. Melamun seperti tersihir. Lalu lamunan kami segera tertuju pada dinding lembah, di mana satu lembah kecil secara misterius tenggelam dalam gelap bayangan, di sana suatu batu yang sangat besar atau batang kayu raksasa bercahaya terang di bawah sinar bulan. Tapi di beberapa tempat, malam begitu gelap. Di antara kayu-kayu raksasa, seolah seperti di antara celah, seperti di dalam jurang yang begitu dalam.

Langit tertutup hutan yang lebat, tanpa sekelebat cahaya pun yang lewat. Namun terdengar deras gemuruh sungai Tjikangean. Alirannya mengalir dari jeram ke jeram, dari batu ke batu, lalu terjun bebas mengalir hingga ke lautan. Bagian lain dari hutan, terutama kanopi-kanopi raksasa begitu benderang tersinari cahaya rembulan, hingga kita bisa lihat burung merak, yang raungan kerasnya tadi terdengar ketika senja berganti malam, bergema terpantulkan dinding pegunungan. Burung-burung itu kini terdiam sunyi, hinggap di puncak-puncak pepohonan. Dari waktu ke waktu berkepak-kepak sayap kelelawar. Tak lama burung hantu berteriak „hooot“, lalu berpindah menyusuri lembah.

Semua gerakan ini bisa teramati dari kejauhan. Menjadi kontras dari alam yang begitu sunyi terdiam. Selain gemuruh sungai yang riuh, kami juga mendengar ketukan pelatuk burung cabak, yang bergemeretak seperti hantaman palu pada besi. Jauh di dalam hutan jarang-jarang terdengar suara mengembik seperti kerbau, tapi suara ini lebih pelan, agak serak, dan lebih liar. Itu adalah suara Badak, yang hanya bisa didengar ketika musim kawin tiba.

Aduhai, betapa malam memberikan keindahan tersendiri pada bentang alam ini! Betapa magis cahaya bulan menyinari pemandangan ini, seolah-olah melewati gelas transparan berwarna keperakan. Dimana bisa aku cari kata-kata untuk mendeskripsikan kecantikan ini. Apa nama untuk warna cahaya magis ini? Aku tidak bisa menggambarkannya. Ini hanya bisa dirasakan. Coba rasakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *