Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Ci Tarum berkelok, berliku, dan mengalir pelan di dataran Bandung Selatan. Kemudian menabrak batuan beku intrusi berumur 4 juta tahun di Perbukitan Selacau-Lagadar, tepatnya di Gunung Paseban. Karena menabrak dinding yang kuat dan resisten, Ci Tarum berbelok ke utara mengitari Gunung Pancir, kemudian berbelok ke barat menerobos lembah antara Pasir Malang di sebelah selatan dan Gunung Lagadar di utaranya.

Di kiri-kanan lembah ini terdapat beberapa bukit seperti Gunung Korehkotok, Gunung Gadung, dan Gunung Selacau. Di lembahan inilah, dengan batuan dasar batuan beku intrusif Dasit-Andesit, aliran Ci Tarum terdisrupsi batuan keras, membentuk jeram-jeram bertingkat, salah satu yang paling terkenal adalah Curug Jompong.

Air terjun ini dulu pernah menjadi primadona pariwisata di Bandung Raya. Dalam Panduan Pariwisata Bandung Tempo Dulu Gidds van Bandoeng en Midden Priangan, Reitsma dan Hoogland menulis Curug Jompong sebagai destinasi wisata favorit warga Kota Bandung pada awal abad ke-20.


cover
Halaman Muka Buku Panduan ke Bandung dan Priangan Tengah karya Reitsma dan Hoogland

Salah satu jalur yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland untuk mengunjungi Curug Jompong adalah dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Stasiun Andir ke arah selatan melewati daerah Cigondewah hilir (sekarang Taman Kopo Indah), menyeberangi Ci Tarum, kemudian sampai di daerah Gadjah, kurang lebih di daerah Kampung Mahmud (baca tentang Kampung Mahmud oleh Budi Brahmantyo di sini).  Gadjah adalah daerah penting dalam sejarah Priangan, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang (lebih lanjut tentang Batulayang baca reportase Tirto).

Berikut deskripsi Reitsma dan Hoogland tentang jalur ini (diterjemahkan bebas dengan bantuan Google Translate):

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

Dalam catatan lain di buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tinggi), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, Professor Th. H.F. Klompe, yang namanya diabadikan menjadi nama Perpustakaan Teknik Geologi ITB, menulis artikel Geologische Geschiedenis van de Vlaakte van Bandoeng (Kisah Geologi Dataran Bandung) dalam segmen Wat de Stennen zeggen (Apa yang disampaikan bebatuan). Dalam tulisannya ini Professor Klompe menulis tentang Curug Jompong.

Bandoeng en haar Hoogvlakte.png
Halaman muka buku Bandoeng en haar Hoogvlakt

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. 

Di bagian bawah dari tebing, ditemukan endapan berlapis datar yang tidak selaras dengan tebing, yaitu endapan danau. Di sini ditemukan sisa-sisa kerang air tawar, sementara jika kita menggali lebih dalam akan menemukan batuan vulkanik dan tersier. Menurut Junghuhn, endapan ini terdiri atas endapan debu volkanik yang membentuk lapisan datar dan telah mengeras. Dari fakta-fakta geologi yang didapatkan bahwa dataran Bandung terbentuk dari seri endapan gunungapi dan lapisan paling muda (sebelum endapan danau) juga merupakan endapan gunungapi, maka pada masa pra-sejarah, erupsi gunungapi pastilah memiliki signifikansi yang tinggi.” 

Membaca catatan-catatan tua tentang Curug Jompong saya meringis, miris. Monumen alam luar biasa yang menempati tempat spesial di hati orang-orang yang menghargai keindahan alam, yang menghargai signifikansi sejarah suatu kisah, kini nasibnya begitu menyedihkan.

Boro-boro menjadi tempat wisata. Curug Jompong yang sekarang sangatlah memilukan. Jika seratus tahun yang lalu Reitsma bilang sungai yang mengalir jernih kemilau, yang ada sekarang adalah aliran dengan air beracun, penuh limbah, dan jeramnya menjadi pusaran sampah. Beberapa kali pembunuhan terjadi dan mayat yang dibuang ke Ci Tarum tersangkut di sini hingga masyarakat enggan berdekatan dengan sungai karena takut direpotkan.

Geomorfologinya yang megah yang menjeram air dari hulu malah dianggap sebagai penyebab banjir karena melambatkan aliran air. Ia dituduh sana-sini, menjadi kambing hitam atas kondisi alamiah Cekungan Bandung yang bahkan sudah banjir sejak sebelum Klompe menulis artikelnya.

Gunung-gunung di sekitar Curug Jompong yang ditulis Reitsma dan Hoogland sebagai salah satu latar pemandangan paling indah di Pulau Jawa pun kini malang nasibnya. Bopeng-bopeng dipocel sana-sini. Coba susuri jalan dari Stadion Si Jalak Harupat ke Cililin, jika hari normal maka debu beterbangan. Jika hari hujan maka lumpur berbanjiran di jalan. Tidak ada yang ingat bahwa kawasan itu pernah punya predikat yang luar biasa.

Dua dari tiga tingkatan jeram yang tercatat dalam tulisan Klompe pun tidak ada lagi sejak Saguling digenangi tahun 1985.

Lantas kita sekarang harus bagaimana?

Salah satu cara agar kita bisa mengapresiasi yang kita miliki adalah dengan mengenali lebih dekat. Napak tilas jalur wisata yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland boleh jadi salah satu titik awalnya. Dengan membuka catatan lama kita seolah menghidupkan kembali memori yang diabadikan penulis dalam tulisannya, seolah memutar balik waktu, mencoba membayangkan apa yang dilihat orang-orang di Bandung tempo dulu, hampir seratus tahun yang lalu.

Kembangkan jalur wisata, jalur berjalan kaki dari Soreang ke Batujajar dari Mohammad Toha sampai ke Cililin, dengan Curug Jompong sebagai pusatnya, dengan pemuda sebagai motornya. Jangan sampai Perbukitan Selacau-Lagadar hanya jadi halaman belakang pabrik-pabrik dan tambang seperti sekarang. Yang enggan kita mengunjunginya, yang segan kita mampir karena satpam menjagainya.

Sebelum semua kerucut intrusi gunungapi purba di Perbukitan Selacau-Lagadar dilinggis habis, sebelum jeram megah Curug Jompong dipangkas tumpas.

Selagi masih bisa kita menjaganya, selagi masih mungkin kita mengembalikan kejayaannya. Membawanya pada kejayaan yang baru, yang membikin orang nanti lupa bahwa Curug Jompong pernah begini merana, seperti kita sekarang lupa Curug Jompong pernah begitu memesona pada masanya.

Semoga.

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2).jpeg
Tjurug Djompong
curug-jompong
Curug Jompong dari udara. Foto Jurnalis Peduli Citarum

One thought on “Curug Jompong Dulu dan Sekarang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *