Geotrek Curug Jompong Tahun 1918

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Pernah gak membayangkan bahwa geotrek itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu? Atau lebih mantap lagi pernah gak membayangkan bahwa geotrek ke Curug Jompong itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu?

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2)
Curug Jompong tahun 1915. Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde. Foto: 

Ternyata budaya berkelompok dan mengunjungi objek geowisata bersama-sama sudah dikenal sejak lama. Dalam sebuah pengumuman yang dimuat oleh Harian Umum Hindia: Tanah Priangan (nama asli korannya Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode), Perkumpulan Sejarah dan Alam Cabang Bandung (Natuurhistorische Vereeniging) mengajak anggotanya atau mungkin masyarakat umum untuk ikut dalam ekskursi mereka ke Curug Jompong. Pengumuman ini bertanggal 19 Desember 1918, hampir 100 tahun yang lalu. Modelnya persis dengan geotrek yang biasa dilakukan oleh komunitas-komunitas di Bandung.

Seperti apa ceritanya? Berikut artikel yang telah dialihbahasakan secara bebas dengan bantuan Google Translate.

Perkumpulan Sejarah dan Alam cabang Bandung mengadakan ekskursi pada tanggal 22 Desember tahun ini ke salah satu jeram Ci Tarum di daerah Leuwi Sapi yang dikenal sebagai Curug Jompong. Jeram ini terbentuk akibat halangan dari batuan andesit piroksen (salah satu spesies batuan tertua berumur miosen), dan merupakan tipe batuan yang langka, karena hanya ditemukan beberapa saja di Pulau Jawa. Lokasinya sekitar 7 km arah selatan dari Cimahi. 

Peserta yang ingin ikut bisa berkumpul jam 6 pagi di Pasar Andir dan dari sana kita akan berjalan kaki ke arah selatan. Rute ini secara umum jalan setapak, tapi akan menyenangkan karena kita akan melihat banyak desa-desa di sepanjang jalan yang jarang kita lihat karena tidak terletak di jalan utama. 

Setelah dua jam berjalan kaki kita akan sampai di daerah Gadjah di tepi Ci Tarum. Kita sebrangi Ci Tarum lewat sebuah jembatan bambu yang indah, mengobati energi kita yang terkuras habis di sini. 

Gadjah pada waktu lampau merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang, tetapi harus didirikan dan dibangun ulang oleh Rangga Abdoelrachman. Pada tahun 1802, kabupaten ini dilebur ke Bandung karena bupatinya berlaku buruk karena kebanyakan mabuk dan mengonsumsi opium. Kabupaten ini juga enggan membayar pajak pada Batavia dan akibatnya Bupati Bandung harus menalangi tagihan kabupaten ini. 

Gadjah yang sekarang (tahun 1918) merupakan desa kecil di tepi Ci Tarum dan kita bisa temukan makam dari Bupati Batulayang. “Bupati, istri, dan anaknya dimakamkan di sini”, kata penduduk setempat. Di makamnya ada atap kayu dan makamnya di kelilingi oleh pagar bambu yang tidak rapi. Penduduk lokal tidak tahu siapa nama bupati itu, dan hanya menyebutnya sebagai “Dalem”, yang mana merupakan sebutan umum untuk bupati di wilayah ini. Kemungkinan besar itu adalah makan Raden Tumenggung Angadiredja.

Di depan pintu masuk utama, ditemukan arca/gambar Ganesha, Dewa India yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan berbentuk gajah. Gambar inilah kemungkinan besar yang menjadi asal muasal nama Kampung Gadjah. Dari kampung Gadjah, kita menyusuri tepian Ci Tarum hingga ke kaki Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini. Di kanan ada deras aliran air sungai, dan di kiri kita lihat kerucut sempurna Gunung Lalakon. 

Di Leuwisapi sampailah kita ke Ci Tarum, dan dengan sedikit perjuangan lagi tiba di tujuan utama, yaitu Curug Jompong. Ci Tarum meninggalkan dataran Bandung di sini dan menerobos perbukitan Selacau-Lagadar dan Lalakon dan membentuk beberapa air terjun dengan tinggi hingga 15 kaki atau 5 meter. Dari Curug Jompong kita masih harus berjalan sekitar 1.5 jam hingga Cimahi (yang capek bisa naik Sado – moda transportasi seperti delman). Jika masih ada waktu tersisa maka kunjungilah resort tepi danau Soeka Bernang. Kemudian peserta bisa naik kereta dari Cimahi kembali ke Bandung. 

MMKB08_000137465_mpeg21_p001_image.jpg
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode 19 Desember 1918

Curug Jompong punya modal sejarah yang cukup untuk bangkit dan merebut kembali predikat lokasi wisata utama di Bandung raya. Saya ingin membandingkan Curug Jompong dengan Rheinfall, air terjun paling besar di Swiss dan di Eropa karena karakternya yang serupa. Kedua air terjun jatuh di sungai yang besar dan merupakan sungai utama di kedua daerah. Rheinfall jatuh di Sungai Rhein, sungai utama di Swiss dan Jerman, sementara Curug Jompong jatuh di Ci Tarum yang merupakan urat nadi kehidupan di Jawa Barat.

Semoga tulisan ini bisa merupakan langkah konkrit menuju jayanya kembali Curug Jompong di masa yang akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *