Pertempuran Malam Para Pemangsa

Pada April 1846, Junghuhn yang sudah menjadi anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indie ditugaskan untuk menginvestigasi kondisi geologi Pulau Jawa, terutama untuk mencari sumber daya batubara. Investigasi ini berlangsung selama 2 tahun, hingga sebelum kepulangan Junghuhn ke Eropa pada tahun 1848. Dia memulai investigasinya dari bagian paling barat Karesidenan Banten, menyusuri pesisir hingga akhirnya tiba di pantai selatan. Di pesisir selatan ini dia mengalami kejadian yang begitu berkesan di hatinya, hingga ia menuliskan begitu rinci mengenai kejadian tersebut dalam buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (selanjutnya disebut buku Cahaya).

Kejadian apakah itu?

Junghuhn menulis dalam buku Java jilid 1 (halaman 193) bahwa kejadian itu terjadi pada tanggal 14 Mei 1846, di sebuah semenanjung kecil yang begitu terpencil jauh di pantai selatan Banten, bernama Tanjung Sodong. Di sini ia menyaksikan kejadian brutal, yaitu peristiwa pertempuran para pemangsa untuk memperebutkan penyu. Yang bertempur di sini adalah anjing hutan, buaya, dan sang raja di hutan Jawa, harimau.

Ada dua versi dari cerita ini. Versi pendek dimuat dalam buku Java, sementara versi lebih lengkap dimuat dalam buku Cahaya. Versi cerita dalam buku Cahaya menurut Nieuwenhuys dalam buku Java’s Onuitputtelijke Natuur (hal.94) adalah salah satu tulisan Junghuhn paling indah dalam semua karyanya. Bahkan ketika buku Cahaya pertama terbit tahun 1854, cerita “Pertempuran Para Pemangsa” sudah menarik perhatian khalayak ramai. Filsuf terkenal Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860), juga mengapresiasi dan memuji cerita ini. Nieuweunhuys mengutip pujiannya sebagai berikut:

Objektivierung Wille zur Macht, Perwujudan Keinginan untuk Berkuasa/Bertindak”

Posisi Tanjung Sodong ditunjukkan oleh Junghuhn dalam peta Java skala 1:350.000, yaitu pada lembar pertama, lembar Jawa bagian barat. Jika kita telusuri letaknya berada di sekitar koordinat: 6°52’15″Lintang Selatan dan 105°32’09” Bujur Timur, sudah termasuk di dalam Taman Nasional Ujung Kulon. Dalam petanya, Junghuhn memberi nama lokasi ini: Reuzenschildpadden, yang dalam bahasa berarti Kura-Kura Raksasa atau Penyu.

Dalam citra google Earth, jika kita telusuri lokasinya, maka kita akan menemukan satu tanjung yang begitu lebat ditutupi hutan dataran rendah. Kita bisa lihat hamparan pasir yang memanjang beserta sungai kecil yang bermuara ke sisi timur teluk, selain muara sungai yang lebih besar (Tjimokla) di tengah-tengahnya.

Saya berkesempatan untuk menerjemahkan buku Cahaya karya Junghuhn. Dalam tulisan ini saya melampirkan terjemahan mengenai bagian Pertempuran Para Pemangsa di Tanjung Sodong. Selamat membaca!

Terjemahan:

Kami berjalan menyusuri pantai sepanjang hari. Sementara aku sibuk menggambar pantai, saudara MALAM mengumpulkan benda-benda baru atau langka yang kami temui. Selama perjalanan ini, kami hanya menemui satu desa kecil tempat kami berhenti untuk makan siang, lalu melanjutkan perjalanan hingga sekitar pukul 4 sore karena kami kelelahan dan harus berhenti untuk mencari tempat berkemah yang nyaman, dengan air mengalir di dekatnya. Sekitar setengah hari perjalanan lebih jauh ke arah barat dari sini, harusnya ada desa besar di pantai yang ingin kami capai besok pagi untuk kemudian berbelok ke arah utara menuju dataran tinggi pulau tersebut.

Kami memilih sisi timur tanjung yang menjorok ke laut, yaitu Tandjung Sodong, sebagai tempat berkemah malam kami. Di sana terdapat aliran sungai sebening kristal yang mengalir ke laut. Daerah tersebut sangat liar, hutan hujan yang lebat menurun dari pegunungan hingga ke laut, bahkan daunnya menyentuh air dengan cabang-cabang yang menjulur sehingga hanya sedikit area berpasir di beberapa tempat, terutama di bagian belakang teluk-teluk kecil, yang tidak ditumbuhi hutan. Sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia yang dapat ditemukan.

Kami dengan cepat menyiapkan bivak yang diperlukan; pembantu kami beserta para kuli memotong cabang pohon, membangun pondok, menyalakan api, sementara aku pergi ke barat diikuti oleh saudara MALAM dan dua orang Jawa untuk mengeksplorasi kondisi sekitar. Tanjung atau ujung daratan (Tandjung, bahasa Melayu Udjung) terbukti sebagai ujung dari lereng yang turun dari pegunungan, sebagai tonjolan bukit yang mungkin sekitar 15 hingga 25 kaki lebih tinggi dari garis pantai di teluk-teluk yang berdekatan. Banyak tonjolan yang lebih atau kurang tinggi di daerah ini, menjorok ke laut antara teluk-teluk kecil yang lebih datar, semuanya ditutupi oleh hutan yang tebal.

Setelah kami melewati tanjung tersebut dan keluar dari hutan, kami disajikan dengan pemandangan yang menarik. Kami melihat antara tanjung ini dan tanjung berikutnya adalah pantai berbentuk melengkung seperti bulan separuh yang datar dan perlahan-lahan naik dari laut hingga sekitar 500 hingga 700 kaki dari laut dan berakhir di bukit pasir, kemudian segera memasuki hutan yang membentang terus hingga ke pegunungan. Pantai pasir datar ini, pantai teluknya, mungkin panjangnya 3/4 jam berjalan.

Di udara, burung pemangsa (burung elang atau jenis Haliaetus) melayang-layang membentuk lingkaran, sementara di pantai terdapat ratusan tulang dan cangkang kura-kura yang sangat besar, sebagian telah memutih, sebagian lainnya berwarna gelap, seperti terhampar di medan perang. Pemandangan itu sangatlah sunyi.

Terkejut dan penuh rasa ingin tahu, kami turun dari tanjung dan berjalan di pantai yang gundul di antara rangka-rangka. Segera, kami melihat banyak jejak yang jelas tercetak, dari harimau dan hewan-hewan kecil, terutama di dekat laut, di mana pasir, karena kelembapannya, memiliki kehalusan dan kekuatan yang lebih baik. Di sisi yang lebih ke kanan, di mana pantai secara lembut dan seragam condong ke bukit, pasir menjadi lebih longgar dan kering. Di sini, di banyak tempat, pasirnya bolak-balik dengan sangat tidak merata. Terkadang menggumpal, terkadang tenggelam dalam alur, menciptakan kesan bahwa berbagai hewan telah bergulat dengan sengit satu sama lain.

Seluruh wilayah pantai tertutupi tulang dan cangkang penyu, dan sejauh mata kami memandang, kami bisa menghitung puluhan cangkang penyu utuh, yang pasti berjumlah lebih dari seratus di seluruh pantai. Sebagian besar dari cangkang ditemukan di bagian dalam pantai, di dasar bukit, dan yang paling menonjol adalah semua cangkang tersebut terbalik. Ini adalah cangkang penyu laut (Chelonia mydas, jarang Ch. imbricata) dengan panjang berkisar dari 3 hingga 5 kaki, tergantung pada tinggi dan lebar yang sesuai.

Beberapa dari rangka sudah lama berada di sana. Warnanya sudah memudar dan mulus karena terpapar matahari dan hujan. Lainnya memiliki warna yang lebih gelap dan masih memiliki potongan daging kering yang menempel di bagian dalamnya. Bahkan beberapa di antaranya masih segar, berbaring dengan cangkangnya terbelah terbuka dan isi perutnya yang busuk berserakan di sekitarnya. Di beberapa tempat, kami melihat alur panjang dan lurus. Lebarnya sekitar 3-4 kaki, terdiri dari dua parit sisi, di tengahnya seakan-akan tubuh berat telah ditarik melintasi pasir. Tanda atau jejak-jejak ini dimulai di tepi pantai dan berjalan lurus melalui rangka-rangka hingga ke dasar bukit. Dua orang Jawa yang bersama kami tampaknya mengenali fenomena tersebut karena mereka telah mengikuti salah satu jejak itu, dan dari bukit tempat kami melihat mereka menggali di sekitar pasir, mereka bersorak dengan bahagia: “Tampat telor telor!” (sarang telur!)

Bukit-bukit tersebut adalah bukit pasir sejati yang langsung beralaskan dasar gunung. Pasir yang kering dan berwarna terang dihiasi di beberapa tempat oleh belukar panjang Daon katang (jenis Convolvolus) yang panjang serta bunga besar berwarna merah-ungu yang dibawa oleh belukar ini di batang tipisnya. Di tempat lain, pasirnya kosong atau hanya ditutupi oleh rumput merambat berduri, Djukut lari lari (Spinifex squarrosus).

Dari puncak bukit pasir tersebut, selain pohon-pohon kecil seperti Babak goan (Tournefortia argentea) dan yang lainnya, kita bisa melihat berbagai semak daun pandan yang paling subur. Di dasar bukit pasir ini, kami menemukan satu tempat (sarang) di mana, hanya dalam kedalaman pasir yang tipis, ada lebih dari seratus butir telur bundar berwarna putih kekuningan yang sebesar apel kecil dan memiliki cangkang yang lembut dan seperti kulit kertas. Jadi, jejak panjang tadi adalah jejak penyu raksasa yang, setelah naik dari dasar laut, merangkak di pantai sejauh 500 hingga 700 kaki untuk meletakkan telur di dasar bukit pasir dan meninggalkan penetasan telur pada sinar matahari yang hangat?! Dan selama perjalanan darat singkat ini yang mungkin mereka lakukan hanya beberapa kali setahun, mereka diserang oleh hewan buas?

Kami memutuskan untuk bersembunyi sambil mengintai malam itu, mengambil sebanyak mungkin telur yang bisa kami temukan, dan kembali ke bivak. Hutan pantai yang tumbuh di tanjung itu memiliki wajah yang sangat berbeda dari semak belukar di bukit pasir dan terdiri hampir hanya dari pohon Kibunaga (Calophyllum inophyllum), yang daunnya berwarna hijau cerah dan berkilau menyatu membentuk sebuah atap teduh yang melengkung 30 sampai 40 kaki di atas tanah. Ribuan bunga putih yang menghiasi daun yang indah ini menyebarkan aroma yang menyenangkan di sekitarnya.

Banyak batang tua bercabang-cabang tinggi yang panjangnya menjulur jauh ke semua arah dan dengan daunnya sering menunduk hingga ke tanah. Di atas cabang-cabang horizontal seperti itu, orang-orang Jawa telah membangun tempat tidur mereka dan tempat tidur kami sekitar 7 hingga 8 kaki di atas tanah. Mereka memotong cabang-cabang, meletakkannya mendatar di atas cabang utama, satu di samping yang lain, dan menutupnya dengan ranting dan daun. Di bawah pohon, di antara batang-batang, api menyala.

Beberapa dari pembantu kami telah melihat buaya. Buaya (Crocodilus biporcatus) di muara sungai yang, seperti yang dikenal, cenderung merayap ke tepi malam hari dan karena kulit mereka yang keras, lebih berbahaya daripada harimau. Kami memutuskan untuk mendirikan tempat perlindungan agak tinggi dari tanah pada salah satu pohon Kibunaga yang berada di tepi hutan dekat dengan hamparan tulang-belulang, dan kami memanjatnya sekitar pukul 6 sore bersama dengan tiga orang Jawa, setelah telur penyu yang lezat menjadi bagian utama dari makan malam kami. – Orang Jawa yang lain telah diperintahkan, segera setelah mereka mendengar tembakan, untuk segera datang kepada kami dengan membawa obor.

Kami menunggu. Sore mulai tiba. Kami pertama-tama melihat seekor penyu, kemudian beberapa penyu lainnya muncul dari air. Begitu mereka berada di daratan kering, di mana mereka hanya terkena ombak terakhir yang lemah, mereka berhenti sejenak. Mereka merentangkan leher panjang mereka ke depan dan ke atas, memutar sedikit ke samping, melihat, dan kemudian merangkak dengan cepat dalam garis lurus, tanpa berhenti, melintasi pantai—atau lebih tepatnya, mereka mendorong diri dengan kaki seperti sirip mereka dan buru-buru menuju dasar bukit. Karena semakin gelap, kami hampir tidak bisa melihat seperempat panjang pantai. Namun, sejauh yang dapat kami lihat, kami telah melihat empat tubuh hitam dan kaku bergerak di sepanjang pantai.

Tidak ada suara selain gemuruh pelan ombak lautan. Kemudian kami mendengar sesuatu yang berdesir dan bergerak di bawah kami. Bentuknya jauh lebih panjang daripada seekor penyu dan bergerak jauh lebih lincah di sepanjang pantai. Seekor buaya, setidaknya sepanjang 15 kaki, bergerak mencari mangsa. Sekarang juga, buaya itu bergerak menuju dasar bukit.

Kami menahan nafas. Di kejauhan, seekor penyu berjalan mundur dan menghilang ke laut. Tidak butuh waktu lama sebelum tubuh hitam lainnya dari daerah yang paling dekat dengan kami berbalik dan mendekati kami. Namun, saat itu belum mencakup setengah perjalanan kembali ketika tiba-tiba sejumlah besar hewan meloncat keluar dari hutan yang terdekat.

Awalnya, mereka tidak bersuara sedikit pun, tetapi pada saat mereka mencapai penyu-penyu itu, mereka tiba-tiba mengeluarkan raungan yang terputus-putus. Mereka mengepung hewan tersebut dari segala sisi dan menyerangnya dengan buas. Kami bisa hitung jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Mereka meraih mangsa mereka. Kepalanya, lehernya, kakinya yang seperti sirip, ekornya, dan bagian belakangnya, menariknya, dan memutarinya membentuk lingkaran. Raungan halus dan serak mereka yang terputus-putus mengungkapkan rasa lapar atau rasa haus akan darah yang paling gila dan mengerikan. Mereka bertindak seolah-olah dalam kegilaan dan sepertinya tidak memperhatikan buaya, yang mendekat, sama seperti seekor tokek yang menangkap lalat di dinding ruangan dan semakin mendekati.

Kemudian, dengan gerakan tiba-tiba seperti pegas yang terlepas, buaya tersebut melesat maju ke depan, dan sebelum yang lainnya menyadarinya, ia telah menghancurkan dua atau tiga potongan hewan yang berteriak di dalam rahangnya yang besar. Kemudian mereka berkumpul dalam jarak tertentu satu sama lain.

Itu adalah anjing adjag (Canis rutilans), juga dikenal sebagai anjing liar, yang hidup berkelompok, lebih kecil daripada serigala, tetapi jauh lebih rakus dan liar daripada serigala. Penyu itu tampak mati, tetapi telah sangat terkoyak sehingga tidak dapat lagi bergerak, sementara buaya, yang mungkin telah berhasil mendapat mangsa, berenang ke laut.

Anjing adjag sekali lagi menyerang mangsa mereka dari segala sisi, menarik bersama-sama, dan tampaknya sedang mencoba membuka cangkangnya. Aku mengangkat senjata dan siap menembak, tetapi salah satu orang Jawa menepuk tanganku dengan arti bahwa dia melihat sesuatu.

Pandangan tajamnya telah mendeteksi kehadiran makhluk yang muncul perlahan dari kegelapan hutan. Makhluk itu berdiri di sana, berhenti, memperhatikan tempat kejadian dengan mata berkilauan, merendahkan badannya lalu melompat dengan lompatan besar ke tengah-tengah kerumunan anjing adjag. Terdengar raungan yang keras dan menggelegar, dan anjing adjag berhamburan. Panik berhamburan ke segala arah.

Mereka melarikan diri dengan raungan lebih seperti mendesis daripada menggeram ke dalam hutan, dan sang raja rimba, harimau, yang muncul di atas panggung, meletakkan cakarnya, mengambil alih, dan menduduki cangkang penyu itu. Kemudian, harimau kedua mendekat; yang pertama menoleh dengan menggeram dan mendesis. Aku mengarahkan senjataku, menarik pelatuk, dan tembakan terdengar, bergema di pegunungan, menerobos sunyi udara senja. Pertarungan antara penyu raksasa, buaya, anjing liar, dan harimau untuk saat ini telah berakhir.

Aku dan MALAM menembak hampir bersamaan. Namun, di bawah kanopi pohon tempat kami duduk, sudah terlalu gelap untuk bisa menembak dengan tepat, meskipun kami masih bisa cukup jelas melihat siluet makhluk di sepanjang pantai yang terang dan berpasir. Kami belum berhasil atau setidaknya tidak mengenai sasaran fatal, karena harimau-harimau itu bisa melarikan diri. Kami masih punya dua tembakan, tetapi sambil berjaga-jaga, kami mengisi ulang senjata ganda kami ketika, terkejut oleh suara tembakan yang mereka dengar, rekan-rekan kami dari bivak datang dengan teriakan keras “Halloh!” dan menerangi adegan itu dengan obor yang mereka bawa.

Kami menemukan seekor anjing adjag mati di samping penyu yang, meskipun sangat terkoyak, masih hidup, dan kemudian dibunuh dengan sadis oleh para pribumi kami dengan Golok. Kepala dan kaki (sirip) penyu laut tidak dapat ditarik kembali ke dalam cangkangnya, sehingga, terlepas dari ukuran dan ketebalan cangkang yang besar, mereka masih rentan sebagai mangsa oleh predator yang jauh lebih kecil daripada mereka, terutama ketika datang bersama-sama dalam jumlah besar, seperti anjing liar di sini. Hal ini menjelaskan keberadaan banyak rangka dan cangkang yang menghiasi tempat ini, tempat makhluk-makhluk itu saling berkelahi demi mangsa. Apa yang ditinggalkan oleh anjing liar, harimau, macan tutul, dan buaya dari daging dan organ yang mereka tarik keluar dari cangkang setelah merobek perutnya pada malam hari, kemudian dimakan oleh burung pemangsa lainnya, termasuk elang laut dan burung pemangsa lainnya yang selalu mengintai tinggi di udara di atas tempat ini sepanjang hari.

Kami sangat terkejut melihat bahwa penyu raksasa sudah terbalik dan dengan cangkang perutnya yang sebagian terbuka menghadap ke atas, dan kami tidak tahu apakah tindakan ini dilakukan oleh harimau atau anjing liar yang sebelumnya telah bekerja sama melakukan ini. Para kuli Jawa berpendapat yang terakhir. Kami kemudian mengikat penyu tersebut dengan tali pikolan kami ke tiga batang bambu; namun, penyu itu sangat berat sehingga harus enam kuli, tiga di setiap sisi yang menopang batang bambu di bahu mereka, untuk mengangkat beban tersebut sepenuhnya. Penyu ini kemudian dibongkar di bivak kami dan memberikan daging yang lezat yang mungkin bisa memberi makan lima kali lipat jumlah orang daripada yang kami miliki, serta sejumlah besar telur muda yang sangat kecil, seukuran atau sedikit lebih besar dari kenari, yang hanya terdiri dari kuning telur dan sangat lezat jika dijadikan sop.

Kami menghabiskan sebagian malam dengan tetap berjaga di sekitar api, dan kami mulai berbicara tentang hukum alam. Apakah jumlah telur yang sangat banyak yang ditetaskan oleh seekor penyu laut, lebih dari seratus telur dalam satu kali bertelur, hanyalah hasil dari kebetulan semata? Bisakah kami mempercayainya, setelah kami baru saja melihat begitu banyaknya jumlah musuh yang mengintai induk yang bertelur? Kami tahu bahwa sebagian besar telur yang ditetaskan akan hilang, karena pemangsa berkaki empat yang kecil, bahkan termasuk kera dan di tempat yang dihuni manusia, biasanya menggali telur dari pasir dan merampasnya. Sementara sebagian telur lainnya tidak akan menetas dalam cuaca buruk yang berkabut dan hujan. Tentu saja kami tidak dapat mengatakan, mengapa begitu banyak musuh diberikan kepada hewan ini, kecuali jika tujuannya adalah mencapai keragaman kehidupan yang paling besar dengan cara yang paling sederhana. Namun, melalui jumlah telur yang banyak (yang tidak semuanya dapat menetas), kelangsungan hidup spesies dijamin. Spesies ini jelas akan punah dan lenyap dari bumi jika jumlah telur hanya sepuluh atau hanya satu, seperti yang terjadi pada gajah dan harimau. Dari keterkaitan harmonis antara peristiwa-peristiwa, dari lingkaran magis yang saling terkait antara sebab dan akibat, dimana satu ada karena yang lain, satu mengharuskan yang lain, rencana yang masuk akal terungkap; itu tidak bisa menjadi hasil dari kebutuhan tanpa sadar. Meskipun kita tidak dapat memahami tujuan akhir penciptaan, karena begitu banyak akal muncul dalam sarana untuk mencapai tujuan ini, bagaimana kita bisa menganggap tujuan itu tidak masuk akal? Itulah yang kita pikirkan, dan bahkan pertempuran hewan di malam hari, campur aduk yang tampaknya tanpa rencana, tidak bisa meruntuhkan keyakinan kita pada kebijaksanaan yang tertinggi. Tidak, kami memutuskan untuk selalu menyimpan keyakinan ini di dalam hati kami, sehingga keyakinan akan keberadaan Tuhan yang hidup dapat menenangkan kita dalam semua kesulitan dan semua kejadian kehidupan yang kita tidak mengerti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *