Sebuah Ulasan Buku: Cahaya dan Bayang-Bayang dari Jawa

Saya baru selesai membaca buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java, atau jika diterjemahkan seperti judul dari artikel ini. Buku ini adalah karya Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Naturalis kelahiran Jerman, yang merupakan salah satu Naturalis terbesar yang pernah berkarya di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.

Buku ini tercipta sebagai kontemplasi Junghuhn ketika melakukan perjalanan ke hutan, gunung, pantai, dan segala bentang alam di Jawa yang masih murni pada pertengahan abad ke-19. Setiap orang pada hakikatnya selalu mempertanyakan asal usul dan makna kehidupannya. Begitu pula Junghuhn. Observasi alam menggiringnya pada pertanyaan tentang eksistensi dan makna kehidupan.

Cara Junghuhn menulis buku ini cukup menarik dan terbagi menjadi beberapa bagian. Dikisahkan bahwa dua orang Eropa, Siang (personifikasi Junghuhn) dan Malam (personifikasi orang yang ingin mendakwahkan ajaran Kristen di Jawa) sedang melakukan perjalanan di Pulau Jawa. Perjalanannya bermula dari sebuah desa kecil bernama Gnurag.

Gnurag adalah kode Junghuhn untuk sebuah desa bernama Garung (lihat gambar di atas). Hasil penelusuran saya, daerah Garung ini berada di sekitar Garut Selatan, sekitar 50 km arah utara dari Leuweung Sancang. Di Garung mereka mendaki beberapa bukit dan bermalam cukup lama karena kesulitan mencari Kuli yang mau membantu mereka membawakan barang-barang. Karena cukup lama di Garung, maka mereka sempat untuk melaksanakan ceramah kepada masyarakat untuk mengajarkan pemikiran mereka.

Dari Garung mereka bergerak ke arah barat. Tak begitu rinci diterangkan berapa jauh mereka berjalan, namun tempat selanjutnya yang mereka datangi adalah sebuah pantai bernama Tanjung Sodong. Di pantai ini Siang dan Malam menyaksikan pembantaian penyu oleh Ajag, Harimau, dan Buaya.

Berdasarkan Peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat oleh Junghuhn, Tanjung Sodong terletak di dekat Ujung Kulon. Kenapa kita bisa tahu letaknya di sini. Mungkin kejadian ini sangat berkesan bagi Junghuhn, hingga ia menamai pantai itu di petanya itu Reuzenschildpadden, penyu raksasa.

Hal ini ditelusuri oleh Kang Rifaldi dari Museum Geologi yang menuliskan tentang kisah pembantaian penyu. Dari jarak yang begitu jauh (Pameungpeuk-Ujung Kulon, sekitar 370 km), kita bisa menduga bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah perjalanan yang fiktif, atau merupakan gabungan dari dua perjalanan yang berbeda.

Kemudian dari Tanjung Sodong, Siang dan Malam melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, di mana ia bertemu tiga orang Eropa lainnya, Senja, Fajar, dan Si Praktis. Di Situ Patengan mereka kembali terlibat dalam diskusi filosofi yang seru. Kemudian mereka kembali ke Bandung.

Di Garung

Banyak hal yang terjadi di desa ini. Pertama mereka menerima sambutan yang hangat. Kemudian mereka sempat juga membantu masyarakat desa membunuh harimau yang pernah memangsa seorang warga, yaitu suami seorang janda yang rumahnya mereka tempati.

Garung adalah tempat yang indah. Siang menuliskan kekagumannya pada alam Garung.

„Kami merasa seolah ada di surga. Tidak begitu sulit untuk merasa begitu. Bukankah kita menghirup udara yang murni, sejuk, dan nyaman? Bukannya langit biru paling indah menghampar di atas kita? Bukannya pohon pisang „dari surga“ (seperti kata Linneaus), dengan buah yang besar dan matang, tumbuh tepat di samping pondok kita? Bukannya buah mangga berwarna keemasan, jambu merah, durian seukuran kepala, serta nangka, juga buah-buahan indah, nampak di antara dedaunan dari pohon-pohon yang ada di sekitar desa? Bukannya hutan paling indah dan paling berbunga ada di atas, bawah, depan, dan belakang kita? Tidakkah kamu merasa bahwa para penduduk di desa terpencil ini, dengan kehidupan sederhananya, hidup seperti orang-orang yang pertama tinggal di surga, yang hidup tanpa mengenal dosa?“

Setelah berkegiatan serta berinteraksi dengan warga lokal dan merasakan keramahannya, Siang dan Malam berdiskusi di malam hari. Malam menyayangkan bahwa di tempat seindah dan orangnya sebaik ini, belum ada masuk ajaran Kristen. Siang mempertanyakan untuk apa ajaran Kristen masuk. Malam menjawab lagi agar mereka bisa mencapai budaya setinggi Bangsa Eropa, yang menganut Kristen. Siang menolak pendapat itu dan menerangkan bahwa kemajuan budaya di Eropa berasal dari berkembangnya ilmu pengetahuan, justru agamalah yang menghambat ilmu pengetahuan ini untuk maju, sembari mencontohkan Galileo dan Kopernikus yang dipersekusi oleh gereja.

Perdebatan ini sangat panjang. Namun ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik. Siang berpendapat bahwa kebaikan dan moral bukanlah ajaran agama, melainkan hal yang manusiawi yang tertanam di dalam diri manusia. Hal ini merupakan topik perdebatan seru dalam dunia filosofi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Saya merasa bahwa Siang menganut ajaran filosofi Kant, yang mendasarkan segala sesuatu pada alasan.

Siang adalah orang yang logis yang percaya bahwa yang nyata itu adalah segala hal yang bisa ditangkap oleh panca indera. Tapi ide, pikiran, konsep adalah satu ranah yang fana. Tidak ada bentuknya, tapi dia tahu itu ada di sana. Ruh, jiwa, pikiran, itu adalah konsep yang tidak bisa diterangkan Siang, sehingga ia menerangkan hal tersebut sebagai domain Ketuhanan. Segala hal di alam saling terkait dan tersusun dengan tingkat presisi yang luar biasa, yang menurut Siang adalah bukti tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hanya ada satu mukjizat, yaitu alam semesta. Hanya satu kebenaran, yaitu pengungkapan dari hukum alam, dari karya Sang Pencipta. Semua hal yang ada di alam semesta ini bisa diterangkan secara fisik dan kepadanya berlaku hukum-hukum yang abadi, yang bisa dipahami dan dipelajari oleh manusia. Begitu juga semua fenomena di di langit dan di bumi. Hanya satu yang tidak dapat dipahami, tapi aku bisa merasakannya setiap saat, yaitu apa-apa yang ada di dalam batin, juga ruh, yang bermanifestasi dalam berjuta bentuk. Aku tidak mengerti tentang batin, tapi aku selalu merasakannya setiap waktu, ia selalu hadir di setiap saat, di setiap hal yang aku periksa, pada tanaman, pada bebatuan, pada fenomena atmosfer, juga di langit dan di bumi, pada manusia, pada serangga terkecil sekalipun. Di mana-mana aku menyadari adanya hukum bahwa segala sesuatu memiliki manfaat, juga kerumitan yang mencerminkan kemahatahuan. Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup di bumi diciptakan untuk berbahagia. Meskipun aku tidak mengerti esensi dari alam, jiwanya, ruhnya, dari mana semua berasal, yang menggerakan segalanya, aku tetap merasa bahwa Dia ada di sana. Yang Maha Bijak, Maha Baik, aku berharap pada-Nya, percaya pada-Nya, menyembah-Nya, memuja-Nya, Tuhan.

Siang dan Malam bersepakat bahwa mereka akan memberikan ceramah mengenai ajaran masing-masing kepada warga Garung. Malam pertama adalah giliran Malam, sementara keesokannya adalah giliran Siang.

Malam menyampaikan beberapa pokok ajaran Kristen, yang dia ambil dari buku Vraagboekje tot Onderwijzing in de Christelijke leer. Buku ini semacam buku panduan pertanyaan terkait ajaran agama Kristen. Yang menarik adalah setelah Malam selesai berceramah, ada seorang ulama muslim yang ikut berbicara. Ulama Islam itu menolak ajaran bahwa Tuhan mempunyai anak sambil mengutip beberapa ayat dalam 3 surat Al-Quran, antara lain An-Nisa 171, Yusuf 105-106, dan Maryam 88-93. Ketiganya adalah penjelasan Al-Quran mengenai Isa putra Maryam.

Keesokan harinya giliran Siang yang mengajarkan ajarannya. Dia memulai dengan menunjukkan peralatan-peralatan lapangannya.

„Di depanku, aku mempunyai bola bumi dan langit, sekstan dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psikrometer, kompas, magnet buatan, mikrospkop, hidrometer Nicholson, prisma tiga sisi, kamera obskura portabel, apparat daguerreotype, sekotak regen kimia, serta beberapa instrumen sains terapan sebagai simbol keyakinanku.“

Ajaran Siang terdiri atas 25 prinsip. Prinsip-prinsip ini adalah cara Siang untuk menjelaskan bagaimana ia menjawab fenomena-fenomena alam dalam keterkaitannya dengan penciptaan. Ia menolak segala takhayul dan segala hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Dengan mata telanjang kita hanya mampu melihat biru langit saja, sementara jika menggunakan teleskop, kita bisa menemukan bintang dan nebula. Dengan teleskop yang lebih besar, pengamat bintang lain bisa menemukan nebula yang lebih jauh, juga gugusan bintang-bintang lainnya, yang berjarak begitu jauh dari bumi kita. Bahkan sinar matahari perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak 20 juta mil menembus ruang angkasa untuk sampai kepada kita. Dengan begitu maka benda langit yang jauh lebih jauh lagi yang bisa terlihat oleh teleskop itu tak mungkin kita lihat jika mereka belum ada ratusan ribu tahun yang lalu. Materi pengisi ruang di langit sama tak terbatasnya dengan luas ruang yang bisa mereka isi. Isinya bisa dibagi-bagi lagi menjadi partikel-partikel kecil yang sangat halus, sehingga tak bisa kita perkecil lagi, bahkan dengan perbesaran paling besar sekalipun. Jika dalam dunia ciptaan kita tak dapat menjelajahi awal, menemukan batas, dan membayangkan akhir, maka bayangkan, Dia yang menciptakannya, pasti tidak terbatas, abadi, dan tidak berawal lagi tiada berakhir.

Pada akhirnya ulama Islam yang juga ikut dalam ceramah ini merasa ajaran Siang lebih sesuai dengan pemikirannya.

Hubungan Sosial Siang, Malam, dan Warga Pengikutnya

Hal yang cukup menarik bagi saya ketika membaca buku ini adalah mengamati interaksi antara Siang, Malam, dan warga lokal yang ikut dalam timnya. Di dalam buku ini ada beberapa nama yang disebut, antara lain: Sidin, Masputri, Pangkat, Ario, dan Sungsang. Sidin adalah pembantu Siang yang paling sering disebut. Sementara pembantu Malam bernama Lapiah.

Cara mereka berkomunikasi dengan para pembantunya ini pun saya rasa sangat egaliter. Para pembantu ini tidak segan untuk mengeluh, “Banyak capek Tuan, sakit perut”, sebagaimana mereka sampaikan di awal ketika baru sampai di Garung.

Atau ketika para Kuli ini terpaksa harus terlambat 1 malam karena tidak bisa melewati sungai. Akhirnya pada malam itu, Siang dan Malam tidak punya baju ganti dan anggur untuk malam hari. Ketika Siang marah pada mereka, kuli-kuli ini menjawab, ”Kami para kuli sudah terbiasa tidur tanpa alas dan kami juga tidak minum anggur. Kami pikir kalau Tuan sekali-sekali seperti itu juga tidak akan apa-apa.”

Lalu setelah Malam selesai berceramah tentang ajaran Injil, konon Lapiah, pembantunya, berencana pindah menjadi seorang Kristen. Tapi kemudian dia batal. Alasannya begini,”Tuan bilang kalau orang Kristen harus mencintai sesama seperti mencintai dirinya sendiri, tapi Tuan tidak lakukan itu. Tuan merokok 12 batang setiap hari. Aku juga mau merokok dan hanya minta 2 batang, tapi Tuan tidak kasih. Tuan kaya, tapi pas aku minta naik gaji pas perjalanan kita selesai, Tuan malah marah. Apa gunanya ajaran bagus kalau cuma tertulis di buku dan tidak diikuti.”

Meskipun Lapiah ini memang kurang ajar, tapi hal ini menunjukkan bahwa Siang dan Malam bisa berkomunikasi dengan egaliter dengan pembantunya.

Peristiwa Alam Menginsipirasi

Selama perjalanan ini, Siang dan Malam merasakan beberapa peristiwa alam yang mengguncang perasaan. Pertama adalah ketika naik gunung di dekat Garung. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan badai petir datang. Pohon di puncak gunung tersambar petir, dan mereka hanya bisa bertiarap dan berharap agar tidak ikut tersambar.

Tapi cerdasnya Junghuhn ini adalah dia bisa merefleksikan segala kejadian dan bagaimana semua itu saling terkait. Dari matahari yang jauh memberikan sinarnya. Di bumi energi panas ini menghangatkan uap air, menjadikannya naik ke awan, sehingga menjadi bibit-bibit hujan. Hujan turun dan rintiknya mengerosi lembah membawa tanah.

Juga ketika menyeberang sungai, Siang dan Malam hampir tersapu banjir bandang. Ketika banjir bandang itu mereda, ia melihat bangkai badak dan banteng yang tak berdaya terhantam banjir. Ketika mereka mau memakannya, seekor harimau keburu datang dan mengambilnya. Di sini juga ia berpikir bahwa yang hidup dan mati semua memiliki fungsi dan perannya.

Tapi tentu yang paling mengagumkan adalah ketika ia melihat pembantaian penyu raksasa di tepi pantai di Tanjung Sodong.

Akhir Perjalanan

Siang dan Malam meninggalkan pegunungan Selatan Jawa melalui jalur Situ Patengan. Di sana mereka bertemu dengan dua orang Eropa lainnya, Fajar dan Senja. Di Situ Patengan keempat orang Eropa ini kembali terlibat dalam diskusi filosofi.

Senja meyakini bahwa segala sesuatu itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Semacam keyakinan deterministik. Sementara Fajar meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak. Kemudian seorang Belanda lainnya, Residen Priangan, yang disebut sebagai Orang Praktis, ikut berpendapat, menurunya orang Jawa tidak perlu diajarkan ajaran Kristen. Karena menurutnya orang Jawa sudah cukup melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dalam kesehariannya.

Pembelajaran

Tentu saja kita harus ingat bahwa perjalanan Junghuhn terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu (mungkin sekitar 1837-1840, atau antara 1845-1848). Semua yang terkandung dalam buku ini harus disesuaikan dengan konteks pada saat itu. Buku ini menggambarkan keadaan yang otentik bagaimana seorang petualang hebat menggambarkan pandangannya tentang kehidupan. Manusia dibekali panca indera untuk digunakan menangkap persepsi terhadap alam semesta, dan sudah semestinya panca indera ini digunakan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fana.

Junghuhn menolak segala macam takhayul, yang banyak sekali orang Indonesia mempercayainya. Tapi dia percaya Tuhan, bahkan ia berdoa kepada Tuhannya, setiap pagi ketika menghirup udara yang segar, atau setiap ia menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Dia berusaha untuk berlaku adil dan mempraktikan ajaran moral, bahkan berupaya untuk mengajarkan ajaran yang dia percayai. Dalam buku ini dia menyebut ajarannya sebagai Ajaran Agama dan Moralitas Alam, yang terdiri atas 25 prinsip. Buku ini telah dia tulis dalam bahasa Belanda, dan juga telah ia terjemahkan sarinya ke dalam bahasa Melayu. Bukti bahwa dia mempunyai niat untuk mengajarkan ajarannya.

Tapi beberapa yang dia pahami juga kelak terbukti keliru. Misal keyakinan Junghuhn bahwa kemajuan bangsa Eropa salah satu alasannya adalah faktor biologis ras yang lebih unggul. Bahkan keyakinan terhadap ini didasarkan pada pengukuran ukuran tengkorak ras-ras di dunia oleh para ahli biologi dan kedokteran di Eropa pada masa itu.

Yang pasti, ajaran Junghuhn bukanlah kebenaran tunggal, meski tidak berarti yang dia tulis dan dia ajarkan sepenuhnya adalah keliru. Ada hal-hal yang bisa kita pelajari dan kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara Junghuhn mencari Tuhan melalui observasi? Mungkin itu mirip dengan eksplorasi Ibrahim ketika mencari tahu siapa Tuhannya. Berapa banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir? Mungkin pendekatan berpikir Junghuhn inilah yang perlu kita adopsi untuk kenal dan bisa lebih dekat kepada Tuhan, Pencipta Semesta Alam.

Junghuhn Seorang Geologist

Dalam pengetahuan komunal masyarakat Indonesia, Junghuhn dikenal sebagai orang yang membuat grafik lokasi ideal tumbuh kembang tanaman berdasarkan elevasi ketinggian. Pengetahuan ini tersebar, karena dimuat dalam pelajaran geografi ketika SD dan SMP. Setidaknya begitu belasan tahun lalu, ketika saya masih sekolah dasar dan sekolah menengah dulu.

Ketika masuk dalam pelajaran sejarah, nama Junghuhn kembali mengemuka mengingat jasanya dalam budidaya kina. Junghuhn dikenang sebagai perintis budidaya kina di Indonesia, hingga pada awal abad 20, Indonesia menguasai pasar kina dunia.

Tugu Makam Junghuhn di Lembang, dikelilingi pohon-pohon kina. Telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Junghuhn seluas 2.5 ha

Selain dari dua bidang tersebut, nama Junghuhn tak banyak saya lihat. Ketika saya berkuliah di jurusan geologi, namanya tak muncul. Mungkin hanya sekali, yaitu ketika almarhum Pak Budi Brahmantyo menceritakan tentang sketsa Junghuhn di Situ Patengan. Namun selebihnya ia tak terdengar.

Padahal Franz Junghuhn (lahir di Mansfeld Jerman, 1809 dan wafat di Bandung, 1864) adalah salah satu perintis penelitian geologi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Karyanya yang paling masyhur, Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart (Jawa, Bentuk, Vegetasi, dan Struktur Pembentuknya), yang terdiri atas tiga volume, pada volume III setebal 329 halaman, khusus membahas mengenai geologi Pulau Jawa. Di dalamnya tercakup pembahasan mengenai sebaran mineral, sedimen, morfologi pegunungan, fosil hewan dan tanaman, formasi-formasi penting, batuan gunungapi, keberadaan metal, bahkan hingga mata air panas. Deskripsi fosil dan lokasi penemuannya menjadi lokasi A-Z, menjadi sumbangan sangat berharga bagi penelitian stratigrafi di Hindia.

Sementara volume I membahas mengenai tanaman-tanaman dan volume II membahas mengenai gunungapi. Pada tahun 1855, Junghuhn mempublikasikan peta Pulau Jawa skala 1:350.000 yang ia bagi ke dalam 4 lembar. Salah satu edisi peta ini merupakan peta geologi dengan warna-warna yang membedakan formasi-formasi batuan. Peta ini merupakan peta geologi kedua Pulau Jawa, setelah peta geologi oleh Horsfield pada awal abad-19.

Peta Geologi Bandung dan Sekitarnya oleh Junghuhn (1855)

Jika kita menelusuri karya-karya Junghuhn secara kronologis, maka kita akan tahu bahwa mulanya Junghuhn tidak begitu awas dengan kondisi geologi. Passion-nya ketika itu lebih ke aspek botani. Menurut Rogier Verbeek, kemungkinan besar Junghuhn mulai awas dengan kondisi geologi adalah pada tahun 1834, ketika ia berkunjung ke Laacher See (Danau Laach) di sekitar Pegunungan Eifel. Di sini, Junghuhn muda terkesima dengan pegunungan vulkanik ini, dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa geologi juga merupakan hal menarik yang belum banyak dipahami.

Pada awal karir Junghuhn di Hindia pun, ia tak begitu awas dengan kondisi geologi. Ia lebih banyak memperhatikan tanaman-tanaman, mendeskripsi, kemudian mengumpulkan spesimennya. Baru pada tahun 1837, ketika Junghuhn ditugaskan menjadi deputi dari Dr. Fritze, ia mulai memiliki pembimbing dalam ilmu geologi. Dalam buku “Topograpische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java, Magdeburg 1845”, Junghuhn menuliskan bahwa dalam perjalanannya dengan Dr. Fritze, Junghuhn melakukan penelitian mengenai tanaman; sementara Dr. Fritze melakukan observasi geologi, mengunjungi kawah, dan mengoleksi bebatuan. Pada bulan Mei 1839, Fritze meninggal dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi Junghuhn.

Ernst Albert Fritze (1791-1839)

Junghuhn melanjutkan petualangannya di Jawa hingga tahun 1841, untuk kemudian berpindah ke Sumatera dan melakukan penelitian di Tanah Batak selama 13 bulan. Di rimba yang liar ini, Junghuhn berhasil memetakan topografi kawasan ini dengan sangat baik, sekaligus mempublikasikan pengamatannya mengenai Tanah Batak di Sumatera (Die Battaländer auf Sumatra). Menurut Verbeek, dalam buku tersebut Junghuhn secara eksplisit menyebutkan mengenai rencana pembahasan geologi yang akan dituliskan dalam buku volume kedua. Namun buku tersebut tak pernah terpublikasikan. Buku Die Battaländer auf Sumatra hanya terbit dalam bahasa Jerman. Ini karena naskah buku ini ditolak oleh pemerintah kolonial karena catatan-catatan kritis mengenai perlakuan buruk tawanan Jawa oleh serdadu kolonial.

Pada periode awal Junghuhn di Hindia, selama 13 tahun (1835-1848), kemudian kita kurangkan dua tahun bekerja di Sumatera, dan dua tahun lainnya untuk membuat laporan tentang Tanah Batak, maka sebenarnya Junghuhn hanya punya sekitar 9 tahun untuk meneliti Jawa. Bayangkan 9 tahun untuk mendaki 45 gunung, beberapa di antaranya berkali-kali, 16 di antaranya ia merupakan orang yang pertama, kemudian mengunjungi lembah-lembah yang dalam dan deras, serta menerobos rimba belantara yang kejam, mengumpulkan spesimen dalam peti-peti dan mengirimkannya ke Eropa. Bahkan pada periode awal, kebanyakan dari waktu tersebut bahkan dilakukan pada masa-masa cuti, karena pada awalnya Junghuhn adalah seorang dokter militer. Ini merupakan prestasi yang hebat, menimbang seluruh kesulitan yang ada ketika itu. Perjalanan-perjalanan geologi Junghuhn hanya bisa dilakukan jika ada persitensi yang tinggi, mengingat begitu terperincinya laporan yang ditulis Junghuhn.

“Sebuah cahaya baru yang telah lama dinantikan, baru-baru ini terbit mengenai karakter geognostic Pulau Jawa, melengkapi karya-karya terdahulu Horsfield, Raffles, dan Reinwardt, yang masih belum lengkap. Dibuat oleh peneliti alam yang cerdas, piawai, dan pantang menyerah, Franz Junghuhn. Setelah tinggal lebih dari 12 tahun ia merampungkan karya yang sangat berharga: Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart.”

Alexander von Humboldt dalam Kosmos jilid 4, tahun 1858

Junghuhn harus kita kenang sebagai geologist yang handal. Kita harus ingat bahwa Junghuhn memelajari geologi secara otodidak. Ia tak punya pendidikan khusus geologi. Hal ini juga kemudian mengakibatkan banyak observasinya yang kurang presisi, meski tidak mengurangi rasa apresiasi kita padanya. Verbeek menuliskan bahwa Junghuhn mengklaim bahwa basalt hanya ditemukan di tiga gunungapi di Jawa, padahal batuan ini bisa ditemukan di begitu banyak gunung. Junghuhn juga banyak mendeskripsi batuan plagioklas-trakhit, yang ternyata merupakan batuan andesit. Lebih lanjut Verbeek mengapresiasi Junghuhn begitu tinggi, terkait deskripsi medan yang begitu detil terperinci dengan ilustrasi yang dilengkapi banyak sketsa, profil, dan peta. Namun harus diakui bahwa ketika Junghuhn membahas substansi geologi, maka maknanya kurang begitu berarti, terutama jika kita bandingkan dengan ilmu yang berkembang sekarang.

Beberapa teori penting yang dikemukakan Junghuhn, terutama teori mengenai pembentukan gunungapi. Junghuhn lah yang pertama menyatakan dan membuktikan bahwa kerucut gunungapi volkanik itu bertumbuh dan membangun kerucutnya secara berturut-turut dari letusan debu gunungapi dan aliran lava. Naiknya elevasi gunungapi bukan karena pengangkatan, tetapi karena proses letusan-letusan yang berulang. Teori ini mungkin sekarang sudah usang dan kuno, tetapi pada zaman Junghuhn, teori itu diterima sebagai teori yang benar, dan bahkan didukung oleh Leopold von Buch. Tak hanya von Buch, Charles Lyell, bapak geologi abad 19, dalam bukunya yang legendaris, The Principle of Geology (1868) tak ragu untuk menyebut nama Junghuhn 6 kali dalam bukunya, dan menyitir pendapat Junghuhn, membuktikan betapa berharganya informasi dan analisis yang dikembangkan Junghuhn di Jawa.

Pada akhirnya, Junghuhn harus kita kenang sebagai salah satu perintis ilmu geologi di Indonesia. Seperti yang disampaikan Verbeek dalam memoir mengenang 100 tahun Franz Junghuhn, bahwa Junghuhn memberikan efek sugestif pada generasi muda. Ia menginspirasi pemuda generasi Verbeek untuk berkarya mengeksplorasi bumi Hindia, dan harusnya juga pada generasi-generasi setelahnya, termasuk generasi kita. Junghuhn adalah contoh dari orang berjiwa Promethean, yaitu orang yang memberikan segalanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa memedulikan konsekuensi terhadap dirinya sendiri.

Wahai Junghuhn, karyamu abadi!

Sketsa geologi pantai dengan undercut di bawahnya. Terdiri atas lapisan batupasir dan kapur
Sketsa Bukit Breksi Batu Nini di sekitar Gunung Buleud Cililin
Sketsa batuan sedimen berlapis nyaris tegak di Sanghyang Heuleut

Beberapa sumber tulisan ini:
1. Junghuhn als Geologe – Rogier Verbeek
2. Forschen – Vermessern – Streiten – oleh Renate Sternagel dan Gerhard Aus
3. Buku Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart volume III – Franz Junghuhn