Dua hari yang lalu saya diajak ngobrol oleh Pak Dasapta Erwin (Dosen Hidrogeologi ITB) tentang Mud Volcano yang baru meletus di Blora, Jawa Tengah. Dalam diskusi ini kami gak membicarakan hal-hal teknis Mud Volcano, karena kami gak punya banyak pengalaman di bidang ini. Tapi setidaknya Mud Volcano jadi pemantik diskusi.
Inti dari diskusi ini adalah bahwa ada banyak sekali yang kita gak tahu tentang Mud Volcano. Saya bilang bahwa gunungapi normal yang besar saja kita masih kekurangan peneliti, coba bandingkan jumlah doktor gunungapi dengan jumlah gunungapi aktif di Indonesia. Apalagi Mud Volcano, yang gak sekasat mata gunungapi biasa.
Nah, ketika membuat judul untuk postingan Youtube, saya baru mikir, apa padanan Mud Volcano dalam bahasa Indonesia? Ketika saya mengartikan secara harfiah sebagai gunung lumpur, rasa-rasanya kok kurang pas ya. Karena Mud Volcano topografinya cenderung landai di dataran. Padanan dalam bahasa Jawanya “Bledug” rasanya bahasa yang bagus yang harusnya kita adaptasi sebagai padanan dari kata ini.
Ketika saya mencari di Kamus Geologi Purbo-Hadiwidjojo terbitan Badan Geologi saya menemukan padanan Mud Volcano adalah “Poton”. Poton ini artinya: longgokan lumpur dengan kepingan batuan yang terlontar oleh tekanan gas, misal seperti yang berasal dari longgokan minyak; kata asal Timor (1980). Kata poton ini sama sekali tidak pernah dipakai dalam rilis-rilis. Mungkin karena belum dipopulerkan.
Meski demikian, saya merasa kita perlu segera menyerap Bledug juga sebagai padanan dari mud volcano, selain poton yang sudah diusulkan oleh Purbo-Hadiwidjojo. Karena bahasa adalah rekaman ingatan kolektif suatu bangsa. Kekayaan bahasa mengindikasikan kayanya kebudayaan suatu bangsa. Jika tidak ada padanan mud volcano dalam bahasa Indonesia bukan berarti bahwa fenomena ini tak ada di sini. Hanya bahasa kita belum menyerap budaya yang sudah merekamnya, seperti Bledug atau Poton, atau mungkin ada dalam bahasa-bahasa daerah lainnya.
Hari ini, Sabtu, 30 Mei 2020, saya dengan Travelology, Sekolah Bumi, dan KRCB menyelenggarakan Geowisata Virtual Bandung Abad-19. Berikut adalah webmap jalurnya dan file presentasinya.
Kemarin saya nonton tayangan ulang Diskusi Sunda Abad-19 yang diadakan oleh Oleh-Oleh Boekoe Bandoeng dan Sahabat Heritage Bandung dengan narasumber Pak Hawe Setiawan dan Pak T. Bachtiar. Tayangannya sebagai berikut:
Dalam suasana COVID-19 ini, saya bersyukur diseminasi ilmu berjalan secara masif. Memanfaatkan platform online, semua kelompok berlomba-lomba membagikan ilmunya. Mungkin inilah keadaan normal yang baru. Forum-forum kajian yang dulu terfokus di kampus, kelas, selasar-selasar, kini berpindah ke rumah masing-masing, disambungkan oleh platform daring. Keren.
Sekitar dua tahun lalu, saat masih di Jerman, saya dapat kesempatan untuk melihat buku-buku jadul. Publikasi-publikasi abad-19 yang membuat saya berdecak kagum, betapa orang pada masa itu bisa menulis dengan kualitas tulisan yang sangat baik. Bahkan kalau saya boleh bilang, jauh lebih baik dari tulisan modern. Betapa perbedaan fasilitas tidak memengaruhi kualitas tulisan. Kemudian saya menyadari bahwa gagasan orang-orang itu abadi.
Saya terlecut untuk melanjutkan projek lama saya, menulis buku tentang Petualangan Naturalis Jerman ke Tanah Priangan Abad-19. Tulisan ini bagi saya penting, karena catatan-catatan naturalis Jerman ini tersedia. Beberapa sudah saya terjemahkan, beberapa lainnya sedang saya kurasi untuk memilah catatan mana yang ingin saya tampilkan dalam buku ini.
Buku saya ini berisi tentang perjalanan empat orang Jerman pada masa yang berbeda-beda. Naturalis pertama, seorang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda dalam misi pemetaan potensi alam tanah kolonial. Namanya Salomon Mueller yang bertugas di Hindia Belanda pada tahun 1826-1836. Ia adalah salah satu orang yang selamat dari rimba ganas Hindia Belanda dan kembali ke negerinya. Mueller adalah seorang ahli hewan. Pada tahun 1833, selama lebih 3 bulan, ia berkunjung ke Bandung dan menjelajah tanah Priangan. Bersama Pieter van Oort, seorang pelukis, Mueller melaporkan perjalanan dari Tangkuban Perahu ke Curug Cimahi, Curug Penganten, Cililin, Gunung Lumbung, Ciwidey, Banjaran, dan kembali ke Bandung.
Naturalis kedua adalah Si Humboldt dari Jawa. Orang yang saya sebut peneliti Jerman paling berjasa bagi perkembangan ilmu alam di Hindia Belanda, namanya Franz Wilhelm Junghuhn. Saking banyaknya catatan yang ia buat, saya belum berhasil mengurasi perjalanannya dan memilah mana yang ingin saya tampilkan. Saking hebatnya Junghuhn, setelah lebih 150 tahun kematiannya, orang masih berdiskusi tentangnya.
Saya bermaksud untuk mengurasi catatan Junghuhn, terutama pada bagian geologi. Saya tidak tahu siapa orang yang lebih dulu memeta geologi Pulau Jawa sebelum Junghuhn, tapi saya belum menemukan peta yang lebih tua daripada peta yang Junghuhn buat dan dipublikasikan pada tahun 1857. Koleksi sampel geologinya melimpah, fosil, kerangka, dan batuan. Bahkan seorang Jerman lain yang saya bahas juga, Karl Martin, khusus mengaji fosil kerang yang dibawa Junghuhn dari Jawa. Catatannya tentang lokasi fosil berupa lokasi A-Z menjadi harta karun yang harus kita petakan, di mana sebenarnya lokasi fosil-fosil ini berada.
Naturalis ketiga, seorang Jerman lain, khusus datang ke Bandung pada tahun 1858 untuk bertemu dengan Junghuhn. Nama orang ini adalah Ferdinand von Hochstetter yang berkunjung ke Hindia Belanda dalam perjalanan ekspedisi Novara, ekspedisi saintifik berkeliling dunia yang didanai oleh Kerajaan Austria.
Hochstetter adalah seorang geolog. Ia meminta dengan amat sangat agar Junghuhn bersedia menemaninya dalam perjalanan melihat lapisan Tersier di sekitar Bandung. Sayang Junghuhn tidak dalam kondisi terbaiknya, namun tetap memberikan petunjuk dan mengirim perwakilannya untuk menemani Hochstetter berkeliling Cekungan Bandung. Hochstetter menelusuri jejak Junghuhn ke Curug Jompong, kemudian ke Lio Cicangkang untuk melihat fosil laut, hingga akhirnya terpana akan keindahan Curug Halimun, yang oleh Junghuhn disebut sebagai air terjun terindah di Jawa. Ia menelusuri Ci Tarum hingga bertemu Sanghyang Tikoro dan kembali pulang. Sampel-sampel perjalanan Hochstetter masih bisa kita temui di Natural History Museum of Vienna.
Naturalis keempat, Karl Martin, Bapak Paleontologi Belanda. Martin adalah seorang Jerman yang kemudian bekerja sebagai pengajar geologi di Universitas Leiden, Belanda. Martin memulai publikasinya tahun 1879 ketika ia menganalisis sampel fosil moluska yang dibawa oleh Junghuhn.
Pada tahun 1910, Martin yang begitu penasaran dengan sampel-sampel yang dikirim oleh Junghuhn, kemudian mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Priangan. Ia mengunjungi lokasi-lokasi di mana fosil-fosil itu berasal dan memberikan catatan terperinci yang membantu kita untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi fosil. Pertama Martin mengunjungi lapisan Ci Talahab di sekitar Ci Mandiri di Sukabumi, kemudian ia mengunjungi lapisan Rajamandala di Bandung Barat. Selanjutnya ia melaporkan tentang lokasi Lio Cicangkang di Gunung Halu, hingga akhirnya ia melaporkan tentang lapisan sedimen pembawa fosil moluska di daerah Ci Lanang, Gunung Halu. Lokasi yang belakangan ini kebetulan adalah lokasi tugas akhir penulis.
Martin berhasil mengidentifikasi umur lapisan berdasarkan kelimpahan fosil moluska yang ada di lapisan-lapisan tersebut. Metode yang digunakan adalah perbandingan antara jumlah spesies fosil yang masih hidup hingga sekarang dibandingkan jumlah spesies total (spesies masih hidup + spesies telah punah).
Keempat naturalis ini hanyalah sebagian kecil dari orang-orang Jerman yang berjasa pada Indonesia. Kita masih bisa sebut naturalis-naturalis lain yang berjasa besar, seperti Rumphius yang mengidentifikasi flora dari Ambon. Karya besarnya Herbarium Amboinsche saya kira adalah mahakarya abad 18 yang sangat luar biasa. Terlebih pada akhir masa hidupnya ia kehilangan indra penglihatan.
Kita bisa sebut juga Carl Blume, seorang direktur herbarium dari Leiden. Bukunya Rumphio (terinspirasi dari Rumphius) ditulis dalam bahasa latin dan memuat catatan-catatan flora yang sangat komprehensif, terutama dari sekitar Priangan. Lalu Caspar Georg Carl Reinwardt, kepala pertama Kebun Raya Bogor.
Sangat disayangkan bahwa ilmu-ilmu yang telah mereka catat sejak 200 tahun lalu belum tersambung ke zaman sekarang karena bahasa. Tulisan-tulisan mereka yang dibuat dalam bahasa Jerman atau Belanda masih sulit kita mengerti. Meski ada kabar gembira, bahwa magnum opus-nya Junghuhn, Java, sedang diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Tentu ini sangat menggembirakan untuk ditunggu.
Sudah lama saya gak menulis di blog saya, mungkin lebih 6 bulan sejak saya pulang dari Jerman, September lalu. Banyak yang dikerjakan di Indonesia, membuat saya gak sempat menulis. Jadi ingat dulu pernah ngobrol dengan Pak Erwin tentang rindu saat menganggur jadi bisa banyak menulis.
Di tulisan kali ini saya ingin berbagi tentang membuat visualisasi model elevasi digital menggunakan R, tepatnya menggunakan Rayshader. Bagi yang belum tahu apa itu Rayshader, saya sarankan mampir di https://www.rayshader.com/, atau di blognya pencipta Rayshader, Tyler Morgan, https://www.tylermw.com/posts/. Saya super salut sama developer R yang satu ini. Super duper jenius.
Rayshader bikinan Tyler ini membuat semua orang bisa bikin visualisasi model elevasi yang bagus, indah, eyecatchy. Contohnya misal gambar ini:
Visualisasi DEM Cekungan Bandung menggunakan Rayshader. Cekungan Bandung dilihat dari selatan ke utara. Gunung di tengah merupakan kaldera raksasa Gunung Sunda Purba.
yang mana bikinan saya. Gambar di atas adalah model 2.5D Cekungan Bandung yang saya bikin menggunakan Rayshader. Gambar ini diambil dari selatan, Gunung yang terlihat besar di belakang adalah Gunung Sunda Purba dengan kaldera raksasanya. Gunung Tangkuban Perahu terlihat sebagai puncak di sebelah kanan dengan lubang kawah di tengahnya, Gunung Burangrang di sebelah kiri tebing kaldera raksasa. Dataran di tengahnya adalah Dataran Cekungan Bandung, di mana lebih dari 8 juta orang hidup di atasnya.
Untuk membuat ini, saya cuma nulis sekitar 20 baris kode. Apakah Anda tertarik untuk bisa membuatnya juga?
Kalau misalkan tertarik untuk bikin gambar sejenis dari data DEM, bisa lanjutkan membaca, kalau nggak juga gak apa-apa. Akan ada sedikit bahasa-bahasa teknis R setelah paragraf ini.
Pertama Anda perlu R untuk membuat visualisasi ini. Jika Anda belum familiar dengan R, tenang ada super banyak tutorial dan kelas-kelas online yang bisa membantu Anda untuk mempelajari bahasa super yang bisa memudahkan pekerjaan ini.
Ada 5 tahap dalam tutorial ini:
Membuat batas area of interest (AOI)
Mendownload data DEM
Memotong data DEM ke AOI
Membuat visualisasi Rayshader
Menyimpan data Render
Package yang digunakan dalam tutorial ini adalah: raster, sp, rayshader, dan elevatr. Kegunaan dari package ini akan saya jelaskan belakangan.
Membuat Area of Interest (AOI)
Ada beberapa cara untuk membuat AOI, bisa menggunakan shapefile yang sudah Anda punya, atau dengan membuat polygon biasa. Kali ini saya akan membuat dengan polygon biasa.
Saya membuat fungsi, namanya Fungsi AOI. Dengan fungsi ini kita cuma perlu masukkan nilai minimum dan maksimum longitude dan latitude. Urutannya searah jarum jam: kiri, atas, kanan, bawah, atau min long, max lat, max long, min lat.
Mendowload Data DEM
Setelah memasukkan AOI, kita ingin mendownload data DEM. Jika Anda punya data DEM sendiri, maka itu bisa dipakai. Tapi di tutorial ini saya memanfaatkan package Elevatr yang dikembangkan oleh Hollister dan Shah (2017). Package ini memungkinkan kita mengakses data DEM yang free, misal SRTM, 3DEP, GMTED2010, dan ETOPO1 data-data ini milik U.S. Geological Survey dan U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration. Lembaga ini harus kita attribute kalau kita memanfaatkan data mereka.
Rumus mendownload data mudah saja, pakai fungsi get_elev_raster, masukkan AOI, dan z. Nilai z ini memengaruhi kualitas DEM yg kita download. Kalau z kecil, DEM kasar tapi size data kecil, berlaku sebaliknya. Saya pakai z=11. Selanjutnya saya pastikan projectionnya pakai longlat.
Memotong Data DEM ke AOI
Kode kita mendownload semua DEM yang AOI kita masuk di dalamnya. Sebagai contoh AOI saya ada di perbatasan 2 DEM, utara selatan. Jadi kepotong gitu. Setelahnya kita bisa potong DEM besar kita secukupnya di AOI, agar tidak terlalu besar dan berat.
Bermain dengan Rayshader
Barulah kita masuk ke Rayshader. Agak susah juga sebenarnya saya menjelaskan tentang Rayshader karena banyak hal teknisnya. Tapi ada beberapa input yang penting kita masukkan untuk membuat gambar kita jadi bagus:
sunangle –> pilih berdasarkan arah mata angin (menggunakan derajat) ingin dari mana matahari datang
texture –> ada imhof (favorit saya), desert, bw, dan unicorn. Imhof sendiri ada 4 jenis. Silakan cba sendiri.
theta –> arah pengambilan gambar. 0 berarti gambar diambil dari selatan menghadap ke utara
zoom –> perbesaran gambar, makin kecil angkanya makin zoom in
phi –> sudut pengambilan gambar, 0 derajat searah horison, 90 derajat tegak lurus dari atas
Silakan bermain-main dengan pengaturan ini. Tapi saya sarankan betul untuk ikuti tutorialnya Tyler Morgan untuk lebih detil tentang setting Rayshader ini.
Berikut Script R untuk bikin Rayshader Cekungan Bandung
library(raster)
library(sp)
library(rayshader)
library(elevatr)
#Fungsi untuk menentukan poligon Area of Interest
AOI <- function(p, q, r, s) {
xleft <- p
ytop <- q
xright <- r
ybot <- s
x_coord <- c(xleft,xleft,xright,xright)
y_coord <- c(ytop,ybot, ybot, ytop)
xym <- cbind(x_coord, y_coord)
p <- Polygon(xym)
ps = Polygons(list(p),1)
sps = SpatialPolygons(list(ps))
proj4string(sps) = CRS("+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")
return(sps) }
mask <- AOI(107.4, -6.6, 107.9, -7.2) #Ubah koordinat di bagian ini jika ingin bikin di daerah lain
#Mendownload DEM menggunakan fungsi dari package Elevatr
Elevation_File <- get_elev_raster(mask, z=11)
projectRaster(Elevation_File,
crs= "+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")
#Memotong DEM sesuai dengan AOI
localtif_mask <- crop(Elevation_File, mask)
#Memulai Rayshader, buka tutorialnya Tyler Morgan kalau mau lebih jelas
elmat2 <- matrix(raster::extract(localtif_mask,
raster::extent(localtif_mask),
buffer=1000),nrow=ncol(localtif_mask),
ncol=nrow(localtif_mask))
raymat2 <- ray_shade(elmat2)
ambmat2 <- ambient_shade(elmat2)
elmat2 %>%
sphere_shade(sunangle = 225 ,texture = "imhof1") %>%
add_water(detect_water(elmat2, min_area = 100), color="imhof1") %>%
add_shadow(ray_shade(elmat2,zscale=3,maxsearch = 300),0.5) %>%
add_shadow(ambmat2,0.5)%>%
plot_3d(elmat2, zscale = 20, theta = 0, zoom = 0.3,
phi = 25, water = TRUE, windowsize = c(1366,768))
render_snapshot("bandungbasin", clear = FALSE)
Jadi deh plot kita. Sama persis kaya yang di atas, sedikit digocek ke kiri saja. Sebenarnya dia bisa tampil sebagai window, interaktif, tapi saya gak tahu caranya mengembed di web kaya gimana. Jadi cukup kita tampilkan apa adanya saja.
Tampilan Rayshader
Yang baru dari tulisan ini sebenarnya adalah teknik mendownload DEM menggunakan Elevatr. Saya lihat tutorial dari Tyler dll masih menggunakan data pribadi. Mungkin karena di kampung mereka, data sudah canggih-canggih. Hi-resolution. Sementara kita ya bersyukur saja dengan SRTM yang ada. Alhamdulillah.
Silakan mencoba ganti koordinatnya dengan titik-titik yang Anda ingin buat visualisasinya! Tag saya di twitter @malikarrahiem jika sudah berhasil . Letsgoo!
Di dekade kedua abad ke-21 ini kita dihadapkan pada melimpahnya publikasi ilmiah. Ada ribuan jurnal dan puluh jutaan publikasi yang dihasilkan dari ratusan ribu atau jutaan peneliti dari seluruh dunia. Kita bingung memilih mana yang harus dibaca. Semua tampak menarik. Banyak yang dari institusi penelitian bergengsi.
Beberapa minggu lalu saya menyimpan sebuah gambar dari Twitter, sayangnya saya lupa mencuplik layar atau menyimpan tautannya. Saya akan tuliskan apa isi gambar itu.
Pada tahun 1990an, orang-orang yang membaca jurnal penelitian, menerima jurnal karena mereka berlangganan. Jurnal datang ke rumahnya dan mereka membaca jurnal sebagai teman bacaan di hari minggu pagi.
Pada tahun 2000an, orang-orang membaca jurnal dengan mengakses Pubmed. 98 persen orang hanya membaca abstrak makalah, sementara 2 persen lainnya membaca lengkap keseluruhan makalah.
Sekarang, di tahun 2019, 60% yang membaca artikel Anda, mungkin hanya melihat dari Twit yang anda kirim. 39% membaca abstrak publikasi Anda, dan 1% lainnya membaca penuh makalah yang Anda publikasikan.
Di kampus saya semester lalu, saya wajib ikut mata kuliah Scientific Training. Luaran dari mata kuliah ini adalah sebuah makalah yang ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah.
Saya melakukan riset sederhana tentang bagaimana mengekstrak metadata dari publikasi ilmiah dengan topik “Ecosystem Services“. Setelah puluhan tahun riset dan ribuan makalah dengan topik ini dipublikasikan, informasi apa saja sih yang mungkin bisa didapat tanpa kita harus membaca ribuan makalah?
Berangkat dari situ, saya mengekstrak data publikasi dari pusat data Web of Science. 4203 publikasi dengan “Ecosystem Services” (selanjutnya disebut sebagai Jasa Ekosistem) di dalam judulnya. Teks dalam judul dan abstrak dianalisis kemunculannya untuk mengetahui kata kunci apa yang paling sering muncul dan bagaimana kata kunci tersebut saling berhubungan.
Hasil penambangan kata dari abstrak dan judul publikasi Jasa Ekosistem
Gambar di atas adalah hasil penambangan kata menggunakan abstrak dan judul dari metadata publikasi Jasa Ekosistem. Dari gambar ini kita bisa lihat bahwa riset Jasa Ekosistem oleh algoritma statisik VOSviewer diklasifikasikan ke dalam 6 kluster. Interpretasi terhadap kluster tentu akan berbeda-beda tergantung pemahaman pembaca terhadap topik Jasa Ekosistem
Dari gambar ini, saya kemudian teringat kembali sebuah gambar menarik yang saya temukan (lagi-lagi) di Twitter (saya kira penting bagi mereka yang berkecimpung di bidang riset dan akademik untuk bergabung dalam komunitas Twitter, karena sangat banyak informasi-informasi menarik yang dibagikan di sana).
Gambar di atas sangat sesuai dengan penelitian kecil saya. Kita ingin memahami pola dari sesuatu yang acak. Ingin mencari keteraturan dari sesuatu yang seolah tak beraturan.
Oleh karena itu, saya juga menganalisis pasangan bibliografis bibliographic coupling, yaitu suatu ukuran untuk mengelompokkan makalah berdasarkan referensi yang disitir. Jika dua makalah menyitir satu referensi yang sama, maka dua makalah tersebut berpasangan secara bibliografis.
Hasil analisis pasangan bibliografis riset Jasa Ekosistem
Gambar di atas adalah suatu pola kluster makalah-makalah Jasa Ekosistem dengan nama belakang penulis pertama dan tahun publikasi sebagai labelnya. Metode pengelompokkan menggunakan nilai pasangan bibliografis. Semakin dekat jarak antara dua titik, maka semakin banyak referensi yang mereka sama-sama kutip.
Menggunakan pendekatan ini, kita bisa mengelompokkan makalah-makalah. Tapi kita perlu tahu apa maksud dari kluster-kluster ini. Maka dari itu saya melakukan analisis judul makalah dari penulis-penulis yang ada di diagram di atas.
Kluster 1, dicirikan dengan warna merah berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, terutama sebagai modal alam (natural capital).
Kluster 2, dicirikan dengan warna hijau, juga berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, tetapi lebih dalam konteks manajemen dan akuntansi.
Kluster 3, dicirikan dengan warna biru, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati terutama berkaitan dengan kelimpahan spesies.
Kluster 4, dicirikan dengan warna kuning, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati, tetapi berkaitan dengan dampak jasa ekosistem terhadap kesejahteraan manusia.
Kluster 5, dicirikan dengan warna ungu, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem dan perubahan iklim.
Terakhir, kluster 6, dicirikan dengan warna biru muda, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem di daerah urban.
Bagian kedua dari makalah saya adalah tentang jaringan sitasi (citation network). Dalam jaringan ini, menggunakan piranti lunak CitNetExplorer, makalah-makalah penting dalam riset jasa ekosistem diurutkan berdasarkan tahun terbitnya dan dihubung-hubungkan berdasarkan hubungan sitasinya.
Jaringan sitasi publikasi Jasa Ekosistem
Bagi saya, gambaran jaringan sitasi ini sangat menarik. Kita bisa melihat sejarah bagaimana suatu topik berkembang dari awal mula hingga sekarang. Dalam gambar ini, saya membandingkan hasil analisis dari CitNetExplorer dengan publikasi-publikasi kunci topik Jasa Ekosistem yang dikutip oleh Chaudry dkk dalam artikelnya “The evolution of ecosystem services: A time series and discourse-centered analysis” yang dipublikasikan dalam Jurnal Environmental Science & Policy pada tahun 2015.
Lantas apa?
Teknik menambang teks dan juga membuat jaringan sitasi merupakan teknik yang penting untuk dikuasai oleh mereka yang ingin mengulas suatu topik. Membuat ulasan itu pekerjaan yang berat dan melelahkan. Banyak bacaan yang harus dibaca dan seperti yang sudah saya sampaikan di awal, banyak kebingungan untuk memilih mana yang penting untuk dibaca duluan.
Bagi saya, seorang geolog, memeta itu sudah menjadi bagian diri yang tak terpisahkan. Melihat sesuatu dari kejauhan, mengamati pola, dan menginterpretasi kecenderungan, menjadi bagian dari kebiasaan. Dalam hal ini pun demikian. Sebelum lebih jauh terjun ke dalam suatu topik, saya merasa memetakan dulu apa yang ada di sana, bagaimana kecenderungannya.
Demikian juga Anda sekalian yang mungkin sedang bergulat dengan tinjauan literatur untuk riset Anda. Mungkin bisa duduk sejenak dan mulai memetakan topik riset yang sedang Anda kerjakan.
Beberapa bulan lalu saya lihat tawaran menulis untuk blog DWnesia. Temanya tentang pengalaman berkuliah di Jerman. Langsunglah saya tulis cerita bergeowisata ke Geopark di Jerman. Hasilnya tulisan saya dimuat di DW dan diteruskan ke Detikcom. Lumayan juga membanggakan, bikin semangat untuk menulis lagi dan masukkan ke media.
Setelah membaca-baca tulisan sendiri, baru menyadari kemampuan berbahasa saya yang payah. Agak membingungkan juga bagaimana cara pasang koma, titik, titik dua, titik koma, dan tanda baca lainnya. Tapi yang penting selalu bersemangat dan terus berusaha menulis menulis dan menulis!
Ada dua berita yang terbayang-bayang di benak saya seminggu belakangan ini, yang pertama adalah berita mengenai Indonesia sebagai negara urutan buncit dalam berjalan kaki, yang kedua adalah mengenai perisakan (bullying) pada mahasiswa difabel di Universitas Gunadarma.
Hampir semua setuju bahwa penyebab utama orang Indonesia malas berjalan kaki adalah karena fasilitas trotoar yang tidak mumpuni. Tidak semua ruas jalan punya trotoar, trotoar yang ada pun rusak, atau kalau pun nyaman maka invasi pesepeda motor dan pedagang kaki lima menambah alasan kita untuk enggan berjalan kaki. Ditambah dengan kemudahan transportasi angkot, ojek, kendaraan pribadi yang bisa berhenti dimana saja, parkir dimana pun tanpa perlu peduli bahwa di tempat kita parkir ada hak orang lain yang kita zalimi.
Di jalanan Indonesia, pejalan kaki adalah golongan kelas ke sekian, penyandang difabel adalah kelas yang lebih bawah lagi. Keberadaannya dianggap sebelah mata, fasilitasnya tiada. Bagi penyandang difabel, keluar rumah itu seperti menantang petaka. Contoh kasus yang paling nyata adalah para penyandang tuna netra.
Bayangkan anda harus pergi ke tempat kerja tapi anda tidak punya supir pribadi yang bisa mengantarkan anda langsung ke depan pintu ruangan anda. Harus berjalan kaki, naik angkutan umum, dan berjalan kaki lagi. Tapi di trotoar tempat anda berjalan ada lubang besar yang menganga, kabel listrik menjuntai-juntai berbahaya, belum lagi pecahan ubin siap menorehkan luka. Bayangkan itu pada hampir 3 juta orang tuna netra di Indonesia. Perjalanan ke luar rumah itu mengancam nyawa, padahal ada anak istri harus dinafkahi, padahal ada mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya agar taraf hidup bisa diperbaiki. Belum lagi di sekolah dirisak oleh kawan-kawannya yang padahal bersekolah tapi tak berpendidikan.
Lubang mengakibatkan jalur aksesibel menjadi jebakan yang menjerumuskan tunanetra
Pemerintah tentu tidak abai, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas dan pelayanan publik. Selain itu begitu banyak juga peraturan-peraturan teknis mengenai jalur aksesibilitas, bangunan yang aksesibel, beserta sanksi-sanksi apabila tidak dijalankan. Namun implementasinya tentu masih jauh panggang dari api.
Di Bandung, sudah banyak trotoar yang dilengkapi dengan jalur aksesibel. Jalur kuning ini seharusnya membantu memandu tuna netra untuk berjalan kaki dengan aman. Namun masih jauh dari ideal. Kesaksian dari kawan-kawan tuna netra menyatakan bahwa jalur itu banyak yang menjerumuskan. Banyak lubang, tiang listrik, pepohonan, dan pot bunga. Perilaku warga kota yang belum menyadari fasilitas tuna netra ini juga menambah parah kondisi. Pedagang kaki lima, parkir kendaraan, dan juga invasi pesepeda motor bahkan mobil di trotoar.
Parkir mobil menghalangi dan merusak jalur aksesibilitas tunanetra
Ketiadaan fasilitas trotoar yang aman mengakibatkan ketakutan bagi tuna netra untuk beraktivitas. Menurut data dari Kemendikbud pada pertengahan tahun 2000an angka partisipasi anak-anak tunanetra untuk bersekolah hanya 10 persen, 90 persen lainnya tinggal di rumah. Penyediaan fasilitas untuk tunanetra, salah satunya aksesibilitas yang aman bukanlah dalam rangka berbelas kasihan, tapi dalam rangka menjadikan tunanetra sebagai subjek pembangunan.
Buat kita mungkin fasilitas trotoar yang tidak nyaman hanya mengakibatkan kita malas berjalan kaki. Namun bagi tunanetra, ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka tidak bisa bersekolah dan tanpa pendidikan yang baik, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka kesulitan untuk bekerja dan mengembangkan potensinya. Kurangnya pemahaman warga tentang fasilitas tunanetra juga memperburuk keadaan. Masih begitu banyak yang tidak tahu fungsi jalur aksesibilitas di trotoar, dengan begitu maka tanpa perasaan bersalah jalur aksesibilitas ditutupi oleh gerobak dagangan, oleh parkiran kendaraan, oleh pot, tiang, dan segalanya yang mengakibatkan jalur itu menjadi membahayakan.
Penyediaan trotoar yang nyaman dan askesibel adalah hak asasi dari kelompok difabel, terutama tunanetra. Ia harus terjamin keselamatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel bagi kelompok difabel tentu akan nyaman juga bagi kelompok yang lainnya. Maka memperjuangkan hak trotoar yang nyaman dan aksesibel adalah memperjuangkan hak semuanya.
Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.