Menggeoreferensi Peta Van Bemmelen

R.W. van Bemmelen adalah geologist paling popular di Indonesia. Karya terutamanya, kitab the Geology of Indonesia adalah bacaan wajib seluruh mahasiswa geologi di Indonesia, sejak almarhum Katili, hingga sekarang. Selain buku ini, van Bemmelen juga aktif melakukan pemetaan. Salah satu karyanya adalah Peta Geologi Lembar Bandung skala 1:100.000 yang diterbitkan pada tahun 1934.

Sejak memahami tentang teknik menggeoreferensi, saya ingin mengetahui apakah saya bisa menggeoreferensi peta van Bemmelen ini, sehingga kita tahu bagaimana sebaran batuan menurut van Bemmelen pada kondisi yang sekarang. Tidak terlalu penting sebenarnya, tapi kalau bisa ya kenapa tidak.

Ok pertama kita akan mengunduh peta geologi Lembar Bandung tahun 1934. Kita bisa mengunduh data ini di website koleksi digital Universitas Leiden https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ gunakan kata kunci “Bandoeng” dan cari di bagian “Maps (KITLV) (under construction)“. Kalau sulit, bisa pakai tautan ini.

Di tautan tersebut, Anda akan dapat 11 peta geologi jadul, keluaran tahun 1930an. Kita akan pilih nomor D E 14,3 yang merupakan kode Peta Geologi Lembar Bandung. Di bagian bawah peta, terdapat ikon untuk menguduh. Bentuk ikonnya seperti kardus pipih dengan mata panah mengarah ke kardus tersebut. Letaknya di samping ikon rantai, di atas tulisan In Collections. Silakan mengunduh Original Master dengan ukuran file 121 MB.

Untuk menggeoreferensi, kita akan menggunakan piranti lunak QGIS 3.10.5. Jika tidak punya software ini, maka bisa mengunduh dan menginstalnya di komputer masing-masing. Dalam tulisan ini, saya berasumsi bahwa pembaca sudah paham prinsip dasar menggeoreferensi.

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum menggeoreferensi adalah mengetahui sistem koordinat. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melihat pojok-pojok peta. Pada Peta Geologi Lembar Bandung ini kita melihat terdapat sistem koordinat, terutama pada bagian pojok kiri bawah di mana terdapat informasi sebagai berikut:

Di dalam peta ini kita dapat melihat bahwa Van Bemmelen sudah meletakkan sistem koordinat. Informasi di atas berarti bahwa titik pojok kiri bawah pada peta ini berjarak 0 derajat 40 menit ke arah timur dari Meridian Batavia, dan 7 derajat ke arah selatan dari ekuator. Meridian dari Batavia sendiri didefinisikan berjarak 106 derajat 48 menit 27.8 detik ke arah timur dari Greenwich. Informasi ini sangat penting, karena akan kita bandingkan dengan informasi yang kita miliki di QGIS.

Sekarang kita akan membuka QGIS. Ketika kita membuka QGIS, di bagian pojok kanan bawah, terdapat tulisan EPSG:XXXX yang merupakan sistem koordinat projek kita. Kita bisa klik gambar globe di samping tulisan EPSG untuk tahu sistem koordinat apa saja yang tersedia.

Selanjutnya, karena kita akan menggeoreferensi peta lama Indonesia, maka kita gunakan kata kunci “Batavia”. Maka akan ditemukan beberapa sistem koordinat (lihat baris Predefined Coordinate Reference Systems), yaitu sistem koordinat geografis dan terproyeksi (Geographic Coordinate Systems dan Projected Coordinate Systems).

Karena data kita menggunakan sistem koordinat geografis, maka kita cari di bagian Geographic Coordinate Systems. Perhatikan bahwa ada dua sistem, yaitu EPSG:4211 dan EPSG:4813. Apa bedanya? Kita akan tinjau.

Perbedaannya adalah EPSG:4211 berprime-meridien di Greenwich, artinya titik nol garis bujur berada di Greenwich. Sementara EPSG:4813 berprime-meridien di Batavia, artinya titik nol garis bujur pada sistem koordinat ini berada di Batavia. Namun terdapat keterangan bahwa Jakarta(Batavia) berjarak 106.807719 derajat dari Greenwich. Angka ini jika diubah menjadi derajat menit detik akan sama dengan 106 derajat 48 menit 27.8 detik. Artinya sistem koordinat ini akan sesuai dengan peta kita. Berikut adalah informasi geografis dari sistem koordinat EPSG:4813:

GEOGCRS["Batavia (Jakarta)",
    DATUM["Batavia (Jakarta)",
        ELLIPSOID["Bessel 1841",6377397.155,299.1528128,
            LENGTHUNIT["metre",1]]],
    PRIMEM["Jakarta",106.807719444444,
        ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
    CS[ellipsoidal,2],
        AXIS["geodetic latitude (Lat)",north,
            ORDER[1],
            ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
        AXIS["geodetic longitude (Lon)",east,
            ORDER[2],
            ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
    USAGE[
        SCOPE["unknown"],
        AREA["Indonesia - Bali, Java and western Sumatra onshore"],
        BBOX[-8.91,95.16,5.97,115.77]],
    ID["EPSG",4813]]

Oleh karena itu kita akan pilih sistem koordinat ini di peta kita.

Setelah itu kita akan masuk di bagian georeferensi.

Pada toolbar, klik Raster, kemudian pilih Georeferencer.

Di pojok kiri atas windows Georeferencer, pilih Open Raster. Pilih Raster yang ingin digeoreferensi. Dalam hal ini, raster yang sudah kita download, yaitu raster Peta Geologi Lembar Bandung. Hasilnya kurang lebih akan seperti gambar di bawah ini.

Di bawah tulisan settings, agak ke kanan sedikit, terdapat ikon berwarna kuning yang berbentuk seperti gerigi, yaitu ikon Transformation Settings. Kita akan mengatur Transformation pada pengaturan ini.

Pada pengaturan ini, pilih tipe transformasi menjadi Helmert. Metode Resampel menjadi Nearest neightbour dan Target SRS menjadi Project CRS, yaitu EPSG:4813. Atur output raster, sisanya tinggalkan sebagaimana default.

Pilih empat titik di pojok kiri atas, kanan atas, kanan bawah, dan kiri bawah sebagai titik ikat. Pastikan bahwa Anda menggunakan bagian dalam dari frame sebagai lokasi koordinat. Sebagai contoh saya menggeoreferensi pojok kiri atas peta, maka saya mengisi X/East sebagai 0 dan 40, artinya 0 derajat dan 40 menit. QGIS secara otomatis membacanya demikian. Sementara pada Y/North Anda akan mengisikan sebagai -6 dan 40 karena kita berada di selatan ekuator. Lakukan hal yang sama untuk sudut-sudut peta lainnya.

Setelah empat sudut terpilih sebagai GCP, maka kita bisa mulai menggeoreferensi dengan mengeklik ikon segitiga miring berwarna hijau, yang mirip dengan ikon play. Setelah itu kita bisa mengecek hasil georeferensi kita. Caranya dengan membuka file raster yang kita buat ke dalam QGIS.

Untuk mengecek apakah peta kita tergeoreferensi dengan benar, kita bisa bandingkan dengan peta OSM. Kita atur transparansi dari layer OSM untuk kita bandingkan bagaimana kedua layer ini. Saya pikir layer ini tergeoreferensi dengan baik sekali.

Kesesuaian peta OSM dengan peta hasil georeferensi. Perhatikan daerah Jalan Cagak di atas.
Di sekitar Ci Tarum terlihat ada sedikit distorsi. Tapi masih bisa ditoleransi.
Sangat memuaskan melihat bagaimana sungai-sungai berada di lokasi yang tepat. Gambar ini dioverlay dengan layer ESRI World Hillshade

Demikian tutorial singkat menggeoreferensi Peta Geologi Van Bemmelen tahun 1934.

Curug Jompong Setelah Diterowong

Sudah sangat lama ada rencana-rencana untuk memapas Curug Jompong. Alasannya adalah karena Curug Jompong dianggap sebagai penghambat aliran Ci Tarum, mengakibatkan aliran Ci Tarum melambat, kemudian mengakibatkan banjir di Bandung Selatan. Ide-ide pemapasan itu ekstrim. Ada ide pemapasan dengan bom, dipapas total, dipapas sebagian, dll. Meski kemudian ternyata pilihan yang lain yang dipilih, yaitu pembuatan terowongan menembus bukit di sebelah utara Curug Jompong. Terowongan ini sudah selesai, dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Januari 2020 lalu.

Pemindahan aliran Ci Tarum menuju terowongan Nanjung, mengakibatkan kita harus memikirkan ulang Curug Jompong sebagai sebuah curug. Meski batuannya masih ada, tapi tidak ada lagi air terjun. Tidak ada aliran masif Ci Tarum yang menerobos bebatuan keras, membentuk tingkatan-tingkatan jeram-jeram, yang melaluinya aliran Ci Tarum menderu keras. Tak ada lagi air terjun, melainkan tinggal lembah berbatu, dengan aliran sungai yang sangat kecil, setempat berbentuk kolam-kolam yang dibatasi oleh batuan-batuan masif raksasa.

Curug Jompong yang dulu selalu menderu akibat derasnya aliran Ci Tarum yang menghantam bebatuan keras yang menjadi dasarnya, kini menjadi lembah yang hening, dengan aliran yang tenang nyaris tak ada.

Jika saya mengikuti definisi Almarhum Pak Budi Brahmantyo tentang air terjun, maka menurut beliau air terjun didefinisikan sebagai aliran air yang jatuh dari suatu tinggian. Seberapa tinggi? Menurut Pak Budi, 2 meter. Menurut beliau, orang harus mendongak untuk melihat air terjun, maka tinggi air terjun harus lebih tinggi dari rata-rata orang normal, yaitu 2 meter. Sementara itu, jika kurang dari dua meter, maka kita bisa sebut sebagai jeram, atau rapids.

Modifikasi melalui pembangunan terowongan menyingkapkan bagian Curug Jompong yang telah begitu lama tergenang. Mengunjungi Curug Jompong sekarang seolah mengunjungi dunia yang lain. Dunia yang baru, yang belum pernah orang menyentuhnya selama ratusan ribu tahun karena selalu tergenang oleh derasnya aliran Ci Tarum.

Sebagai curug, riwayat Curug Jompong telah tiada. Kini ia menjadi lembah berbatu, dengan jenis keindahan yang berbeda. Seperti lembah terjal Ci Tarum yang berada di balik bendungan Saguling, yang kini menjadi dunia yang berbeda dibandingkan dengan pemahaman orang-orang sebelum 1985, sebelum bendungan Saguling beroperasi.

Curug Jompong Bulan Juni 2020

Meski begitu, saya menikmati kunjungan saya ke Curug Jompong pagi itu. Melompati bebatuan-bebatuan raksasa. Melihat kolam berwarna kehijauan yang menggoda diri untuk berenang, meski masih sangat tidak meyakinkan mengingat aliran Ci Tarum yang begitu keruh di hulunya. Kita bisa lihat juga bagian Curug Jompong yang begitu lama tak tersentuh orang, karena derasnya aliran Ci Tarum.

Dalam pikiran saya, mungkin kita harus memikirkan ulang branding yang tepat untuk Curug Jompong. Branding ini penting mengingat reputasi Curug Jompong yang sangat tidak baik beberapa tahun ke belakang ini. Aliran yang kotor, kabut air yang berbau kurang enak, sampah, dan lain sebagainya.

Mungkin Leuwi Jompong kata yang tepat. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti Lubuk. Secara geografis berarti bagian terdalam dari sungai. Atau mungkin ada terminologi geografis lain yang lebih tepat, saya belum tahu. Dengan branding baru, kita bisa memulai cerita Curug Jompong dari lembaran baru pula, yang siap menyambut ribuan penikmat alam untuk berwisata.

Curug Jompong yang baru kini berpotensi menjadi lokasi wisata yang hebat. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota, dengan panorama yang menawan, membuat tempat ini punya modal yang sangat besar. Belum lagi sejarah Curug Jompong yang sangat panjang, saya kira bisa membuat orang berlama-lama mampir menghabiskan waktunya di sekitar daerah ini. Begitu juga keberadaan Terowongan Nanjung membuat banyak yang bisa dilihat dan dijelaskan di titik ini.

Mengingat ini, saya teringat kalimat dari Reitsma, tentang jalur melewati Curug Jompong yang merupakan salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa.

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

S. Reitsma – Gids van Bandoeng en Midden Priangan

Mungkin kita bisa menghidupkan Curug Jompong kembali. Bukan sebagai Curug, tapi sebagai Leuwi, atau entah apa namanya kita mendefinisikannya nanti. Tapi Curug Jompong punya peluang untuk berjaya kembali. Kembali menjadi salah satu tempat paling indah di Jawa. Yang orang datang, berwisata, dan kemudian membawa pengalaman yang gembira. Bahwa ia telah datang ke tempat yang indah, yang memberi kesan indah pada dirinya, lalu ia memberitahu teman-temannya. Lalu kelak menuliskan dalam catatan hidupnya, yang nanti akan menjadi catatan sejarah, bahwa Curug Jompong kembali indah.

Semoga.

GIF Curug Jompong sebelum dan setelah diterowong. Terowongan Nanjung dibuka pada akhir 2019 atau awal 2020. Perhatikan buih air curug yang hilang pada tahun 2020, berpindah ke mulut terowongan.

Foto Udara ITB 1933 dan Sekarang

Melanjutkan penemuan foto udara daerah Tegallega yang saya post kemarin, saya juga mendapatkan foto udara orthophoto daerah ITB dan sekitarnya. Kemudian foto ini saya georeferensi, lalu saya bandingkan kondisinya dengan kondisi sekarang. 

Gambar di atas adalah perbandingan foto udara ITB tahun 1933 dibandingkan dengan sekarang. Gambar ini diputar 44 derajat ke arah timur agar menyesuaikan sudut pengambilan gambar. ITB baru dibangun pada tahun 1920, sehingga pada masa itu bangunan belum sebanyak sekarang. 

Pada tahun 1933, hanya ada bangunan yang sekarang menjadi Aula Barat, Aula Timur, Gedung Prodi Teknik Sipil, Gedung Prodi Fisika, dan yang sekarang menjadi Gedung Seni Rupa dan Arsitektur. Penggunaannya ketika itu saya belum tahu, jurusan-jurusan apa yang sudah ada pun saya belum tahu. 

Di sebelah utara masih kosong melompong hamparan lega sampai ke jalan Tamansari sekarang. Begitu pun Sasana Budaya Ganesha belum ada juga karena baru dibangun pada tahun 1997. 

Di sebelah barat terlihat bentukan oval, kini menjadi Kebun Binatang Bandung. Saya belum tahu apakah daerah ini sudah menjadi kebun binatang atau belum, meskipun saya tahu bahwa KBB mulai didirikan tahun 1930. 

Di sebelah selatan, terdapat Taman Ganesha yang dulunya bernama Ijzerman Park sebagai penghargaan untuk Tuan Ijzerman yang berjasa dalam pembangunan ITB. Pepohonan di sekitar jalan Ganesha dan Gelap Nyawang belum ada. Masih berupa bibit-bibit kecil, sehingga pepoponan besar yang ada sekarang itu masih berumur kurang dari 100 tahun.  Begitu juga pepohonan di tepi Jalan Tamansari pun belum ada. 

Di sebelah timur Jalan Dago pun masih sepi. Perkomplekan elite daerah Jalan Imam Bonjol, Teuku Umar, dll masih berupa lahan kosong, bahkan masih berupa petak-petak kebun. 

Gambar di bawah merupakan perbandingan foto udara dengan peta openstreetmap. 

Begitulah bagaimana Bandung berkembang dari dulu hingga sekarang. Betapa banyak yang berubah, namun satu yang kita ketahui, bahwa dulu Bandung pernah gundul tak ada pepohonan. Belum terlambat untuk kita jika ingin memiliki pepohonan besar yang rimbun seperti di daerah Ganesha dan Tamansari sekarang. Mungkin puluhan tahun yang datang, maka tanaman kita akan rimbun, sebagaimana daerah ini sekarang.

Salam

Keterangan:
Foto udara berasal dari Tropenmuseum
Foto pada muka berasal dari Tropenmuseum
Foto citra satelit berasal dari Google Earth
Foto peta berasal dari OpenStreetMap

Foto Udara Tegallega 1933 dan Sekarang

Saya baru menemukan foto udara daerah Tegallega yang diambil sekitar tahun 1933-1940. Sumbernya dari http://collectie.wereldculturen.nl/. Judul fotonya Omgeving raceterrein Bandoeng. Tegallega-wijk yang berarti Area Balapan Bandung, lingkungan Tegallega.

Peta ini agak diputar sekitar 32 derajat ke arah barat untuk menyesuaikan pengambilan gambar dari udara. Di peta ini kita bisa lihat bagaimana kondisi Tegallega sekitar 80 tahun yang lalu. Lapangan Tegallega sendiri dulunya merupakan arena pacuan kuda. Pada masa itu, Lapangan Tegallega adalah batas paling selatan Kota Bandung. Jalan Mohamad Toha merupakan Jalan Raya Banjaran yang menghubungkan Bandung dengan Banjaran, sementara Jalan Oto Iskandar Dinata berada di sebelah baratnya.

Pada masa itu Lapangan Tegallega hanyalah lapangan kosong, dengan lajur pacuan kuda di tepiannya mengitari lapangan. Di bagian tengahnya kemungkinan besar hanyalah tanah kosong. Sementara sekarang, lapangan ini menjadi hutan kota, dengan kolam renang, dan monumen Bandung Lautan Api di tengah-tengahnya. Pedagang banyak tersebar di bagian barat Tegallega, sekaligus dekat dengan terminal.

Pada tahun 1933, sudah banyak pemukim di sekitar Tegallega, terutama di bagian utara Tegallega. Sementara di sebelah timur, yang kini menjadi daerah Sawahkurung (SMP 11, Jalan H. Samsudin) merupakan daerah persawahan yang belum banyak dihuni orang. Kini di area itu telah dipenuhi perumahan; Jalan Sawah Kurung, Jalan Kotabaru, Gang PLN hingga ke Jalan Pungkur.

Demikian, nostalgia kita akan Bandung Tempo Dulu. Yang indah dikenang, yang semoga bisa terulang. Semoga Bandung semakin dicintai oleh warganya, semakin nyaman ditinggali semua penduduknya.

Keterangan:
Gambar di muka merupakan gambar koleksi Wijnand Elbert Kerkhoff/Nederlands Fotomuseum yang dimuat di website AyoBandung. https://www.ayobandung.com/read/2017/02/09/16224/tegalega-riwayatmu-kini

Gambar pada slide komparasi merupakan gambar dari Tropenmuseum yang diakses dari http://collectie.wereldculturen.nl/. Sementara gambar dasarnya merupakan citra google earth yang diakses dari QGIS.

Masalah Dalam Menggeoreferensi Peta Geologi

Bertahun-tahun saya dibuat frustasi dengan peta geologi tergeoreferensi yang ada di sekitar Bandung, terutama karena ada ketidakakuratan lokasi. Begitu pun ketika saya mencoba menggeoreferensi sendiri, entah kenapa batas litologi, batas sungai, dll itu selalu tidak pas dengan morfologi. Lari sekian puluh meter. Endapan yang harusnya ada di sungai lari ke lereng, dan seterusnya. Selain itu, pada peta geologi terdigitasi yang banyak beredar daring pun demikian. Poligonnya selalu melenceng sekian puluh meter.

Sebagai contoh pada gambar di bawah: Lokasinya di Bandung, tepatnya di daerah Curug Jompong. Perhatikan bukit di bawah tulisan Cisaat yang digitasi peta geologinya tidak sesuai dengan pola kontur bukitnya. Perhatikan juga bukit di pojok kiri atas, yang hasil digitasinya tidak sesuai dengan bentuk bukit.

Di daerah lain, di sekitar Sariwangi, petanya pun demikian. Aliran lava yang dalam peta geologi mengalir pada lembah, bergeser sekian puluh meter ke arah barat, mengakibatkan lava seolah berada di lereng.

Buat saya, ini sangat menyebalkan. Mungkin dalam skala regional ini tak begitu berarti, tapi ketika kita melihat detil, maka ini bisa menyesatkan. Misal kita ingin membuat peta longsor. Kita bisa salah duga karena kita anggap lava itu tidak rawan longsor, misalnya. Analisis kita bisa jadi keliru.

Bertahun-tahun lamanya saya struggle dengan permasalahan ini, sampai akhirnya saya paham bahwa yang salah adalah cara kita meng-georeference peta geologi kita. Terutama dalam memilih Sistem Referensi Koordinat Coordinate Reference System(CRS).

Waktu saya kuliah S1 dulu, asisten mata kuliah Sistem Informasi Geografi saya, hanya memberitahu perbedaan sistem longitude-latitude dengan sistem UTM. Jadi kalau koordinat yang diinginkan berformat derajat-menit-detik maka kita gunakan geographic system, kalau kita ingin sistem koordinat kita berformat meter, kita pakai UTM. Secara default mereka juga mengajarkan saya untuk selalu menggunakan WGS 1984 sebagai datum. Sedangkan datum-datum lain dilupakan saja dulu. Begitu katanya. Saya tidak pernah diajari apa bedanya datum, elipsoid, jenis proyeksi, dll.

Di sinilah semua kekeliruan berasal. Yaitu ketika kita menyamarakatan semua menggunakan WGS 1984. Apapun petanya, kita georeferensi dengan CRS WGS 1984, dan seterusnya.

Ambil contoh peta geologi Lembar Bandung terbitan Direktorat Geologi yang dipetakan oleh Silitonga tahun 1973. Di empat sudut peta, terdapat koordinat lokasi peta. Selain itu di bagian bawah peta terdapat indeks peta yang menunjukkan posisi relatif peta dengan peta di sekitarnya. Dari peta ini kita tahu bahwa peta geologi lembar Bandung berada antara koordinat 107.5 -108 derajat bujur timur, dan 6.5 – 7 derajat lintang selatan. Pertanyaannya, alamat koordinat ini dalam sistem koordinat apa apa?

Dugaan saya, hampir semua digitasi peta geologi yang ada menggunakan template default WGS 1984 sebagai datumnya. Oleh karena itu tak heran ada distorsi. Kenapa ada distorsi? Karena peta geologi lembar Bandung ini tak dibuat dengan sistem koordinat itu.

Lantas dengan sistem koordinat apa apa?

Sebelumnya ini DISCLAIMER, mohon maaf kalau saya keliru membedakan datum, sistem koordinat, proyeksi dll. Pengetahuan saya terbatas dalam hal itu. Mungkin kawan-kawan geodesi bisa lebih tepat dalam bagian ini

Inilah yang masih saya pertanyakan sampai sekarang. Biasanya di dalam peta, dicantumkan datum, jenis proyeksi yang digunakan, spheroid dll. Jenis datum penting untuk diketahui, sehingga kita mereferensikan peta kita pada datum yang tepat. Tabel di bawah adalah contoh datum-datum yang ada. Salah satunya WGS 84 yang biasa kita pakai. Setiap daerah punya datumnya masing-masing. Misal di Amerika Utara, mereka biasa pakai NAD (North American Datum). Di Eropa mereka pakai ETRS (European Terrestrial Reference System). Untuk data yang bersifat global, mereka biasanya pakai WGS, terutama WGS1984 yang biasa kita pakai. Kesalahan penggunaan datum dalam mereferensi akan mengakibatkan distorsi pada peta. Seperti yang terjadi pada peta Bandung kita.

Kembali ke peta geologi lembar Bandung. Di dalam peta, meskipun tidak ada informasi mengenai datum, tetapi terdapat informasi mengenai sumber peta yang digunakan untuk membuat peta ini. Peta dasar dibuat berdasarkan peta topografi US Army Map Service (AMS) seri T 725 skala 1:50.000.

Dengan informasi yang ada ini, saya hanya bisa mengasumsikan bahwa peta kita dibuat dengan datum yang sama dengan peta topografi US AMS seri T725 skala 1:50.000. Lalu saya mencari data US AMS seri T 725, yang kebetulan bisa kita akses pada halaman berikut: http://legacy.lib.utexas.edu/maps/ams/java_and_madura/

Di dalam peta AMS yang rata-rata dibuat pada tahun 1940-an ini, kita bisa tahu bahwa peta AMS dibuat berdasarkan peta yang dibuat oleh Dinas Perpetaan (Topographic Dienst) Hindia Belanda, dan mereka menggunakan Meridian of Batavia dengan jarak 106 derajat 48 menit 27.79 detik ke arah timur dari Greenwich.

Dari peta ini, saya masih belum dapat info datum. Tapi saya mendapati bahwa sebelum peta AMS dibuat, pemerintah kolonial telah menetapkan suatu datum di Batavia, yang diikatkan dengan titik nol di Greenwich. Hanya kita masih belum mengetahui tahun datum, sehingga kita bisa georeferensi data ini dengan benar. Meski begitu kita tahu, bahwa datum peta kita, pasti lebih tua dari tahun 1940. Maka dari itu, datum WGS84 menjadi tidak relevan, karena datum itu pasti untuk peta yang dibuat setelah tahun 1984.

Menggeoreferensi di QGIS

Dengan menggunakan piranti lunak gratis QGIS, kita bisa menggeoreferensi peta. QGIS juga memiliki database datum untuk kita pakai, sehingga kita bisa menggeoreferensi dengan benar. Ketika kita menggeoreferensi di QGIS, akan ada opsi Target SRS. Opsi ini memungkinkan kita memilih datum. Ketika kita tulis dalam filter, Indonesia, maka akan ada CRS-CRS yang bisa digunakan di Indonesia. Namun kalau filter ini yang dipakai, hanya akan keluar pilihan DGN95, yaitu sistem koordinat nasional yang menggunakan Datum Geodesi Nasional  tahun 1995.

Oleh karena itu, saya mengganti kata kuncinya menjadi Batavia, karena Jakarta dulu, di zaman kolonial Belanda namanya Batavia. Dengan menggunakan kata kunci ini, saya menemukan 9 sistem koordinat yang bisa digunakan di Batavia; 2 sistem koordinat geografis, dan 7 sistem koordinat terproyeksi. Karena data yang kita punya jenisnya geografis longitude-latitude, maka saya pilih yang sistem geografis.

Ada dua pilihan kode EPSG (EPSG adalah kode sistem koordinat yang dibikin sama European Petroleum Survey Group) yang kita dapat, EPSG:4211 dan EPSG:4813. Perbedaan dua EPSG ini adalah, yang 4211 itu titik nolnya di Greenwich, sedangkan yang 4813 itu titik nolnya di Jakarta. Kedua sistem koordinat ini menggunakan elipsoid yang didefinisikan di Bessel tahun 1841. Jadi mungkin merupakan salah satu sistem koordinat paling awal yang dipakai.

Jika kita mau menggeoreferensi peta AMS misal yang sistemnya menggunakan 0 derajat di Batavia, maka kita pakai EPSG:4813. Sementara itu kalau kita mau menggeoreferensi peta yang sistemnya 0 derajat di Greenwich, maka kita pakai EPSG:4211.

Dengan asumsi bahwa peta geologi lembar Bandung dibuat menggunakan sistem koordinat yang sama dengan peta AMS, maka saya menduga bahwa sistem koordinat EPSG:4211 adalah sistem koordinat yang harus kita pakai untuk menggeoreferensi peta ini.

Kita akan lihat hasil georeferensinya seperti apa. Seperti biasa titik yang digeoreferensi adalah 4 titik di sudut peta. Gambar peta di bawah ini adalah peta yang digeoreferensi, sementara garis berwarna hitam adalah poligon geologi hasil digitasi yang tersebar di dunia maya. Kita bisa lihat distorsi yang cukup jauh karena adanya perbedaan sistem koordinat yang dipakai. Saya mengukur perbedaannya antara 90-150 meter, tergantung kedetailan digitasi.

Bedanya besar sekali. Kita akan bandingkan topografi dengan peta geologi yang sudah kita georeferensi menggunakan sistem koordinat Batavia. Pada gambar di bawah, garis biru adalah sungai, garis oranye adalah kontur, garis merah adalah poligon geologi hasil digitasi yang tersebar di dunia maya, sementara latar adalah peta geologi yang kita georeferensi menggunakan sistem koordinat EPSG:4211.

Secara umum, saya melihat bahwa georeferensi ini lebih pas, dan tepat dibandingkan peta hasil georeferensi yang tersebar di dunia maya. Pola aliran lava mengikuti pola lembah, selain itu kita bisa lihat juga pola kontur yang meliuk-liuk juga hampir serupa dengan pola kontur topografi.

Dari sini saya meyakini, bahwa selama ini kita menggeoreferensi dengan cara yang keliru, sehingga digitasi peta kita menjadi terdistorsi. Distorsi 100 meter bisa berarti banyak sekali. Jalur sesar menjadi bergeser, batas litologi, dan lain sebagainya. Apabila kita sudah menggeoreferensi peta dengan benar, maka untuk mengonversi ke sistem koordinat yang lain akan mudah saja.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk memahami jenis sistem koordinat dari peta yang kita pakai. Jangan sampai terjadi kesalahan elementer semacam menggeoreferensi dengan keliru yang mengakibatkan kesalahan lain secara domino. Terutama karena data ini merupakan data dasar yang penting bagi pembangunan.

Demikian, tulisan saya tentang menggeoreferensi peta geologi, semoga bisa membantu meluruskan hal yang selama ini telah dilakukan dengan keliru oleh begitu banyak orang.

File Presentasi Geowisata Bandung Abad-19

Hari ini, Sabtu, 30 Mei 2020, saya dengan Travelology, Sekolah Bumi, dan KRCB menyelenggarakan Geowisata Virtual Bandung Abad-19. Berikut adalah webmap jalurnya dan file presentasinya.

http://malikarrahiem.com/qgis2web/index.html

Untuk file presentasinya bisa dilihat di halaman ini

http://www.malikarrahiem.com/Presentasi%20Travelology.pdf

Untuk rekamannya, bisa diakses di halaman berikut

Curug Tjigeureu di Gunung Malabar

Sejak dua tahun lalu, saya rajin nongkrong di halaman situsnya Tropenmuseum, Rijksmuseum, dan Perpustakaan Universitas Leiden. Tujuan saya adalah untuk mencari foto, lukisan, atau sketsa lama yang membuat saya senang ketika membuka dan melihat-lihatnya. Mungkin seperti orang yang hobi belanja senang buka-buka lapak pasar-el (e-commerce), begitu pun saya senang buka-buka situs gambar sejarah.

Dari hasil telusuran saya, saya mengetahui bahwa ada beberapa pelukis zaman kolonial yang hasil dokumentasinya sangat banyak, salah satunya adalah Antoine Payen. Ia adalah seorang pelukis berkebangsaan Belgia yang bekerja bagi pemerintah kolonial pada awal abad ke-19. Ketika Payen bekerja, ia menemukan seorang mutiara terpendam yang kelak akan menjadi pelukis Indonesia paling masyhur. Namanya Raden Saleh. Tulisan lengkap mengenai siapa Antoine Payen bisa dilihat pada tulisan Pak Ridwan Hutagalung berjudul “Payen dan Sang Pangeran Jawa“.

Salah satu gambar paling baru yang saya temukan adalah gambar berjudul “Gezicht op de waterval van de Tjigeureu in de bossen van de berg Malabar” atau jika diterjemahkan bebas menjadi “Pemandangan air terjun Tjigeureu di hutan Gunung Malabar”. Dalam keterangan lukisan tertulis: Dit is de waterval van Cigeureuh bij de berg Malabar. Op de voorgrond zijn twee mannen te zien die kijken naar een Javaanse neushoorn in de verte, atau berarti: Ini adalah air terjun Cigeureuh di gunung Malabar. Di latar depan dua lelaki dapat terlihat sedang melihat badak Jawa di kejauhan.

Gezicht op de waterval van de Tjigeureu in de bossen van de berg Malabar. Antoine Payen – 1841. Sumber Tropenmuseum

Dalam gambar ini, sebuah air terjun yang sangat tinggi menjadi objek utama. Menuju ke air terjun, terdapat jeram-jeram bertingkat dengan aliran yang cukup deras. Hutan digambarkan tidak padat, tapi terbuka. Di tengah bagian dekat dengan pengamat, dua orang tampak bersembunyi. Seorang seolah mengokang senjata, atau mungkin keduanya memegang sejata. Mereka mengamati seekor badak di kejauhan. Cukup menarik juga mengingat Payen menggambarkan satu bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum Becc) yang berada di bagian kanan bawah lukisan.

Saya takjub dengan ketelitian ini. Saya merasa perlu tahu di mana curug ini berada. Dengan penuh semangat saya mencoba mencari tahu, di mana air terjun Tjigeureu ini berada.

Pilihan pertama saya adalah dengan mencari di google dengan kata kunci “Curug Tjigeureu”. Tapi hasilnya nihil. Kemudian ketika saya cari Cigeureuh, maka saya menemukan blog dari http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/11/berjuang-menggapai-hulu-cigeureuh.html. Dalam blog ini penulis mencantumkan judul “berjuang menggapai hulu Cigeureuh”. Dalam tulisan ini, ia bercerita tentang perjuangannya dan teman-temannya menyusuri hulu Cigeureuh untuk menuju Curug Siliwangi. Masuk akal juga. Berarti sungai di mana curug ini berada bernama Ci Geureuh, dan curugnya bernama Curug Siliwangi.

Ketika saya mengamati foto Curug Siliwangi, saya merasa ada sedikit persamaan dengan Curug Tjigeureu yang dilukis Payen, terutama dari ketinggian air terjun. Sayang tidak ada foto yang diambil dari lebih jauh. Kemungkinan besar karena vegetasi sangat lebat.

Curug Siliwangi, Gunung Puntang. Sumber Facebook Gunung Puntang

Dalam lukisan Payen, Curug Cigeureuh digambar dari jauh. Namun kita bisa duga bahwa air terjun ini sangatlah tinggi. Begitu pun Curug Siliwangi yang ditulis berketinggian 150 meter. Dalam video-video perjalanan ke Curug Siliwangi yang saya tonton di Youtube, perjalanannya sangat berat dan melewati jeram-jeram. Mungkin itulah jeram yang digambar juga oleh Payen.

Selain itu, saya juga mencoba membandingkan Curug Cigeureuh ini dengan peta-peta lama yang saya punya. Pertama saya membandingkan dengan Peta Wisata Bandung dan Sekitarnya, touristenkaart van bandoeng en omstreken, yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1939. Dalam peta ini, di lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Haruman, terletak air terjun tanpa nama yang hanya disebut sebagai Waterval.

Gunung Malabar pada Peta Wisata Bandung yang dipublikasikan oleh Dinas Pariwisata Hindia Belanda

Kemudian saya mencoba mencari informasi mengenai Gunung Malabar di buku Java volume 1, karya Junghuhn. Di dalam buku ini, Junghuhn mendeskripsi menggambarkan profil ketinggian gunung-gunung di Jawa, salah satunya gunung-gunung di Cekungan Bandung. Ketika menggambarkan kompleks Gunung Malabar, yang disebut oleh Junghuhn sebagai Malawar, secara menarik ia menggambarkan satu air terjun, Tjuruk Tjiguru. Saya menduga ini air terjun yang juga dimaksud oleh Payen, Tjurug Tjigeureuh

Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.1

Kesimpulan: Curug Cigeureuh hampir pasti merupakan air terjun yang berada di lembah di antara Gunung Puntang dan Gunung Haruman, di kompleks Gunung Malabar. Jika benar di sanalah curug berada, maka elevasinya sekitar 1500-1800 mdpl. Kemungkinan curug ini ekivalen dengan Curug Siliwangi yang kita kenal sekarang, namun perlu memastikan koordinat Curug Siliwangi berada. Ada dua informasi penting yang bisa kita dapat dari lukisan Antoine Payen, yaitu: 1) keberadaan bunga bangkai raksasa, dan 2) keberadaan badak jawa. Dua spesies ini merupakan spesies langka, bahkan sekarang badak hanya ditemukan di Ujungkulon saja. Laporan ini menunjukkan bahwa Kompleks Gunung Malabar pernah menjadi rumah bagi spesies-spesies langka Nusantara, entah kondisinya sekarang bagaimana. Meskipun badak sudah pasti tidak ada, semoga yang lain masih ada.

Tentang Gunung Malabar

Mungkin orang-orang kurang awas terhadap Gunung Malabar karena bentuknya yang tidak seikonik Gunung Tangkuban Perahu. Padahal kedua gunung ini berhadap-hadapan. Keduanya megah dibatasi oleh lembah luas di mana jutaan manusia hidup. Dari titik mana pun di tengah Cekungan Bandung kita bisa melihat Gunung Malabar ini. Setiap pagi, dari rumah saya di bilangan Ciwaruga, setiap saya memandang ke arah selatan, terutama di pagi hari, maka gunung ini akan tampak megah berdiri. Mungkin pemandangan yang serupa dengan gambar Payen di bawah ini.

Pemandangan Gunung Malabar yang dilukis oleh Payen dari Bandung Utara

Dalam buku Java jilid 2, Junghuhn mendeskripsi Gunung Malabar sebagai berikut:

Obgleich kein Krater und keine Solfatara als diesem Gebirge zugehörig bis jetzt bekannt ist, so wird er hier dennoch unter die Zahl der Feuerberge aufgenommen, -weil sowohl die Gestalt desselben als auch seine Gebirgsarten. — Lava —, aus welchen er zusammengesetzt ist, deutlich verrathen, dass auch er einst ein thätiger Vulkan war. Siehe die augitische und basaltische L.Nr. 55 und 56 und die Gluthbrezzie: L.Nr.54, welche in seinem nordlichen Vorgebirge gefunden werden. — Über seine Lage und Verbindung mit den benachbarten Bergen wird hier sowohl, wie bei allen übrigen Preanger Vulkanen auf die beigefügte Skizze verwiesen. Sein Gipfel ist keineswegs konisch, sondern er besteht aus zwei lang hingezogenen, schmalen Firsten, die ostwärts in einem spitzen Winkel zusammenstossen und die 7090′ hohe Ostkuppe des Gebirges bilden. Auch ihre entgegengesetzten Endigungen sind schroff und kuppenartig. Sie schliessen einen beinahe dreieckigen Raum ein, der sich westnordwestwärts in weiter, klüftiger Öffnung zum Berge hinabzicht und den man nicht anstehen kann, für den alten spaltenförmigen Krater des G.-Malawar (wahrscheinlich abgeleitet von Mawar = Rose und würde dann so viel bedeuten als : überall mit Rosen geschmückt) zu halten, wenn man die schroffe Senkung beider Bergfirsten nach innen wahrnimmt, die mit ihren steilen Wänden einander gegenüberstehen und sich als Kratennauern beurkunden. Die südlichere der Firsten zieht sich mehre Pfähle lang hin. Es ist sehr zu vermuthen, dass man im Grunde der genannten
grossen Kluft zwischen den Firsten bei genauer Nachsuchung noch überzeugendere Beweise ihres ehemaligen Charakters finden und vielleicht noch dampfende Fumarolen oder kochende Schlammpfützen daselbst antreffen wird. Übrigens sind sowohl die Kluft als die Firsten mit uralter Waldung überzogen, deren Physiognomie ich an einem andern Orte versucht habe zu schildern und nur zwei warme Quellen am Südabhange des Berges sind die einzigen jetzt bekannten Überbleibsel ehemaliger Vulkanität. ~ Ich besuchte den Berg im Monat October 1839 von seiner Ostseite her, wo der Pasanggrahan Malawar tjiparai gelegen ist.

Franz Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.2

Berikut adalah penerjemahan bebas oleh penulis dibantu dengan Google Translate:

Meskipun tidak dijumpai kawah dan solfatara di gunung ini dan sekitarnya, gunung ini tetap termasuk sebagai gunung api, terutama karena bentuk, jenis gunung, serta lava yang menyusun gunung ini menandakan bahwa gunung ini dulunya merupakan gunungapi yang aktif. Sampel batuan yang saya kumpulan berjeniskan lava augit dan lava basaltik (lihat nomor 55 dan 56) serta Gluthbrezzie (Breksi berwarna arang gelap, glut = arang dalam bahasa Jerman) bernomor 54 yang saya temukan di punggungan sebelah utara.

Sebagaimana gunungapi lainnya di Priangan, saya membuat referensi lokasi pengambilan spesimen ini relatif terhadap lokasi gunung dan hubungannya dengan gunung-gunung di sekitarnya. Puncak gunung ini tidak berbentuk kerucut, tetapi terdiri atas dua tebing sempit yang memanjang yang pertemuannya membentuk sudut lancip di sebelah timur dengan ketinggian 7090 kaki, di sebelah timur kompleks pegunungan ini. Ujung dari tebing-tebing ini kasar dan berbentuk kubah. Mereka melampirkan ruang hampir segitiga yang memanjang barat-barat laut di celah yang lebar, bergerigi ke G. Malawar (kemungkinan berasal dari kata Mawar yang berarti bunga, sehingga diasumsikan Junghuhn berarti gunung yang dipuja layaknya bunga). Mungkin bagian tengah dari gunung ini adalah kawah. Sangat dicurigai bahwa pada celah yang disebutkan di antara punggungan-punggungan akan ditemukan bukti yang lebih meyakinkan mengenai keberadaan fumarol yang mengepul atau genangan lumpur mendidih di sana. Kebetulan, pola lembahan dan punggungan ditutupi dengan hutan lebat, fisiognomi yang saya coba gambarkan di tempat lain, dan hanya dua mata air hangat di lereng selatan gunung adalah satu-satunya sisa vulkanisitas bekas gunung berapi yang diketahui. ~ Saya mengunjungi gunung ini pada bulan Oktober 1839 dari sisi timurnya, di mana Pasanggrahan Tjiparai Malawar berada.

Franz Junghuhn, Java volume 2, dengan penerjemahan bebas penulis.

Dalam katalog spesimen yang dikumpulkan oleh Junghuhn: Catalog der Geologischen Sammlung von Java. Oder Verzeichniss der Felsarten gesammelt zur erlauterung des geologischen baues dieser Insel niedergelegt und geordnet im Reichs-museum fur Naturgesichte zu Leiden von Fr. Junghuhn (Katalog Koleksi Geologi Jawa. Atau daftar jenis batuan yang dikumpulkan untuk menjelaskan struktur geologi pulau ini diletakkan dan dipesan di Museum Sejarah Alam Reich oleh Leiden oleh Franz Junghuhn), sampel dari Malabar bernomorkan L.54-L.56. Sampel-sampel ini adalah:

Halaman 13
  1. Batu trachytic dari gluthbrezzie. Ujung barat punggungan G. Malawar: dari dinding vertikal, ke kiri jalan yang mengarah dari Bandong ke Bandjaran.
  2. Lava doleritik dan basaltik. Lereng G. Malawar: Bandjaran dan Pengalengan, dasar sungai Tji-Biana (distrik yang sama)
  3. Lava syenitik dan basaltik. G. Malawar. dasar sungai Tji-Ngiroan dekat Pengalengan

Sumber:

  1. Lukisan Tjurug Tjigeureu dari Tropenmuseum
  2. https://mooibandoeng.com/2016/02/02/payen-dan-sang-pangeran-jawa/
  3. http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/11/berjuang-menggapai-hulu-cigeureuh.html
  4. https://www.facebook.com/BuperGPCommunity/posts/air-terjun-curug-siliwangiterletak-di-areal-wana-wisata-gunung-puntang-di-komple/511613966045832/
  5. Touristenkaart van bandoeng en omstreken. 1939
  6. Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.1
  7. Franz Wilhelm Junghuhn, Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart Vol.2
  8. Catalog der Geologischen Sammlung von Java. Oder Verzeichniss der Felsarten gesammelt zur erlauterung des geologischen baues dieser Insel niedergelegt und geordnet im Reichs-museum fur Naturgesichte zu Leiden von Fr. Junghuhn

Tentang Sunda Abad-19 dan Naturalis Jerman yang Melaporkannya

Kemarin saya nonton tayangan ulang Diskusi Sunda Abad-19 yang diadakan oleh Oleh-Oleh Boekoe Bandoeng dan Sahabat Heritage Bandung dengan narasumber Pak Hawe Setiawan dan Pak T. Bachtiar. Tayangannya sebagai berikut:

Dalam suasana COVID-19 ini, saya bersyukur diseminasi ilmu berjalan secara masif. Memanfaatkan platform online, semua kelompok berlomba-lomba membagikan ilmunya. Mungkin inilah keadaan normal yang baru. Forum-forum kajian yang dulu terfokus di kampus, kelas, selasar-selasar, kini berpindah ke rumah masing-masing, disambungkan oleh platform daring. Keren.

Sekitar dua tahun lalu, saat masih di Jerman, saya dapat kesempatan untuk melihat buku-buku jadul. Publikasi-publikasi abad-19 yang membuat saya berdecak kagum, betapa orang pada masa itu bisa menulis dengan kualitas tulisan yang sangat baik. Bahkan kalau saya boleh bilang, jauh lebih baik dari tulisan modern. Betapa perbedaan fasilitas tidak memengaruhi kualitas tulisan. Kemudian saya menyadari bahwa gagasan orang-orang itu abadi.

Saya terlecut untuk melanjutkan projek lama saya, menulis buku tentang Petualangan Naturalis Jerman ke Tanah Priangan Abad-19. Tulisan ini bagi saya penting, karena catatan-catatan naturalis Jerman ini tersedia. Beberapa sudah saya terjemahkan, beberapa lainnya sedang saya kurasi untuk memilah catatan mana yang ingin saya tampilkan dalam buku ini.

Buku saya ini berisi tentang perjalanan empat orang Jerman pada masa yang berbeda-beda. Naturalis pertama, seorang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda dalam misi pemetaan potensi alam tanah kolonial. Namanya Salomon Mueller yang bertugas di Hindia Belanda pada tahun 1826-1836. Ia adalah salah satu orang yang selamat dari rimba ganas Hindia Belanda dan kembali ke negerinya. Mueller adalah seorang ahli hewan. Pada tahun 1833, selama lebih 3 bulan, ia berkunjung ke Bandung dan menjelajah tanah Priangan. Bersama Pieter van Oort, seorang pelukis, Mueller melaporkan perjalanan dari Tangkuban Perahu ke Curug Cimahi, Curug Penganten, Cililin, Gunung Lumbung, Ciwidey, Banjaran, dan kembali ke Bandung.

Naturalis kedua adalah Si Humboldt dari Jawa. Orang yang saya sebut peneliti Jerman paling berjasa bagi perkembangan ilmu alam di Hindia Belanda, namanya Franz Wilhelm Junghuhn. Saking banyaknya catatan yang ia buat, saya belum berhasil mengurasi perjalanannya dan memilah mana yang ingin saya tampilkan. Saking hebatnya Junghuhn, setelah lebih 150 tahun kematiannya, orang masih berdiskusi tentangnya.

Saya bermaksud untuk mengurasi catatan Junghuhn, terutama pada bagian geologi. Saya tidak tahu siapa orang yang lebih dulu memeta geologi Pulau Jawa sebelum Junghuhn, tapi saya belum menemukan peta yang lebih tua daripada peta yang Junghuhn buat dan dipublikasikan pada tahun 1857. Koleksi sampel geologinya melimpah, fosil, kerangka, dan batuan. Bahkan seorang Jerman lain yang saya bahas juga, Karl Martin, khusus mengaji fosil kerang yang dibawa Junghuhn dari Jawa. Catatannya tentang lokasi fosil berupa lokasi A-Z menjadi harta karun yang harus kita petakan, di mana sebenarnya lokasi fosil-fosil ini berada.

Naturalis ketiga, seorang Jerman lain, khusus datang ke Bandung pada tahun 1858 untuk bertemu dengan Junghuhn. Nama orang ini adalah Ferdinand von Hochstetter yang berkunjung ke Hindia Belanda dalam perjalanan ekspedisi Novara, ekspedisi saintifik berkeliling dunia yang didanai oleh Kerajaan Austria.

Hochstetter adalah seorang geolog. Ia meminta dengan amat sangat agar Junghuhn bersedia menemaninya dalam perjalanan melihat lapisan Tersier di sekitar Bandung. Sayang Junghuhn tidak dalam kondisi terbaiknya, namun tetap memberikan petunjuk dan mengirim perwakilannya untuk menemani Hochstetter berkeliling Cekungan Bandung. Hochstetter menelusuri jejak Junghuhn ke Curug Jompong, kemudian ke Lio Cicangkang untuk melihat fosil laut, hingga akhirnya terpana akan keindahan Curug Halimun, yang oleh Junghuhn disebut sebagai air terjun terindah di Jawa. Ia menelusuri Ci Tarum hingga bertemu Sanghyang Tikoro dan kembali pulang. Sampel-sampel perjalanan Hochstetter masih bisa kita temui di Natural History Museum of Vienna.

Naturalis keempat, Karl Martin, Bapak Paleontologi Belanda. Martin adalah seorang Jerman yang kemudian bekerja sebagai pengajar geologi di Universitas Leiden, Belanda. Martin memulai publikasinya tahun 1879 ketika ia menganalisis sampel fosil moluska yang dibawa oleh Junghuhn.

Pada tahun 1910, Martin yang begitu penasaran dengan sampel-sampel yang dikirim oleh Junghuhn, kemudian mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Priangan. Ia mengunjungi lokasi-lokasi di mana fosil-fosil itu berasal dan memberikan catatan terperinci yang membantu kita untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi fosil. Pertama Martin mengunjungi lapisan Ci Talahab di sekitar Ci Mandiri di Sukabumi, kemudian ia mengunjungi lapisan Rajamandala di Bandung Barat. Selanjutnya ia melaporkan tentang lokasi Lio Cicangkang di Gunung Halu, hingga akhirnya ia melaporkan tentang lapisan sedimen pembawa fosil moluska di daerah Ci Lanang, Gunung Halu. Lokasi yang belakangan ini kebetulan adalah lokasi tugas akhir penulis.

Martin berhasil mengidentifikasi umur lapisan berdasarkan kelimpahan fosil moluska yang ada di lapisan-lapisan tersebut. Metode yang digunakan adalah perbandingan antara jumlah spesies fosil yang masih hidup hingga sekarang dibandingkan jumlah spesies total (spesies masih hidup + spesies telah punah).

Keempat naturalis ini hanyalah sebagian kecil dari orang-orang Jerman yang berjasa pada Indonesia. Kita masih bisa sebut naturalis-naturalis lain yang berjasa besar, seperti Rumphius yang mengidentifikasi flora dari Ambon. Karya besarnya Herbarium Amboinsche saya kira adalah mahakarya abad 18 yang sangat luar biasa. Terlebih pada akhir masa hidupnya ia kehilangan indra penglihatan.

Kita bisa sebut juga Carl Blume, seorang direktur herbarium dari Leiden. Bukunya Rumphio (terinspirasi dari Rumphius) ditulis dalam bahasa latin dan memuat catatan-catatan flora yang sangat komprehensif, terutama dari sekitar Priangan. Lalu Caspar Georg Carl Reinwardt, kepala pertama Kebun Raya Bogor.

Sangat disayangkan bahwa ilmu-ilmu yang telah mereka catat sejak 200 tahun lalu belum tersambung ke zaman sekarang karena bahasa. Tulisan-tulisan mereka yang dibuat dalam bahasa Jerman atau Belanda masih sulit kita mengerti. Meski ada kabar gembira, bahwa magnum opus-nya Junghuhn, Java, sedang diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Tentu ini sangat menggembirakan untuk ditunggu.

Making 3D Maps of Sentinel-2 Imagery with Rayshader

I am inspired by Tyler Morgan-Wall tutorial on Rayshader with satellite imagery overlay published few days ago. I have been trying this for some times, but somehow I always fail. So when Tyler shares his code, I immediately follow and try it on my own.

The code is so elegant, one can simply follow and have their own beautiful rendered 3d images with satellite imagery overlies. I really suggest that you visit Tyler’s blog. There are plenty of amazing tutorials there.

In this post, I would like to add something that I believe is useful when anyone wants to create a 3d images with satellite imagery overlies with rayshader.

I add two things that a little bit different than Tyler’s step to create the images, which are: 1) download sentinel-2 images from Sentinel-Hub apps , and 2) download SRTM images from R . These two steps are crucial and can save some time and avoiding us to download a huge data of satellite images.

First we will download the images of Sentinel-2. The regions that I want to share is Karangetang Volcano in North Sulawesi, Indonesia. This volcano is interesting because it has been erupting for the past few years and we can see the trace of the eruption finely from Sentinel-2 images.

Sentinel-2 is a satellite program by European Space Agency. It has been acquiring images from the orbit since 2015 with spatial resolution of 10m. We can access Sentinel-2 images through this apps https://apps.sentinel-hub.com/eo-browser/ . You can register to it. It is a free and a very user-friendly apps.

User interface of the EO Browser

Above is the interface of EO Browser after you sign-in. On the left side is the menu for selecting the satellite, cloud coverage, and time range. You can select Sentinel-2 and pick L2A as this images is already processed. Set the cloud coverage to the lowest so you can get a free cloud image.

On the right side, there is a marker symbol. This is a pin to select point of interest. It also allows us to make an area of interest. So I make a rectangle. Afterward you can click “Search” and EO Browser will find you list of available data set.

After selecting an images, EO Browser will show you available image processing method, which can be used for many purpose. You can also develop your own custom script if you will. You can check for available script here: https://custom-scripts.sentinel-hub.com/ .

For our purpose, lets just do True Color image. You can download the image on the right side, just two symbol below the marker symbol, called “Download image”. Unlike Earth Explorer that force us to download all the data in bulk, EO Browser offers us the chance to download only the data we need, and we can crop it to the area we made earlier. You can select the Image format to Tiff 8 bit, image resolution high, and coordinate system to WGS84. Select layer True Color.

Afterward you can immediately download the file, and the size will not be huge (still in the order of tens of MB). Now we can call it in R.

 library(raster)
 library(sp)
 library(rayshader)
 library(elevatr)
 library(leaflet)  

 satellite_images <- raster::brick("Sentinel-2 L2A from 2019-09-22.tiff")
 plotRGB(satellite_images)

So our data consist of one tiff file. We call it using brick. To be honest I am not really sure the reason why raster::brick work, and raster::raster doesn’t. So just use raster::brick for this purpose.

Plot of sentinel-2 image

Second, we will create our Area of Interest. We will create a simple AoI, a rectangle with 4 edges. For that I make a function, so you just need to add xleft, ytop, xright, and ybot, or two coordinates of top left and bottom right edges.

AOI <- function(p, q, r, s) {
   xleft <- p
   ytop <- q
   xright <- r
   ybot <- s
   x_coord <- c(xleft,xleft,xright,xright)
   y_coord <- c(ytop,ybot, ybot, ytop)
   xym <- cbind(x_coord, y_coord)
   p <- Polygon(xym)
   ps = Polygons(list(p),1)
   sps = SpatialPolygons(list(ps))
   proj4string(sps) = CRS("+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")
   return(sps)
 }

You can call your AoI and then afterward check it on leaflet to see where it lies. If it is ok then you can continue to the next step. Also make sure that your Sentinel-2 images are completely within your study area.

mask <- AOI(xleft, ytop, xright, ybot)
leaflet(mask) %>% 
   addTiles() %>% 
   addPolygons() 

Afterward we will find our digital elevation model from SRTM using elevatr developed by Jeffrey Hollister from US EPA (https://github.com/jhollist/elevatr ). This packages allows us to download elev_point and elev_raster provided by USGS and USNOAA. The DEM needs to be projected so it the projection system will be the same as our satellite image. We can plot it on the map using leaflet package (https://rstudio.github.io/leaflet/ ).

 Elevation_File <- get_elev_raster(AOI1, z=11)
 projectRaster(Elevation_File, 
               crs= "+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")

 leaflet(mask) %>% 
   addTiles() %>% 
   addPolygons() %>% 
   addRasterImage(Elevation_File)
Downloaded elevation raster and mask area

I cropped my file using crop function. I clipped it using AoI which I named “mask”. Afterward I plotted it.

elevation_mask <- crop(Elevation_File, mask)
 satellite_imagery_mask <- crop(satellite_imagery, mask)
 plot1 <- leaflet() %>% 
   addTiles() %>% 
   addRasterImage(elevation_mask, opacity =0.5)
 plot1
Cropped elevation raster

From here and after I just follow Tyler’s tutorial. So I make my data to be matrix. Satellite data has to be differentiate as r,g,b because that is how color has to be treated (color is combination of red, green, and blue bands).

Because it is too complicated for me to explain, so I will just quote Tyler Morgan-Wall himself for this section:

“Now we’ll crop our datasets to the same region, and create an 3-layer RGB array of the image intensities. This is what rayshader needs as input to drape over the elevation values. We also need to transpose the array, since rasters and arrays are oriented differently in R, because of course they are🙄. We do that with the aperm() function, which performs a multi-dimensional transpose. We’ll also convert our elevation data to a base R matrix, which is what rayshader expects for elevation data.”

Tyler Morgan-Wall
names(satellite_imagery_mask) = c("r","g","b")
 satellite_imagery_mask_r = rayshader::raster_to_matrix(satellite_imagery_mask$r)
 satellite_imagery_mask_g = rayshader::raster_to_matrix(satellite_imagery_mask$g)
 satellite_imagery_mask_b = rayshader::raster_to_matrix(satellite_imagery_mask$b)
 satellite_imagery_mask
 elevation_matrix = rayshader::raster_to_matrix(elevation_mask)
 elevation_mask
 sentinel_mask_array = array(0,dim=c(nrow(satellite_imagery_mask_r),ncol(satellite_imagery_mask_r),3))
 sentinel_mask_array[,,1] = satellite_imagery_mask_r/255 #Red layer
 sentinel_mask_array[,,2] = satellite_imagery_mask_g/255 #Blue layer
 sentinel_mask_array[,,3] = satellite_imagery_mask_b/255 #Green layer
 sentinel_mask_array = aperm(sentinel_mask_array, c(2,1,3))
 plot_3d(sentinel_mask_array, elevation_matrix, windowsize = c(1100,900), zscale = 30, shadowdepth = -50,
         zoom=0.5, phi=45,theta=-45,fov=70, background = "#F2E1D0", shadowcolor = "#523E2B")
 render_snapshot(title_text = "Karangetang Volcano, Indonesia | Imagery: Sentinel-2 | DEM: 30m SRTM",
                   title_bar_color = "#1f5214", title_color = "white", title_bar_alpha = 1)
Render_snapshot result of Karangetang Volcano, North Sulawesi, Indonesia
render_highquality result gives more dramatic effect

Voilla, a beautiful 3D image are made, easily. Thanks to amazing Rayshader package! In his tutorial, Tyler Morgan-Wall can make a gif, however it is not possible for me due to my laptop limitation. Rendering process is painful and unbearable for her. But you can try.

You can check the code of this work here.

Have fun with Rayshader!

Memvisualisasikan DEM Menggunakan Rayshader

Sudah lama saya gak menulis di blog saya, mungkin lebih 6 bulan sejak saya pulang dari Jerman, September lalu. Banyak yang dikerjakan di Indonesia, membuat saya gak sempat menulis. Jadi ingat dulu pernah ngobrol dengan Pak Erwin tentang rindu saat menganggur jadi bisa banyak menulis.

Di tulisan kali ini saya ingin berbagi tentang membuat visualisasi model elevasi digital menggunakan R, tepatnya menggunakan Rayshader. Bagi yang belum tahu apa itu Rayshader, saya sarankan mampir di https://www.rayshader.com/, atau di blognya pencipta Rayshader, Tyler Morgan, https://www.tylermw.com/posts/. Saya super salut sama developer R yang satu ini. Super duper jenius.

Rayshader bikinan Tyler ini membuat semua orang bisa bikin visualisasi model elevasi yang bagus, indah, eyecatchy. Contohnya misal gambar ini:

Visualisasi DEM Cekungan Bandung menggunakan Rayshader. Cekungan Bandung dilihat dari selatan ke utara. Gunung di tengah merupakan kaldera raksasa Gunung Sunda Purba.

yang mana bikinan saya. Gambar di atas adalah model 2.5D Cekungan Bandung yang saya bikin menggunakan Rayshader. Gambar ini diambil dari selatan, Gunung yang terlihat besar di belakang adalah Gunung Sunda Purba dengan kaldera raksasanya. Gunung Tangkuban Perahu terlihat sebagai puncak di sebelah kanan dengan lubang kawah di tengahnya, Gunung Burangrang di sebelah kiri tebing kaldera raksasa. Dataran di tengahnya adalah Dataran Cekungan Bandung, di mana lebih dari 8 juta orang hidup di atasnya.

Untuk membuat ini, saya cuma nulis sekitar 20 baris kode. Apakah Anda tertarik untuk bisa membuatnya juga?

Kalau misalkan tertarik untuk bikin gambar sejenis dari data DEM, bisa lanjutkan membaca, kalau nggak juga gak apa-apa. Akan ada sedikit bahasa-bahasa teknis R setelah paragraf ini.

Pertama Anda perlu R untuk membuat visualisasi ini. Jika Anda belum familiar dengan R, tenang ada super banyak tutorial dan kelas-kelas online yang bisa membantu Anda untuk mempelajari bahasa super yang bisa memudahkan pekerjaan ini.

Ada 5 tahap dalam tutorial ini:

  1. Membuat batas area of interest (AOI)
  2. Mendownload data DEM
  3. Memotong data DEM ke AOI
  4. Membuat visualisasi Rayshader
  5. Menyimpan data Render

Package yang digunakan dalam tutorial ini adalah: raster, sp, rayshader, dan elevatr. Kegunaan dari package ini akan saya jelaskan belakangan.

Membuat Area of Interest (AOI)

Ada beberapa cara untuk membuat AOI, bisa menggunakan shapefile yang sudah Anda punya, atau dengan membuat polygon biasa. Kali ini saya akan membuat dengan polygon biasa.

Saya membuat fungsi, namanya Fungsi AOI. Dengan fungsi ini kita cuma perlu masukkan nilai minimum dan maksimum longitude dan latitude. Urutannya searah jarum jam: kiri, atas, kanan, bawah, atau min long, max lat, max long, min lat.

Mendowload Data DEM

Setelah memasukkan AOI, kita ingin mendownload data DEM. Jika Anda punya data DEM sendiri, maka itu bisa dipakai. Tapi di tutorial ini saya memanfaatkan package Elevatr yang dikembangkan oleh Hollister dan Shah (2017). Package ini memungkinkan kita mengakses data DEM yang free, misal SRTM, 3DEP, GMTED2010, dan ETOPO1 data-data ini milik U.S. Geological Survey dan U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration. Lembaga ini harus kita attribute kalau kita memanfaatkan data mereka.

Rumus mendownload data mudah saja, pakai fungsi get_elev_raster, masukkan AOI, dan z. Nilai z ini memengaruhi kualitas DEM yg kita download. Kalau z kecil, DEM kasar tapi size data kecil, berlaku sebaliknya. Saya pakai z=11. Selanjutnya saya pastikan projectionnya pakai longlat.

Memotong Data DEM ke AOI

Kode kita mendownload semua DEM yang AOI kita masuk di dalamnya. Sebagai contoh AOI saya ada di perbatasan 2 DEM, utara selatan. Jadi kepotong gitu. Setelahnya kita bisa potong DEM besar kita secukupnya di AOI, agar tidak terlalu besar dan berat.

Bermain dengan Rayshader

Barulah kita masuk ke Rayshader. Agak susah juga sebenarnya saya menjelaskan tentang Rayshader karena banyak hal teknisnya. Tapi ada beberapa input yang penting kita masukkan untuk membuat gambar kita jadi bagus:

  1. sunangle –> pilih berdasarkan arah mata angin (menggunakan derajat) ingin dari mana matahari datang
  2. texture –> ada imhof (favorit saya), desert, bw, dan unicorn. Imhof sendiri ada 4 jenis. Silakan cba sendiri.
  3. zscale –> menentukan exxageration, 1 exxageration tinggi, makin besar angkanya makin rendah.
  4. theta –> arah pengambilan gambar. 0 berarti gambar diambil dari selatan menghadap ke utara
  5. zoom –> perbesaran gambar, makin kecil angkanya makin zoom in
  6. phi –> sudut pengambilan gambar, 0 derajat searah horison, 90 derajat tegak lurus dari atas

Silakan bermain-main dengan pengaturan ini. Tapi saya sarankan betul untuk ikuti tutorialnya Tyler Morgan untuk lebih detil tentang setting Rayshader ini.

Berikut Script R untuk bikin Rayshader Cekungan Bandung

library(raster)
 library(sp)
 library(rayshader)
 library(elevatr)

#Fungsi untuk menentukan poligon Area of Interest
AOI <- function(p, q, r, s) {   
xleft <- p   
ytop <- q   
xright <- r   
ybot <- s   
x_coord <- c(xleft,xleft,xright,xright)   
y_coord <- c(ytop,ybot, ybot, ytop)   
xym <- cbind(x_coord, y_coord)   
p <- Polygon(xym)   
ps = Polygons(list(p),1)   
sps = SpatialPolygons(list(ps))   
proj4string(sps) = CRS("+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")   
return(sps) } 

mask <- AOI(107.4, -6.6, 107.9, -7.2) #Ubah koordinat di bagian ini jika ingin bikin di daerah lain

#Mendownload DEM menggunakan fungsi dari package Elevatr
Elevation_File <- get_elev_raster(mask, z=11) 

projectRaster(Elevation_File,               
crs= "+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0") 

#Memotong DEM sesuai dengan AOI
localtif_mask <- crop(Elevation_File, mask) 

#Memulai Rayshader, buka tutorialnya Tyler Morgan kalau mau lebih jelas 
elmat2 <- matrix(raster::extract(localtif_mask,
raster::extent(localtif_mask),
buffer=1000),nrow=ncol(localtif_mask),
ncol=nrow(localtif_mask)) 

raymat2 <- ray_shade(elmat2) 
ambmat2 <- ambient_shade(elmat2) 

elmat2 %>%
   sphere_shade(sunangle = 225 ,texture = "imhof1") %>%
   add_water(detect_water(elmat2, min_area = 100), color="imhof1") %>%
   add_shadow(ray_shade(elmat2,zscale=3,maxsearch = 300),0.5) %>%
   add_shadow(ambmat2,0.5)%>%
   plot_3d(elmat2, zscale = 20, theta = 0, zoom = 0.3, 
           phi = 25, water = TRUE, windowsize = c(1366,768))
 render_snapshot("bandungbasin", clear = FALSE)

Jadi deh plot kita. Sama persis kaya yang di atas, sedikit digocek ke kiri saja. Sebenarnya dia bisa tampil sebagai window, interaktif, tapi saya gak tahu caranya mengembed di web kaya gimana. Jadi cukup kita tampilkan apa adanya saja.

Tampilan Rayshader

Yang baru dari tulisan ini sebenarnya adalah teknik mendownload DEM menggunakan Elevatr. Saya lihat tutorial dari Tyler dll masih menggunakan data pribadi. Mungkin karena di kampung mereka, data sudah canggih-canggih. Hi-resolution. Sementara kita ya bersyukur saja dengan SRTM yang ada. Alhamdulillah.

Silakan mencoba ganti koordinatnya dengan titik-titik yang Anda ingin buat visualisasinya! Tag saya di twitter @malikarrahiem jika sudah berhasil . Letsgoo!