Ci Limus di Sukajadi

Dua minggu terakhir ini saya merasa rindu kampung halaman saya di Bandung, karena sekarang sudah tepat setahun saya pindah ke Braunschweig, sister-city nya Kota Bandung di Jerman. Oleh karena itu saya ingin menulis tentang kampung halaman saya, Sukajadi di Bandung.

(perhatian! Membaca ini disarankan sambil melihat peta google maps)

Saya lahir tahun 1991 dan sejak itu hingga tahun 2012 saya besar di Sukajadi. Rumah masa kecil saya terletak di tepi sungai kecil yang ada di dasar lembah Sukajadi, namanya Ci Limus. Jangan keliru dengan Cilimus yang ada di Ledeng. Juga jangan keliru ketika saya menulis Ci dengan disambung atau dipisah. Ketika disambung maka itu merujuk pada nama tempat, sementara ketika dipisah maka itu merujuk pada nama sungai.

Rumah saya tak jauh dari titik pertemuan Ci Limus dengan jalan Sukajadi, yaitu sekitar 300 meter arah utara dari titik paling selatan Jalan Sukajadi di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Jalan Sukajadi sendiri bermula di pertigaan Prof. Eyckman hingga ke pertigaan Jalan Dr. Setiabudi, tepat di depan SMPN 15, panjangnya sekitar 2.5 km. Selain menjadi nama jalan, Sukajadi juga menjadi nama kecamatan, yang meliputi lima kelurahan: Cipedes, Pasteur, Sukabungah, Sukagalih, dan Sukawarna. Rumah saya di Kelurahan Sukabungah.

Menurut T. Bachtiar, Sukajadi merujuk pada suatu cekungan. Kata „Jadi“ merupakan istilah lama untuk menyebut periuk, bentuknya cekung bahkan cenderung seperti gentong, lembahnya dalam. Sementara kata „Suka“ merujuk pada kata pada bahasa Kawi, yang berarti membuat hati merasa senang. Dari situ T. Bachtiar berinterpretasi bahwa Sukajadi merupakan suatu cekungan yang keadaan alamnya sangat indah dan membuat orang merasa nyaman menempatinya.

Jika kita memandang Jalan Sukajadi dari arah selatan ke utara, tepatnya dari pertigaan Prof. Eyckman, maka kita akan melihat satu turunan lalu kemudian tanjakan sejak mulai dari Sukagalih hingga ke PVJ. Begitu pun jika memandang dari utara ke arah selatan, tepatnya dari Polsek Sukajadi, kita akan melihat turunan, yang kemudian tanjakan di depan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dasar cekungan ini adalah Lembah Ci Limus, persis di sekitar rumah saya tinggal. Tinggian di sebelah selatan disebut Pasir Kaliki, sementara yang di sebelah utara merupakan punggungan utama yang menerus hingga ke Setiabudi. Dalam kondisi hujan besar, kita akan saksikan air mengalir mengarah ke cekungan Sukajadi.

Ci Limus berhulu di utara Jalan Cemara, di belakang Rumah Mode Jalan Dr. Setiabudi. Mulanya mengalir ke arah timur kemudian berbelok ke sebelah barat Jalan Jurang di belakang Ayam Goreng Suharti. Dari Jalan Jurang sungai ini mengalir ke selatan-barat daya, melewati Jalan Sukamaju, Pasar Sederhana, Jalan Bijaksana, hingga akhirnya berbelok ke arah barat di Jalan Sukajadi. Di sini Ci Limus dialirkan melalui terowongan yang ada di bawah Jalan Sukajadi. Tidak jauh dari terowongan ini adalah rumah saya di sebelah kanan sungai. Di sini terdapat gang Marjaban, yang merupakan tempat saya, ibu saya, kakek saya, dan nenek buyut saya, lahir dan dibesarkan.

Dari terowongan Sukajadi Ci Limus mengalir ke arah barat daya, melewati Gang Eme, Gang Asli, kemudian berbelok di kampung Cibarengkok. Di sini sungai mengalir berkelok-kelok, sehingga pantas nama kampungnya disebut Cibarengkok. Kemudian sungai berbelok ke arah selatan. Di sini terdapat jembatan Kali Ci Limus, yang mencirikan nama sungai ini. Sungai terus mengalir ke arah selatan, bertemu dengan Jalan Pasteur, kemudian mengalir di bawah jalan Pasteur ke arah timur Pemakaman Pandu. Pada akhirnya sungai ini bertemu dengan Ci Tepus di sekitar Astana Anyar.

Terkait toponimi Ci Limus, dalam kamus Jonathan Rigg, Limus adalah sejenis mangga, Mangifera foetida, yaitu jenis mangga yang asam, yang cocok untuk rujak atau asinan, mungkin dulu di tepi-tepi sungai ini banyak ditemukan buah ini. Menurut ibu saya, ketika dulu kampung saya masih sepi, tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, jengkol, pete, nangka, dan pisang.

Gang Marjaban

Sedikit cerita tentang Gang Marjaban tempat saya tinggal. Gang Marjaban adalah gang utama yang arahnya tegak lurus dengan Jalan Sukajadi. Lebarnya muat untuk dua motor saling berpapasan. Nama Marjaban diambil dari Aki Marjaban, yang merupakan bapak dari nenek buyut saya, yang namanya Ibu Sadinah. Jadi Aki Marjaban adalah kakek dari kakek saya. Menurut ibu saya, Aki Marjaban bukan orang Bandung, melainkan pendatang dari Pekalongan. Ia datang merantau ke Bandung untuk membuka lahan dan kebun, mungkin sekitar akhir abad ke-19. Bagaimana keadaan Sukajadi waktu Aki Marjaban datang?

Untuk tahu keadaan pada masa itu, kita lihat satu kampung bernama Garunggang, yang letaknya di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Nama ini juga tercantum pada beberapa peta lama untuk merujuk pada kawasan di sekitar rumah saya. Menurut T. Bachtiar dalam „Situ Garunggang Pernah Ada di Bandung“, dimuat di Harian Pikiran Rakyat pada November 2019, Garunggang bermakna tempat yang sangat sunyi, tempat yang belum ada penghuninya. Ini sesuai dengan masa ketika Aki Marjaban datang untuk membuka lahan di kampung halaman saya.

Pada peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, rumah saya berada persis di luar batas kota. Sementara itu di sekitarnya terdapat simbol-simbol yang menggambarkan keberadaan sawah, tegalan, dan kebun pisang. Dari Jalan Cipaganti ke arah barat hampir seluruhnya merupakan persawahan, mungkin hanya satu ada dua petak pemukiman saja. Maka menjadi wajar bahwa Aki Marjaban kemudian memiliki tanah yang luas dan namanya abadi menjadi nama gang, karena ia salah satu yang pertama membuka, mengolah lahan, dan menjadikannya persawahan.

Untuk tahu siapa bermukim di mana, kita bisa menganalisis nama-nama gang dan jalan di Sukajadi. Kita bisa menemukan beberapa pola. Pola pertama adalah pola nama-nama orang. Biasanya pola ini berada di sebelah barat Jalan Sukajadi sebelum Jalan Sukagalih. Pola ini misal: Gang Marjaban, Gang Masadinah, Gang H. Moch.Tabri (di Pasir Kaliki), Gang Eme, Gang Ma Inol, Gang Pa Ahya, Gang Muhammad, Gang Pa Elas (di belakang PVJ), Gang Durahman, Gang Bapa Rukanta (keduanya di Karang Tineung). Penamaan ini mencirikan orang-orang yang pertama membuka lahan di sini pertama kali.

Contoh yang saya ketahui Aki Marjaban, dia pertama datang pada akhir abad-19, kemudian meninggal di Mekah ketika pergi haji pada tahun 1922. Aki Marjaban punya tiga orang putri: Ibu Sadinah, Ibu Daimah (Ibu Emeh), dan Ibu Kalmah. Dua nama putri Aki Marjaban jadi nama gang juga. Gang Ma Sadinah ada 30 meter arah utara dari Gang Marjaban, sementara Gang Emeh ada sekitar 50 meter arah selatan dari Gang Marjaban. Jika kita telusuri makam-makam di Sukajadi dan mencari orang-orang yang meninggal paling awal, mungkin kita akan temukan nama-nama orang yang kini diabadikan menjadi nama gang ini di sana.

Pola kedua adalah yang menggunakan nama-nama “Suka”, ini terutama merujuk pada jalan utama, antara lain: Sukajadi, Sukagalih, Sukamaju, Sukabungah, Sukasari, Sukamulya, Sukahati. Saya belum menemukan referensi penamaan nama-nama ini.

Kemudian ada pola ketiga adalah pola tematik, misal jalan-jalan dengan tema sifat-sifat mulia: Setia, Bijaksana, Sabar, Makmur, Kesehatan, dll. Lalu jalan dengan tema Karang-Karang: Karang Tinggal, Karang Tineung. Pola ketiga ini adalah pola-pola pemukiman terstruktur yang dikembangkan pada zaman kolonial atau setelah kemerdekaan. Atep Kurnia menulis tentang Indische Bronbeek yang merupakan pemukiman bagi pensiunan KNIL, ini adalah rumah-rumah di Sukajadi di utara PVJ dan sekitar komplek Karang. Komplek ini dibangun sekitar tahun 1920an. Sebelum menjadi Jalan Sukajadi, jalan ini lebih dulu disebut sebagai Bronbeekweg. Atep Kurnia juga menulis bahwa pada periode Bersiap, terjadi peristiwa mengerikan, di mana 85 orang penghuni Bronbeek menjadi korban “aksi” dari Pemuda Republik.

Pola penamaan gang ini mencirikan kepemilikan lahan pada periode tersebut. Gang-gang atau nama jalan yang bernama orang, kemungkinan berasal dari tanah luas milik orang-orang yang pertama tinggal di sana. Sementara nama gang atau jalan yang bersifat tematik, mungkin berasal dari pemerintah kota atau dari perkembangan kota di masa yang lebih baru. Teramati juga bahwa pemukiman masyarakat asli kebanyakan berada di sepanjang kiri kanan sungai, mulai dari Jalan Jurang hingga ke Cibarengkok, mencirikan pentingnya sungai sebagai pendukung kehidupan.

Semakin menggali, semakin banyak hal baru yang saya ketahui dari kampung halaman saya ini. Misal ketika ibu saya kecil, kampung saya (Lembah Ci Limus) dikenal sebagai Kampung Legok. Nama Kampung Legok bahkan masih tercatat pada meteran PLN di rumah saya. Nama Kampung Legok bisa ditelusuri pada Peta Bandung Guide Map Edisi Keempat berskala 1:10.000 yang terbit tahun 1946. Jalan Sukajadi masih disebut Bronbeekweg. Antara pertigaan Prof. Eyckman sampai ke jalan Sukagalih disebut Kampung Legok. Legok dalam bahasa Sunda berarti lubang, atau bisa juga berarti cekungan yang dalam, senada dengan pendapat T. Bachtiar mengenai sukajadi yang mirip periuk atau gentong.

Selain pada peta tahun 1921, ada beberapa pendapat mengenai nama sungai di Sukajadi. Toponimi Ci Limus sebagai nama sungai muncul pada Peta Kota Bandung berskala 1:15.000 yang terbit pada tahun 1953. Pada peta ini, sungai di kampung halaman saya dinamai Leuwilimus. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti lubuk, yaitu merujuk pada sungai yang punya lembah yang dalam. Dan sungai di belakang rumah saya punya karakteristik yang demikian.

Rumah saya berada tepat di kanan Ci Limus (untuk mengetahui kiri dan kanan sungai dengan cara kita berdiri searah dengan aliran sungai), di tepi lereng, hanya beberapa rumah saja dari tepi jalan. Susukan ini sejak saya kecil sudah diturap, ditembok sehingga menyisakan dinding-dinding yang terjal setinggi 4 meter dengan kali yang mungkin lebarnya 4-5 meter. Menurut ibu saya pembetonan dilakukan ketika ibu saya masih sekolah SD (beliau kelahiran 1964), mungkin terjadi sekitar pertengahan tahun 1970an. Pembetonan dilakukan dari hilir sampai ke hulu, dari Pasteur sampai ke Jalan Jurang.

Masih menurut ibu saya, ketika dia masih muda di tahun 1980an, seorang anak kecil warga Jalan Jurang meninggal karena hanyut masuk ke aliran sungai ketika hujan deras. Dugaan saya bahwa sungai ini memang sejak dulu punya lembah yang dalam, sehingga mungkin Jalan Jurang dinamai demikian karena menggambarkan kondisi alamnya yang berjurang (karena ada lembah sungai yang terjal). Perhatikan juga nama kawasan yang diberi nama Jalan Jurang (terusan Jalan Sederhana) itu sebelumnya dikenal sebagai nama Lamping (kini nama Jalan di belakang Kantor Pos Cipaganti). Lamping bermakna lereng.

Saya menduga perkampungan di Jalan Jurang juga sama tuanya dengan perkampungan di Gang Marjaban, karena pola penamaannya mengikuti nama-nama orang: Gang Pa Ehom, Gang Aki Nari, Gang Mama Pura, Gang Bapa Adma, Gang Arpat, Gang Mama Uwar, dst.

Nama Ci Limus ini tidak selalu sama pada setiap lembar peta yang dipublikasikan, beberapa nama mungkin keliru karena kekurangakuratan pemetanya. Pada Peta Kota Bandung tahun 1928 berskala 1:10.000, sungai ini dinamai Ci Kakak. Ini sama dengan pada Peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, sungai ini merupakan sungai yang bermuara ke Ci Kakak. Ci Kakak sendiri muaranya berada di selatan Pemakaman Astana Anyar, di sebelah barat Lapangan Tegallega. Selain itu ada juga toponimi Ci Kalintu yang muncul dari Kaart van de gemeente Bandoeng Schaal 1:10.000 yang terbit tahun 1938. Cikalintu dikenal dalam sejarah Kota Bandung sebagai tempat tinggal Bupati pertama Bandung R.A. Wiranatakusumah II ketika mencari tempat untuk ibukota Bandung dari sebelumnya di Krapyak, Dayeuh Kolot. Ada yang menyebut bahwa Cikalintu berada di sekitar Jalan Jurang. Google maps menggunakan nama Cikalintu untuk menyebut Ci Limus.

Ci Limus pada masa sekarang

Ci Limus kini merupakan sungai yang merana. Tubuhnya telah habis dibeton, hingga tinggal menyisakan tebing yang tegak dan aliran air di bawahnya. Hampir di semua tempat badan sungainya dipunggungi, kecuali di sekitar Cibarengkok, di mana sungai bersebelahan dengan badan gang.

Karena merupakan pemukiman masyarakat yang berkembang secara organik, maka sejak awal hampir semua orang memenuhi kebutuhannya sendiri: air mengebor sendiri, limbah membuang sendiri. Sepanjang sungai akan terlihat pipa-pipa buangan rumah tangga.

Baru beberapa tahun belakangan ada program-program Pamsimas, yang meliputi air bersih dan juga sanitasi. Saya memperhatikan program-program kebersihan juga sering dilaksanakan oleh Kelurahan, baik pembersihan saluran, perawatan tanggul dan turap, serta penyebaran informasi perlindungan sungai. Ini sangat penting jika kita ingin menganggap sungai sebagai denyut nadi masyarakat urban.

Kita harus menyadari bahwa air mempunyai aturannya tersendiri. Ia selalu mencari elevasi yang paling rendah. Sungai adalah titik-titik elevasi terendah pada setiap relief. Sungai tidak bisa dimodifikasi sembarangan, misal ditutup, dibelokkan, dibendung, atau diubah peruntukannya, karena itu bisa mengubah begitu banyak hal dan memengaruhi begitu banyak orang yang tinggal di sepanjang alirannya.

Setiap kali hujan deras, jalanan dipenuhi air. Jalan seolah menjadi sungai, mencirikan tidak ada lagi jalur air untuk mengalir Ditambah lagi dengan sungai-sungai yang ditutup, baik oleh pemukiman, oleh jalan, oleh parkiran, dan lain-lain. Jika kita gunakan kata kunci „Banjir Sukajadi“, maka kita akan temukan sangat banyak kejadian banjir yang seharusnya tidak terjadi, jika saluran drainase kita terjaga.

Sungai harus kita muliakan, ia melindungi kita, ia sudah menyediakan begitu banyak untuk manusia, sejak era Aki Marjaban hingga sekarang. Mari kita jaga!

The Belle of Tjililin

The Belle of Tjililin adalah roman klasik karangan Soeka Hati yang dipublikasikan pada 15 November 1934 dalam Majalah “Penghidoepan”. Majalah ini diterbitkan oleh penerbit Tan’s Drukkery yang beralamat di Tepekongstraat nomor 28, Surabaya. The Belle of Tjjililin dimuat pada edisi ke 119, dengan total 98 halaman.

The Belle of Tjililin yang berarti gadis tercantik di Cililin adalah kisah cinta multi etnik di Jawa Barat dengan latar tahun 1920-1930an. Ceritanya tentang Siti Arsiah, gadis paling cantik di Cililin, yang saling jatuh cinta dengan Seng Ho, seorang peranakan Tionghoa. Mereka bersahabat sejak bersekolah di MULO di Semarang.

Halaman Muka Majalah Penghidupan edisi Novel The Belle of Tjililin

Siti Arsiah yang cantik menolak semua pinangan lelaki di kampungnya karena ia lebih memilih Seng Ho. Abdullah, putra kepala desa yang juga jatuh cinta pada Siti Arsiah kesal dan berusaha memperkosa Siti Arsiah, tapi digagalkan oleh Seng Ho.

Kisah Siti Arsiah dan Seng Ho adalah contoh klasik tradisi multikultur di Indonesia. Meski begitu konflik keluarga menjadi bumbu menarik kisah ini. Orang tua Siti cenderung bersetuju pada Seng Ho, karena mereka telah melihat Seng Ho sebagai lelaki berbudi baik dan menyayangi Siti apa adanya. Sementara orang tua Seng Ho sebaliknya. Mereka berpikir Siti sebagai pribadi yang mata duitan yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan Seng Ho saja.

Orang tua Seng Ho mencoba membayar Siti agar ia meninggalkan Seng Ho. Mereka juga berkata bahwa Seng Ho sudah punya tunangan di Semarang. Siti menolak pemberian uang ini dan berkata jika hubungannya tidak disetujui maka ia sendiri yang akan memutuskan hubungan dengan Seng Ho.

Siti mencoba mematahkan stereotip bahwa penduduk lokal itu mata duitan dan bisa dibeli dengan uang. Ia juga menunjukkan bahwa wanita lokal juga berdaya usaha dan mampu mencari uang sendiri.

Orang tua Seng Ho terus memaksa mereka berpisah. Seng Ho diminta pergi berbisnis ke Singapura selama tiga bulan. Ketika kembali, Seng Ho kaget karena Siti dan orang tuanya telah pindah. Seng Ho kemudian sakit keras karena di kepalanya hanya ada Siti saja.

Di akhir cerita, Siti dan Seng Ho bertemu secara tidak sengaja di Conggeang, suatu pemandian air panas di Sumedang. Mereka kemudian menikah dan ternyata Siti berhasil mengambil hati mertuanya. Di akhir cerita mertua Siti memuji-muji menantunya berkata bahwa menantunya ini orang yang tepat untuk anaknya.

Cerita The Belle of Tjililin merupakan cerita dengan konflik yang sederhana. Yang menarik dari kisah ini adalah deskripsi tempat-tempatnya yang menggambarkan latar waktu ketika itu. Soeka Hati menggambarkan penduduk Cililin yang pekerjaannya membuat minyak dari kacang. Bahkan minyak kacang dari Cililin kualitasnya terbaik di Jawa Barat. Ia juga menggambarkan Cililin sebagai daerah yang penduduknya religius dan taat beragama. Karenanya jarang ada kejahatan di Cililin sehingga penjagaan polisi tidak begitu diperlukan. Dalam cerita ini juga Soeka Hati menggambarkan keberadaan stasiun radio Malabar di tengah-tengah kota Cililin. Di akhir cerita juga ia menggambarkan Desa Conggeang sebagai tempat mandi air panas, yang masih ada hingga sekarang.

Soeka Hati berhasil mendeskripsi gaya hidup orang ketika itu. Bagaimana mereka pergi ke Bandung untuk mengikuti Jaarbeurs (pameran terbesar kala itu). Kemudian gambaran tentang plesirnya orang dari Cililin ke Bandung, ingin membeli makan di restoran, beli es krim, dan ini itu. 

Tentu novel ini sangat berharga untuk melihat bagaimana kehidupan kala itu bahkan sudah ada beberapa publikasi ilmiah mengenai novel ini, seperti makalah dari Hiqma Nur Agustina, yang merupakan seorang Dosen Bahasa Inggris di Universitas Islam Syekh Yusuf, Banten yang membandingkan antara Novel The Belle of Tjililin dan Raden Adjeng Moerhia. Kedua novel ini berkisah tentang multikulturalisme pada masa kolonial Belanda.

Selain itu juga terdapat penelitian skripsi dari Andriyati dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, yang menulis tentang gambaran latar sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan dalam novel The Belle of Tjililin. Dalam skripsinya, Andriyanti menyimpulkan tiga hal. Saya salin dan tempel kesimpulan yang ditulis Andriyanti sebagai berikut:

Kesimpulan pertama berkaitan dengan penggambaran latar sosial budaya masyarakat. The Belle of Tjililin merupakan novel yang mengetengah kehidupan masyarakat heterogen. Tokoh-tokohnya berasal dari dua kebudayaan yang berbeda yaitu pribumi dan Tionghoa peranakan, Kedua kelompok masyarakat ini hidup bersama dalam latar tempat dan fatal- sosial masyarakat Semarang, Cililin, Bandung, dan Sumedang. Keadaan ini menempatkan masyarakat kedua kelompok untuk saling kontak dan menjalani proses sosial. Berdasarkan kontak dan proses sosial, perbedaan yang ada di antara masyarakat pribumi dan Tionghoa dalam The Belle of Tjililin ini justru digambarkan mengarah pada satu perubahan positif yaitu asimilasi atau pembauran.

Kesimpulan kedua adalah bahwa kontak dan proses sosial yang terjadi dalam The Belle of Tjililin mendorong adanya perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dalam novel ini berupa perubahan pada pola pikir dan orientasi hidup para tokoh. Baik masyarakat pribumi maupun masyarakat Tionghoa dalam novel ini digambarkan tidak lagi hanya berorientasi pada hal-hal pokok seperti sandang, pangan, dan papan, namun juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan hiburan. Masyarakat tidak lagi terpaku pada aspek_-aspek kehidupan yang sifatnya tradisional, namun juga pada kehidupan modern masyarakat perkotaan.

Kesimpulan yang ketiga adalah bahwa berbagai perubahan yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-raktor penyebab perubahan-perubahan tersebut adalah adanya kontak antar budaya yang berbeda dalam masyarakat yang heterogen, serta sistem pendidikan yang sudah maju.

Andriyanti, 2006.
Gambaran latar sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan dalam the Belle of Tjililin oleh Andriyati

Sebuah Ulasan Buku: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa

Saya baru selesai membaca buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java, atau jika diterjemahkan seperti judul dari artikel ini. Buku ini adalah karya Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Naturalis kelahiran Jerman, yang merupakan salah satu Naturalis terbesar yang pernah berkarya di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.

Buku ini tercipta sebagai kontemplasi Junghuhn ketika melakukan perjalanan ke hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni pada pertengahan abad ke-19. Setiap orang pada hakikatnya selalu mempertanyakan asal usul dan makna kehidupannya. Begitu pula Junghuhn. Observasi alam menggiringnya pada pertanyaan tentang eksistensi dan makna kehidupan.

Cara Junghuhn menulis buku ini cukup menarik dan terbagi menjadi beberapa bagian. Dikisahkan bahwa dua orang Eropa, Siang (personifikasi Junghuhn) dan Malam (personifikasi orang yang ingin mendakwahkan ajaran Kristen di Jawa) sedang melakukan perjalanan di Pulau Jawa. Perjalanannya bermula dari sebuah desa kecil bernama Gnurag.

Gnurag adalah kode Junghuhn untuk sebuah desa bernama Garung (lihat gambar di atas). Hasil penelusuran saya, daerah Garung ini berada di sekitar Garut Selatan, sekitar 50 km arah utara dari Leuweung Sancang. Di Garung mereka mendaki beberapa bukit dan bermalam cukup lama karena kesulitan mencari Kuli yang mau membantu mereka membawakan barang-barang. Karena cukup lama di Garung, maka mereka sempat untuk melaksanakan ceramah kepada masyarakat untuk mengajarkan pemikiran mereka.

Dari Garung mereka bergerak ke arah barat. Tak begitu rinci diterangkan berapa jauh mereka berjalan, namun tempat selanjutnya yang mereka datangi adalah sebuah pantai bernama Tanjung Sodong. Di pantai ini Siang dan Malam menyaksikan pembantaian penyu oleh Ajag, Harimau, dan Buaya.

Berdasarkan Peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat oleh Junghuhn, Tanjung Sodong terletak di dekat Ujung Kulon. Kenapa kita bisa tahu letaknya di sini. Mungkin kejadian ini sangat berkesan bagi Junghuhn, hingga ia menamai pantai itu di petanya itu Reuzenschildpadden, penyu raksasa.

Hal ini ditelusuri oleh Kang Rifaldi dari Museum Geologi yang menuliskan tentang kisah pembantaian penyu. Dari jarak yang begitu jauh (Pameungpeuk-Ujung Kulon, sekitar 370 km), kita bisa menduga bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan yang fiktif, atau merupakan gabungan dari dua perjalanan yang berbeda.

Kemudian dari Tanjung Sodong, Siang dan Malam melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, di mana ia bertemu tiga orang Eropa lainnya, Senja, Fajar, dan Si Praktis. Di Situ Patengan mereka kembali terlibat dalam diskusi filosofi yang seru. Kemudian mereka kembali ke Bandung.

Di Garung

Banyak hal yang terjadi di desa ini. Pertama mereka menerima sambutan yang hangat. Kemudian mereka sempat juga membantu masyarakat desa membunuh harimau yang pernah memangsa seorang warga, yaitu suami seorang janda yang rumahnya mereka tempati.

Garung adalah tempat yang indah. Siang menuliskan kekagumannya pada alam Garung.

„Kami merasa seolah ada di surga. Tidak begitu sulit untuk merasa begitu. Bukankah kita menghirup udara yang murni, sejuk, dan nyaman? Bukannya langit biru paling indah menghampar di atas kita? Bukannya pohon pisang „dari surga“ (seperti kata Linneaus), dengan buah yang besar dan matang, tumbuh tepat di samping pondok kita? Bukannya buah mangga berwarna keemasan, jambu merah, durian seukuran kepala, serta nangka, juga buah-buahan indah, nampak di antara dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar desa? Bukannya hutan paling indah dan paling berbunga ada di atas, bawah, depan, dan belakang kita? Tidakkah kamu merasa bahwa para penduduk di desa terpencil ini, dengan kehidupan sederhananya, hidup seperti orang-orang yang pertama tinggal di surga, yang hidup tanpa mengenal dosa?“

Setelah berkegiatan serta berinteraksi dengan warga lokal dan merasakan keramahannya, Siang dan Malam berdiskusi di malam hari. Malam menyayangkan bahwa di tempat seindah dan orangnya sebaik ini, belum ada masuk ajaran Kristen. Siang mempertanyakan untuk apa ajaran Kristen masuk. Malam menjawab lagi agar mereka bisa mencapai budaya setinggi Bangsa Eropa, yang menganut Kristen. Siang menolak pendapat itu dan menerangkan bahwa kemajuan budaya di Eropa berasal dari berkembangnya ilmu pengetahuan, justru agamalah yang menghambat ilmu pengetahuan ini untuk maju, sembari mencontohkan Galileo dan Kopernikus yang dipersekusi oleh gereja.

Perdebatan ini sangat panjang. Namun ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik. Siang berpendapat bahwa kebaikan dan moral bukanlah ajaran agama, melainkan hal yang manusiawi yang tertanam di dalam diri manusia. Hal ini merupakan topik perdebatan seru dalam dunia filosofi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Saya merasa bahwa Siang menganut ajaran filosofi Kant, yang mendasarkan segala sesuatu pada alasan.

Siang adalah orang yang logis yang percaya bahwa yang nyata itu adalah segala hal yang bisa ditangkap oleh panca indera. Tapi ide, pikiran, konsep adalah satu ranah yang fana. Tidak ada bentuknya, tapi dia tahu itu ada di sana. Ruh, jiwa, pikiran, itu adalah konsep yang tidak bisa diterangkan Siang, sehingga ia menerangkan hal tersebut sebagai domain Ketuhanan. Segala hal di alam saling terkait dan tersusun dengan tingkat presisi yang luar biasa, yang menurut Siang adalah bukti tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hanya ada satu mukjizat, yaitu alam semesta. Hanya satu kebenaran, yaitu pengungkapan dari hukum alam, dari karya Sang Pencipta. Semua hal yang ada di alam semesta ini bisa diterangkan secara fisik dan kepadanya berlaku hukum-hukum yang abadi, yang bisa dipahami dan dipelajari oleh manusia. Begitu juga semua fenomena di di langit dan di bumi. Hanya satu yang tidak dapat dipahami, tapi aku bisa merasakannya setiap saat, yaitu apa-apa yang ada di dalam batin, juga ruh, yang bermanifestasi dalam berjuta bentuk. Aku tidak mengerti tentang batin, tapi aku selalu merasakannya setiap waktu, ia selalu hadir di setiap saat, di setiap hal yang aku periksa, pada tanaman, pada bebatuan, pada fenomena atmosfer, juga di langit dan di bumi, pada manusia, pada serangga terkecil sekalipun. Di mana-mana aku menyadari adanya hukum bahwa segala sesuatu memiliki manfaat, juga kerumitan yang mencerminkan kemahatahuan. Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup di bumi diciptakan untuk berbahagia. Meskipun aku tidak mengerti esensi dari alam, jiwanya, ruhnya, dari mana semua berasal, yang menggerakan segalanya, aku tetap merasa bahwa Dia ada di sana. Yang Maha Bijak, Maha Baik, aku berharap pada-Nya, percaya pada-Nya, menyembah-Nya, memuja-Nya, Tuhan.

Siang dan Malam bersepakat bahwa mereka akan memberikan ceramah mengenai ajaran masing-masing kepada warga Garung. Malam pertama adalah giliran Malam, sementara keesokannya adalah giliran Siang.

Malam menyampaikan beberapa pokok ajaran Kristen, yang dia ambil dari buku Vraagboekje tot Onderwijzing in de Christelijke leer. Buku ini semacam buku panduan pertanyaan terkait ajaran agama Kristen. Yang menarik adalah setelah Malam selesai berceramah, ada seorang ulama muslim yang ikut berbicara. Ulama Islam itu menolak ajaran bahwa Tuhan mempunyai anak sambil mengutip beberapa ayat dalam 3 surat Al-Quran, antara lain An-Nisa 171, Yusuf 105-106, dan Maryam 88-93. Ketiganya adalah penjelasan Al-Quran mengenai Isa putra Maryam.

Keesokan harinya giliran Siang yang mengajarkan ajarannya. Dia memulai dengan menunjukkan peralatan-peralatan lapangannya.

„Di depanku, aku mempunyai bola bumi dan langit, sekstan dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psikrometer, kompas, magnet buatan, mikrospkop, hidrometer Nicholson, prisma tiga sisi, kamera obskura portabel, apparat daguerreotype, sekotak regen kimia, serta beberapa instrumen sains terapan sebagai simbol keyakinanku.“

Ajaran Siang terdiri atas 25 prinsip. Prinsip-prinsip ini adalah cara Siang untuk menjelaskan bagaimana ia menjawab fenomena-fenomena alam dalam keterkaitannya dengan penciptaan. Ia menolak segala takhayul dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Dengan mata telanjang kita hanya mampu melihat biru langit saja, sementara jika menggunakan teleskop, kita bisa menemukan bintang dan nebula. Dengan teleskop yang lebih besar, pengamat bintang lain bisa menemukan nebula yang lebih jauh, juga gugusan bintang-bintang lainnya, yang berjarak begitu jauh dari bumi kita. Bahkan sinar matahari perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak 20 juta mil menembus ruang angkasa untuk sampai kepada kita. Dengan begitu maka benda langit yang jauh lebih jauh lagi yang bisa terlihat oleh teleskop itu tak mungkin kita lihat jika mereka belum ada ratusan ribu tahun yang lalu. Materi pengisi ruang di langit sama tak terbatasnya dengan luas ruang yang bisa mereka isi. Isinya bisa dibagi-bagi lagi menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus, sehingga tak bisa kita perkecil lagi, bahkan dengan perbesaran paling besar sekalipun. Jika dalam dunia ciptaan kita tak dapat menjelajahi awal, menemukan batas, dan membayangkan akhir, maka bayangkan, Dia yang menciptakannya, pasti tidak terbatas, abadi, dan tidak berawal lagi tiada berakhir.

Pada akhirnya ulama Islam yang juga ikut dalam ceramah ini merasa ajaran Siang lebih sesuai dengan pemikirannya.

Hubungan Sosial Siang, Malam, dan Warga Pengikutnya

Hal yang cukup menarik bagi saya ketika membaca buku ini adalah mengamati interaksi antara Siang, Malam, dan warga lokal yang ikut dalam timnya. Di dalam buku ini ada beberapa nama yang disebut, antara lain: Sidin, Masputri, Pangkat, Ario, dan Sungsang. Sidin adalah pembantu Siang yang paling sering disebut. Sementara pembantu Malam bernama Lapiah.

Cara mereka berkomunikasi dengan para pembantunya ini pun saya rasa sangat egaliter. Para pembantu ini tidak segan untuk mengeluh, “Banyak capek Tuan, sakit perut”, sebagaimana mereka sampaikan di awal ketika baru sampai di Garung.

Atau ketika para Kuli ini terpaksa harus terlambat 1 malam karena tidak bisa melewati sungai. Akhirnya pada malam itu, Siang dan Malam tidak punya baju ganti dan anggur untuk malam hari. Ketika Siang marah pada mereka, kuli-kuli ini menjawab, ”Kami para kuli sudah terbiasa tidur tanpa alas dan kami juga tidak minum anggur. Kami pikir kalau Tuan sekali-sekali seperti itu juga tidak akan apa-apa.”

Lalu setelah Malam selesai berceramah tentang ajaran Injil, konon Lapiah, pembantunya, berencana pindah menjadi seorang Kristen. Tapi kemudian dia batal. Alasannya begini,”Tuan bilang kalau orang Kristen harus mencintai sesama seperti mencintai dirinya sendiri, tapi Tuan tidak lakukan itu. Tuan merokok 12 batang setiap hari. Aku juga mau merokok dan hanya minta 2 batang, tapi Tuan tidak kasih. Tuan kaya, tapi pas aku minta naik gaji pas perjalanan kita selesai, Tuan malah marah. Apa gunanya ajaran bagus kalau cuma tertulis di buku dan tidak diikuti.”

Meskipun Lapiah ini memang kurang ajar, tapi hal ini menunjukkan bahwa Siang dan Malam bisa berkomunikasi dengan egaliter dengan pembantunya.

Peristiwa Alam Menginsipirasi

Selama perjalanan ini, Siang dan Malam merasakan beberapa peristiwa alam yang mengguncang perasaan. Pertama adalah ketika naik gunung di dekat Garung. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan badai petir datang. Pohon di puncak gunung tersambar petir, dan mereka hanya bisa bertiarap dan berharap agar tidak ikut tersambar.

Tapi cerdasnya Junghuhn ini adalah dia bisa merefleksikan segala kejadian dan bagaimana semua itu saling terkait. Dari matahari yang jauh memberikan sinarnya. Di bumi energi panas ini menghangatkan uap air, menjadikannya naik ke awan, sehingga menjadi bibit-bibit hujan. Hujan turun dan rintiknya mengerosi lembah membawa tanah.

Juga ketika menyeberang sungai, Siang dan Malam hampir tersapu banjir bandang. Ketika banjir bandang itu mereda, ia melihat bangkai badak dan banteng yang tak berdaya terhantam banjir. Ketika mereka mau memakannya, seekor harimau keburu datang dan mengambilnya. Di sini juga ia berpikir bahwa yang hidup dan mati semua memiliki fungsi dan perannya.

Tapi tentu yang paling mengagumkan adalah ketika ia melihat pembantaian penyu raksasa di tepi pantai di Tanjung Sodong.

Akhir Perjalanan

Siang dan Malam meninggalkan pegunungan Selatan Jawa melalui jalur Situ Patengan. Di sana mereka bertemu dengan dua orang Eropa lainnya, Fajar dan Senja. Di Situ Patengan keempat orang Eropa ini kembali terlibat dalam diskusi filosofi.

Senja meyakini bahwa segala sesuatu itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Semacam keyakinan deterministik. Sementara Fajar meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak. Kemudian seorang Belanda lainnya, Residen Priangan, yang disebut sebagai Orang Praktis, ikut berpendapat, menurunya orang Jawa tidak perlu diajarkan ajaran Kristen. Karena menurutnya orang Jawa sudah cukup melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dalam kesehariannya.

Pembelajaran

Tentu saja kita harus ingat bahwa perjalanan Junghuhn terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu (mungkin sekitar 1837-1840, atau antara 1845-1848). Semua yang terkandung dalam buku ini harus disesuaikan dengan konteks pada saat itu. Buku ini menggambarkan keadaan yang otentik bagaimana seorang petualang hebat menggambarkan pandangannya tentang kehidupan. Manusia dibekali panca indera untuk digunakan menangkap persepsi terhadap alam semesta, dan sudah semestinya panca indera ini digunakan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fana.

Junghuhn menolak segala macam takhayul, yang banyak sekali orang Indonesia mempercayainya. Tapi dia percaya Tuhan, bahkan ia berdoa kepada Tuhannya, setiap pagi ketika menghirup udara yang segar, atau setiap ia menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Dia berusaha untuk berlaku adil dan mempraktikan ajaran moral, bahkan berupaya untuk mengajarkan ajaran yang dia percayai. Dalam buku ini dia menyebut ajarannya sebagai Ajaran Agama dan Moralitas Alam, yang terdiri atas 25 prinsip. Buku ini telah dia tulis dalam bahasa Belanda, dan juga telah ia terjemahkan sarinya ke dalam bahasa Melayu. Bukti bahwa dia mempunyai niat untuk mengajarkan ajarannya.

Tapi beberapa yang dia pahami juga kelak terbukti keliru. Misal keyakinan Junghuhn bahwa kemajuan bangsa Eropa salah satu alasannya adalah faktor biologis ras yang lebih unggul. Bahkan keyakinan terhadap ini didasarkan pada pengukuran ukuran tengkorak ras-ras di dunia oleh para ahli biologi dan kedokteran di Eropa pada masa itu.

Yang pasti, ajaran Junghuhn bukanlah kebenaran tunggal, meski tidak berarti yang dia tulis dan dia ajarkan sepenuhnya adalah keliru. Ada hal-hal yang bisa kita pelajari dan kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara Junghuhn mencari Tuhan melalui observasi? Mungkin itu mirip dengan eksplorasi Ibrahim ketika mencari tahu siapa Tuhannya. Berapa banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir? Mungkin pendekatan berpikir Junghuhn inilah yang perlu kita adopsi untuk kenal dan bisa lebih dekat kepada Tuhan, Pencipta Semesta Alam.

Mencari Singkapan Danau Bandung

Hampir semua sudah tahu bahwa Dataran Bandung dulunya adalah suatu danau purba raksasa. Legenda ternama di Bandung, yaitu Legenda Sangkuriang berkisah tentang Pembendungan Ci Tarum untuk membuat danau dalam satu malam. Yang mana menjadi sasakala, atau asal usul kejadian dari Bandung. Sejak zaman Belanda, fakta tentang Danau sebagai bagian sejarah Bandung bahkan telah dijadikan sebagai identitas kota. Gambar danau menjadi bagian dari logo kota Bandung pada zaman kolonial dan juga sekarang. Kabupaten Bandung pun sama, memasukkan unsur danau ke dalam logonya.

Jika orang-orang ditanya, di mana jejak danau itu berada? Kebanyakan akan menjawab dengan mengaitkannya pada toponimi daerah-daerah yang ada di Bandung. Dulu Bandung adalah danau, buktinya ada banyak situ, misal Situ Aksan. Ketika danau mengering, maka menyisakan rawa, yang dalam bahasa Sunda disebut sebagai Ranca. Maka dari itu banyak toponimi yang menggunakan kata Ranca, misal Rancabadak, Rancabolang. Topik terkait hal ini dibahas sangat renyah oleh Pak T. Bachtiar dalam bukunya Toponimi, Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat.

Meski demikian, sebenarnya tempat-tempat itu sudah tak menyisakan sama sekali bentuk-bentuk danau. Hampir semua sudah diurug dan diubah menjadi pemukiman atau perkantoran. Hingga mungkin kita jadi bingung, di mana sebenarnya jejak danau itu bisa kita lihat langsung dengan mata kepala sendiri?

Danau Bandung Purba sendiri, seperti namanya, hanya ada di masa lampau. Danau ini terbentuk karena aktivitas tektonik, yang mengakibatkan Bandung membentuk cekungan, menghambat air bisa mengalir. Ini terjadi sekitar 135 ribu tahun yang lalu. Ditambah lagi dengan letusan Gunung Tangkubanperahu yang membendung Ci Tarum sekitar 105 ribu tahun yang lalu mengakibatkan naiknya muka danau cukup tinggi. Namun ternyata catatan geologi menyatakan bahwa tak selamanya danau ini ada. Selama lebih dari 100 ribu tahun antara 135-20 ribu tahun silam, setidaknya ada 4 fase danau. Jadi danau ini pernah kering juga, namun kemudian terisi lagi, lalu kering lagi, dan seterusnya. Keringnya danau secara permanen terjadi sekitar 20 ribu tahun silam, pada masa Glasial terakhir. Pembahasan mengenai Danau Bandung bisa dibaca pada buku The late quaternary evolution of the Bandung Basin, West-Java, Indonesia karya Rien Dam, 1994.

Kembali lagi ke pertanyaan, di mana kita bisa menemukan singkapan danau Bandung yang baik?

Dari berbagai referensi, danau Bandung Purba elevasi tertingginya berada antara 690-725 mdpl. Pada elevasi inilah maksimal kita bisa menemukan endapan danau. Maka kita bisa mencari singkapan endapan danau pada elevasi di bawah ini. Sebaiknya kita menghindari mencari pada elevasi-elevasi antara 690-725 mdpl, kenapa? Karena pada elevasi tinggi ini, kita akan sulit menemukan singkapan yang baik, gara-gara masih ada pengaruh dari endapan-endapan sungai atau kipas aluvial.

Prof. Koesoemadinata dalam makalahnya pada tahun 1981 berjudul Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung mengelompokkan endapan danau ke dalam Formasi Kosambi, dengan lokasi tipe di sungai kecil di sekitar Kosambi, Cikudapateuh, Bandung. Lokasi tipe artinya adalah lokasi di mana formasi geologi ini tersingkap baik.

Saya mencoba mengunjungi sungai di sekitar Kosambi, namun hanya menemukan singkapan batuan yang berbutir kasar, mungkin pasir kasar. Dugaan saya batuan di sini merupakan batuan vulkaniklastik rombakan dari letusan Gunung Tangkubanperahu. Memang deskripsi litologi Formasi Kosambi tak hanya batuan endapan danau saja, melainkan juga batulempung gunungapi, batulanau gunungapi dan batupasir gunungapi. Mungkin yang di daerah Kosambi itu adalah yang batupasir gunungapi.

Saya mencoba mencari lebih ke hilir, yaitu di Jembatan Ci Kapundung di sekitar Jalan Pungkur, belakang Universitas Langlangbuana. Di dasar sungai tersingkap batuan, namun sekilas batuan ini terlihat cukup keras, sehingga saya menduga ini masih berupa batupasir gunungapi.

Singkapan paling baik akhirnya saya temukan di Ci Kapundung pada segmen antara Jalan Soekarno-Hatta – Batununggal, tepatnya di tepi jalan Sukaati, sekitar Puskesmas Mengger. Agak ke hulu dari titik singkapan ini, Ci Kapundung dibendung, alirannya dialihkan ke kanal yang ada di tepi jalan. Karena ada bendungan, debit air sungai di tempat singkapan ini berada menjadi kecil. Singkapan menjadi terbuka dengan baik.

Di titik yang kondisinya sekarang ini agak menyedihkan, tersingkap batuan lempung, yang merupakan jejak endapan danau Bandung Purba. Batuannya berwarna abu gelap, berlapis tipis, cukup mudah dihancurkan. Dalam 10 tahun saya tertarik mengeksplor Cekungan Bandung, baru kali ini saya melihat singkapan Danau Bandung di bagian timur Cekungan Bandung. Sebelumnya saya melihatnya di sebelah barat, tepatnya di sekitar Cililin. Sehingga saya pikir tempat ini cukup penting untuk sejarah geologi Kota Bandung.

Seperti yang saya bilang tempat ini menyedihkan. Di tepi jalan berdiri bangunan-bangunan pengepul rongsok/sampah, yang bangunannya membelakangi sungai. Di sungai banyak sampah-sampah berserakan. Kita bisa lihat juga mulut-mulut pipa pembuangan mengarah ke sungai, melimpasi dengan limbah. Limbah apapun itu. Tak ingin saya membayangkan atau menceritakannya.

Pada titik singkapan ini, setahu saya belum ada orang yang melaporkannya. Mungkin ada peneliti geologi sebelum saya yang pernah mengunjungi titik ini. Karena itu saya berani mengklaim bahwa saya yang pertama menuliskan tentang titik ini ke dalam media daring. Saya ingin mencoba memberikan makna bagi tempat ini, menginterpretasi mengenai informasi yang disimpan di sini, sehingga orang bisa mengetahuinya. Mengapresiasinya.

Ada beberapa pelajaran geologi yang bisa kita pelajari di sini. Yang pertama adalah bagaimana sedimen sungai berkembang mulai dari hulu ke hilir. Jika kita menyusuri Ci Kapundung sejak Maribaya hingga ke Sukaati, kita bisa melihat perubahan yang kentara dari batuan yang menyusun sungai ini. Di Maribaya kita akan temukan batuan lava basalt, yang menerus hingga ke Curug Dago. Dari Curug Dago hingga ke Cihampelas kita akan temukan endapan lahar dan endapan sungai yang berukuran besar. Bongkah-bongkah basalt yang membundar. Kemudian semakin ke hilir dari Cihampelas hingga ke Braga dan Pungkur, kita akan temukan endapan pasir gunungapi. Lalu menjadi endapan lempung di Sukaati. Sejauh yang saya tahu, ke arah hilir hingga ke muara Ci Kapundung di Dayeuh Kolot, tidak ada lagi singkapan yang tersingkap.

Pelajaran yang kedua adalah mengenai Danau Bandung itu sendiri. Bayangkan berapa lama yang dibutuhkan untuk mengendapkan lempung membentuk singkapan yang kita lihat sekarang. Kemudian kita bisa berimajinasi tentang tinggi kolom air yang menggenangi kawasan tempat kita berdiri, jika kita asumsikan bahwa permukaan danau ada pada elevasi 690-720 mdpl. Titik ini ada pada elevasi 676 mdpl, maka kita bisa membayangkan tinggi kolom air antara 14-44 meter!

Jika ingin menelusuri lebih jauh tentang endapan danau, maka kita bisa membuka buku Evolusi Geologi Kuarter Cekungan Bandung yang ditulis oleh Rien Dam. Endapan danau ini menyimpan catatan perubahan iklim purba, beberapa kali siklus glasial-interglasial, yang berguna untuk merekonstruksi keadaan masa lampau.

Pelajaran yang ketiga, adalah mengenai keadaan lingkungan di Cekungan Bandung. Sangat menyedihkan jika kita mengingat bahwa penghargaan kita terhadap sungai sangatlah minim. Sungai belum jadi urat peradaban kota, melainkan menjadi saluran pembuangan, yang kotor, dan kita punggungi. Padahal kota-kota yang beradab selalu membangun dengan menggunakan sungai sebagai beranda kota. Lihat Frankfurt dengan Sungai Main-nya, Praha dengan Sungai Elbe-nya, London dengan Sungai Thames-nya.

Dari titik ini kita bisa mencoba memperkaya makna yang kita pahami atas Ci Kapundung. Bahwa sungai ini menyimpan informasi yang penting, terkait sejarah pembentukannya, yang bisa dipelajari dan dilihat langsung dengan mata kepala sendiri. Bukan hanya dari toponimi-toponimi saja, yang kini sudah semakin kehilangan identitasnya, karena berubahnya tata guna lahan menjadi kawasan terbangun. Lalu titik singkapan ini bisa menjadi simpul kegiatan geowisata, menjadi lokasi yang menarik untuk dikunjungi, sehingga semakin banyak orang yang peduli.

Kesimpulan

Salah satu singkapan jejak Danau Bandung Purba terletak di Ci Kapundung pada segmen Jalan Sukaati, antara Jalan Soekarno Hatta dan Batununggal. Di sini tersingkap endapan lempung berwarna hitam yang berlapis, yang merupakan jejak endapan danau Bandung Purba.

Singkapan ini sangat baik jika digunakan sebagai salah satu simpul geowisata di selatan Bandung, karena di wilayah ini sangat minim objek geowisata. Kita bisa kembangkan kegiatan ekskursi berjalan kaki, misal dari Batununggal hingga ke Taman Regol di Pasirluyu, dengan perjalanan sekitar 3 km.

Mari ikuti Geotrek: Mengenal Danau Bandung Purba, hari Sabtu 9 Oktober 2021, jam 06:30 – 10:00, titik kumpul di Pool Primajasa Batununggal. Untuk mendaftar bisa lewat

malikarrahiem.com/geotrekdanaubandung

Geotrek: Mengenal Danau Bandung

Mengundang Bapak, Ibu, adik-adik, rekan-rekan sejawat, handai taulan, untuk ikut dalam Geotrek: Mengenal Danau Bandung, yang akan diadakan pada hari Sabtu, 9 Oktober 2021, pukul 06:30-10.00. Terbatas untuk 25 orang. Untuk mendaftar silakan mengeklik tautan berikut:

Rute perjalanan Pool Primajasa Batununggal (start) – Jembatan Cikapundung Batununggal – Jalan Sukaati – Taman Regol Sukaluyu (finish). Materi yang akan dibahas: Cekungan Bandung, Sejarah Danau Bandung Purba, Singkapan Danau Bandung Purba, dan Permasalahan Lingkungan di Bandung.

Pemandunya saya sendiri, Muhammad Malik Ar Rahiem, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Geotrek ini tidak gratis, tapi bersifat pay as you wish artinya Anda bebas untuk membayar pemandu senilai yang Anda mampu, sebagai apresiasi kepada pemandu. Silakan membayar setelah acara selesai.

Akan ada sedikit menyusur sungai, semoga sepatu tidak basah, tapi perlu siap dengan kondisi ini. Outfit: pakaian yang nyaman, baiknya tidak menjuntai.

Doorprize: 1 eksemplar buku Wisata Bumi Cekungan Bandung karya Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar (2009)

Diskursus Danau Bandung: Dari Zaman Junghuhn hingga Sekarang

Oleh: Muhammad Malik Ar Rahiem (Kelompok Riset Cekungan Bandung)

Pertama Kalinya Danau Bandung Dikenali

Diskursus mengenai asal-muasal hingga jebolnya Danau Bandung sudah terjadi cukup lama. Salah satu pendapat awal dari Junghuhn yang mengatakan bahwa Bandung pastilah dulunya adalah sebuah danau,

katanya: Seluruh wilayah dataran tinggi Bandung, sepertinya merupakan dasar dari suatu danau. Ada beberapa alasan dari dugaan ini, yaitu: 1) dataran yang nyaris sempurna ke semua arah; 2) tepi-tepiannya dikelilingi oleh pegunungan, di mana kaki gunungnya terpisah sepenuhnya dari dataran; 3) keberadaan rawa-rawa yang sangat luas; 4) suatu cekungan air yang sangat besar, berasal dari gunung-gunung tinggi yang berhutan lebat dan ratusan aliran sungai, namun kesemuanya bermuara menuju ke satu sungai, Tjitaroem, yang keluar melewati celah sangat sempit di Pegunungan Kapur di sebelah barat. Sungai ini terjepit di antara dinding-dinding bebatuan yang tinggi dan curam. Alirannya berbuih deras, seolah berbusa, ketika melewati bongkah-bongkah bebatuan, hasil runtuhan bebatuan pegunungan yang digerus sungai (Junghuhn, 1841).

Karya Junghuhn di Jawa memikat seorang Geolog Jerman yang berkunjung ke Jawa dalam rangka ekspedisi sains pada tahun 1858, namanya Ferdinand von Hochstetter. Ia mendapatkan saran dari Junghuhn untuk melakukan ekskursi geologi mengunjungi lembah Ci Tarum mulai dari Curug Jompong hingga ke Sanghyang Tikoro. Tak jauh dari Curug Jompong ia menemukan lapisan-lapisan sedimen berlapis datar, terutama lempung, yang menurutnya merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung (Hochstetter, 1864).

Pada tahun 1896, Reindeer Fennema, seorang geolog Belanda, mengemukakan pendapatnya tentang penyebab terjadinya danau. Menurutnya dulu Ci Tarum mengalir ke arah utara, kemudian Gunung Burangrang meletus, dan produk letusannya menutupi lembah aliran Ci Tarum di sekitar Padalarang. Akibatnya danau terbentuk, hingga akhirnya menemukan jalur di sebelah barat, di mana Ci Tarum menoreh pegunungan kapur Rajamandala (Stehn & Umbgrove, 1929; Verbeek & Fennema, 1896). Selain menoreh lembah ini, bocornya danau juga menoreh endapan danau yang telah terbentuk tebal sebelumnya. Ini bisa terlihat dengan baik, terutama di hilir Curug Jompong, sebelum sekarang tergenang oleh Waduk Saguling.

Pada tahun 1926, N.J. Taverne, seorang vulkanolog, menyatakan kesetujuannya terhadap pendapat Fennema. Ia menyatakan bahwa lembah yang kini ditoreh oleh Ci Tarum adalah hasil erosi yang lebih muda. Menurutnya, berdasarkan topografi pegunungan kapur tersier, kita bisa perkirakan bahwa tinggi muka air danau adalah antara 700-740 mdpl. Kita bisa duga juga bahwa di tepian-tepian danau akan terdapat deta-delta (Taverne, 1926). Misal Kota Bandung yang didirikan di atas delta yang terbentuk akibat aliran Ci Mahi, Ci Beureum, dan Ci Kapundung. Atau Soreang yang terbentuk di atas delta Ci Sondari dan Ci-Widey, serta Majalaya yang terbentuk di atas delta Ci Tarum.

Penelitian mendalam mengenai endapan danau pertama kali dipublikasikan oleh Stehn dan Umbgrove pada tahun 1929. Penelitian mereka terutama dilakukan ke arah hilir dari Curug Jompong, jauh sebelum Ci Tarum tergenang oleh Waduk Saguling, sehingga sangat penting karena lokasi penelitiannya kini tak bisa diakses lagi. Hasilnya adalah bahwa lapisan-lapisan horizontal endapan danau ini mengendap di atas lapisan yang terlipat, dan pada lapisan yang lebih tua ini didapatkan fosil-fosil mamalia, seperti Bos, Sus, dan Cervus, selain juga fosil-fosil moluska (Stehn & Umbgrove, 1929).  

Pada tahun 1934, R.W. van Bemmelen mempublikasikan peta geologi Lembar Bandung skala 1:100.000. Dalam peta ini dan buku keterangan peta, Bemmelen mengemukakan mengenai Danau Bandung dan sejarah pembentukannya (Bemmelen & Szemian, 1934). Van Bemmelen sangat tertarik terhadap evolusi geologi di Cekungan Bandung, hingga menuliskan cukup rinci dalam kitabnya yang paling penting, The Geology of Indonesia. Menurutnya pembentukan Danau Bandung terjadi akibat letusan Tangkuban Perahu, yang ia beri nama Erupsi Fase A. Erupsi ini membendung Ci Tarum dan menghasilkan danau dengan ketinggian maksimal 720 mdpl, hingga kemudian menyurut akibat menemukan jalan keluarnya di sekitar Saguling (Bemmelen, 1949). Ia juga menyitir pendapat arkeolog, Von Koenigswald yang melaporkan penemuan artefak obsidian pada lereng-lereng di Cekungan Bandung. Menurut Koenigswald, karena artefak hampir selalu ditemukan pada wilayah yang cukup tinggi, maka masuk akal bila di tengah-tengahnya terdapat danau (Koenigswald, 1935). Menurutnya juga, sumber obsidian berasal dari wilayah sekitar Kendan dan Nagrek, yang berada di sekitar elevasi 700 mdpl, sehingga mungkin manusia purba ketika itu berperahu melewati danau untuk saling bertukar barang, salah satunya komoditas berbahan obsidian. Keberadaan artefak dan kisah Sangkuriang yang begitu sesuai dengan kejadian geologi, membuat van Bemmelen meyakini, bahwa manusia purba Bandung menyaksikan pembendungan Ci Tarum oleh letusan gunungapi yang terjadi dalam satu malam.

Gambar 1 Lokasi penemuan artefak dan delineasi Danau Bandung Purba (Koenigswald, 1935)

Endapan danau Bandung dipetakan sebaran dan stratigrafinya oleh Koesoemadinata dan Hartono pada tahun 1981. Menurut mereka, Endapan Danau Bandung dapat dikelompokkan menjadi Formasi Kosambi (Koesoemadinata & Hartono, 1981). Nama ini digunakan untuk menggantikan nama Endapan Danau yang digunakan dalam peta geologi yang ada sebelumnya (Alzwar et al., 1992; Silitonga, 1973; Sujatmiko, 1972). Ciri litologinya berupa batulempung, batulanau, dan batupasir, yang belum terkompaksi dengan baik, dengan umur Holosen.

PenulisTinggi Max Danau BandungKeteranganSumber
N.J. Taverne700-740 mdplBerdasarkan rekonstruksi elevasi lembah di perbukitan kapur Rajamandala(Stehn & Umbgrove, 1929; Taverne, 1926)
Von Koenigswald723 mdplBerdasarkan elevasi tertinggi di Padalarang, di mana Danau Bandung mungkin bocor. Penemuan artefak di lereng-lereng Cekungan Bandung(Koenigswald, 1935)
Van Bemmelen720 mdplHasil erupsi Gunung Tangkuban Perahu fase A(Bemmelen, 1949)
Koesoemadinata dan Hartono725 mdplPemetaan stratigrafi Cekungan Bandung(Koesoemadinata & Hartono, 1981)
Suparan-Dam700 mdplPemetaan geologi Kuarter Cekungan Bandung(M. A. C. Dam & Suparan, 1992)
Rien Dam690 mdplBerdasarkan data endapan danau dan rekonstruksi kompaksi sedimen(DAM, 1994)
Brahmantyo-Bachtiar700-712.5 mdplAnalisis terhadap pola kontur 700 dan 712.5 mdpl(Brahmantyo & Bachtiar, 2009)
Tinggi maksimal permukaan Danau Bandung Purba menurut beberapa peneliti

Bobolnya Danau Bandung

Sampai titik ini, hampir semua peneliti bersepakat bahwa Danau Bandung purba itu pernah eksis. Dan semua bersepakat bahwa jebolnya Danau Bandung terjadi di Lembah Ci Tarum yang menoreh Perbukitan Rajamandala, di sebelah barat Bandung. Namun di titik mana?

Ketika pertama keluar dari lembah yang terjal, Ci Tarum menghadapi bukit batugamping yang bernama Pasir Sanghyang Tikoro. Bukit ini dinamai demikian karena di bagian bawahnya terdapat goa kapur, di mana aliran deras Ci Tarum masuk ke dalamnya. Saking megahnya, hal ini membangkitkan imajinasi, Ci Tarum masuk ke dalam tenggorokan Tuhan, karena begitulah arti secara harfiah dari Sanghyang Tikoro. Saking megahnya, goa ini telah dikunjungi begitu banyak orang, bahkan seorang Antoine Payen, yang merupakan guru dari pelukis legendaris Indonesia, yaitu Raden Saleh, pada sekitar 1820an pernah melukis goa ini.  

Catatan paling tua terkait Pembendungan Danau Bandung di Sanghyang Tikoro mungkin dari Jonathan Rigg, seorang Inggris yang menulis kamus Sunda-Inggris (Rigg, 1862). Dalam lema mengenai Tangkuban Prahu, ia menyatakan bahwa pembendungan Ci Tarum terjadi di Sanghyang Tikoro. Rigg mencatat ini berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, yang melegenda di Tatar Sunda. Saking melegendanya, menurut T. Bachtiar, pada masa Perang Kemerdekaan, pejuang Jawa Barat berencana meledakkan Sanghyang Tikoro (Brahmantyo & Bachtiar, 2009), sehingga alih-alih Bandung Lautan Api, yang terjadi adalah Bandung yang kembali tergenang. Legenda ini kemudian diformalkan ke dalam sains oleh Katili yang menulis buku Geologi Indonesia, dan digunakan sebagai buku panduan Ilmu Bumi bagi guru Geografi, sehingga hampir semua meyakini Sanghyang Tikoro sebagai tempat bobolnya Danau Bandung (Brahmantyo & Bachtiar, 2009).

Gambar 2 Sanghyang Tikoro sebelum adanya PLTA Rajamandala

Baru kemudian pada tahun 2002, melalui analisis geomorfologi, diketahui bahwa Danau Bandung tak pernah mencapai Sanghyang Tikoro, sehingga mustahil di Sanghyang Tikoro terjadi kebocoran. Alih-alih Sanghyang Tikoro, bobolnya Danau Bandung diduga terjadi lebih ke hilir, tepatnya di lembah sempit antara Pasir Kiara dan Pasir Larang (Brahmantyo et al., 2002). Bagaimana mekanismenya? Hal ini masih berupa hipotesis. Menurut Brahmantyo, pembobolan terjadi karena erosi ke hulu yang ekstrim karena muka air laut surut begitu dalam pada masa glasiasi terakhir (Brahmantyo & Bachtiar, 2009).

Salah satu penelitian yang memanfaatkan metode modern adalah penelitian dari Rien Dam pada dekade 1990an. Dam tertarik pada endapan danau Bandung, karena meyakini bahwa endapan ini menyimpan rekaman iklim yang sangat panjang dan berguna bagi rekonstruksi paleoiklim global, karena merekam sejarah beberapa kali siklus glasial dan interglasial. Dam melakukan pengeboran dan menganalisis inti bor yang dihasilkan, baik secara deskriptif, dan juga dengan analisis palinologi, sedimentologi, dan juga penanggalan absolut menggunakan Karbon-14 dan Uraniun-Thorium. Beberapa hasil penting yang didapatkan antara lain bahwa pengendapan sedimen danau terjadi sejak sekitar 130 ribu tahun silam dan mengalami fluktuasi dan sesekali diselingi letusan-letusan gunungapi yang kuat (DAM, 1994). Endapan danau tidak terendapkan lagi sejak 16 ribu tahun silam, yang mana menggugurkan pendapat van Bemmelen, yang menduga pembendungan terjadi 6000 tahun silam (Bemmelen, 1949; Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Dam juga merekonstruksi kemungkinan elevasi tertinggi endapan danau, dan menduganya pada elevasi 690 mdpl, setelah mempertimbangkan subsidensi dan kompaksi (R. Dam, 2021).

Dalam penelitiannya juga Dam menyatakan bahwa pembentukan danau tidak semata terjadi karena letusan gunungapi yang membendung Ci Tarum saja, melainkan juga subsidensi tektonik pada Cekungan Bandung dan perubahan iklim menjadi lebih humid pada sekitar 125 ribu tahun silam. Selama lebih dari 100 ribu tahun eksis, Danau Bandung Purba mengalami fluktuasi ketinggian, akibat efek iklim, dan juga erupsi gunungapi. Letusan gunungapi yang materialnya mengisi cekungan, mengakibatkan muka danau menjadi naik, terutama pada 35-20 ribu tahun yang lalu. Sementara itu hilangnya Danau Bandung terjadi karena beberapa faktor, yaitu: 1. Sedimentasi yang mengisi penuh cekungan, 2. Faktor iklim, 3. Erosi dari Ci Tarum yang mengakibatkan turunnya elevasi dasar sungai (DAM, 1994).

Peluang Penelitian Lanjutan

Pada tahun 1985, Bendungan Saguling diresmikan Pemerintah. Bendungan ini dibangun di daerah Saguling, tepatnya antara Pasir Pancalikan dan Pasir Saguling pada elevasi sekitar 650 mdpl. Dari bendungan, air dialihkan dan kemudian dikeluarkan melalui pipa pesat ke PLTA yang berada di dekat Pasir Sanghyang Tikoro. Pembendungan ini mengakibatkan segmen Ci Tarum antara Saguling dan Sanghyang Tikoro menjadi kering karena hanya dipasok oleh air dari tangkapan air di sekitar lembah ini saja.

Suksesnya PLTA Saguling menginspirasi pembangunan PLTA lainnya, yaitu PLTA Rajamandala yang baru diresmikan pada 2019 silam. PLTA ini memanfaatkan air yang baru dilimpaskan dari PLTA Saguling. Aliran yang keluar kemudian dipindahkan melalui terowongan yang menerobos bukit, untuk kemudian memutar turbin. Akibat dari pembangunan PLTA ini cukup dramatis. Debit aliran Ci Tarum mulai dari Sanghyang Tikoro hingga PLTA Rajamandala menjadi cukup kecil, dari sebelumnya sangat deras dan bisa menjadi tempat latihan arung jeram. Pemindahan aliran ini juga mengakibatkan Goa Sanghyang Tikoro menjadi kering, sehingga bisa disusuri, mungkin untuk pertama kalinya setelah selama puluhan ribu tahun dialiri oleh aliran deras Ci Tarum.

Dalam satu kesempatan menyusuri Goa Sanghyang Tikoro dari arah Sanghyang Kenit, dijumpai endapan-endapan sungai yang terendapkan sangat baik di lorong-lorong goa. Endapan kerakal-berangkal yang membundar dengan sortasi baik dan memiliki struktur imbrikasi mencirikan bahwa di dalam lorong-lorong goa ini, aliran sungai mengalir dengan arus yang sangat deras, namun stabil dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu juga di beberapa tempat dijumpai endapan-endapan banjir, yang mencirikan bahwa di dalam goa ini juga beberapa kali terjadi banjir, atau mungkin cukup rutin. Di dalam goa dijumpai batang kayu yang cukup besar yang mencirikan besarnya aliran air yang masuk ke dalam goa ini.

Gambar 3 Endapan sungai di dalam goa Sanghyang Tikoro. Foto oleh Deni Sugandi

Penemuan ini cukup menarik, sehingga memancing rasa ingin tahu. Menurut pendapat para ahli sejak zaman kolonial, Ci Tarum sebelumnya tidak mengalir lewat Saguling-Rajamandala. Aliran ini relatif baru. Mungkin setelah terjadi pembendungan. Jika pembendungan diduga terjadi pada 130 ribu tahun silam, dan surutnya Danau Bandung terjadi pada 16 ribu tahun silam, maka mungkin Goa Sanghyang Tikoro baru pertama kali dimasuki Ci Tarum pada saat itu juga. Artinya, jika kita menggali parit pada endapan sungai di dalam Goa Sanghyang Tikoro dan mencapai dasarnya, kemudian mencari material yang bisa dianalisis umurnya, apakah kita bisa mengetahui kapan pertama kali endapan sungai masuk ke dalam goa ini? Jika hipotesis ini benar, apakah kita bisa tentukan kapan Danau Bandung jebol?

Penutup

Mengetahui kapan dan dimana Danau Bandung Jebol mungkin bukan hal yang menyangkut hidup dan mati atau terkait dengan hajat hidup orang banyak. Namun rasa ingin tahu adalah bagian dasar dari diri manusia, dan keingintahuan terkait Danau Bandung telah ada sejak ratusan tahun silam. Sangat menarik untuk menelusuri keping-keping berserak mengenai sejarah tempat kita tinggal, yang kini perlahan mulai terangkai menjadi kisah yang utuh. Mulai dari terbentuknya danau, pelamparan danau, bagaimana surutnya, dan kini kita mencoba menjawab kapan terjadinya, secara lebih eksak dan presisi. Wilayah Lembah Ci Tarum di Saguling-Rajamandala kini sedang bersolek untuk mengembangkan diri menjadi objek geowisata kelas dunia, yang salah satu elemennya adalah latar belakang ilmu pengetahuan. Semoga ada kesempatan untuk melakukan penelitian terkait hal ini.

Referensi:

Alzwar, M., Akbar, N., & Bachri, S. (1992). Peta Geologi Lembar Garut (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Bemmelen, R. W. van. (1949). The geology of Indonesia (Vol. 2). Govt. Printing Office The Hague. https://nla.gov.au/nla.cat-vn2287853

Bemmelen, R. W. van, & Szemian, J. (1934). Geologische Kaart van Java Blad 36, Bandoeng [Map]. Batavia : Topografische Dienst. https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/813208

Brahmantyo, B., & Bachtiar, T. (2009). Wisata Bumi Cekungan Bandung (1st ed.). Truedee Pusaka Sejati. https://catalogue.nla.gov.au/Record/4603322

Brahmantyo, B., Sampurno, & Bandono. (2002). Analisis Geomorfologi Perbukitan Saguling-Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak Melalui Gua Sangiangtikoro. Majalah Geologi Indonesia, 17(3).

DAM, M. A. C. (1994). The Late Quaternary evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. Thesis VU Amsterdam. https://ci.nii.ac.jp/naid/10013487372/

Dam, M. A. C., & Suparan, P. (1992). Geology of the Bandung Basin. Republic of Indonesia, Department of Mines and Energy, Directorate General of Geology and Mineral Resources, Geological Research and Development Centre.

Dam, R. (2021, July 24). The Geology of Bandung Basin and Potential Future Research. Geologi ITB Menyapa #16, Zoom Meeting. https://youtu.be/nPJdRDpcDe4?t=1736

Hochstetter, C. G. F. R. von. (1864). Geologische Ausfluge auf Java. https://www.zobodat.at/pdf/MON-GEO_0032_0113-0152.pdf

Junghuhn, F. W. (1841). Uitstapje naar de bosschen van de gebergten Malabar, Wayang en Tilu, op Java. bij S. en J. Luchtmans. https://books.google.co.id/books?id=2oP5Vr-eGoIC

Koenigswald, G. von. (1935). Das Neolithicum der Umgebung von Bandung. Tijdschriff voor Indische Taal. Land-En Volkenkunde, 75, 394–419.

Koesoemadinata, R. P., & Hartono, D. (1981). Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 23 pp.

Rigg, J. (1862). A Dictionary of the Sunda language of Java, by Jonathan Rigg … Lange.

Silitonga, P. H. (1973). Peta Geologi Lembar Bandung (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Stehn, C. E., & Umbgrove, J. H. F. (1929). Bijdrage tot de geologie der vlakte van Bandoeng. Tijdschr. K. Nederl. Aardrijkskd. Genoot., 46, 301–314.

Sujatmiko. (1972). Peta Geologi Lembar Cianjur (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Taverne, N. J. M. (1926). Vulkaanstudien op Java. Algemeene Landsdrukkerij.

Verbeek, R. D. M., & Fennema, R. (1896). Geologische beschrijving van Java en Madoera (Vol. 2). JG Stemler Cz.

Kerinduan Junghuhn Pada Alam Jawa

Dalam buku Drie en Dertig Jaren op Java (33 Tahun di Jawa), Dr. C.W. Wormser sebagai pembuka bukunya, mengutip pernyataan dari Franz Junghuhn mengenai kerinduan Junghuhn pada Pulau Jawa. Ketika itu Junghuhn sedang berada di Belanda, memulihkan dirinya setelah selama 12 tahun bergulat dalam belantara Hindia.

Aku sangat ingat hutan di sana yang berhias warna hijau yang abadi, ribuan bunga dengan semerbak wangi yang tak pernah pudar. Dalam pikiranku terdengar angin laut yang berdesir melewati rerimbun pohon pisang dan pucuk pohon kelapa. Aku dengar gemuruh air terjun yang berundak turun dari dinding gunung tinggi di pedalaman negeri. Seolah-olah aku sedang menghirup udara pagi yang dingin. Seolah aku sedang melangkah di depan pondok orang Jawa yang ramah. Keheningan yang sunyi dari hutan belantara mengepungku dari segala sisi. Tinggi di langit di atasku terlihat kepakan kelelawar yang berkerumun, beterbangan kembali ke tempat mereka pulang di siang hari. Perlahan kehidupan bergerak semakin dalam ke hutan. Burung merak berteriak berlomba saling pamer suara. Monyet-monyet melanjutkan permainan mereka dan teriakannya menggema dalam sunyi hutan pegunungan, seolah membangunkan hutan dengan nyanyian paginya. Ribuan burung benyanyi merdu. Bahkan sebelum matahari menampakkan warnanya di timur langit, puncak-puncak gunung telah menyala keemasan. Dari ketinggiannya yang agung, mereka seolah melihatku sebagai seorang kawan lama. Betapa rindu dan membuncah keinginanku untuk mendaki, hingga pada hari nanti di mana aku bisa bilang, Salam padamu, Wahai Gunung-Gunung!

Franz Junghuhn,
Leiden, November 1851

Junghuhn Seorang Geologist

Dalam pengetahuan komunal masyarakat Indonesia, Junghuhn dikenal sebagai orang yang membuat grafik lokasi ideal tumbuh kembang tanaman berdasarkan elevasi ketinggian. Pengetahuan ini tersebar, karena dimuat dalam pelajaran geografi ketika SD dan SMP. Setidaknya begitu belasan tahun lalu, ketika saya masih sekolah dasar dan sekolah menengah dulu.

Ketika masuk dalam pelajaran sejarah, nama Junghuhn kembali mengemuka mengingat jasanya dalam budidaya kina. Junghuhn dikenang sebagai perintis budidaya kina di Indonesia, hingga pada awal abad 20, Indonesia menguasai pasar kina dunia.

Tugu Makam Junghuhn di Lembang, dikelilingi pohon-pohon kina. Telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Junghuhn seluas 2.5 ha

Selain dari dua bidang tersebut, nama Junghuhn tak banyak saya lihat. Ketika saya berkuliah di jurusan geologi, namanya tak muncul. Mungkin hanya sekali, yaitu ketika almarhum Pak Budi Brahmantyo menceritakan tentang sketsa Junghuhn di Situ Patengan. Namun selebihnya ia tak terdengar.

Padahal Franz Junghuhn (lahir di Mansfeld Jerman, 1809 dan wafat di Bandung, 1864) adalah salah satu perintis penelitian geologi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Karyanya yang paling masyhur, Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart (Jawa, Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Pembentuknya), yang terdiri atas tiga volume, pada volume III setebal 329 halaman, khusus membahas mengenai geologi Pulau Jawa. Di dalamnya tercakup pembahasan mengenai sebaran mineral, sedimen, morfologi pegunungan, fosil hewan dan tanaman, formasi-formasi penting, batuan gunungapi, keberadaan metal, bahkan hingga mata air panas. Deskripsi fosil dan lokasi penemuannya menjadi lokasi A-Z, menjadi sumbangan sangat berharga bagi penelitian stratigrafi di Hindia.

Sementara volume I membahas mengenai tanaman-tanaman dan volume II membahas mengenai gunungapi. Pada tahun 1855, Junghuhn mempublikasikan peta Pulau Jawa skala 1:350.000 yang ia bagi ke dalam 4 lembar. Salah satu edisi peta ini merupakan peta geologi dengan warna-warna yang membedakan formasi-formasi batuan. Peta ini merupakan peta geologi kedua Pulau Jawa, setelah peta geologi oleh Horsfield pada awal abad-19.

Peta Geologi Bandung dan Sekitarnya oleh Junghuhn (1855)

Jika kita menelusuri karya-karya Junghuhn secara kronologis, maka kita akan tahu bahwa mulanya Junghuhn tidak begitu awas dengan kondisi geologi. Passion-nya ketika itu lebih ke aspek botani. Menurut Rogier Verbeek, kemungkinan besar Junghuhn mulai awas dengan kondisi geologi adalah pada tahun 1834, ketika ia berkunjung ke Laacher See (Danau Laach) di sekitar Pegunungan Eifel. Di sini, Junghuhn muda terkesima dengan pegunungan vulkanik ini, dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa geologi juga merupakan hal menarik yang belum banyak dipahami.

Pada awal karir Junghuhn di Hindia pun, ia tak begitu awas dengan kondisi geologi. Ia lebih banyak memperhatikan tanaman-tanaman, mendeskripsi, kemudian mengumpulkan spesimennya. Baru pada tahun 1837, ketika Junghuhn ditugaskan menjadi deputi dari Dr. Fritze, ia mulai memiliki pembimbing dalam ilmu geologi. Dalam buku “Topograpische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java, Magdeburg 1845”, Junghuhn menuliskan bahwa dalam perjalanannya dengan Dr. Fritze, Junghuhn melakukan penelitian mengenai tanaman; sementara Dr. Fritze melakukan observasi geologi, mengunjungi kawah, dan mengoleksi bebatuan. Pada bulan Mei 1839, Fritze meninggal dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi Junghuhn.

Ernst Albert Fritze (1791-1839)

Junghuhn melanjutkan petualangannya di Jawa hingga tahun 1841, untuk kemudian berpindah ke Sumatera dan melakukan penelitian di Tanah Batak selama 13 bulan. Di rimba yang liar ini, Junghuhn berhasil memetakan topografi kawasan ini dengan sangat baik, sekaligus mempublikasikan pengamatannya mengenai Tanah Batak di Sumatera (Die Battaländer auf Sumatra). Menurut Verbeek, dalam buku tersebut Junghuhn secara eksplisit menyebutkan mengenai rencana pembahasan geologi yang akan dituliskan dalam buku volume kedua. Namun buku tersebut tak pernah terpublikasikan. Buku Die Battaländer auf Sumatra hanya terbit dalam bahasa Jerman. Ini karena naskah buku ini ditolak oleh pemerintah kolonial karena catatan-catatan kritis mengenai perlakuan buruk tawanan Jawa oleh serdadu kolonial.

Pada periode awal Junghuhn di Hindia, selama 13 tahun (1835-1848), kemudian kita kurangkan dua tahun bekerja di Sumatera, dan dua tahun lainnya untuk membuat laporan tentang Tanah Batak, maka sebenarnya Junghuhn hanya punya sekitar 9 tahun untuk meneliti Jawa. Bayangkan 9 tahun untuk mendaki 45 gunung, beberapa di antaranya berkali-kali, 16 di antaranya ia merupakan orang yang pertama, kemudian mengunjungi lembah-lembah yang dalam dan deras, serta menerobos rimba belantara yang kejam, mengumpulkan spesimen dalam peti-peti dan mengirimkannya ke Eropa. Bahkan pada periode awal, kebanyakan dari waktu tersebut bahkan dilakukan pada masa-masa cuti, karena pada awalnya Junghuhn adalah seorang dokter militer. Ini merupakan prestasi yang hebat, menimbang seluruh kesulitan yang ada ketika itu. Perjalanan-perjalanan geologi Junghuhn hanya bisa dilakukan jika ada persitensi yang tinggi, mengingat begitu terperincinya laporan yang ditulis Junghuhn.

“Sebuah cahaya baru yang telah lama dinantikan, baru-baru ini terbit mengenai karakter geognostic Pulau Jawa, melengkapi karya-karya terdahulu Horsfield, Raffles, dan Reinwardt, yang masih belum lengkap. Dibuat oleh peneliti alam yang cerdas, piawai, dan pantang menyerah, Franz Junghuhn. Setelah tinggal lebih dari 12 tahun ia merampungkan karya yang sangat berharga: Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart.”

Alexander von Humboldt dalam Kosmos jilid 4, tahun 1858

Junghuhn harus kita kenang sebagai geologist yang handal. Kita harus ingat bahwa Junghuhn memelajari geologi secara otodidak. Ia tak punya pendidikan khusus geologi. Hal ini juga kemudian mengakibatkan banyak observasinya yang kurang presisi, meski tidak mengurangi rasa apresiasi kita padanya. Verbeek menuliskan bahwa Junghuhn mengklaim bahwa basalt hanya ditemukan di tiga gunungapi di Jawa, padahal batuan ini bisa ditemukan di begitu banyak gunung. Junghuhn juga banyak mendeskripsi batuan plagioklas-trakhit, yang ternyata merupakan batuan andesit. Lebih lanjut Verbeek mengapresiasi Junghuhn begitu tinggi, terkait deskripsi medan yang begitu detil terperinci dengan ilustrasi yang dilengkapi banyak sketsa, profil, dan peta. Namun harus diakui bahwa ketika Junghuhn membahas substansi geologi, maka maknanya kurang begitu berarti, terutama jika kita bandingkan dengan ilmu yang berkembang sekarang.

Beberapa teori penting yang dikemukakan Junghuhn, terutama teori mengenai pembentukan gunungapi. Junghuhn lah yang pertama menyatakan dan membuktikan bahwa kerucut gunungapi volkanik itu bertumbuh dan membangun kerucutnya secara berturut-turut dari letusan debu gunungapi dan aliran lava. Naiknya elevasi gunungapi bukan karena pengangkatan, tetapi karena proses letusan-letusan yang berulang. Teori ini mungkin sekarang sudah usang dan kuno, tetapi pada zaman Junghuhn, teori itu diterima sebagai teori yang benar, dan bahkan didukung oleh Leopold von Buch. Tak hanya von Buch, Charles Lyell, bapak geologi abad 19, dalam bukunya yang legendaris, The Principle of Geology (1868) tak ragu untuk menyebut nama Junghuhn 6 kali dalam bukunya, dan menyitir pendapat Junghuhn, membuktikan betapa berharganya informasi dan analisis yang dikembangkan Junghuhn di Jawa.

Pada akhirnya, Junghuhn harus kita kenang sebagai salah satu perintis ilmu geologi di Indonesia. Seperti yang disampaikan Verbeek dalam memoir mengenang 100 tahun Franz Junghuhn, bahwa Junghuhn memberikan efek sugestif pada generasi muda. Ia menginspirasi pemuda generasi Verbeek untuk berkarya mengeksplorasi bumi Hindia, dan harusnya juga pada generasi-generasi setelahnya, termasuk generasi kita. Junghuhn adalah contoh dari orang berjiwa Promethean, yaitu orang yang memberikan segalanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa memedulikan konsekuensi terhadap dirinya sendiri.

Wahai Junghuhn, karyamu abadi!

Sketsa geologi pantai dengan undercut di bawahnya. Terdiri atas lapisan batupasir dan kapur
Sketsa Bukit Breksi Batu Nini di sekitar Gunung Buleud Cililin
Sketsa batuan sedimen berlapis nyaris tegak di Sanghyang Heuleut

Beberapa sumber tulisan ini:
1. Junghuhn als Geologe – Rogier Verbeek
2. Forschen – Vermessern – Streiten – oleh Renate Sternagel dan Gerhard Aus
3. Buku Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart volume III – Franz Junghuhn

Danau-Danau di Kota Bandung

Saya baru lihat postingan Pak T.Bachtiar yang akan membahas mengenai Danau-danau yang Hilang di Bandung, hari Senin 2 November 2020, nanti. Topik ini menarik karena saya pernah mendigitasi Peta Kota Bandung tahun 1931, untuk bisa menampalkan danau-danau yang dulu ada, ke keadaan sekarang. Kita tahu bahwa hampir seluruh danau di Bandung itu telah diurug, dijadikan perumahan. Mungkin yang paling terkenal adalah Situ Aksan, yang letaknya di sekitar Jalan Aksan, dekat Jalan Jamika dan Jalan Sudirman. Kini Situ Aksan sudah hilang, berganti menjadi perumahan.

https://www.instagram.com/tbachtiargeo/

Tak perlu kita bahas lebih panjang mengenai sejarah, asal muasal, dan kondisi danau-danau ini sekarang, karena saya yakin akan dibahas dengan sangat renyah oleh Pak Bachtiar nanti. Yang akan saya bahas adalah mengenai hasil digitasi saya, serta hasil penampalan kepada kondisi sekarang. Seberapa banyak tubuh air yang hilang? Berapa luasannya?

Sumber peta yang digunakan adalah Peta Topografi Lembar Bandung Nord dan Bandung Zuid skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Dinas Perpetaan Hindia Belanda tahun 1931. Peta ini bisa didapatkan di https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ secara cuma-cuma.

Penting untuk saya sampaikan, bahwa cakupan peta ini tidak besar. Luas yang dicakup masing-masing peta sekitar 10×10 km. Pada lembar Bandung Zuid, batas selatannya adalah Dayeuhkolot, sementara pada lembar Bandung Nord, batas utaranya adalah Cihideung dan Ciumbeuleuit. Batas barat dari peta ini adalah di Cimindi, sementara batas timurnya adalah Kiara Condong. Total luas yang tercakup dalam kedua peta yang berjejer utara selatan ini sekitar 20×10 km, atau 200 km2.

Sebagai peta skala 1:25.000, informasi yang ada di dalam peta ini cukup lengkap dan detil. Dalam kaitannya dengan data danau-danau yang ada di Bandung ketika itu, kita bisa bedakan dengan jelas, yang mana tubuh air, sehingga bisa kita digitasi dengan mudah.

contoh Tubuh Air yang ada di sekitar Cihampelas. Sekarang sudah diurug menjadi Apartemen Jardin
Contoh lain tubuh air di Leuwipanjang ke arah selatan, kita bisa lihat ada sangat banyak tubuh air, dengan yang paling luas adalah Situ Tarate di selatan Cibaduyut.

Kedua peta ini kemudian akan kita georeferensi. Cara menggeoreferensinya sama dengan cara menggeoreferensi Peta Geologi yang pernah saya bahas di tulisan saya yang lalu:

Setelah kita cek, ternyata peta ini menampal dengan sempurna di atas peta topografi Openstreetmap yang kita punya. Selanjutnya adalah mendigitasi poligon-poligon danaunya.

Setelah kita plot, ternyata sangat banyak danau yang hilang. Saya akan tunjukkan beberapa lokasi yang familiar:

Di sekitar Sekeloa, dekat Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad, kita lihat ada danau yang sekarang sudah hilang. Tak heran di sana ada danau, karena Seke berarti mata air. Maka besar kemungkinan, mata air itu begitu berlimpah hingga membentuk danau.
Situ Aksan di sekitar Pagarsih
Danau besar di antara Jalan Galot Subroto dengan Rel Kereta Api
Situ di sekitar Babakan Ciparay sekitar Jalan Caringin, antara Jalan Kopo dan Jalan Soekarno-Hatta

Serta banyak lagi tubuh air yang ada. Secara total, saya berhasil mendigitasi 73 tubuh air, dengan luas total 50,053 hektar. Sebagai perbandingan komplek Tegalega mulai dari Jalan Inggit Garnasih hingga ke BKR dan Jalan Otista hingga ke Jalan Moh Toha adalah sekitar 20 hektar. Maka luas danau di 2 lembar peta Bandung Nord dan Bandung Zuid pada tahun 1931 adalah 2.5 kali Komplek Tegalega.

Ada >15 danau yang memiliki luas lebih dari 1 hektar. Beberapa danau telah dinamai pada peta tersebut, antara lain Situ Aksan (2,57 ha), Situ Tarate (2,32 ha), Situ Hiang (1,84 ha), dan Situ Goenting (1,54 ha).

Danau paling besar berada di antara Jalan Gatot Subroto – Rel Kereta Api, yang kini sebagian ditempati oleh Trans Studio, luasnya mencapai 6,57 ha.

Danau-danau ini jika kita anggap memiliki kedalaman rata-rata 2 meter, maka seluruh tubuh air ini mampu menyimpan air sebanyak 1 juta meter kubik. Sebanyak itulah air yang harus kita carikan jalur parkirnya, jika kita mengurug seluruh danau, yang mana sudah kita lakukan sejak lama. Jumlah air sebanyak ini bisa mengisi 300 kolam standar olympic yang berukuran 50x25x3 m.

Keseluruhan peta ini kemudian saya buat dalam suatu webmap yang bisa diakses pada halaman berikut:

http://malikarrahiem.com/situdibandung

Webmap ini juga bisa dibuka di website saya, di header > Peta.

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi suplemen dari presentasi bernas Pak Bachtiar, hari senin nanti.

Salam sehat

Curug Halimun Tahun 1928

Minggu lalu saya baru berkunjung ke Curug Halimun, yang terletak di Kampung Cikondang, Saguling. Saya ke sana dengan Pak Bachtiar dan istri, serta adik saya. Kami dipandu langsung oleh ketua Pokdarwis Curug Halimun, Kang Ryan. Untuk memperkaya wawasan tentang Curug Halimun, maka saya sengaja menerjemahkan artikel tentang Curug Halimun yang ditulis oleh S.A. Reitsma (mantan walikota Bandung tahun 1928). Artikel ini dimual dalam Majalah Tropisch Nederland tanggal 28 Desember 1928.

Berikut terjemahannya:

Pada zaman dahulu kala, Dataran Tinggi Bandung pastilah sebuah danau yang begitu luas. Hal ini bisa terlihat dari formasi batuan yang ditemukan di dasar dataran ini.  Hal ini juga tercermin dari berbagai macam legenda Sunda dan penamaan Bandung. Bandung berarti membendung, yang kemudian juga diabadikan sebagai simbol dari logo kota.

Legenda pembentukan dataran tinggi Bandung masih diceritakan dari mulut ke mulut hinga sekarang. Kisahnya kurang lebih adalah begini:

Pangeran Galuh Sri Pamekas mempunyai seorang putri, namanya Dayang Sumbi. Dayang Sumbi mempunyai seorang putra, namanya Sangkuriang, yang begitu ahli dalam berburu. Suatu hari Dayang Sumbi dan putranya sedang bertengkar. Dayang Sumbi tak sengaja melukai putranya di kepala, meninggalkan jejak luka yang dalam. Sangkuriang pergi dari rumah, berkelana mengarungi Jawa dengan pengikut-pengikutnya.

Tahun dan tahun berlalu hingga Sangkurinag kembali ke Bukit Karang Penganten,di mana ia bertemu dengan seorang putri yang cantik Dayang Sumbi yang telah diusir dari Kerajaan Galuh. Tanpa mengetahui tentang hubungan darah yang mereka berdua miliki, mereka merencanakan pernikahan. Hingga Dayang Sumbi akhirnya menemukan bekas luka di kepala Sangkuriang.

Ia begitu terkejut dengan fakta ini. Dia tidak bisa menikahi putranya sendiri. Untuk membatalkan rencana ini, ia membuat syarat, bahwa untuk menikahinya, Sangkuriang haru membendung Ci Tarum, sehingga ada danau yang luas untuk mereka berperahu di sana. Tenggat waktunya besok pagi. Sangkuriang harus mengerjakannya dalam waktu semalam.

Permintaan yang hampir mustahil ini diterima Sangkuriang. Dengan pasukan jin dan roh alam dewata yang dimilikinya, tugas ini sepele saja baginya.

Sebagian pasukan gaibnya dikirim ke Ngarai Ci Tarum dan mulai membendung dengan bebatuan di bagian yang paling sempit. Pepohonan ditebang. Bukit-bukit digali dan dipindahkan. Bebatuan diangkut dan ditumpahkan. Pasukan yang lain dikirim untuk memotong pohon Lambitang raksasa, yang akan dijadikan sebagai perahu. Sementara pasukannya yang wanita dikerahkan untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan pesta.

Pekerjaan Sangkuriang dan pasukannya berjalan dengan lancar. Di tengah malam, sebagian besar Bandung telah tenggelam dalam bendungan. Dalam terang purnama, Sangkuriang bersiap-siap menjemput pengantinnya.

Dayang Sumbi mengamati dari puncak bukit. Cemas semakin cemas. Ia berdoa, memohon pertolongan dewa-dewa, terutama Brahma yang agung.

Tak lama muncul seorang dukun yang memberinya daun dari Pohon Surgajaya. Dedaunan ini punya kekuatan gaib, yaitu ketika dilemparkan ke danau, ia merusak bendungan, membentuk lubang yang besar, Sangiang TIkoro, sehingga air mengalir keluar dari bendungan yang telah dibuat. Danau mengering cepat. Sangkuriang yang marah menendang perahu yang kemudian terbalik. Pasukan Sangkuriang musnah di rawa-rawa.

Perahu yang terbalik kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu, yang berarti Perahu Nangkub, atau perahu terbalik. Tentu ini dinamai karena bentuknya yang memang menyerupai perahu terbalik. Dayang Sumbi yang bersedih karena mengorbankan nyawa begitu banyak manusia untuk menghindari menikah dengan putranya sendiri, sangat bersedih. Ia melompat dan masuk ke dalam gunung, kini menjadi Kawah Ratu, kawah utama di Tangkuban Perahu.

Semua sungai di dataran tinggi Bandung, mulai dari yang berhulu di Pengalengan, Malabar, Tangkuban Perahu semua mengalir dan bermuara ke Ci Tarum. Kota Majalaya dan Dayeuhkolot mengalir di tengah dataran Bandung. Di Dayeuh Kolot sungai ini bisa dinavigasi beberapa kilometer hingga rentetan jeram-jeram dimulai. Curug Jompong adalah jeram paling utama di sana.

Kemudian Ci Tarum menerobos pegunungan Neptunian yang menjadi batas barat Dataran Tinggi Bandung. Sungai ini telah melewati kawasan ini selama ratusan bahkan ribuan tahun, membentuk ngarai yang sempit dan dalam, lebih dari 500m. Di beberapa tempat, lebarnya hanya beberapa meter. Melalui jurang yang sempit dan dalam ini, di tebing-tebing batukapur, volume yang masif dari aliran CI Tarum membentuk deretan air terjun yang sangat menakjubkan, paling menakjubkan yang ditemukan di Jawa, sebelum kemudian keluar di dataran Rajamandala.

Bagian terdalam dari ngarai ini disebut Junghuhn sebagai Sanghyang Heuleut. Tak jauh di sana terletak juga Sanghyang Tikoro. Curug Halimun juga ada di sekitar sana, dan telah ditandai dalam peta.

Untuk sampai ke Curug Halimun, kita bisa berkendara dengan mobil atau kereta dari Padalarang. Mengambil jurusan Buitenzorg (Bogor), kemudian berhenti di Rajamandala. Kemudian di pal-26, sebelum jembatan menuju Cihea kita berbelok. Di sana ada perusahaan bernama “Pangkalan”. Setelah satu setengah jam jalanan menanjak, kita akan sampai di Gunung Guha.

Ci Nungnang, sungai kecil, mengalir di tepian gunung ini, yang juga dikenal sebagai Gunung Nungnang. Gunung ini dideskripsi oleh Junghuhn sebagai berikut:

Tebing batugamping ini menjulang tinggi besar. Puncak dan tepi-tepiannya ditutupi pepohonan yang hijau dan subur. Karena curamnya lereng, maka puncak tebing tidak bisa diakses, sehingga penebangan kayu tak terjadi. Jika ingin melihat gambaran mengenai keindahan alam hutan tropis, kunjungilah tebing kapur Gunung Nungnang. Ia menjulang hampir vertikal setinggi 500 kaki di atas Desa Guha. Pohon-pohon besar, tumbuh tinggi menjulang, seolah kolom raksasa. Keindahannya melampaui semua deskripsi. Batang-batangnya menjulang seolah berlomba siapa yang paling tinggi. Kubah pohonnya seolah amfiteater, yang berdekatan satu sama lain. Saking rapatnya, lereng-lereng curam dinding kapur yang putih ini hanya terlihat di beberapa tempat saja.

Kami terus berjalan dan segera mencapai titik tertinggi, 1736′, di Desa Cacaban. Sebelumnya, dari Puncak Larang, kami disuguhi menikmati pemandangan indah Dataran Batujajar dengan markas tantara artileri dengan kelok-kelok Ci Tarum bermeander seolah memahat dataran.

Tak lama kita sampai di Curug Halimun. Jalan menurun sangat ekstrim. Ci Tarum jatuh bebas sebebas-bebasnya. Suaranya menggemuruh yang menggelegar. Sangat disayangkan bahwa air terjun ini sangat sulit untuk direkam baik melalui sketsa dan foto. Sejauh yang kami ketahui, belum ada rekaman foto dari lokasi yang sangat indah ini.

Foto Curug Halimun dalam buku Bandoeng en Haar Hoogvlaakte (1950)

Kami menyusuri tepian Ci Tarum ke arah hulu. Memanjat dari batu ke batu. Melewati satu per satu jeram. Mengikuti persis jejak langkah dari pemandu kami yang lincah. Menyeberangi sungai-sungai kecil, menembus belantara yang lebat. Hingga akhirnya kami sampai di tempat di mana Ci Tarum menerobos bebatuan. Atau mungkin lebih tepat kita sebut di mana Ci Tarum menyayat dinding pegunungan selama ratusan atau ribuan tahun, dibantu gempa bumi dan banjir yang besar.

Air yang mengalir deras dari Dataran Bandung harus melewati jalur sempit selebar 10m. Di sinilah bendungan itu pasti berada. Saat dataran Bandung yang indah dan subur masih berupa danau yang luas. Di sinilah, di antara gunung-gunung yang tinggi, jalan keluar dari danau yang luas, yang legenda dan hikayatnya direkam dari mulut ke mulut oleh leluhur orang Sunda.

Bertumpu pada dinding yang terjal, dan pohon yang tumbuh di tepiannya, masyarakat lokal membangun jembatan dan menamainya Cukang Rahong (Cukang berarti Jembatan. Rahong artinya Membual (*)). Pohon yang menjadi tumpuan, tumbuh mengakar kuat pada rekahan-rekahan. Bisa kita lihat jika kita melihat dengan cermat. Lebar jembatan ini tak lebih dari 11m, dan tersusun atas beberapa batang bambu, yang disambung satu sama lain membentuk segitiga.  

(*) Dalam Kamus Jonathan Rigg, Rahong berarti celah yang sempit, atau ngarai. lebih sesuai untuk konteks Cukang Rahong. Jadi bukan jembatan pembual, tetapi jembatan di atas celah yang sangat sempit.

Pemandangan dari jembatan ini sangatlah indah. Jembatan kecil di atas ngarai sedalam 40m itu berada sekitar 15m di atas permukaan air. Aliran air menggemuruh melewati bebatuan. Buihnya seolah menggelegak, seolah mendidih.  Di sisi sebelah selatan, kami turun ke sungai, di mana kami melihat pemandangan jejak erosi yang begitu indah. Kami lihat juga pohon yang sangat besar yang terbawa oleh banjir.

Karena kami masih di sekitar Ci Tarum, kami memutuskan untuk mengunjungi Sanghyang Tikoro, atau Tenggorokan Ci Tarum.

Jalan mengarah dari Rajamandala menuju Cidohong, kemudian dari sana menuju perkebunan teh dan karet Rajamandala, lalu menuju hutan belantara. Dari sini kami menyusuri lembah Ci Leat. Sesekali kami bisa melihat pemandangan indah dari puncak Gunung Guha. Tak lama hutan semakin rapat. Terik matahari memancarkan sinarnya di atas kanopi. Di antara vegetasi hutan yang rimbun bisa kita temukan begonia dan anggrek, serta tanaman liana (merambat) terbesar di Jawa dengan legum raksasa yang panjangnya lebih dari 1m. Kemudian kami melewati Desa Cisambeng, di mana terdapat mata air panas mengandung belerang dengan suhu hingga 50oC. Sebuah pipa bambu dipasang di belakang batu-batu besar dan membawa air panas ke kamar mandi kecil, di mana air dikumpulkan di dalam baskom batu. Di dekat sumur, ada pipa bambu lain di bawah, di mana banyak penduduk asli membasuh diri untuk mengobati segala macam penyakit.

Desa Cisambeng terletak di anak sungai kecil yang bernama sama, yang mengalir dari gunung yang juga disebut Cisambeng. Rumah kampung masih seluruhnya dilapisi alang-alang panjang.

Kami bisa sampai di sini dengan menunggang kuda. Kemudian kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Jalanan segera menanjak di Desa Cisambeng. Saat melihat ke belakang, kami melihat gambaran desa yang tenang, sepi, dan damai. Jalan setapaknya sempit, naik dan turun. Tak lama, sekitar 15 menit kami tiba di penghujung perjalanan kami. Ci Tarum baru saja berbelok keluar dari ngarai yang sempit di ujung Gunung Guha. Kemudian sungai ini mengalir mengikuti dinding tebing yang curam dan berhutan, hingga kemudian masuk ke dataran Cihea.

Di sini kami melihat pemandangan yang sangat memesona. Pegunungan kapur berwarna putih keabuan Gunung Guha menjadi latarnya. Ci Tarum terbelah menjadi dua, cabang sebelah kanan menghilang dengan cepat ke dalam gua yang gelap, gua Sanghyang Tikoro. Di atas mulutnya, tanaman-tenaman tergantung miring seolah-olah menjadi karangan bunga. Dengan sangat berhati-hati kami bisa turun sedikit di antara bebatuan, yang bertumpukan satu sama lain. Gua ini kemungkinan besar terbentuk akibat runtuhan dinding bebatuan kapur ini.

Kami menghanyutkan sebuah peti berisi obor yang menyala ke dalam gua. Hasilnya luar biasa! Ribuan kelelawar dan burung walet segera berhamburan keluar dari persembunyiannya. Mereka yang sebelumnya bergelantungan menempel di langit-langit gua segera beterbangan. Sanghyang Tikoro panjangnya beberapa ratus meter. Dari atas gua kami menyusuri dan menemukan beberapa sungai keluar dari gelapnya gua-gua yang dalam ini.