Ci Limus di Sukajadi

Dua minggu terakhir ini saya merasa rindu kampung halaman saya di Bandung, karena sekarang sudah tepat setahun saya pindah ke Braunschweig, sister-city nya Kota Bandung di Jerman. Oleh karena itu saya ingin menulis tentang kampung halaman saya, Sukajadi di Bandung.

(perhatian! Membaca ini disarankan sambil melihat peta google maps)

Saya lahir tahun 1991 dan sejak itu hingga tahun 2012 saya besar di Sukajadi. Rumah masa kecil saya terletak di tepi sungai kecil yang ada di dasar lembah Sukajadi, namanya Ci Limus. Jangan keliru dengan Cilimus yang ada di Ledeng. Juga jangan keliru ketika saya menulis Ci dengan disambung atau dipisah. Ketika disambung maka itu merujuk pada nama tempat, sementara ketika dipisah maka itu merujuk pada nama sungai.

Rumah saya tak jauh dari titik pertemuan Ci Limus dengan jalan Sukajadi, yaitu sekitar 300 meter arah utara dari titik paling selatan Jalan Sukajadi di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Jalan Sukajadi sendiri bermula di pertigaan Prof. Eyckman hingga ke pertigaan Jalan Dr. Setiabudi, tepat di depan SMPN 15, panjangnya sekitar 2.5 km. Selain menjadi nama jalan, Sukajadi juga menjadi nama kecamatan, yang meliputi lima kelurahan: Cipedes, Pasteur, Sukabungah, Sukagalih, dan Sukawarna. Rumah saya di Kelurahan Sukabungah.

Menurut T. Bachtiar, Sukajadi merujuk pada suatu cekungan. Kata „Jadi“ merupakan istilah lama untuk menyebut periuk, bentuknya cekung bahkan cenderung seperti gentong, lembahnya dalam. Sementara kata „Suka“ merujuk pada kata pada bahasa Kawi, yang berarti membuat hati merasa senang. Dari situ T. Bachtiar berinterpretasi bahwa Sukajadi merupakan suatu cekungan yang keadaan alamnya sangat indah dan membuat orang merasa nyaman menempatinya.

Jika kita memandang Jalan Sukajadi dari arah selatan ke utara, tepatnya dari pertigaan Prof. Eyckman, maka kita akan melihat satu turunan lalu kemudian tanjakan sejak mulai dari Sukagalih hingga ke PVJ. Begitu pun jika memandang dari utara ke arah selatan, tepatnya dari Polsek Sukajadi, kita akan melihat turunan, yang kemudian tanjakan di depan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dasar cekungan ini adalah Lembah Ci Limus, persis di sekitar rumah saya tinggal. Tinggian di sebelah selatan disebut Pasir Kaliki, sementara yang di sebelah utara merupakan punggungan utama yang menerus hingga ke Setiabudi. Dalam kondisi hujan besar, kita akan saksikan air mengalir mengarah ke cekungan Sukajadi.

Ci Limus berhulu di utara Jalan Cemara, di belakang Rumah Mode Jalan Dr. Setiabudi. Mulanya mengalir ke arah timur kemudian berbelok ke sebelah barat Jalan Jurang di belakang Ayam Goreng Suharti. Dari Jalan Jurang sungai ini mengalir ke selatan-barat daya, melewati Jalan Sukamaju, Pasar Sederhana, Jalan Bijaksana, hingga akhirnya berbelok ke arah barat di Jalan Sukajadi. Di sini Ci Limus dialirkan melalui terowongan yang ada di bawah Jalan Sukajadi. Tidak jauh dari terowongan ini adalah rumah saya di sebelah kanan sungai. Di sini terdapat gang Marjaban, yang merupakan tempat saya, ibu saya, kakek saya, dan nenek buyut saya, lahir dan dibesarkan.

Dari terowongan Sukajadi Ci Limus mengalir ke arah barat daya, melewati Gang Eme, Gang Asli, kemudian berbelok di kampung Cibarengkok. Di sini sungai mengalir berkelok-kelok, sehingga pantas nama kampungnya disebut Cibarengkok. Kemudian sungai berbelok ke arah selatan. Di sini terdapat jembatan Kali Ci Limus, yang mencirikan nama sungai ini. Sungai terus mengalir ke arah selatan, bertemu dengan Jalan Pasteur, kemudian mengalir di bawah jalan Pasteur ke arah timur Pemakaman Pandu. Pada akhirnya sungai ini bertemu dengan Ci Tepus di sekitar Astana Anyar.

Terkait toponimi Ci Limus, dalam kamus Jonathan Rigg, Limus adalah sejenis mangga, Mangifera foetida, yaitu jenis mangga yang asam, yang cocok untuk rujak atau asinan, mungkin dulu di tepi-tepi sungai ini banyak ditemukan buah ini. Menurut ibu saya, ketika dulu kampung saya masih sepi, tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, jengkol, pete, nangka, dan pisang.

Gang Marjaban

Sedikit cerita tentang Gang Marjaban tempat saya tinggal. Gang Marjaban adalah gang utama yang arahnya tegak lurus dengan Jalan Sukajadi. Lebarnya muat untuk dua motor saling berpapasan. Nama Marjaban diambil dari Aki Marjaban, yang merupakan bapak dari nenek buyut saya, yang namanya Ibu Sadinah. Jadi Aki Marjaban adalah kakek dari kakek saya. Menurut ibu saya, Aki Marjaban bukan orang Bandung, melainkan pendatang dari Pekalongan. Ia datang merantau ke Bandung untuk membuka lahan dan kebun, mungkin sekitar akhir abad ke-19. Bagaimana keadaan Sukajadi waktu Aki Marjaban datang?

Untuk tahu keadaan pada masa itu, kita lihat satu kampung bernama Garunggang, yang letaknya di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Nama ini juga tercantum pada beberapa peta lama untuk merujuk pada kawasan di sekitar rumah saya. Menurut T. Bachtiar dalam „Situ Garunggang Pernah Ada di Bandung“, dimuat di Harian Pikiran Rakyat pada November 2019, Garunggang bermakna tempat yang sangat sunyi, tempat yang belum ada penghuninya. Ini sesuai dengan masa ketika Aki Marjaban datang untuk membuka lahan di kampung halaman saya.

Pada peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, rumah saya berada persis di luar batas kota. Sementara itu di sekitarnya terdapat simbol-simbol yang menggambarkan keberadaan sawah, tegalan, dan kebun pisang. Dari Jalan Cipaganti ke arah barat hampir seluruhnya merupakan persawahan, mungkin hanya satu ada dua petak pemukiman saja. Maka menjadi wajar bahwa Aki Marjaban kemudian memiliki tanah yang luas dan namanya abadi menjadi nama gang, karena ia salah satu yang pertama membuka, mengolah lahan, dan menjadikannya persawahan.

Untuk tahu siapa bermukim di mana, kita bisa menganalisis nama-nama gang dan jalan di Sukajadi. Kita bisa menemukan beberapa pola. Pola pertama adalah pola nama-nama orang. Biasanya pola ini berada di sebelah barat Jalan Sukajadi sebelum Jalan Sukagalih. Pola ini misal: Gang Marjaban, Gang Masadinah, Gang H. Moch.Tabri (di Pasir Kaliki), Gang Eme, Gang Ma Inol, Gang Pa Ahya, Gang Muhammad, Gang Pa Elas (di belakang PVJ), Gang Durahman, Gang Bapa Rukanta (keduanya di Karang Tineung). Penamaan ini mencirikan orang-orang yang pertama membuka lahan di sini pertama kali.

Contoh yang saya ketahui Aki Marjaban, dia pertama datang pada akhir abad-19, kemudian meninggal di Mekah ketika pergi haji pada tahun 1922. Aki Marjaban punya tiga orang putri: Ibu Sadinah, Ibu Daimah (Ibu Emeh), dan Ibu Kalmah. Dua nama putri Aki Marjaban jadi nama gang juga. Gang Ma Sadinah ada 30 meter arah utara dari Gang Marjaban, sementara Gang Emeh ada sekitar 50 meter arah selatan dari Gang Marjaban. Jika kita telusuri makam-makam di Sukajadi dan mencari orang-orang yang meninggal paling awal, mungkin kita akan temukan nama-nama orang yang kini diabadikan menjadi nama gang ini di sana.

Pola kedua adalah yang menggunakan nama-nama “Suka”, ini terutama merujuk pada jalan utama, antara lain: Sukajadi, Sukagalih, Sukamaju, Sukabungah, Sukasari, Sukamulya, Sukahati. Saya belum menemukan referensi penamaan nama-nama ini.

Kemudian ada pola ketiga adalah pola tematik, misal jalan-jalan dengan tema sifat-sifat mulia: Setia, Bijaksana, Sabar, Makmur, Kesehatan, dll. Lalu jalan dengan tema Karang-Karang: Karang Tinggal, Karang Tineung. Pola ketiga ini adalah pola-pola pemukiman terstruktur yang dikembangkan pada zaman kolonial atau setelah kemerdekaan. Atep Kurnia menulis tentang Indische Bronbeek yang merupakan pemukiman bagi pensiunan KNIL, ini adalah rumah-rumah di Sukajadi di utara PVJ dan sekitar komplek Karang. Komplek ini dibangun sekitar tahun 1920an. Sebelum menjadi Jalan Sukajadi, jalan ini lebih dulu disebut sebagai Bronbeekweg. Atep Kurnia juga menulis bahwa pada periode Bersiap, terjadi peristiwa mengerikan, di mana 85 orang penghuni Bronbeek menjadi korban “aksi” dari Pemuda Republik.

Pola penamaan gang ini mencirikan kepemilikan lahan pada periode tersebut. Gang-gang atau nama jalan yang bernama orang, kemungkinan berasal dari tanah luas milik orang-orang yang pertama tinggal di sana. Sementara nama gang atau jalan yang bersifat tematik, mungkin berasal dari pemerintah kota atau dari perkembangan kota di masa yang lebih baru. Teramati juga bahwa pemukiman masyarakat asli kebanyakan berada di sepanjang kiri kanan sungai, mulai dari Jalan Jurang hingga ke Cibarengkok, mencirikan pentingnya sungai sebagai pendukung kehidupan.

Semakin menggali, semakin banyak hal baru yang saya ketahui dari kampung halaman saya ini. Misal ketika ibu saya kecil, kampung saya (Lembah Ci Limus) dikenal sebagai Kampung Legok. Nama Kampung Legok bahkan masih tercatat pada meteran PLN di rumah saya. Nama Kampung Legok bisa ditelusuri pada Peta Bandung Guide Map Edisi Keempat berskala 1:10.000 yang terbit tahun 1946. Jalan Sukajadi masih disebut Bronbeekweg. Antara pertigaan Prof. Eyckman sampai ke jalan Sukagalih disebut Kampung Legok. Legok dalam bahasa Sunda berarti lubang, atau bisa juga berarti cekungan yang dalam, senada dengan pendapat T. Bachtiar mengenai sukajadi yang mirip periuk atau gentong.

Selain pada peta tahun 1921, ada beberapa pendapat mengenai nama sungai di Sukajadi. Toponimi Ci Limus sebagai nama sungai muncul pada Peta Kota Bandung berskala 1:15.000 yang terbit pada tahun 1953. Pada peta ini, sungai di kampung halaman saya dinamai Leuwilimus. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti lubuk, yaitu merujuk pada sungai yang punya lembah yang dalam. Dan sungai di belakang rumah saya punya karakteristik yang demikian.

Rumah saya berada tepat di kanan Ci Limus (untuk mengetahui kiri dan kanan sungai dengan cara kita berdiri searah dengan aliran sungai), di tepi lereng, hanya beberapa rumah saja dari tepi jalan. Susukan ini sejak saya kecil sudah diturap, ditembok sehingga menyisakan dinding-dinding yang terjal setinggi 4 meter dengan kali yang mungkin lebarnya 4-5 meter. Menurut ibu saya pembetonan dilakukan ketika ibu saya masih sekolah SD (beliau kelahiran 1964), mungkin terjadi sekitar pertengahan tahun 1970an. Pembetonan dilakukan dari hilir sampai ke hulu, dari Pasteur sampai ke Jalan Jurang.

Masih menurut ibu saya, ketika dia masih muda di tahun 1980an, seorang anak kecil warga Jalan Jurang meninggal karena hanyut masuk ke aliran sungai ketika hujan deras. Dugaan saya bahwa sungai ini memang sejak dulu punya lembah yang dalam, sehingga mungkin Jalan Jurang dinamai demikian karena menggambarkan kondisi alamnya yang berjurang (karena ada lembah sungai yang terjal). Perhatikan juga nama kawasan yang diberi nama Jalan Jurang (terusan Jalan Sederhana) itu sebelumnya dikenal sebagai nama Lamping (kini nama Jalan di belakang Kantor Pos Cipaganti). Lamping bermakna lereng.

Saya menduga perkampungan di Jalan Jurang juga sama tuanya dengan perkampungan di Gang Marjaban, karena pola penamaannya mengikuti nama-nama orang: Gang Pa Ehom, Gang Aki Nari, Gang Mama Pura, Gang Bapa Adma, Gang Arpat, Gang Mama Uwar, dst.

Nama Ci Limus ini tidak selalu sama pada setiap lembar peta yang dipublikasikan, beberapa nama mungkin keliru karena kekurangakuratan pemetanya. Pada Peta Kota Bandung tahun 1928 berskala 1:10.000, sungai ini dinamai Ci Kakak. Ini sama dengan pada Peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, sungai ini merupakan sungai yang bermuara ke Ci Kakak. Ci Kakak sendiri muaranya berada di selatan Pemakaman Astana Anyar, di sebelah barat Lapangan Tegallega. Selain itu ada juga toponimi Ci Kalintu yang muncul dari Kaart van de gemeente Bandoeng Schaal 1:10.000 yang terbit tahun 1938. Cikalintu dikenal dalam sejarah Kota Bandung sebagai tempat tinggal Bupati pertama Bandung R.A. Wiranatakusumah II ketika mencari tempat untuk ibukota Bandung dari sebelumnya di Krapyak, Dayeuh Kolot. Ada yang menyebut bahwa Cikalintu berada di sekitar Jalan Jurang. Google maps menggunakan nama Cikalintu untuk menyebut Ci Limus.

Ci Limus pada masa sekarang

Ci Limus kini merupakan sungai yang merana. Tubuhnya telah habis dibeton, hingga tinggal menyisakan tebing yang tegak dan aliran air di bawahnya. Hampir di semua tempat badan sungainya dipunggungi, kecuali di sekitar Cibarengkok, di mana sungai bersebelahan dengan badan gang.

Karena merupakan pemukiman masyarakat yang berkembang secara organik, maka sejak awal hampir semua orang memenuhi kebutuhannya sendiri: air mengebor sendiri, limbah membuang sendiri. Sepanjang sungai akan terlihat pipa-pipa buangan rumah tangga.

Baru beberapa tahun belakangan ada program-program Pamsimas, yang meliputi air bersih dan juga sanitasi. Saya memperhatikan program-program kebersihan juga sering dilaksanakan oleh Kelurahan, baik pembersihan saluran, perawatan tanggul dan turap, serta penyebaran informasi perlindungan sungai. Ini sangat penting jika kita ingin menganggap sungai sebagai denyut nadi masyarakat urban.

Kita harus menyadari bahwa air mempunyai aturannya tersendiri. Ia selalu mencari elevasi yang paling rendah. Sungai adalah titik-titik elevasi terendah pada setiap relief. Sungai tidak bisa dimodifikasi sembarangan, misal ditutup, dibelokkan, dibendung, atau diubah peruntukannya, karena itu bisa mengubah begitu banyak hal dan memengaruhi begitu banyak orang yang tinggal di sepanjang alirannya.

Setiap kali hujan deras, jalanan dipenuhi air. Jalan seolah menjadi sungai, mencirikan tidak ada lagi jalur air untuk mengalir Ditambah lagi dengan sungai-sungai yang ditutup, baik oleh pemukiman, oleh jalan, oleh parkiran, dan lain-lain. Jika kita gunakan kata kunci „Banjir Sukajadi“, maka kita akan temukan sangat banyak kejadian banjir yang seharusnya tidak terjadi, jika saluran drainase kita terjaga.

Sungai harus kita muliakan, ia melindungi kita, ia sudah menyediakan begitu banyak untuk manusia, sejak era Aki Marjaban hingga sekarang. Mari kita jaga!

Bandung Hareudang – Penelitian Suhu Permukaan Kota Bandung

Bandung yang dingin adalah sebuah kefanaan. Dalam buku-buku nostalgia, banyak dikisahkan cerita tentang Bandung yang dingin, adem, dan nyaman ditinggali. Bahkan ada sebuah memoar terkenal karya Us Tiarsa berjudul Basa Bandung Halimunan, atau jika diterjemahkan berarti Ketika Bandung Berkabut, menunjukkan betapa Bandung sebagai kota yang dingin dan bahkan sering berkabut saking dinginnya.

“Bandung dingin adalah fana, hareudang-lah yang nyata”

Hal inilah yang mendorong saya melakukan penelitian kecil sederhana. Yang sudah banyak dilakukan orang sebelumnya. Hanya sedikit saya modifikasi. Agar ada perbedaan. Ada kebaruan. Saya mencoba memetakan suhu permukaan di Kota Bandung. Memberi bukti, bahwa hareudang itu nyata.

Syahdan NASA (LAPAN-nya Amerika Serikat) dan USGS (Badan Geologi-nya Amerika Serikat) mengirimkan satelit ke atmosfir. Nama misinya Landsat. Mulai dari Landsat 1 tahun 1972, hingga sekarang sudah Landsat 8 sejak 2013, dan nanti Landsat 9 mungkin tahun 2020.

Dari langit satelit ini merekam respon permukaan bumi terhadap radiasi cahaya matahari. Hutan punya respon tersendiri. Kota juga punya. Begitu juga air, sawah, dan berbagai macam bentang alam lainnya.

Setiap 16 hari sekali Landsat 8 ini mengelilingi bumi. Satu titik di gambar yang direkam satelit ini mewakili 0.1 – 1 hektar lahan. Salah satu data yang bisa direkam adalah suhu di permukaan. Yang saya pakai untuk penelitian saya ini.

Selain satelit Landsat, sebenarnya masih banyak lagi satelit lain yang merekam temperatur. Tapi tidak saya pakai. Mungkin nanti. Jika ada waktu dan kesempatan di lain hari.

Citra satelit ini saya saring berdasarkan tutupan awan. Kalau ada awan, tidak ada data suhu permukaan. Yang terekam angka negatif. Sangat dingin karena suhu awan.

Dari tahun 2013 hingga sekarang total ada 125 citra satelit yang berhasil dikumpulkan oleh piranti Google Earth Engine (GEE). Piranti super powerful yang menurut saya harus dikuasai oleh ahli kebumian seperti di tulisan saya yang lalu.

Dengan memodifikasi naskah-naskah pemrograman Java yang tersedia di forum-forum developer GEE, saya membuat peta persebaran suhu permukaan tanah di Cekungan Bandung dan membuat diagram seri waktu suhu di tengah kota, di Baksil, dan di Tahura.

Hasilnya mudah diduga, bahwa suhu di tengah kota lebih tinggi. Kemudian suhu di Baksil, dan paling adem adalah suhu di Tahura.

Peta suhu permukaan tanah rata-rata Cekungan Bandung. Suhu rata-rata 20-22 C.
Peta suhu permukaan tanah rata-rata Kota Bandung dan sekitarnya. Suhu rata-rata 25-26 C.

Fenomena kota yang lebih panas dari daerah di sekitarnya dikenal dengan nama Urban heat island. Ini terjadi di seluruh daerah urban di dunia. Seiring dengan ancaman perubahan iklim akibat ulah manusia, akan semakin sering terjadi suhu ekstrim. Artinya musim panas semakin panas, musim dingin semakin dingin.

Di Kota Bandung, suhu rata-ratanya antara 25-26 C, sementara di Cekungan Bandung suhu rata-ratanya antara 20-22 C. Di titik di kota, suhu rata-ratanya 27.94 C. Di Baksil suhu rata-ratanya 22.57 C. Sementara di Tahura suhu rata-ratanya adalah 19.33 C.

Menurut penelitian dari Widya Ningrum (2018), suhu rata-rata Kota Bandung bertambah 1.3 C antara tahun 2005 hingga tahun 2016.

Penting bagi para perencana kota untuk merespon fenomena Pulau Panas Perkotaan ini agar panasnya Kota Bandung tidak sampai taraf mematikan. Pernah dengar cerita para lansia yang meninggal dunia karena musim panas yang tidak mampu ditahannya? Cerita itu nyata dan terjadi di banyak tempat di bumi kita ini.

Ada banyak penelitian juga yang menunjukkan bahwa orang-orang yang taraf ekonominya kurang, umumnya hidup di wilayah yang lebih panas. Akibatnya mereka lebih rentan terkena dampak fenomena ini.

Data suhu yang saya sajikan di tulisan ini hanyalah data dari satelit. Tingkat akurasinya tidak meyakinkan. Perlu lebih banyak sensor suhu dipasang di darat. Merekam data harian. Agar kita tahu bagaimana kota kita hidup. Bagaimana kota kita ini berdenyut.

Konon saya dengar ada pemasangan sensor suhu di kelurahan-kelurahan di Kota Bandung. Wah ini sangat menarik kalau datanya bisa dielaborasi. Digabungkan dan dianalisis bersama-sama. Lalu kita bisa tahu di mana kekurangan data. Biar kita bisa semakin pahami kota yang kita cintai ini.

Karena aksi itu harus bisa diukur tingkat keberhasilannya. Misal kita menanam sejuta pohon. Apakah itu berhasil atau tidak? Mana kita tahu jika tidak ada pembandingnya. Hanya perasaan saja. Contoh yang paling nyata misal pembuatan sejuta lubang biopori. Apakah itu ada pengukuran dampaknya? Saya kira tidak ada. Maka ya itu seolah gerakan asal saja.

Penelitian Pulau Panas Perkotaan ini masih bisa berkembang jauh lagi. Kita bisa bandingkan setiap kelurahan dan kepadatan penduduknya. Kita bisa bandingkan tingkat pendapatan dan jenis kegiatan dominan yang ada di wilayah tersebut. Kita bisa hitung jumlah ruang terbuka hijau dan membandingkan suhu rata-rata di daerah yang banyak dan sedikit ruang terbuka hijaunya. Dan masih banyak lagi kemungkinan penelitian-penelitian lainnya. Yang seru. Yang membuka mata kita akan fakta-fakta tentang kota yang kita cinta.

Dan Bandung bagiku bukan hanya
masalah wilayah belaka
Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan
yang bersamaku ketika sunyi

Pidi Baiq

PS: oh iya penelitian ini sedang saya tulis makalahnya untuk dimasukkan ke http://sinasinderaja.lapan.go.id/, konferensi tahunan yang diselenggarakan LAPAN (NASA-nya Indonesia). Nanti kalau sudah selesai, saya akan bagikan tautan makalah dan juga kode programnya.

Curug Lanang, Air Terjun yang Hilang di Ci Tarum

Dulu, di aliran Ci Tarum di sekitar Leuwigajah, di tempat sekarang Curug Jompong berada, tidak hanya ada satu air terjun saja. Di sana terdapat deretan air terjun, ada dua air terjun lainnya ke hilir dari Curug Jompong. Dua air terjun itu kini tidak ada lagi, karena sejak 1985 ikut tenggelam dalam genangan Waduk Saguling setelah struktur bendungan dibangun antara Pasir Saguling dan Gunung Pancalikan, membendung Ci Tarum pada elevasi 650 meter di atas permukaan laut.

Keberadaan deretan air terjun di Bandung ini telah dilaporkan sejak lama. Tercatat Junghuhn yang pertama melaporkannya pada 1854. Junghuhn dalam bukunya Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi En Inwendige Bouw volume ke 4 yang diterbitkan tahun 1854 (hal. 384), melaporkan penemuan bebatuan Diorit di sekitar Curug Jompong. Ia juga melaporkan deretan air terjun setelah Curug Jompong. Curug Jompong adalah air terjun yang pertama, kemudian Curug Lanang, dan ketiga adalah Curug Kapek.

Pada tahun 1857, Ferdinand Hochstetter dan timnya dalam ekspedisi Novara, menapaktilasi jejak Junghuhn dan melaporkan hasil ekspedisinya dalam buku “Narrative of the Circumnavigation of the Globe by the Austrian Frigate Novara“. Dipimpin oleh Komodor B. von Wullerstrof-Urbair dan ditulis oleh Dr. Karl Scherzer, laporan mengenai tiga air terjun di sekitar Lagadar dilaporkan dalam buku volume kedua yang diterbitkan di London tahun 1862. Tapi catatan lengkap mengenai perjalanan ke Jawa ditulis langsung oleh Ferdinand Hochstetter dalam Geologische Ausflüge auf Java.

Laporan ini merupakan yang paling lengkap dan terperinci mengenai tiga air terjun di Lagadar. Dalam laporannya ini Hochstetter menuliskan pengalamannya berkunjung ke daerah ini.

” Curug Jompong adalah air terjun pertama di Ci Tarum. Lokasinya merupakan gerbang di mana Ci Tarum berpindah dari dataran Bandung menerobos perbukitan yang jika dilihat dari selatan (Gunung Tilu dan Gunung Patuha), perbukitan ini seolah membentuk koridor memanjang ke arah utara menuju dataran tinggi Bandung. 

Erosinya cukup dalam di sini, hingga 100 kaki. Sebatang pohon kiara berdiri tegak di dasar sungai yang berdebur kencang, menjadi pemandangan indah yang natural dengan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Aliran air menerjang di lembah dengan lebar sekitar 100 kaki, menderu menurun karena ada dua tingkatan, kemudian bersamaan jatuh setinggi 30 kaki. Sedikit jauh ke hilir kita bisa amati turunan ketiga. 

Di tengah-tengah air yang berbusa, tampak batuan tertutup semak dan batuan besar yang seolah membentuk pulau kecil dengan pohon tumbuh dari retakannya. Dinding batuan di sebelah kiri sungai menunjukkan karakter felspatik, teramati juga hornblende dan massa trakitik yang mengandung kuarsa, dengan tekstur porfiritik dan berwarna terang. 

Batuan ini mirip dengan batuan Vorospatak di Transylvania yang diteliti oleh Dr. Strassen yang mendeskripsi batuan ini sebagai Dasit. Sayang sekali saya tidak bisa mendapat spesimen yang segar dari tempat ini. 

Sekitar setengah mil ke hilir dari Curug Jompong, Ci Tarum yang menoreh bukit-bukit trakitik, seperti Bukit Korehkotok di kiri sungai, dan kerucut Gunung Selacau yang mencolok di kanan sungai, kembali terdisrupsi.  

Di sinilah air terjun kedua, yaitu Curug Lanang berada. Erosi sungai semakin dalam di sini. Tepi sungai terjal dan berbatu, sehingga untuk turun ke sungai hanya mungkin dengan bantuan tangga bambu. Curug Lanang ini lebih berupa jeram daripada air terjun. Batuannya sangat resisten dengan mineral berwarna abu kehijauan tanpa hornblende. Dinding vertikal di kiri sungai menunjukkan seri lapisan sedimen yang menarik, yaitu:

–6 kaki lempung
–8 kaki kerakal
–12 kaki batupasir coklat dengan selingan lempung
–10 kaki kerikil
–dan 20 kaki lapisan tipis batupasir kecoklatan.

Lapisan-lapisan sedimen ini berlapis datar tanpa disrupsi di atas masa batuan yang menjadi dasar sungai. Lapisan ini merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung. 

Kami beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan ke Curug Kapek, yaitu air terjun ketiga. Air terjun ini tidak jauh dari Curug Lanang, tapi karena tidak ada akses kami harus jalan memutar. Curug Kapek juga lebih tepat disebut sebagai jeram daripada air terjun. Sungai di segmen ini hanya selebar 24 kaki, dan air terjun jatuh dari ketinggian 6 kaki dari lapisan batupasir yang merupakan lapisan paling bawah dari profil yang saya sebutkan di atas. Pasir dalam profil ini merupakan endapan volkanik berukuran pasir halus. 

Setelah mengamati sendiri, saya merasa cukup yakin tentang pendapat Junghuhn mengenai material yang dianggap sebagai lapisan danau di Dataran Bandung ini berasal dari endapan gunung api. Juga bahwa dataran tinggi ini, seperti juga daerah lain di tengah-tengah Pulau Jawa, ditimbun oleh endapan volkanik, lava, material rombakan, debu, dan pasir. Sementara endapan yang lebih tua mungkin endapan aluvial. Kami bisa membayangkan asal muasal dari material-material ini dengan menganalogikan dengan letusan gunung yang terjadi belakangan ini di Jawa, misal letusan Gunung Galunggung tahun 1822 yang aliran lumpurnya mengakibatkan areal yang berada pada jarak tertentu dari pusat erupsi ini tertimbun hingga 50 kaki dalamnya.”

Kemudian pada tahun 1930, Profesor geologi Th. Klompe dalam buku buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tingginya), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, menulis:

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. “

Profesor Klompe tidak menyebutkan secara gamblang nama air terjun setelah Curug Jompong. Ia hanya menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan jeram di daerah ini. Boleh jadi ini merujuk pada Curug Lanang dan Curug Kapek seperti yang telah dilaporkan oleh Hochstetter dan Junghuhn.

Setelah mencari-cari cukup lama, akhirnya saya dapat foto air terjun yang saya duga adalah Curug Lanang. Foto-foto ini merupakan koleksi digital dari Universitas Leiden. Kira-kira diambil tahun 1910. Keterangan dalam foto ini hanya menyebut jeram di Ci Tarum tempat bermuaranya Ci Kuya.

Perhatikan batu di gambar 1, merupakan batu yang sama dengan gambar 2. Sementara gambar 3 kemungkinan adalah foto dari jarak jauh.

Yang menarik di dalam Peta Geologi Lembar Bandung yang dibuat oleh van Bemmelen dan Szemian tahun 1934, terdapat toponimi Kapek di sebelah utara Curug Jompong. daerah ini berada di sekitar Ci Kuya yang kemudian bermuara ke Ci Tarum. Meski demikian kemungkinan besar di muara Ci Kuya ini justru merupakan letak dari Curug Lanang, karena deskripsi geografisnya lebih cocok, yaitu di antara Pasir Korehkotok di kiri sungai dan Gunung Selacau di kanan sungai (kiri kanan sungai dilihat dari arah sungai mengalir). Sementara dalam tulisan Klompe, ia menyatakan bahwa Ci Lanang berada di muara sungai pertama setelah Curug Jompong.  Dalam peta geologi van Bemmelen dan Szemian ini, Curug Jompong ditandai dengan kata Stroomversnelling yang artinya jeram.

Peta Geologi Lembar Bandung van Bemmelen 1934

Kemungkinan lokasi Curug Lanang. Paling besar kemungkinannya adalah lokasi di hilir.

Tentu Curug Lanang tak bisa kita lihat lagi keberadaannya. Namun bukan berarti kita lupakan saja dan lanjutkan hidup seperti biasa. Justru kita harus menggali apa yang mungkin bisa kita manfaatkan untuk masa depan. (Menggali di sini bukan berarti menambang yaa).

Membuka ulang catatan-catatan lama bukan berarti bernostalgia dengan masa lalu dan menganggap masa lalu lebih baik dari masa sekarang. Ini hanyalah upaya untuk merefleksi diri, melihat kembali apa yang pernah kita punya agar kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan ke depannya. Mempelajari sejarah adalah mempelajari kebijaksanaan lampau untuk kita manfaatkan dalam kehidupan kita sehari-hari sekarang. Paling sederhana bisa jadi menghidupkan kembali jalur berwisata di sekitar Curug Jompong. Mengajak orang-orang kembali ke masa lalu untuk bisa memperbaiki Ci Tarum yang rusak berat saat ini.

Dalam catatan-catatan panduan perjalanan berwisata di Bandung, sering sekali disebut bahwa daerah perbukitan intrusi yang diterobos Ci Tarum ini memiliki bentang alam paling indah di Pulau Jawa. Mungkin kita bisa mengembalikan daerah ini seperti dulu, kembali pada habitatnya sebagai tempat yang indah, tempat yang dikunjungi dan dibanggakan, bukan tempat yang dibelakangi dan ditinggalkan.

Semoga bermanfaat.

Ci Tarum Tercemar Amat Sangat Super Luar Biasa Berat!

Hari ini saya belajar mengenai status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman ini, metoda yang digunakan untuk menentukan status mutu air adalah metoda STORET. Metoda ini secara prinsip membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Untuk mengklasifikasikan status mutu air, digunakan sistem nilai dari US-EPA, yang mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu
(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10  cemar ringan
(3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30  cemar sedang
(4) Kelas D : buruk, skor lebih kecil dari -31  cemar berat

Angka di atas kurang lebih berarti seperti ini: setiap ada satu parameter yang lebih besar dari batas ambang minimal, maka akan dapat skor minus. Parameter yang diukur seperti parameter fisika (TDS, suhu, DHL), kimia (kandungan zat-zat kimia), dan biologi (e-coli). Semakin rendah nilainya (semakin minus), maka semakin buruk skornya.

Nah kemudian saya mencoba membaca hasil analisis kualitas air Ci Tarum di Nanjung, dekat Jembatan Ci Tarum di Leuwigajah, yang dilaporkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat. Pengukurannya sendiri dilakukan pada bulan April, Mei, Juli, September, dan Oktober 2013. Hasilnya adalah skor Storet Ci Tarum di Nanjung -176! (cek tabelnya di: NANJUNG)

Skor -176 ini selisihnya lebih dari 140 dari batas minimal kelas D yang artinya tercemar berat. Mungkin kita bisa menambah beberapa kelas lagi sampai kelas Z untuk menunjukkan bahwa Ci Tarum ini tingkat ketercemarannya sangat luar biasa buruk.

Lebih lima tahun lalu saat kampanye mantan Gubernur Ahmad Heryawan, beliau menjanjikan pada 2018 air Ci Tarum bisa diminum. Janji ini tentu hanya sekedar janji politik yang omong kosong. Kenapa begitu? Karena lihat saja tahun 2013 saat janji itu diungkapkan, angkanya -176, mungkin di stasiun pengukuran lain sama juga, sementara untuk bisa diminum, yaitu memenuhi baku mutu maka nilainya itu 0. Ada puluhan parameter yang harus diperbaiki, sementara aksinya tidak terasa kalau tidak boleh bilang tidak ada.

Kini tahun 2018, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat belum menyediakan lagi data kualitas air Ci Tarum di laman situsnya. Konon klaimnya, meski kualitas air tetap buruk, tapi angkanya membaik.

Karena di rezim jaman sekarang itu tidak boleh asal kritik dan harus memberi solusi, maka saya ingin mencoba memberi solusi.

Solusi dari saya adalah keterbukaan data agar masyarakat bisa melihat sendiri perbaikan yang terjadi di Ci Tarum. Buka akses selebar-lebarnya terhadap semua pengukuran dan monitoring di Ci Tarum. Buka data analisis kualitas air, dan tunjukkan grafiknya bahwa perubahan terjadi menuju arah yang lebih baik. Biar kita bisa mengukur sendiri, biar kita bisa tahu sejauh mana dampak upaya kita untuk melindungi Ci Tarum.

Saat ini data yang tersedia hanya data tahun 2013. Sementara itu untuk mengakses data-data terbaru harus mengajukkan permohonan yang tentu memakan waktu dan terutama karena kita paham ruwetnya birokrasi. Dengan terbukanya akses data, maka partisipasi warga akan lebih mudah. Toh data milik warga juga, tidak perlu disembunyi-sembunyikan. Kecuali memang ada yang ingin disembunyikan.

Solusi saya yang kedua sifatnya lebih lokal. Salah satu simpul Ci Tarum adalah Curug Jompong. Dalam tulisan saya yang lalu, saya menulis tentang Curug Jompong yang telah dikenal sejak lama dan telah menjadi tempat bergeowisata sekurang-kurangnya sejak 1918. Dengan menghidupkan kembali Curug Jompong sebagai tujuan berwisata (meskipun masih kotor, jorok, dan berbau tak sedap) kita mengundang masyarakat untuk menjadi pengawas Ci Tarum. Ini untuk membuka pikiran masyarakat bahwa Ci Tarum adalah beranda rumah kita, yang harus kita jaga dan pelihara. Juga untuk mengingatkan semua orang bahwa Ci Tarum pernah begitu berjaya dengan Curug Jompongnya, menjadi objek wisata kebanggaan warga Bandung sejak 100 tahun yang lalu.

Semoga saya bisa menjadi bagian dari solusi, bukan hanya yang berucap tanpa berbuat.

Sanghyang Tikoro Tempo Dulu dalam Foto dan Sketsa

Berikut beberapa gambar Sanghyang Tikoro tempo dulu dalam foto dan sketsa. Gambar didapat dari berbagai sumber.

Sanghyang Tikoro dalam buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (1930)

 

Sanghyang Tikoro dalam Collection of the Natural Sciences Commission for the Dutch East Indies (1839-1844)

 

Sketsa Sanghyang Tikoro oleh Junghuhn dalam buku Java: Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (1854)

 

Sketsa Sanghyang Tikoro oleh Junghuhn dalam buku Java: Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (1854)

Sketsa arah aliran Ci Tarum di Sanghyang Tikoro oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853). Koleksi Tropenmuseum

 

Lukisan Sanghyang Tikoro oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853) tahun 1827

Lukisan Sanghyang Tikoro dari hilir oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853) tahun 1827

Cilanang Beds, Sebuah Sejarah Panjang Penelitian Fosil Moluska dari Bandung Barat Daya

Apa yang terlintas dalam benak anda saat dengan kata “fosil”? Mungkin hal pertama yang terpikirkan adalah fosil-fosil dinosaurus dan petualangan Jurassic Park yang menjadi sumber imajinasi anak-anak tahun 90-an. Tapi jika ditambahkan satu kata “moluska” di belakang kata fosil, maka seolah-olah kata itu kehilangan daya tariknya. “Hah apaan fosil moluska? So what?” mungkin begitu respon yang ada.

Bagi kebanyakan orang mungkin begitu, tapi tidak bagi peneliti-peneliti klasik tempo dulu yang menemukan begitu banyak informasi berharga dari fosil moluska. Catatan orang-orang yang melaporkan tempat penemuan fosil dibaca dan kemudian jejaknya ditelusuri. Mereka berusaha agar bisa melakukan suatu ekspedisi penelitian ke sana dan mengumpulkan spesimen-spesimen untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan.

Tulisan ini adalah tentang Cilanang Beds. Suatu lapisan sedimen kaya dengan fosil moluska yang masyhur di antara para paleontolog di Jawa, terutama mereka yang membaca literatur-literatur klasik. Sayangnya, meski hanya berjarak 50 kilometer dari Kota Bandung, kota yang memiliki begitu banyak lembaga penelitian geologi, tempat ini hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Padahal, ternyata tempat ini memiliki sejarah penelitian yang panjang, sejak lebih dari 150 tahun yang lalu.

Kisah panjang Cilanang bermula pada pertengahan abad ke 19, kala Franz Junghuhn, seorang naturalis berkebangsaan Jerman, melakukan perjalanan penelitiannya yang masyhur di Pulau Jawa. Junghuhn menulis 4 jilid buku tentang Jawa dengan tebal lebih dari dua ribu halaman yang dipublikasikan secara berkala dari tahun 1850 hingga 1854.

Dalam buku jilid ke 4, Junghuhn melaporkan tentang kondisi geologi dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Catatannya ini sangat mengagumkan. Deskripsinya penuh presisi dengan sketsa yang luar biasa. Ketika membacanya seolah kita tak percaya bahwa buku ini ditulis hampir dua ratus tahun yang lalu.

Salah satu catatan geologi yang dilaporkan Junghuhn adalah penemuan fosil-fosil yang lokasi penemuannya ia kelompokkan dengan kode lokasi A-Z. Salah satu lokasi yang penemuan fosilnya cukup banyak dan catatannya cukup detil adalah Lokasi O.

Tentang Lokasi O Junghuhn menulis:

“Bagian barat daya dari dataran tinggi Bandung, terutama di Distrik Rongga, di sebelah selatan dari Ngarai Ci Tarum, antara Curug Jompong dan lembah yang menerobos pegunungan memanjang antara Bandung dan Rajamandala. Bagian selatan dari tempat ini adalah suatu pegunungan yang berasal dari endapan gunung api. Dari Lio Tjitjangkang berjalan turun ke arah barat hingga Gunung Sela, kita akan temui daratan yang menjorok ke sungai, di mana kita bisa lihat lapisan lempung dan batupasir marl yang lunak dan berwarna kebiruan dengan kandungan fosil yang luar biasa baik dengan tingkat keterawetan yang sangat tinggi. Dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut, singkapan ini berada di tepian Ngarai Ci Lanang hingga ke Gunung Sela, di mana sepanjang ngarai inilah fosil-fosil bisa ditemukan.”

Terpesona oleh catatan Junghuhn, pada tahun 1857, dalam sebuah ekspedisi sains berkeliling dunia yang didanai Kerajaan Austria, Ferdinand von Hochstetter bersama timnya menyusuri kembali jalur yang dilaporkan Junghuhn. Perlu diketahui bahwa pada masa itu dunia riset di Eropa sedang giat-giatnya melakukan ekspedisi untuk mengumpulkan spesimen-spesimen fosil dari seluruh dunia. Dalam ekspedisi yang diberi nama Ekspedisi Novara ini (berdasarkan nama kapal ekspedisi), Hochstetter dan timnya mengumpulkan begitu banyak spesimen yang dikirimkan ke Vienna. (lihat Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro)

Kemudian pada tahun 1879, seorang geolog dan paleontolog berkebangsaan Jerman Johann Karl Ludwig Martin, mempublikasikan laporannya tentang hasil analisis fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Junghuhn dan oleh ekspeditor lain yang dilakukan di Jawa. Laporan ini berjudul “Die Tertiärschichten Auf Java” atau “Lapisan Tersier di Jawa”. Dalam laporan ini Martin juga menganalisis mengenai Lokasi O yang disebutkan Junghuhn. Lokasi ini cukup istimewa karena jumlah spesies yang bisa diidentifikasi sangat banyak, lebih dari 100 fosil bisa diidentifikasi dari lokasi ini.

Sedikit bocoran tentang Martin. Ia lahir di Jever, Jerman pada 1851 dan kemudian pada 1877 diangkat menjadi  profesor geologi di Universitas Leiden, Belanda. Kemudian dari tahun 1878 hingga 1922 ia menjadi direktur Museum Geologi di Leiden. Sebagai seorang saintis, penelitiannya terutama pada bidang paleontologi dan stratigrafi di Hindia Belanda, terutama di Maluku. Martin ini dianggap sebagai sesepuhnya paleontologi di Belanda.

Martin pertama kali berkunjung ke Jawa pada tahun 1910. Setahun kemudian ia mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “Vorläufiger Bericht über geologische Forschungen auf Java” atau jika diterjemahkan menjadi “Laporan Awal Mengenai Penelitian Geologi di Jawa”. Dalam publikasi ini, Martin melaporkan banyak hal menarik, seperti letusan Gunung Tangkuban Perahu pada tahun 1910. Tapi yang paling utama adalah laporannya mengenai lapisan-lapisan sedimen kaya moluska di Jawa, salah satunya di Cilanang. Bermula dari makalah inilah istilah Tjilanang Beds atau Lapisan Cilanang dikenal, yang kemudian menjadi penamaan lapisan ini.

Martin mencari tahu lokasi-lokasi mana saja yang dideksripsi oleh Junghuhn sebagai Lokasi O. Setelah mempelajari detil laporan Junghuhn dan Hochstetter, Martin mengunjungi Cilanang dan mendapati 4 lokasi penemuan fosil, yaitu; di pertemuan Ci Lanang dan Ci Tangkil, kemudian di Lembah Ci Lanang menuju Gunung Sela, kemudian di Lembah Ci Bining, dan di Lio Cicangkang. Tempat-tempat ini beberapa masih bisa dikenali hingga sekarang.

Ci Lanang adalah sungai menjadi batas dua desa di Kecamatan Gunung Halu, yaitu Desa Wargasaluyu dan Desa Tamansari. Ciburial adalah nama kampung di Desa Celak, Kecamatan Gunung Halu, juga merupakan nama sungai.

Lio Cicangkang tidak dikenali lagi, tapi ada nama daerah Cicangkang di perbatasan Kecamatan Gununghalu dan Sindangkerta. Menurut Hochstetter, Lio Cicangkang adalah tempat pembakaran kapur, dan tempat ini merupakan satu-satunya lokasi bisa ditemukan kapur di daerah ini. Dalam peta geologi lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), terdapat satuan batuan Mtjl atau anggota batugamping Formasi Cilanang di sekitar Cicangkang yang kemungkinan besar merupakan sisa-sisa Lio Cicangkang. Sementara Ci Bining tidak dikenali lagi.

Dari keempat lokasi ini Martin mengumpulkan 2563 spesimen dari 119 spesies yang berbeda. Ditemukan 104 spesies di Ci Burial, kemudian 46 spesies di Ci Lanang, dan 29 spesies di Ci Bining.

Contoh sketsa fosil-fosil yang disketsa Martin dalam buku Die Tertiarschichten auf Java (1879)

Martin melanjutkan penelitiannya tentang lapisan Tersier di Indonesia dan melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1928 melalui publikasinya “Eine Nachlese zu den Neogenen Mollusken von Java”, “Sekilas tentang Moluska berumur Neogen di Jawa”. Dalam publikasinya ini, Martin memberikan sintesis fosil-fosil yang ditemukan di Ci Lanang. Secara total terdapat 189 spesies moluska yang dikenali di Cilanang. Moluska ini berasal dari dua kelas, yaitu kelas Gastropoda (kelas siput) dan kelas Lammelibranchiata (kerang-kerangan yang memiliki dua tangkup cangkang atau bivalvia). Dari 189 spesies ini, 63 spesies masih ditemukan hidup hingga sekarang, sehingga terdapat persentase 34%. Fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Martin dapat dilihat dalam katalog di sini.

Persentase antara fosil yang masih hidup dengan jumlah fosil yang ditemukan ini digunakan Martin untuk mengklasifikasikan umur lapisan-lapisan sedimen. Untuk lapisan di Cilanang, Martin menyimpulkan lapisan ini berumur Miosen tengah atas atau sekitar 7-10 juta tahun yang lalu.

Oleh Martodjojo (1984) lapisan kaya moluska di Cilanang dikelompokkan ke dalam Formasi Cimandiri yang berumur Miosen atas. Singkapan di sepanjang aliran Ci Lanang diusulkan Martodjojo sebagai hipostratotipe dari Formasi Cimandiri.

Stratotipe adalah perwujudan alamiah satuan stratigrafi yang memberikan gambaran ciri umum dan batas-batas satuan stratigrafi. Hipostratotipe adalah tambahan bagi stratotipe. Lokasi tipe dari Formasi Cimandiri terletak di Ci Talahab, Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Pengukuran penampang stratigrafi di Ci Talahab hanya menunjukkan ketebalan 167 meter, sementara pengukuran di Ci Lanang menghasilkan ketebalan 407 meter. Lapisan yang kaya moluska memiliki ketebalan sekitar 100 meter.

Lama waktu berselang, lebih dari 100 tahun sejak publikasi Martin tahun 1911. Pada tahun 2013 di Ci Burial saya sedang menggali singkapan dengan palu geologi saya. Suatu lapisan batupasir berwarna terang yang kaya dengan kandungan fosil moluska. Bingung dan payah tak tahu bagaimana cara mengidentifikasi moluska yang ada di hadapan saya. Padahal ia telah begitu lama diidentifikasi, telah lebih seratus tahun lamanya.

Begitulah cerita tentang Cilanang. Tentang suatu lapisan penting yang mengandung cerita panjang lingkungan pengendapan purba di Pulau Jawa dan saya yang baru sekarang memahami penting dan indahnya lapisan sedimen yang pernah saya teliti.

Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro

Pada tahun 1857, angkatan laut Kerajaan Austria meluncurkan ekspedisi saintifik skala besar menjelajahi dunia dengan nama Ekspedisi Novara (1857-1859). Penelitian ini berlangsung selama 2 tahun 3 bulan, dari 30 April 1857 hingga 30 Agustus 1859. Penjelajahan ini dilakukan dengan kapal Novara di bawah komando Komodor Bernhard von Wüllerstorf-Urbair dengan 345 kru dan 7 orang saintis. Persiapan ekspedisi riset ini dilakukan oleh “Imperial Academy of Sciences in Vienna” oleh para peneliti terkemuka di bawah arahan geolog Ferdinand von Hochstetter dan zoolog Georg von Frauenfeld.

Ferdinand von Hochstetter dan laporannya

Kisah perjalanan ini dilaporkan dalam laporan “Reise der österreichischen Fregatte Novara um die Erde in den Jahren 1857, 1858, 1859 unter den befehlen des Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Narrative of the circumnavigation of the globe by the Austrian frigate Novara (Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair)”, atau kalau dalam bahasa Indonesia menjadi Kisah Naratif Perjalanan Mengarungi Bumi dengan Kapal Penjelajah Novara.

Yang menarik dari ekspedisi ini adalah perjalanannya melewati Indonesia, dan Bandung pada 1857. Hochstetter, sebagai geolog dalam tim riset ini melaporkan perjalanan mereka berkunjung ke Bandung menelusuri Ci Tarum melewati Curug Jompong, kemudian melewati Ci Lanang hingga sampai di Gunung Guha dan Sanghyang Tikoro. Catatan yang lengkapnya dalam bahasa Jerman saya coba alih bahasakan dengan bantuan Google Translate.

Bagaimana ceritanya? Silakan ikuti berikut ini:

“Pada 19 Mei kami mengarahkan tujuan kami ke timur ke Bandung untuk mengunjungi Tji Tarum (baca: Ci Tarum) . Keinginan kami adalah mengeksplorasi bentang alam indah yang dihasilkan dari interaksi sungai dan batuan dasarnya, terutama ketika Ci Tarum menerobos bebatuan hijau dan batuan porfiritik membentuk deretan air terjun, Tjuruk Kapek (entah padanannya sekarang apa), Tjuruk-Lanong (baca: Curug Lanang, sudah tidak ada sejak digenang Saguling), dan Tjuruk Djombong (baca: Curug Jompong). Dari sana kami berkuda menerobos perbukitan porfiritik menuju kerucut bebatuan Batu Susun, di tepi Gunung Bulut (Gunung Buleud?) yang terbentuk dari kolom batuan beku porfiritik.

Batu Susun Gunung Bulut. Sumber: Hochstetter

Gunung Buleud masa kini. Foto dari Instagram Desa Situwangi

Pada sore hari yang sama, kami mencapai Tjililui (baca: Cililin), ibu kota dari kabupaten Rongga, karena kekayaan bebatuannya. Yang sangat mengejutkan adalah ramahnya sambutan dari masyarakat ketika kami sampai di sana. Makanan penuh di Pesanggrahan, bahkan Wedana Cililin juga menyediakan spesimen geologi yang ia kumpul dan siapkan, kemudian berikan pada kami. Nama orang sunda yang bersemangat ini adalah Mas Djaja Bradja, Wedana Cililin.

Pada tanggal 20 Mei kami mengecek tempat di mana spesimen itu ditemukan. Di tengah hari kami menemukan tempat pembakaran kapur, Liotji Tjangkang (Lio Ci Cangkang? Ci Cangkang adalah daerah di dekat Gunung Halu), di mana koral yang telah membatu berlimpah dan dapat diamati dari kejauhan. Karenanya kami mengarahkan kompas kami ke barat laut, masuk semakin dalam ke pegunungan, di sekitaran Gonnong Gatu (Gunung Batu?). Daerah ini terkenal karena banyaknya harimau, juga karena tebalnya alang-alang. Kami menyusuri Tji Lanang (Ci Lanang) dan cabang-cabang sungainya. Pertama kami harus turun jauh menuju pertemuan Tji Burial (Ci Burial) dan Tji Tangkil (Ci Tangkil), di mana di sana ada korok trakhit. Kami mengidentifikasi fosil kerang conchylia di antara puing-puing bebatuan yang terlepas dari dinding sungai. Batuan dasarnya adalah lumpur tufan.

Kami berkuda dengan kecepatan penuh melewati gunung yang tidak banyak penduduknya. Ini karena kami harus menghindari hujan badai karena petir dan kilat sudah menyambar-nyambar. Kami beruntung tiba tepat waktu di desa kecil di kaki gunung, yaitu Desa Gunung-Alu (baca: Gunung Halu), di tepi Tji Dadass (baca: Ci Cadas), di kaki pegunungan yang menjadi batas air antara pegunungan utara dan selatan Jawa.

Pada tanggal 21 Mei, kami pergi ke Lembah Tji Lanang yang membentang di lereng terjal Gunung Sela yang terbentuk dari batupasir yang miring terjal. Lokasi ini adalah di mana petrifaksi melimpah dan di mana sisa-sisa fosil bisa diamati pada posisi fosil itu terendapkan di antara lapisan lumpur dan batupasirnya. Satu spesies fosil resin sering juga ditemukan di sini, berdampingan dengan fosil-fosil indah lainnya. Dari titik ini kami mengikuti lembah Tji-Lanang ke arah utara, dan di ujung lembah ini kami berbelok ke jalan yang jarang dilalui menuju lembah Tji-Tjamotha (baca: Ci Camota?), yaitu di batuan breksi gampingan Batu-Kakapa (?). Masih sedikit jauh dari desa perbukitan Tji-Jabang (?), di mana kemudian kami akan kembali ke sungai Tji-Tarum, di mana di titik ini Tji Tarum membentuk air terjun paling megah di Pulau Jawa, yang membelah pegunungan yang menjadi batas dataran Bandung, terbentuk dari batu hijau porfiritik, basal-trakit, dan tebing-tebing tegak kapur. Mengalir ke hilir, setelah melewati jeram-jeram yang indah, Tji Tarum kemudian menjadi sungai yang bisa dilayari, mengalir pelan melewati teras Rajamandala.

Pemandangan alam Jawa terasa sangat megah dengan deretan bukit berbatu, hutan primer yang dihantui kisah-kisah mengerikan binatang-binatang liar. Di daerah ini ada tiga titik yang sangat menarik, Tjukang-Raon (baca: Cukang Rahong), Tjuruk-Almion (baca: Curug Halimun), dan Sangjang-Holut (baca: Sanghyang Heuleut). Ketiganya menyimpan potensi menarik, yang orang-orang dapat mempelajari struktur-struktur geologinya. Ketiga titik ini terletak saling berdekatan. Untuk mencapai daerah ini, orang dapat memulai dari desa Tjijabang, di dataran perbukitan, kemudian menuruni lereng-lereng terjal dengan ketinggian 300-500 meter! Orang-orang dapat mempercayai apa yang ditulis Junghuhn pada 1854, bahwa meskipun Tjurak-Almion (Curug Halimun, air terjun kabut) adalah air terjun paling megah di Pulau Jawa, tapi tidak ada satu pun orang Eropa, kecuali dirinya yang pernah ke sana. Kami bisa membayangkan penderitaan masyarakat lokal yang membuat jalur ke sana untuk membuat akses memungkinkan. Kami menemukan jejak-jejak langkah, tangga, dan tali rotan, dan karenanya kami bisa bilang bahwa kami mengikuti jalur Junghuhn.

Pada tanggal 21 Mei, kami hanya mengunjungi Tjukang-Raon, di mana Tji-Tarum mengalir dahsyat karena dipaksa melewati celah yang lebarnya tidak lebih dari 4 meter. Di sini ada tangga bambu yang tampak rapuh dengan tali rotan tergantung di kedua sisinya, mengarah ke dinding tegak lurus dari portal batu ini.

Pada pagi hari tanggal 22 Mei, kami mengunjungi Tjuruk-Almion, air terjun terindah di Tji Tarum, di mana di sini air terjun jatuh di atas tebing batu hijau setinggi empat meter. Kemudian kami melewati rantai basal Gunung Lanang, turun sangat jauh dari ketinggian 2653 kaki ke bagian terdalam, yaitu suatu lembah jurang, Sangjang Holut, yang diduga merupakan suatu kawah purba yang sejajar dengan batuan tersier batupasir menyisakan sungai selebar 4 meter saja.

Di hari yang sama, kami sampai di desa kecil Gua, di kaki gunung bagian utara Gunung Nungnang, suatu formasi batugamping yang megah, yang sisi curamnya menjadi batas antar perbukitan batugamping dengan dataran Radjamandala yang luas ke utaranya. Gunung Nungnang memeiliki banyak rekahan-rekahan, yang dimanfaatkan oleh burung walet untuk membuat sarang. Sarang ini kemudian diambil oleh masyarakat lokal untuk diserahkan pada Bupati, sebuah pekerjaan yang sangat berbahaya.

Gunung Nungnang bei Gua – Batugamping Eosen. Sumber: Hochstetter

Pada tanggal 23 Mei, kami dengan hati-hati menjelajahi Sangjang Tjikoro, suatu bukit batugamping, di mana Tji-Tarum bercabang masuk menembus masuk ke dalam bukit. Sangat menarik dari sudut pandang geolog, karena pada titik ini kita menemukan batugamping yang sama dalam posisi horizontal membentuk struktur bukit di tepi seberang sungai ini. Dari Radjamandala kami kembali ke jalan utama ke Tjiandjur dan kemudian kembali ke Batavia.

Kegiatan membaca buku-buku lama tentang Bandung membuat saya semakin hanyut dalam kisahnya. Terutama di buku ini dibahas tentang Ci Lanang yang merupakan tempat tugas akhir saya waktu kuliah sarjana dulu. Semoga bisa menggali lebih detil lagi.

Silakan bertanya, meninggalkan komentar, atau memberi saran bacaan menarik tentang sejarah cekungan bandung, saya akan senang sekali.

 

sumber

 

Geotrek Curug Jompong Tahun 1918

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Pernah gak membayangkan bahwa geotrek itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu? Atau lebih mantap lagi pernah gak membayangkan bahwa geotrek ke Curug Jompong itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu?

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2)
Curug Jompong tahun 1915. Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde. Foto: 

Ternyata budaya berkelompok dan mengunjungi objek geowisata bersama-sama sudah dikenal sejak lama. Dalam sebuah pengumuman yang dimuat oleh Harian Umum Hindia: Tanah Priangan (nama asli korannya Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode), Perkumpulan Sejarah dan Alam Cabang Bandung (Natuurhistorische Vereeniging) mengajak anggotanya atau mungkin masyarakat umum untuk ikut dalam ekskursi mereka ke Curug Jompong. Pengumuman ini bertanggal 19 Desember 1918, hampir 100 tahun yang lalu. Modelnya persis dengan geotrek yang biasa dilakukan oleh komunitas-komunitas di Bandung.

Seperti apa ceritanya? Berikut artikel yang telah dialihbahasakan secara bebas dengan bantuan Google Translate.

Perkumpulan Sejarah dan Alam cabang Bandung mengadakan ekskursi pada tanggal 22 Desember tahun ini ke salah satu jeram Ci Tarum di daerah Leuwi Sapi yang dikenal sebagai Curug Jompong. Jeram ini terbentuk akibat halangan dari batuan andesit piroksen (salah satu spesies batuan tertua berumur miosen), dan merupakan tipe batuan yang langka, karena hanya ditemukan beberapa saja di Pulau Jawa. Lokasinya sekitar 7 km arah selatan dari Cimahi. 

Peserta yang ingin ikut bisa berkumpul jam 6 pagi di Pasar Andir dan dari sana kita akan berjalan kaki ke arah selatan. Rute ini secara umum jalan setapak, tapi akan menyenangkan karena kita akan melihat banyak desa-desa di sepanjang jalan yang jarang kita lihat karena tidak terletak di jalan utama. 

Setelah dua jam berjalan kaki kita akan sampai di daerah Gadjah di tepi Ci Tarum. Kita sebrangi Ci Tarum lewat sebuah jembatan bambu yang indah, mengobati energi kita yang terkuras habis di sini. 

Gadjah pada waktu lampau merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang, tetapi harus didirikan dan dibangun ulang oleh Rangga Abdoelrachman. Pada tahun 1802, kabupaten ini dilebur ke Bandung karena bupatinya berlaku buruk karena kebanyakan mabuk dan mengonsumsi opium. Kabupaten ini juga enggan membayar pajak pada Batavia dan akibatnya Bupati Bandung harus menalangi tagihan kabupaten ini. 

Gadjah yang sekarang (tahun 1918) merupakan desa kecil di tepi Ci Tarum dan kita bisa temukan makam dari Bupati Batulayang. “Bupati, istri, dan anaknya dimakamkan di sini”, kata penduduk setempat. Di makamnya ada atap kayu dan makamnya di kelilingi oleh pagar bambu yang tidak rapi. Penduduk lokal tidak tahu siapa nama bupati itu, dan hanya menyebutnya sebagai “Dalem”, yang mana merupakan sebutan umum untuk bupati di wilayah ini. Kemungkinan besar itu adalah makan Raden Tumenggung Angadiredja.

Di depan pintu masuk utama, ditemukan arca/gambar Ganesha, Dewa India yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan berbentuk gajah. Gambar inilah kemungkinan besar yang menjadi asal muasal nama Kampung Gadjah. Dari kampung Gadjah, kita menyusuri tepian Ci Tarum hingga ke kaki Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini. Di kanan ada deras aliran air sungai, dan di kiri kita lihat kerucut sempurna Gunung Lalakon. 

Di Leuwisapi sampailah kita ke Ci Tarum, dan dengan sedikit perjuangan lagi tiba di tujuan utama, yaitu Curug Jompong. Ci Tarum meninggalkan dataran Bandung di sini dan menerobos perbukitan Selacau-Lagadar dan Lalakon dan membentuk beberapa air terjun dengan tinggi hingga 15 kaki atau 5 meter. Dari Curug Jompong kita masih harus berjalan sekitar 1.5 jam hingga Cimahi (yang capek bisa naik Sado – moda transportasi seperti delman). Jika masih ada waktu tersisa maka kunjungilah resort tepi danau Soeka Bernang. Kemudian peserta bisa naik kereta dari Cimahi kembali ke Bandung. 

MMKB08_000137465_mpeg21_p001_image.jpg
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode 19 Desember 1918

Curug Jompong punya modal sejarah yang cukup untuk bangkit dan merebut kembali predikat lokasi wisata utama di Bandung raya. Saya ingin membandingkan Curug Jompong dengan Rheinfall, air terjun paling besar di Swiss dan di Eropa karena karakternya yang serupa. Kedua air terjun jatuh di sungai yang besar dan merupakan sungai utama di kedua daerah. Rheinfall jatuh di Sungai Rhein, sungai utama di Swiss dan Jerman, sementara Curug Jompong jatuh di Ci Tarum yang merupakan urat nadi kehidupan di Jawa Barat.

Semoga tulisan ini bisa merupakan langkah konkrit menuju jayanya kembali Curug Jompong di masa yang akan datang.

Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Ci Tarum berkelok, berliku, dan mengalir pelan di dataran Bandung Selatan. Kemudian menabrak batuan beku intrusi berumur 4 juta tahun di Perbukitan Selacau-Lagadar, tepatnya di Gunung Paseban. Karena menabrak dinding yang kuat dan resisten, Ci Tarum berbelok ke utara mengitari Gunung Pancir, kemudian berbelok ke barat menerobos lembah antara Pasir Malang di sebelah selatan dan Gunung Lagadar di utaranya.

Di kiri-kanan lembah ini terdapat beberapa bukit seperti Gunung Korehkotok, Gunung Gadung, dan Gunung Selacau. Di lembahan inilah, dengan batuan dasar batuan beku intrusif Dasit-Andesit, aliran Ci Tarum terdisrupsi batuan keras, membentuk jeram-jeram bertingkat, salah satu yang paling terkenal adalah Curug Jompong.

Air terjun ini dulu pernah menjadi primadona pariwisata di Bandung Raya. Dalam Panduan Pariwisata Bandung Tempo Dulu Gidds van Bandoeng en Midden Priangan, Reitsma dan Hoogland menulis Curug Jompong sebagai destinasi wisata favorit warga Kota Bandung pada awal abad ke-20.


cover
Halaman Muka Buku Panduan ke Bandung dan Priangan Tengah karya Reitsma dan Hoogland

Salah satu jalur yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland untuk mengunjungi Curug Jompong adalah dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Stasiun Andir ke arah selatan melewati daerah Cigondewah hilir (sekarang Taman Kopo Indah), menyeberangi Ci Tarum, kemudian sampai di daerah Gadjah, kurang lebih di daerah Kampung Mahmud (baca tentang Kampung Mahmud oleh Budi Brahmantyo di sini).  Gadjah adalah daerah penting dalam sejarah Priangan, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang (lebih lanjut tentang Batulayang baca reportase Tirto).

Berikut deskripsi Reitsma dan Hoogland tentang jalur ini (diterjemahkan bebas dengan bantuan Google Translate):

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

Dalam catatan lain di buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tinggi), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, Professor Th. H.F. Klompe, yang namanya diabadikan menjadi nama Perpustakaan Teknik Geologi ITB, menulis artikel Geologische Geschiedenis van de Vlaakte van Bandoeng (Kisah Geologi Dataran Bandung) dalam segmen Wat de Stennen zeggen (Apa yang disampaikan bebatuan). Dalam tulisannya ini Professor Klompe menulis tentang Curug Jompong.

Bandoeng en haar Hoogvlakte.png
Halaman muka buku Bandoeng en haar Hoogvlakt

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. 

Di bagian bawah dari tebing, ditemukan endapan berlapis datar yang tidak selaras dengan tebing, yaitu endapan danau. Di sini ditemukan sisa-sisa kerang air tawar, sementara jika kita menggali lebih dalam akan menemukan batuan vulkanik dan tersier. Menurut Junghuhn, endapan ini terdiri atas endapan debu volkanik yang membentuk lapisan datar dan telah mengeras. Dari fakta-fakta geologi yang didapatkan bahwa dataran Bandung terbentuk dari seri endapan gunungapi dan lapisan paling muda (sebelum endapan danau) juga merupakan endapan gunungapi, maka pada masa pra-sejarah, erupsi gunungapi pastilah memiliki signifikansi yang tinggi.” 

Membaca catatan-catatan tua tentang Curug Jompong saya meringis, miris. Monumen alam luar biasa yang menempati tempat spesial di hati orang-orang yang menghargai keindahan alam, yang menghargai signifikansi sejarah suatu kisah, kini nasibnya begitu menyedihkan.

Boro-boro menjadi tempat wisata. Curug Jompong yang sekarang sangatlah memilukan. Jika seratus tahun yang lalu Reitsma bilang sungai yang mengalir jernih kemilau, yang ada sekarang adalah aliran dengan air beracun, penuh limbah, dan jeramnya menjadi pusaran sampah. Beberapa kali pembunuhan terjadi dan mayat yang dibuang ke Ci Tarum tersangkut di sini hingga masyarakat enggan berdekatan dengan sungai karena takut direpotkan.

Geomorfologinya yang megah yang menjeram air dari hulu malah dianggap sebagai penyebab banjir karena melambatkan aliran air. Ia dituduh sana-sini, menjadi kambing hitam atas kondisi alamiah Cekungan Bandung yang bahkan sudah banjir sejak sebelum Klompe menulis artikelnya.

Gunung-gunung di sekitar Curug Jompong yang ditulis Reitsma dan Hoogland sebagai salah satu latar pemandangan paling indah di Pulau Jawa pun kini malang nasibnya. Bopeng-bopeng dipocel sana-sini. Coba susuri jalan dari Stadion Si Jalak Harupat ke Cililin, jika hari normal maka debu beterbangan. Jika hari hujan maka lumpur berbanjiran di jalan. Tidak ada yang ingat bahwa kawasan itu pernah punya predikat yang luar biasa.

Dua dari tiga tingkatan jeram yang tercatat dalam tulisan Klompe pun tidak ada lagi sejak Saguling digenangi tahun 1985.

Lantas kita sekarang harus bagaimana?

Salah satu cara agar kita bisa mengapresiasi yang kita miliki adalah dengan mengenali lebih dekat. Napak tilas jalur wisata yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland boleh jadi salah satu titik awalnya. Dengan membuka catatan lama kita seolah menghidupkan kembali memori yang diabadikan penulis dalam tulisannya, seolah memutar balik waktu, mencoba membayangkan apa yang dilihat orang-orang di Bandung tempo dulu, hampir seratus tahun yang lalu.

Kembangkan jalur wisata, jalur berjalan kaki dari Soreang ke Batujajar dari Mohammad Toha sampai ke Cililin, dengan Curug Jompong sebagai pusatnya, dengan pemuda sebagai motornya. Jangan sampai Perbukitan Selacau-Lagadar hanya jadi halaman belakang pabrik-pabrik dan tambang seperti sekarang. Yang enggan kita mengunjunginya, yang segan kita mampir karena satpam menjagainya.

Sebelum semua kerucut intrusi gunungapi purba di Perbukitan Selacau-Lagadar dilinggis habis, sebelum jeram megah Curug Jompong dipangkas tumpas.

Selagi masih bisa kita menjaganya, selagi masih mungkin kita mengembalikan kejayaannya. Membawanya pada kejayaan yang baru, yang membikin orang nanti lupa bahwa Curug Jompong pernah begini merana, seperti kita sekarang lupa Curug Jompong pernah begitu memesona pada masanya.

Semoga.

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2).jpeg
Tjurug Djompong

curug-jompong
Curug Jompong dari udara. Foto Jurnalis Peduli Citarum