Petualangan Pertama Junghuhn di Jawa

Junghuhn pertama tiba di Jawa pada bulan Oktober tahun 1835. Bulan-bulan pertamanya dihabiskan di Weltevreden (kini Menteng) sebagai petugas kesehatan di rumah sakit pemerintah kolonial. Di waktu-waktu itu dia tidak banyak berjalan-jalan, hanya ke sekitar Weltevreden dan Batavia. Pertama kali Junghuhn benar-benar bepergian untuk berwisata adalah pada bulan Mei tahun 1836, ketika ia dipindahtugaskan ke Jogja.

Cerita ini adalah kisah Junghuhn berpetualangang ke Gunung Kidul, tepatnya ke Gua Rongkop. Ceritanya ditulis oleh Wormser pada buku Frans Junghuhn (1840), yang berbahasa Belanda. Cerita ini saya terjemahkan bebas dengan sedikit modifikasi. Saya menggunakan kata ganti orang pertama untuk merujuk Junghuhn. Sebelumnya Wormser menggunakan kata ganti orang ketiga.

Cerita ini menarik karena Junghuhn membuat lukisan Gua Rongkop yang dimuat dalam Elf Landschaft- Ansichten von Java (1853). Selain Gua Rongkop, Junghuhn juga melukis Gunung Sewu dan Gunung Gamping dan masih banyak lukisan lainnya dalam periode waktunya di Jogja. Gambarnya digunakan sebagai feature image dari artikel ini. Untuk memperjelas deskripsi teks, disarankan sambil melihat lukisannya.

Berikut ceritanya:

Aku bertugas di Jogja sebagai petugas kesehatan kelas mulai dari 3 Maret 1836 hingga Oktober 1836, tidak lama, hanya 7 bulan saja. Dua bulan pertama itu sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa banyak menjelajah. Baru setelah dua bulan aku mengambil cuti seminggu untuk pergi ke Pegunungan Selatan. Sepulang dari Pegunungan Selatan aku dipaksa untuk terus bekerja lagi selama 3 bulan, sampai akhirnya pada 5 September aku bisa pergi lagi untuk melakukan penjelajahan gunungapi. Pendakian pertamaku di Jawa, ke Gunung Merapi.

Di sela-sela waktuku bekerja, aku hanya bisa sesekali pergi di sekitar kota. Aku berjalan-jalan mengunjungi Keraton dan Tamansari. Istana yang banyak berupa reruntuhan ini mengingatkanku pada reruntuhan Istana Mansfeld di kampung halamanku, tempat aku menghabiskan begitu banyak waktu di masa kecilku. Ada bentuk-bentuk yang menarik perhatianku, juga candi-candi yang aku kunjungi, seperti Prambanan, Kalasan, Candi Sari, Candi Sewu. Aku juga banyak melihat peninggalan-peninggalan Hindu. Batuan-batuan disusun terundak dan membentuk gerbang, batuannya adalah trakhit. Aku mendeskripsi begitu banyak vegetasi, menangkap serangga, mengumpulkan specimen-spesimen sebanyak yang aku bisa.

Sketsa Junghuhn di Yogya, dimuat dalam buku: Topographischer und naturwissenschaftlicher Atlas zur Reise Durch Java (1845)

Pada bulan Mei aku mengambil cuti dan mengajak dua orang pembantuku, yang sudah aku ajari cara menangkap serangga dan mengeringkan tanaman, untuk pergi ke Pegunungan Selatan, menuju gua tempat sarang burung dipanen. Aku ditolong oleh Perdana Menteri-nya Sultan, yang bergelar Raden Adipati, karena dia memberiku surat pengantar untuk diberikan kepada kepala desa – kepala desa. Karena ada surat ini, maka pengalamanku pergi ke Pegunungan Selatan menjadi sangat mudah dan menyenangkan, ini juga mencirikan betapa kekuasaan kolonial telah menembus dalam sampai ke pelosok negeri.

Sesampainya aku di desa, banyak orang yang sudah siap untuk ikut dalam rombongan dengan dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang disebut Demang atau Ronggo. Ketika aku masuk ke dalam rumah, tuan rumah menyambutku dengan hangat, sambil membungkuk berulang kali dengan penuh hormat. Pembantu lelaki sibuk menggelar tikar, baik di balai-balai, di gubuk bambu, dan juga di lantai tanah, di depan rumah. Aku duduk di bangku, sementara para penduduk desa duduk bersila di bawahku, sambil menempelkan kedua tangan di depan dadanya, membuat pose sembah, kemudian mengangkatnya ke depan hidungnya, sambil membungkuk. Lalu dia memandang ke depan, menunggu surat dari Sultan untuk dibacakan.

Anggota keluarga lelaki duduk di belakang kepala desa. Sementara itu bocah-bocah memanjat pohon kelapa di halaman. Mereka mencengkeram pohonnya dengan tangan mereka yang kuat, dengan jari-jari mereka ada di antara lekuk-lekuk batang kelapa. Ketika mereka sampai di atas pohon, mereka mengeluarkan golok mereka dari pinggang dan memotong buahnya hingga buah itu jatuh ke bawah. Di bawah orang-orang mengambilnya, membelah bagian atas, kemudian mencongkel bagian yang tipis untuk membuka kelapa itu dengan ujung goloknya yang tajam. Tak lama pelayan dari dapur datang sambil menawarkan kelapa sebagai minuman segar untukku. Kelapa dipegang di atas tangan kanan, sementara tangan kirinya membantu menopang tangan kanan. Aku mengambil kelapa itu dan meninumnya, kepala desa tertawa. Aku merasa minuman itu sangat menyegarkan, seolah-olah aku minum dari mata air yang hidup.

Di desa-desa lain, kedatanganku sudah diumumkan oleh tim pendahulu, maka mereka sudah menyiapkan sambutan. Dari kejauhan terdengar riuh melodi gamelan, membuatku tahu bahwa desa sudah dekat ketika kami masih di hutan. Meja-meja disusun dengan rapi, isinya penuh dengan makanan: nasi, ayam panggang, telur, kopi dan buah-buahan. Kemudian gadis-gadis penari dengan bajunya yang berwarna-warni dan perhiasan yang bergemerincing, mereka sudah siap bergerak seketika perintah diberikan. Ke manapun aku pergi aku selalu ditemani oleh kepala desa, yang berkendara bersamaku dengan kuda. Ia menyiapkan semua jalan untukku. Dari sana aku menjadi tahu tentang keramahan dan kebaikan orang Jawa.

Gunung Sewu dalam Elf Landschaft-Ansichten von Java (1853)

Setelah beberapa hari berkendara naik kuda dan berjalan kaki dari desa ke desa, melewati bukit-bukit yang rapat, dataran, padang alang-alang yang tinggi dan tajam, aku akhirnya tiba di Pantai Selatan Jawa. Samudera Hindia terbentang di hadapanku seolah tak berujung, seperti hamparan mahaluas yang terbentang hingga ke Kutub Selatan. Dari tinggian, daratan menurun perlahan ke arah selatan, tertutupi oleh pohon-pohon Jati muda (Tectonia grandis), yang bunga kecilnya berwangi manis, seolah melembutkan udara. Di antara batang—batang jati terdapat semak rumput yang tinggi, sangat tinggi, hingga seringkali kuda dan penunggangnnya seolah hilang di antara jalan setapak yang seperti bergelombang disapu angin. Jalan setapak ini diketahui juga merupakan jalur jelajah Harimau, yang seringkali bersembunyi memburu mangsa. Tak hanya sekali kuda-kuda mendengus seolah insting bertahan hidupnya merasa terancam.

Di lembah yang sempit terdapat sawah yang hijau, dan di sana pondok-pondok kecil tersebar di antara teras sungai dan tersembunyi di balik semak-semak bambu yang rapat. Terlihat dari tidak adanya pohon kelapa atau kebun pisang, maka bisa diduga bahwa pemukiman ini belum begitu lama didirikan. Menuju malam kami tiba di Dusun Kebo Koening, yang terdiri atas empat buah rumah, yang dibangun di lereng. D sepanjang teras sungai kecil tumbuh semak Cassia alata yang seolah bersinar kehijauan di atas batupasir berwarna putih yang berselang-seling dengan massa batuan volkanik. Aku berusaha untuk mendeskripsi setiap tempat yang aku datangi dengan seksama, sebagaimana seorang pengelana yang melihat sesuatu untuk kali pertama.

Aku bermalam di salah satu pondok dan membakar api unggun yang besar tak jauh dari pondok untuk mengusir nyamuk-nyamuk, dan terutama agar tidak memancing si Raja Hutan, yang menurut penduduk desa seringkali datang mencari mangsa.

Waktu embun pagi masih menggantung di dedaunan, kami sudah melanjutkan perjalanan. Aku senang menemukan jamur, yang di sini hidup tidak tergantung pada musim, apalagi di pegunungan, karena tingginya curah hujan, bahkan saat musim munson timur sekalipun.

Aku melanjutkan perjalanan di pesisir pantai dan perbukitan Gunung Sewu, yang letaknya di sebelah tenggara dari Jogja. Waktu itu aku belum familiar denga bahasa Melayu, sehingga aku menyebutnya sebagai Gunung Sebu. Aku serasa berada di surga.

Puluhan sapi merumput di kaki bukit. Mereka dikalungi lonceng kayu berbentuk kotak di lehernya. Suara gemeretak lonceng mengingatkanku pada melodi hutan di Pegunungan Harz. Aku menduga bahwa lonceng-lonceng ini dipakai untuk menakuti harimau. Belakangan aku tahu bahwa itu keliru, karena di mana-mana di seluruh Jawa kerbau dan sapi dipasangi lonceng, bahkan di tempat yang tak ada harimau sekalipun. Tujuan dari lonceng ini adalah untuk si penggembala, agar dia tahu di mana gembalanya berada. Seringkali si penggembala ini main-main mencari jangkrik, atau ketiduran, sehingga kehilangan jejak hewan gembalaannya.

Oh betapa aku ingin menggambarkan keindahan perbukitan sunyi dan sepi, yang ada di tempat terpencil di bumi. Ketika itu keindahannya tak berbanding. Tentu saja, ini adalah perjalanan berwisataku yang pertama. Aku belum melihat begitu banyak tempat indah lain di Jawa seperti Ijen atau Priangan. Tapi Gunung Sewu adalah pemandangan yang menakjubkan. Ada ratusan atau ribuan bukit, yang tingginya seratus hingga dua ratus kaki. Bukit-bukit ini terpisah oleh lembah-lembah sempit yang seperti labirin. Bukit-bukit ini serupa satu sama lain, seluruhnya diselimuti hutan yang rapat oleh berbagai macam tanaman. Pada lembah-lembah yang cukup lebar, hutan akasia seolah memamerkan tajuknya yang renggang, membuatku seperti menatap birunya langit dari anyaman yang halus. Di hutan yang begitu padat, daun pisang yang lebar dan datar seolah bersinar. Keheningan yang syahdu kadang dipecahkan oleh kikuk burung merpati atau kokok ayam hutan. Itulah yang aku rasakan ketika menerobos Gunung Sewu untuk menuju gua sarang burung di Rangkop, pantai di tepi Samudera Hindia.

Tak jauh dari pantai terdapat rawa-rawa kecil, di sana capung dan bermacam-macam serangga berbunyi nyaring pada rawa yang berlumpur. Tak jauh terdapat sebuah lubang besar antara dua dinding yang terjal. Bagian atas penuh diselimuti semak, yang menggantung seperti mau jatuh. Di bawahnya terdapat celah sempit yang mengerikan. Orang lokal menyebutnya sebagai Liang dan aku menuruninya dan tiba di satu dataran kecil yang dikepung oleh perbukitan dan memandang ke arah lautan tak berbatas, dengan sedikit terhalang pohon-pohon palem yang sangat rapat.

Ada satu rumah kayu di sana. Rumah itu kosong tak berpenghuni, setidaknya penghuni yang hidup. Menurut warga, penghuninya adalah Nyai Rangkop, roh gaib yang berkuasa atas Gua Rangkop. Pada malam hari dia konon suka bertetirah di sini, sesuka hatinya. Rumah ini dirawat oleh warga lokal. Ada balai untuk Nyai Rangkop duduk, ada sarung dan kebaya digantung di dinding untuk dipersembahkan kepadanya. Aku berjalan melewati rumah ini dan sampai di ujung dari Batu Rangkop, tebing batu tegak yang dalamnya mencapai 80 kaki hingga permukaan laut. Di bawahnya deburan ombak terlihat kentara, meskipun dasar batuannya tak tampak karena bagian bawahnya menjorok ke dalam. Di seberangnya ada batuan berwarna abu kehitaman yang hancur-hancur diselimuti semak, yang seperti karpet. Di antara celh, orang Jawa melintangkan kayu, yang kemudian ke kayu itu dikaitkan tangga bambu yang disambungkan dengan rotan. Tangga ini menggantung 30 kaki di atas permukaan laut. Orang Jawa menuruni tangga ini untuk mencapai Gua Rangkop, yang di sana terdapat sarang burung yang bisa dimakan.

Aku bertemu dengan seorang Belanda yang sudah tua. Dia tinggal di desa ini dan menjadi satu-satunya orang Eropa di antara mereka. Dia bertanggung jawab untuk mensupervisi pemanenan sarang burung. Orang ini memanggil pemanen dan menyuruh mereka untuk menunjukkan cara memanen kepada tamu yang datang ke sana, apalagi yang mendapat rekomendasi dari Sultan Yogya. Aku dan rombonganku duduk di tepi tebing di sisi timur Rangkop, di mana aku bisa melihat gua tempat sarang burung ini dengan begitu jelas. Pintu masuk gua itu ada 20 kaki di atas permukaan laut. Pada ketinggian itu ada anyaman rotan yang berfungsi sebagai pijakan. Pemanen sarang menginjak pinjakan di dinding Rangkop dan dengan perlahan menuruni tangga. Mereka berhenti sekali-sekali tapi tidak lama. Mereka juga menunggu saat yang tepat untuk bisa masuk ke dalam gua, karena ombak terus bergemuruh. Ombak datang menghantam dan masuk ke dalam gua, bergemuruh seperti petir. Beberapa saat berlalu, akhirnya ombak mundur cukup jauh ke laut dan warna merah bebatuan kini tersingkap lagi, hingga kmudian ombak menghantam lagi dengan suara yang nyaring, juga dengan uap yang memenuhi udara seperti asap.

Ratusan burung wallet juga bergerak mengikuti irama ombak. Mereka masuk dan keluar seolah-olah mengikuti saat ombak mengizinkan mereka. Setelah duduk di anyaman sekian lama, orang Jawa mengikat tali rotan di pinggang kawannya. Orang yang diikat kemudian meloncat ke laut dan berenang menuju gua di saat ombak tinggi. Tak lama kemudian ketika ombak mereda ia Kembali. Penjaga bilang bahwa sebelum musim panen di Januari, Mei, dan Agustus, oran yang sama masuk ke dalam gua, juga dengan cara yang sama, dan kemudan memperbaiki anyaman rotan di dalam gua. Merayap di tali rotan, teman-temannya datang membawakannya tangga, yang akan dipasang sepanjang 70 kaki ke dalam gua hingga mereka bisa sampai di sarang wallet. Sebelum mereka bekerja, mereka minum candu, agar mereka jadi berani dan tidak meragu.

Amarah lautan dan gemuruh di gua adalah ulah Nyai Rangkop. Untuk itu maka sesajian diberikan untuk menghormati Nyai Rongkop. Sebagian di rumahnya, sebagian lagi di ujung batas jurang. Seorang tetua akan berlutut di dekat meja persembahan sambil berteriak, „roh telah tiba!” Mereka kemudian duduk dengan kepala menunduk sampai si tetua mengizinkan mereka untuk menegakkan kepala. Ketika selesai, maka mereka dipersilakan untuk memakan sesajian. Makanannya tidak berkurang secara jumlah, tapi rasanyan hilang, karena arwah gaib telah menyerap seluruh saripati dari makanan tersebut. Roh itu sangat dihormati di seluruh desa, bahkan pada pesta pernikahan, tarian pertama para penari harus dipersembahkan kepada Nyai Rangkop.

Sketsa Junghuhn menggambarkan bagaimana ekstrimnya proses mencari sarang burung walet di Gua Rongkop. Sumber. Franz Junghuhn: Java seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart. Jilid 1. Hal. 469

Pertempuran Malam Para Pemangsa

Pada April 1846, Junghuhn yang sudah menjadi anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indie ditugaskan untuk menginvestigasi kondisi geologi Pulau Jawa, terutama untuk mencari sumber daya batubara. Investigasi ini berlangsung selama 2 tahun, hingga sebelum kepulangan Junghuhn ke Eropa pada tahun 1848. Dia memulai investigasinya dari bagian paling barat Karesidenan Banten, menyusuri pesisir hingga akhirnya tiba di pantai selatan. Di pesisir selatan ini dia mengalami kejadian yang begitu berkesan di hatinya, hingga ia menuliskan begitu rinci mengenai kejadian tersebut dalam buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java (selanjutnya disebut buku Cahaya).

Kejadian apakah itu?

Junghuhn menulis dalam buku Java jilid 1 (halaman 193) bahwa kejadian itu terjadi pada tanggal 14 Mei 1846, di sebuah semenanjung kecil yang begitu terpencil jauh di pantai selatan Banten, bernama Tanjung Sodong. Di sini ia menyaksikan kejadian brutal, yaitu peristiwa pertempuran para pemangsa untuk memperebutkan penyu. Yang bertempur di sini adalah anjing hutan, buaya, dan sang raja di hutan Jawa, harimau.

Ada dua versi dari cerita ini. Versi pendek dimuat dalam buku Java, sementara versi lebih lengkap dimuat dalam buku Cahaya. Versi cerita dalam buku Cahaya menurut Nieuwenhuys dalam buku Java’s Onuitputtelijke Natuur (hal.94) adalah salah satu tulisan Junghuhn paling indah dalam semua karyanya. Bahkan ketika buku Cahaya pertama terbit tahun 1854, cerita “Pertempuran Para Pemangsa” sudah menarik perhatian khalayak ramai. Filsuf terkenal Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860), juga mengapresiasi dan memuji cerita ini. Nieuweunhuys mengutip pujiannya sebagai berikut:

Objektivierung Wille zur Macht, Perwujudan Keinginan untuk Berkuasa/Bertindak”

Posisi Tanjung Sodong ditunjukkan oleh Junghuhn dalam peta Java skala 1:350.000, yaitu pada lembar pertama, lembar Jawa bagian barat. Jika kita telusuri letaknya berada di sekitar koordinat: 6°52’15″Lintang Selatan dan 105°32’09” Bujur Timur, sudah termasuk di dalam Taman Nasional Ujung Kulon. Dalam petanya, Junghuhn memberi nama lokasi ini: Reuzenschildpadden, yang dalam bahasa berarti Kura-Kura Raksasa atau Penyu.

Dalam citra google Earth, jika kita telusuri lokasinya, maka kita akan menemukan satu tanjung yang begitu lebat ditutupi hutan dataran rendah. Kita bisa lihat hamparan pasir yang memanjang beserta sungai kecil yang bermuara ke sisi timur teluk, selain muara sungai yang lebih besar (Tjimokla) di tengah-tengahnya.

Saya berkesempatan untuk menerjemahkan buku Cahaya karya Junghuhn. Dalam tulisan ini saya melampirkan terjemahan mengenai bagian Pertempuran Para Pemangsa di Tanjung Sodong. Selamat membaca!

Terjemahan:

Kami berjalan menyusuri pantai sepanjang hari. Sementara aku sibuk menggambar pantai, saudara MALAM mengumpulkan benda-benda baru atau langka yang kami temui. Selama perjalanan ini, kami hanya menemui satu desa kecil tempat kami berhenti untuk makan siang, lalu melanjutkan perjalanan hingga sekitar pukul 4 sore karena kami kelelahan dan harus berhenti untuk mencari tempat berkemah yang nyaman, dengan air mengalir di dekatnya. Sekitar setengah hari perjalanan lebih jauh ke arah barat dari sini, harusnya ada desa besar di pantai yang ingin kami capai besok pagi untuk kemudian berbelok ke arah utara menuju dataran tinggi pulau tersebut.

Kami memilih sisi timur tanjung yang menjorok ke laut, yaitu Tandjung Sodong, sebagai tempat berkemah malam kami. Di sana terdapat aliran sungai sebening kristal yang mengalir ke laut. Daerah tersebut sangat liar, hutan hujan yang lebat menurun dari pegunungan hingga ke laut, bahkan daunnya menyentuh air dengan cabang-cabang yang menjulur sehingga hanya sedikit area berpasir di beberapa tempat, terutama di bagian belakang teluk-teluk kecil, yang tidak ditumbuhi hutan. Sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia yang dapat ditemukan.

Kami dengan cepat menyiapkan bivak yang diperlukan; pembantu kami beserta para kuli memotong cabang pohon, membangun pondok, menyalakan api, sementara aku pergi ke barat diikuti oleh saudara MALAM dan dua orang Jawa untuk mengeksplorasi kondisi sekitar. Tanjung atau ujung daratan (Tandjung, bahasa Melayu Udjung) terbukti sebagai ujung dari lereng yang turun dari pegunungan, sebagai tonjolan bukit yang mungkin sekitar 15 hingga 25 kaki lebih tinggi dari garis pantai di teluk-teluk yang berdekatan. Banyak tonjolan yang lebih atau kurang tinggi di daerah ini, menjorok ke laut antara teluk-teluk kecil yang lebih datar, semuanya ditutupi oleh hutan yang tebal.

Setelah kami melewati tanjung tersebut dan keluar dari hutan, kami disajikan dengan pemandangan yang menarik. Kami melihat antara tanjung ini dan tanjung berikutnya adalah pantai berbentuk melengkung seperti bulan separuh yang datar dan perlahan-lahan naik dari laut hingga sekitar 500 hingga 700 kaki dari laut dan berakhir di bukit pasir, kemudian segera memasuki hutan yang membentang terus hingga ke pegunungan. Pantai pasir datar ini, pantai teluknya, mungkin panjangnya 3/4 jam berjalan.

Di udara, burung pemangsa (burung elang atau jenis Haliaetus) melayang-layang membentuk lingkaran, sementara di pantai terdapat ratusan tulang dan cangkang kura-kura yang sangat besar, sebagian telah memutih, sebagian lainnya berwarna gelap, seperti terhampar di medan perang. Pemandangan itu sangatlah sunyi.

Terkejut dan penuh rasa ingin tahu, kami turun dari tanjung dan berjalan di pantai yang gundul di antara rangka-rangka. Segera, kami melihat banyak jejak yang jelas tercetak, dari harimau dan hewan-hewan kecil, terutama di dekat laut, di mana pasir, karena kelembapannya, memiliki kehalusan dan kekuatan yang lebih baik. Di sisi yang lebih ke kanan, di mana pantai secara lembut dan seragam condong ke bukit, pasir menjadi lebih longgar dan kering. Di sini, di banyak tempat, pasirnya bolak-balik dengan sangat tidak merata. Terkadang menggumpal, terkadang tenggelam dalam alur, menciptakan kesan bahwa berbagai hewan telah bergulat dengan sengit satu sama lain.

Seluruh wilayah pantai tertutupi tulang dan cangkang penyu, dan sejauh mata kami memandang, kami bisa menghitung puluhan cangkang penyu utuh, yang pasti berjumlah lebih dari seratus di seluruh pantai. Sebagian besar dari cangkang ditemukan di bagian dalam pantai, di dasar bukit, dan yang paling menonjol adalah semua cangkang tersebut terbalik. Ini adalah cangkang penyu laut (Chelonia mydas, jarang Ch. imbricata) dengan panjang berkisar dari 3 hingga 5 kaki, tergantung pada tinggi dan lebar yang sesuai.

Beberapa dari rangka sudah lama berada di sana. Warnanya sudah memudar dan mulus karena terpapar matahari dan hujan. Lainnya memiliki warna yang lebih gelap dan masih memiliki potongan daging kering yang menempel di bagian dalamnya. Bahkan beberapa di antaranya masih segar, berbaring dengan cangkangnya terbelah terbuka dan isi perutnya yang busuk berserakan di sekitarnya. Di beberapa tempat, kami melihat alur panjang dan lurus. Lebarnya sekitar 3-4 kaki, terdiri dari dua parit sisi, di tengahnya seakan-akan tubuh berat telah ditarik melintasi pasir. Tanda atau jejak-jejak ini dimulai di tepi pantai dan berjalan lurus melalui rangka-rangka hingga ke dasar bukit. Dua orang Jawa yang bersama kami tampaknya mengenali fenomena tersebut karena mereka telah mengikuti salah satu jejak itu, dan dari bukit tempat kami melihat mereka menggali di sekitar pasir, mereka bersorak dengan bahagia: “Tampat telor telor!” (sarang telur!)

Bukit-bukit tersebut adalah bukit pasir sejati yang langsung beralaskan dasar gunung. Pasir yang kering dan berwarna terang dihiasi di beberapa tempat oleh belukar panjang Daon katang (jenis Convolvolus) yang panjang serta bunga besar berwarna merah-ungu yang dibawa oleh belukar ini di batang tipisnya. Di tempat lain, pasirnya kosong atau hanya ditutupi oleh rumput merambat berduri, Djukut lari lari (Spinifex squarrosus).

Dari puncak bukit pasir tersebut, selain pohon-pohon kecil seperti Babak goan (Tournefortia argentea) dan yang lainnya, kita bisa melihat berbagai semak daun pandan yang paling subur. Di dasar bukit pasir ini, kami menemukan satu tempat (sarang) di mana, hanya dalam kedalaman pasir yang tipis, ada lebih dari seratus butir telur bundar berwarna putih kekuningan yang sebesar apel kecil dan memiliki cangkang yang lembut dan seperti kulit kertas. Jadi, jejak panjang tadi adalah jejak penyu raksasa yang, setelah naik dari dasar laut, merangkak di pantai sejauh 500 hingga 700 kaki untuk meletakkan telur di dasar bukit pasir dan meninggalkan penetasan telur pada sinar matahari yang hangat?! Dan selama perjalanan darat singkat ini yang mungkin mereka lakukan hanya beberapa kali setahun, mereka diserang oleh hewan buas?

Kami memutuskan untuk bersembunyi sambil mengintai malam itu, mengambil sebanyak mungkin telur yang bisa kami temukan, dan kembali ke bivak. Hutan pantai yang tumbuh di tanjung itu memiliki wajah yang sangat berbeda dari semak belukar di bukit pasir dan terdiri hampir hanya dari pohon Kibunaga (Calophyllum inophyllum), yang daunnya berwarna hijau cerah dan berkilau menyatu membentuk sebuah atap teduh yang melengkung 30 sampai 40 kaki di atas tanah. Ribuan bunga putih yang menghiasi daun yang indah ini menyebarkan aroma yang menyenangkan di sekitarnya.

Banyak batang tua bercabang-cabang tinggi yang panjangnya menjulur jauh ke semua arah dan dengan daunnya sering menunduk hingga ke tanah. Di atas cabang-cabang horizontal seperti itu, orang-orang Jawa telah membangun tempat tidur mereka dan tempat tidur kami sekitar 7 hingga 8 kaki di atas tanah. Mereka memotong cabang-cabang, meletakkannya mendatar di atas cabang utama, satu di samping yang lain, dan menutupnya dengan ranting dan daun. Di bawah pohon, di antara batang-batang, api menyala.

Beberapa dari pembantu kami telah melihat buaya. Buaya (Crocodilus biporcatus) di muara sungai yang, seperti yang dikenal, cenderung merayap ke tepi malam hari dan karena kulit mereka yang keras, lebih berbahaya daripada harimau. Kami memutuskan untuk mendirikan tempat perlindungan agak tinggi dari tanah pada salah satu pohon Kibunaga yang berada di tepi hutan dekat dengan hamparan tulang-belulang, dan kami memanjatnya sekitar pukul 6 sore bersama dengan tiga orang Jawa, setelah telur penyu yang lezat menjadi bagian utama dari makan malam kami. – Orang Jawa yang lain telah diperintahkan, segera setelah mereka mendengar tembakan, untuk segera datang kepada kami dengan membawa obor.

Kami menunggu. Sore mulai tiba. Kami pertama-tama melihat seekor penyu, kemudian beberapa penyu lainnya muncul dari air. Begitu mereka berada di daratan kering, di mana mereka hanya terkena ombak terakhir yang lemah, mereka berhenti sejenak. Mereka merentangkan leher panjang mereka ke depan dan ke atas, memutar sedikit ke samping, melihat, dan kemudian merangkak dengan cepat dalam garis lurus, tanpa berhenti, melintasi pantai—atau lebih tepatnya, mereka mendorong diri dengan kaki seperti sirip mereka dan buru-buru menuju dasar bukit. Karena semakin gelap, kami hampir tidak bisa melihat seperempat panjang pantai. Namun, sejauh yang dapat kami lihat, kami telah melihat empat tubuh hitam dan kaku bergerak di sepanjang pantai.

Tidak ada suara selain gemuruh pelan ombak lautan. Kemudian kami mendengar sesuatu yang berdesir dan bergerak di bawah kami. Bentuknya jauh lebih panjang daripada seekor penyu dan bergerak jauh lebih lincah di sepanjang pantai. Seekor buaya, setidaknya sepanjang 15 kaki, bergerak mencari mangsa. Sekarang juga, buaya itu bergerak menuju dasar bukit.

Kami menahan nafas. Di kejauhan, seekor penyu berjalan mundur dan menghilang ke laut. Tidak butuh waktu lama sebelum tubuh hitam lainnya dari daerah yang paling dekat dengan kami berbalik dan mendekati kami. Namun, saat itu belum mencakup setengah perjalanan kembali ketika tiba-tiba sejumlah besar hewan meloncat keluar dari hutan yang terdekat.

Awalnya, mereka tidak bersuara sedikit pun, tetapi pada saat mereka mencapai penyu-penyu itu, mereka tiba-tiba mengeluarkan raungan yang terputus-putus. Mereka mengepung hewan tersebut dari segala sisi dan menyerangnya dengan buas. Kami bisa hitung jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Mereka meraih mangsa mereka. Kepalanya, lehernya, kakinya yang seperti sirip, ekornya, dan bagian belakangnya, menariknya, dan memutarinya membentuk lingkaran. Raungan halus dan serak mereka yang terputus-putus mengungkapkan rasa lapar atau rasa haus akan darah yang paling gila dan mengerikan. Mereka bertindak seolah-olah dalam kegilaan dan sepertinya tidak memperhatikan buaya, yang mendekat, sama seperti seekor tokek yang menangkap lalat di dinding ruangan dan semakin mendekati.

Kemudian, dengan gerakan tiba-tiba seperti pegas yang terlepas, buaya tersebut melesat maju ke depan, dan sebelum yang lainnya menyadarinya, ia telah menghancurkan dua atau tiga potongan hewan yang berteriak di dalam rahangnya yang besar. Kemudian mereka berkumpul dalam jarak tertentu satu sama lain.

Itu adalah anjing adjag (Canis rutilans), juga dikenal sebagai anjing liar, yang hidup berkelompok, lebih kecil daripada serigala, tetapi jauh lebih rakus dan liar daripada serigala. Penyu itu tampak mati, tetapi telah sangat terkoyak sehingga tidak dapat lagi bergerak, sementara buaya, yang mungkin telah berhasil mendapat mangsa, berenang ke laut.

Anjing adjag sekali lagi menyerang mangsa mereka dari segala sisi, menarik bersama-sama, dan tampaknya sedang mencoba membuka cangkangnya. Aku mengangkat senjata dan siap menembak, tetapi salah satu orang Jawa menepuk tanganku dengan arti bahwa dia melihat sesuatu.

Pandangan tajamnya telah mendeteksi kehadiran makhluk yang muncul perlahan dari kegelapan hutan. Makhluk itu berdiri di sana, berhenti, memperhatikan tempat kejadian dengan mata berkilauan, merendahkan badannya lalu melompat dengan lompatan besar ke tengah-tengah kerumunan anjing adjag. Terdengar raungan yang keras dan menggelegar, dan anjing adjag berhamburan. Panik berhamburan ke segala arah.

Mereka melarikan diri dengan raungan lebih seperti mendesis daripada menggeram ke dalam hutan, dan sang raja rimba, harimau, yang muncul di atas panggung, meletakkan cakarnya, mengambil alih, dan menduduki cangkang penyu itu. Kemudian, harimau kedua mendekat; yang pertama menoleh dengan menggeram dan mendesis. Aku mengarahkan senjataku, menarik pelatuk, dan tembakan terdengar, bergema di pegunungan, menerobos sunyi udara senja. Pertarungan antara penyu raksasa, buaya, anjing liar, dan harimau untuk saat ini telah berakhir.

Aku dan MALAM menembak hampir bersamaan. Namun, di bawah kanopi pohon tempat kami duduk, sudah terlalu gelap untuk bisa menembak dengan tepat, meskipun kami masih bisa cukup jelas melihat siluet makhluk di sepanjang pantai yang terang dan berpasir. Kami belum berhasil atau setidaknya tidak mengenai sasaran fatal, karena harimau-harimau itu bisa melarikan diri. Kami masih punya dua tembakan, tetapi sambil berjaga-jaga, kami mengisi ulang senjata ganda kami ketika, terkejut oleh suara tembakan yang mereka dengar, rekan-rekan kami dari bivak datang dengan teriakan keras “Halloh!” dan menerangi adegan itu dengan obor yang mereka bawa.

Kami menemukan seekor anjing adjag mati di samping penyu yang, meskipun sangat terkoyak, masih hidup, dan kemudian dibunuh dengan sadis oleh para pribumi kami dengan Golok. Kepala dan kaki (sirip) penyu laut tidak dapat ditarik kembali ke dalam cangkangnya, sehingga, terlepas dari ukuran dan ketebalan cangkang yang besar, mereka masih rentan sebagai mangsa oleh predator yang jauh lebih kecil daripada mereka, terutama ketika datang bersama-sama dalam jumlah besar, seperti anjing liar di sini. Hal ini menjelaskan keberadaan banyak rangka dan cangkang yang menghiasi tempat ini, tempat makhluk-makhluk itu saling berkelahi demi mangsa. Apa yang ditinggalkan oleh anjing liar, harimau, macan tutul, dan buaya dari daging dan organ yang mereka tarik keluar dari cangkang setelah merobek perutnya pada malam hari, kemudian dimakan oleh burung pemangsa lainnya, termasuk elang laut dan burung pemangsa lainnya yang selalu mengintai tinggi di udara di atas tempat ini sepanjang hari.

Kami sangat terkejut melihat bahwa penyu raksasa sudah terbalik dan dengan cangkang perutnya yang sebagian terbuka menghadap ke atas, dan kami tidak tahu apakah tindakan ini dilakukan oleh harimau atau anjing liar yang sebelumnya telah bekerja sama melakukan ini. Para kuli Jawa berpendapat yang terakhir. Kami kemudian mengikat penyu tersebut dengan tali pikolan kami ke tiga batang bambu; namun, penyu itu sangat berat sehingga harus enam kuli, tiga di setiap sisi yang menopang batang bambu di bahu mereka, untuk mengangkat beban tersebut sepenuhnya. Penyu ini kemudian dibongkar di bivak kami dan memberikan daging yang lezat yang mungkin bisa memberi makan lima kali lipat jumlah orang daripada yang kami miliki, serta sejumlah besar telur muda yang sangat kecil, seukuran atau sedikit lebih besar dari kenari, yang hanya terdiri dari kuning telur dan sangat lezat jika dijadikan sop.

Kami menghabiskan sebagian malam dengan tetap berjaga di sekitar api, dan kami mulai berbicara tentang hukum alam. Apakah jumlah telur yang sangat banyak yang ditetaskan oleh seekor penyu laut, lebih dari seratus telur dalam satu kali bertelur, hanyalah hasil dari kebetulan semata? Bisakah kami mempercayainya, setelah kami baru saja melihat begitu banyaknya jumlah musuh yang mengintai induk yang bertelur? Kami tahu bahwa sebagian besar telur yang ditetaskan akan hilang, karena pemangsa berkaki empat yang kecil, bahkan termasuk kera dan di tempat yang dihuni manusia, biasanya menggali telur dari pasir dan merampasnya. Sementara sebagian telur lainnya tidak akan menetas dalam cuaca buruk yang berkabut dan hujan. Tentu saja kami tidak dapat mengatakan, mengapa begitu banyak musuh diberikan kepada hewan ini, kecuali jika tujuannya adalah mencapai keragaman kehidupan yang paling besar dengan cara yang paling sederhana. Namun, melalui jumlah telur yang banyak (yang tidak semuanya dapat menetas), kelangsungan hidup spesies dijamin. Spesies ini jelas akan punah dan lenyap dari bumi jika jumlah telur hanya sepuluh atau hanya satu, seperti yang terjadi pada gajah dan harimau. Dari keterkaitan harmonis antara peristiwa-peristiwa, dari lingkaran magis yang saling terkait antara sebab dan akibat, dimana satu ada karena yang lain, satu mengharuskan yang lain, rencana yang masuk akal terungkap; itu tidak bisa menjadi hasil dari kebutuhan tanpa sadar. Meskipun kita tidak dapat memahami tujuan akhir penciptaan, karena begitu banyak akal muncul dalam sarana untuk mencapai tujuan ini, bagaimana kita bisa menganggap tujuan itu tidak masuk akal? Itulah yang kita pikirkan, dan bahkan pertempuran hewan di malam hari, campur aduk yang tampaknya tanpa rencana, tidak bisa meruntuhkan keyakinan kita pada kebijaksanaan yang tertinggi. Tidak, kami memutuskan untuk selalu menyimpan keyakinan ini di dalam hati kami, sehingga keyakinan akan keberadaan Tuhan yang hidup dapat menenangkan kita dalam semua kesulitan dan semua kejadian kehidupan yang kita tidak mengerti.

Desa Garung

Berikut adalah penerjemahan mengenai Desa Garung dari buku Licht und Schattenbildern aus dem Innern von Java karya Franz Junghuhn. Saya sudah menelusuri lokasi Desa Garung yang kemungkinan besar berada di sekitar PLTMH Cikangean di Garut Selatan. Lokasinya tergambar pada screenshot citra 3D Google Earth pada gambar di bawah.

Desa kecil Garung terletak di sebuah dataran sempit di lereng bagian barat lembah, yang berada sekitar 700 kaki di bawah tepi tertinggi, membentang menjadi dataran yang cenderung landai, tetapi kemudian semakin curam ke dasar lembah yang sebenarnya. Dari sisi kami, kami melihat ke bawah ke dasar yang paling rendah ini, masih sekitar 300 kaki lebih dalam. Di sisi lain, tanah tersebut naik lagi, pertama secara bertahap, seperti teras, kemudian lebih curam, dan akhirnya sebagai dinding batu yang curam, meningkat ke tepi lembah timur, yang mungkin berjarak 1.5 hingga 2 pal jaraknya dari yang barat.

Kemungkinan lokasi Desa Garung. Gambar merupakan citra Google Earth. Lokasi di dekat PLTMH Cikangean, 20 km arah utara dari Leuweung Sancang. Lokasi diestimasi berdasarkan peta Junghuhn.

Di atas desa ini, terdapat Tipar kecil yang kering dan Uma (sawah) yang tersebar di antara belantara rumput Alang-alang, yang terakhir ini bahkan telah menggantikan ladang yang sebelumnya ada.. Tapi dasar dari lembah dan lereng-lereng terjal ini ditutupi oleh hutan belantara yang menakjubkan, dengan pohon-pohon raksasa setinggi 100-120 kaki, yang batang-batangnya seperti tiang dengan mahkota kanopi yang dipenuhi daun. Begitu tinggi pohon-pohon ini, seolah mereka tumbuh menembus udara, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Hanya di beberapa tempat saja tidak ada pohon, terutama di dinding-dinding tegak, di mana batuan tersingkap.

Hutan di atas dinding pegunungan ini kini disinari cahaya perak sinar rembulan, yang terang benderang bersinar di angkasa. Sinar ini begitu terang, hingga kita tak bisa melihat senja setelah terbenamnya mentari. Warna biru langit ini tak redup bahkan oleh awan terkecil sekalipun. Tapi tak lama terbenamnya mentari baru-terasa. Bukan tampak secara kasat mata, tapi dari suara. Meskipun tak ada angin berhembus, dan tak satupun daun bergerak, tapi suara-suara malam mulai terdengar semakin kentara. Karena tidak ada sinar matahari, maka terjadi perubahan arus panas. Arus panas ini berperan sebagai penghalang rambatan suara. Karena tidak ada perambatan suara, maka ombak di pantai, yang jaraknya lebih dari 20 pal, bisa terdengar lebih jelas. Juga riuh gemuruh sungai, yang berada jauh dari gunung ini ke arah pantai, suaranya merambat melewati dasar lembah yang dalam, lalu tiba di telinga kami. Semakin kuat suara malam yang membosankan ini mulai bergema, kira-kira sebanyak itulah juga kesunyian di desa semakin terasa.

Seratus lima puluh orang, lelaki, perempuan, dan anak-anak, menempati dunia kecil di lembah ini, dengan hewan peliharaannya: ayam, anjing, kambing, sepasang kerbau dan kuda. Dunia ini dipisahkan oleh hutan belantara dari keramaian peradaban berpuluh mil jauhnya. Mereka kini bersantai-santai di balai-balai di pondok mereka. Tak memikirkan apa-apa, hanya berkumpul tanpa melakukan apa-apa. Dari beberapa pondok kadang terdengar kidung nyanyian, yang entah kenapa seolah tak punya nada atau lirik yang jelas, tapi orang-orang senang bernyanyi dan berkreasi dengan lagunya, sambil bersantai duduk-duduk di bangku. Nyanyian monoton ini perlahan senyap.

Lalu pembantu kami yang mulanya bergabung dengan penduduk, perlahan kembali dan mulai mencari tempat untuk beristirahat. Satu per satu pintu ditutup. Lalu nyala lampu meredup. Beberapa masih tampak menembus lubang-lubang dinding bambu. Suara-suara binatang peliharaan tak lagi terdengar. Hingga akhirnya tak satupun suara peradaban tersisa. Betapa begitu dekat jarak antara kebisingan dan kesunyian, antara kebahagiaan dan kepedihan.

Kami terduduk diam dalam sunyi. Melamun seperti tersihir. Lalu lamunan kami segera tertuju pada dinding lembah, di mana satu lembah kecil secara misterius tenggelam dalam gelap bayangan, di sana suatu batu yang sangat besar atau batang kayu raksasa bercahaya terang di bawah sinar bulan. Tapi di beberapa tempat, malam begitu gelap. Di antara kayu-kayu raksasa, seolah seperti di antara celah, seperti di dalam jurang yang begitu dalam.

Langit tertutup hutan yang lebat, tanpa sekelebat cahaya pun yang lewat. Namun terdengar deras gemuruh sungai Tjikangean. Alirannya mengalir dari jeram ke jeram, dari batu ke batu, lalu terjun bebas mengalir hingga ke lautan. Bagian lain dari hutan, terutama kanopi-kanopi raksasa begitu benderang tersinari cahaya rembulan, hingga kita bisa lihat burung merak, yang raungan kerasnya tadi terdengar ketika senja berganti malam, bergema terpantulkan dinding pegunungan. Burung-burung itu kini terdiam sunyi, hinggap di puncak-puncak pepohonan. Dari waktu ke waktu berkepak-kepak sayap kelelawar. Tak lama burung hantu berteriak „hooot“, lalu berpindah menyusuri lembah.

Semua gerakan ini bisa teramati dari kejauhan. Menjadi kontras dari alam yang begitu sunyi terdiam. Selain gemuruh sungai yang riuh, kami juga mendengar ketukan pelatuk burung cabak, yang bergemeretak seperti hantaman palu pada besi. Jauh di dalam hutan jarang-jarang terdengar suara mengembik seperti kerbau, tapi suara ini lebih pelan, agak serak, dan lebih liar. Itu adalah suara Badak, yang hanya bisa didengar ketika musim kawin tiba.

Aduhai, betapa malam memberikan keindahan tersendiri pada bentang alam ini! Betapa magis cahaya bulan menyinari pemandangan ini, seolah-olah melewati gelas transparan berwarna keperakan. Dimana bisa aku cari kata-kata untuk mendeskripsikan kecantikan ini. Apa nama untuk warna cahaya magis ini? Aku tidak bisa menggambarkannya. Ini hanya bisa dirasakan. Coba rasakan.

Padanan Mud Volcano dalam Bahasa Indonesia

Dua hari yang lalu saya diajak ngobrol oleh Pak Dasapta Erwin (Dosen Hidrogeologi ITB) tentang Mud Volcano yang baru meletus di Blora, Jawa Tengah. Dalam diskusi ini kami gak membicarakan hal-hal teknis Mud Volcano, karena kami gak punya banyak pengalaman di bidang ini. Tapi setidaknya Mud Volcano jadi pemantik diskusi.

Inti dari diskusi ini adalah bahwa ada banyak sekali yang kita gak tahu tentang Mud Volcano. Saya bilang bahwa gunungapi normal yang besar saja kita masih kekurangan peneliti, coba bandingkan jumlah doktor gunungapi dengan jumlah gunungapi aktif di Indonesia. Apalagi Mud Volcano, yang gak sekasat mata gunungapi biasa.

Nah, ketika membuat judul untuk postingan Youtube, saya baru mikir, apa padanan Mud Volcano dalam bahasa Indonesia? Ketika saya mengartikan secara harfiah sebagai gunung lumpur, rasa-rasanya kok kurang pas ya. Karena Mud Volcano topografinya cenderung landai di dataran. Padanan dalam bahasa Jawanya “Bledug” rasanya bahasa yang bagus yang harusnya kita adaptasi sebagai padanan dari kata ini.

Ketika saya mencari di Kamus Geologi Purbo-Hadiwidjojo terbitan Badan Geologi saya menemukan padanan Mud Volcano adalah “Poton”. Poton ini artinya: longgokan lumpur dengan kepingan batuan yang terlontar oleh tekanan gas, misal seperti yang berasal dari longgokan minyak; kata asal Timor (1980). Kata poton ini sama sekali tidak pernah dipakai dalam rilis-rilis. Mungkin karena belum dipopulerkan.

Meski demikian, saya merasa kita perlu segera menyerap Bledug juga sebagai padanan dari mud volcano, selain poton yang sudah diusulkan oleh Purbo-Hadiwidjojo. Karena bahasa adalah rekaman ingatan kolektif suatu bangsa. Kekayaan bahasa mengindikasikan kayanya kebudayaan suatu bangsa. Jika tidak ada padanan mud volcano dalam bahasa Indonesia bukan berarti bahwa fenomena ini tak ada di sini. Hanya bahasa kita belum menyerap budaya yang sudah merekamnya, seperti Bledug atau Poton, atau mungkin ada dalam bahasa-bahasa daerah lainnya.

File Presentasi Geowisata Bandung Abad-19

Hari ini, Sabtu, 30 Mei 2020, saya dengan Travelology, Sekolah Bumi, dan KRCB menyelenggarakan Geowisata Virtual Bandung Abad-19. Berikut adalah webmap jalurnya dan file presentasinya.

http://malikarrahiem.com/qgis2web/index.html

Untuk file presentasinya bisa dilihat di halaman ini

http://www.malikarrahiem.com/Presentasi%20Travelology.pdf

Untuk rekamannya, bisa diakses di halaman berikut

Tentang Sunda Abad-19 dan Naturalis Jerman yang Melaporkannya

Kemarin saya nonton tayangan ulang Diskusi Sunda Abad-19 yang diadakan oleh Oleh-Oleh Boekoe Bandoeng dan Sahabat Heritage Bandung dengan narasumber Pak Hawe Setiawan dan Pak T. Bachtiar. Tayangannya sebagai berikut:

Dalam suasana COVID-19 ini, saya bersyukur diseminasi ilmu berjalan secara masif. Memanfaatkan platform online, semua kelompok berlomba-lomba membagikan ilmunya. Mungkin inilah keadaan normal yang baru. Forum-forum kajian yang dulu terfokus di kampus, kelas, selasar-selasar, kini berpindah ke rumah masing-masing, disambungkan oleh platform daring. Keren.

Sekitar dua tahun lalu, saat masih di Jerman, saya dapat kesempatan untuk melihat buku-buku jadul. Publikasi-publikasi abad-19 yang membuat saya berdecak kagum, betapa orang pada masa itu bisa menulis dengan kualitas tulisan yang sangat baik. Bahkan kalau saya boleh bilang, jauh lebih baik dari tulisan modern. Betapa perbedaan fasilitas tidak memengaruhi kualitas tulisan. Kemudian saya menyadari bahwa gagasan orang-orang itu abadi.

Saya terlecut untuk melanjutkan projek lama saya, menulis buku tentang Petualangan Naturalis Jerman ke Tanah Priangan Abad-19. Tulisan ini bagi saya penting, karena catatan-catatan naturalis Jerman ini tersedia. Beberapa sudah saya terjemahkan, beberapa lainnya sedang saya kurasi untuk memilah catatan mana yang ingin saya tampilkan dalam buku ini.

Buku saya ini berisi tentang perjalanan empat orang Jerman pada masa yang berbeda-beda. Naturalis pertama, seorang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda dalam misi pemetaan potensi alam tanah kolonial. Namanya Salomon Mueller yang bertugas di Hindia Belanda pada tahun 1826-1836. Ia adalah salah satu orang yang selamat dari rimba ganas Hindia Belanda dan kembali ke negerinya. Mueller adalah seorang ahli hewan. Pada tahun 1833, selama lebih 3 bulan, ia berkunjung ke Bandung dan menjelajah tanah Priangan. Bersama Pieter van Oort, seorang pelukis, Mueller melaporkan perjalanan dari Tangkuban Perahu ke Curug Cimahi, Curug Penganten, Cililin, Gunung Lumbung, Ciwidey, Banjaran, dan kembali ke Bandung.

Naturalis kedua adalah Si Humboldt dari Jawa. Orang yang saya sebut peneliti Jerman paling berjasa bagi perkembangan ilmu alam di Hindia Belanda, namanya Franz Wilhelm Junghuhn. Saking banyaknya catatan yang ia buat, saya belum berhasil mengurasi perjalanannya dan memilah mana yang ingin saya tampilkan. Saking hebatnya Junghuhn, setelah lebih 150 tahun kematiannya, orang masih berdiskusi tentangnya.

Saya bermaksud untuk mengurasi catatan Junghuhn, terutama pada bagian geologi. Saya tidak tahu siapa orang yang lebih dulu memeta geologi Pulau Jawa sebelum Junghuhn, tapi saya belum menemukan peta yang lebih tua daripada peta yang Junghuhn buat dan dipublikasikan pada tahun 1857. Koleksi sampel geologinya melimpah, fosil, kerangka, dan batuan. Bahkan seorang Jerman lain yang saya bahas juga, Karl Martin, khusus mengaji fosil kerang yang dibawa Junghuhn dari Jawa. Catatannya tentang lokasi fosil berupa lokasi A-Z menjadi harta karun yang harus kita petakan, di mana sebenarnya lokasi fosil-fosil ini berada.

Naturalis ketiga, seorang Jerman lain, khusus datang ke Bandung pada tahun 1858 untuk bertemu dengan Junghuhn. Nama orang ini adalah Ferdinand von Hochstetter yang berkunjung ke Hindia Belanda dalam perjalanan ekspedisi Novara, ekspedisi saintifik berkeliling dunia yang didanai oleh Kerajaan Austria.

Hochstetter adalah seorang geolog. Ia meminta dengan amat sangat agar Junghuhn bersedia menemaninya dalam perjalanan melihat lapisan Tersier di sekitar Bandung. Sayang Junghuhn tidak dalam kondisi terbaiknya, namun tetap memberikan petunjuk dan mengirim perwakilannya untuk menemani Hochstetter berkeliling Cekungan Bandung. Hochstetter menelusuri jejak Junghuhn ke Curug Jompong, kemudian ke Lio Cicangkang untuk melihat fosil laut, hingga akhirnya terpana akan keindahan Curug Halimun, yang oleh Junghuhn disebut sebagai air terjun terindah di Jawa. Ia menelusuri Ci Tarum hingga bertemu Sanghyang Tikoro dan kembali pulang. Sampel-sampel perjalanan Hochstetter masih bisa kita temui di Natural History Museum of Vienna.

Naturalis keempat, Karl Martin, Bapak Paleontologi Belanda. Martin adalah seorang Jerman yang kemudian bekerja sebagai pengajar geologi di Universitas Leiden, Belanda. Martin memulai publikasinya tahun 1879 ketika ia menganalisis sampel fosil moluska yang dibawa oleh Junghuhn.

Pada tahun 1910, Martin yang begitu penasaran dengan sampel-sampel yang dikirim oleh Junghuhn, kemudian mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Priangan. Ia mengunjungi lokasi-lokasi di mana fosil-fosil itu berasal dan memberikan catatan terperinci yang membantu kita untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi fosil. Pertama Martin mengunjungi lapisan Ci Talahab di sekitar Ci Mandiri di Sukabumi, kemudian ia mengunjungi lapisan Rajamandala di Bandung Barat. Selanjutnya ia melaporkan tentang lokasi Lio Cicangkang di Gunung Halu, hingga akhirnya ia melaporkan tentang lapisan sedimen pembawa fosil moluska di daerah Ci Lanang, Gunung Halu. Lokasi yang belakangan ini kebetulan adalah lokasi tugas akhir penulis.

Martin berhasil mengidentifikasi umur lapisan berdasarkan kelimpahan fosil moluska yang ada di lapisan-lapisan tersebut. Metode yang digunakan adalah perbandingan antara jumlah spesies fosil yang masih hidup hingga sekarang dibandingkan jumlah spesies total (spesies masih hidup + spesies telah punah).

Keempat naturalis ini hanyalah sebagian kecil dari orang-orang Jerman yang berjasa pada Indonesia. Kita masih bisa sebut naturalis-naturalis lain yang berjasa besar, seperti Rumphius yang mengidentifikasi flora dari Ambon. Karya besarnya Herbarium Amboinsche saya kira adalah mahakarya abad 18 yang sangat luar biasa. Terlebih pada akhir masa hidupnya ia kehilangan indra penglihatan.

Kita bisa sebut juga Carl Blume, seorang direktur herbarium dari Leiden. Bukunya Rumphio (terinspirasi dari Rumphius) ditulis dalam bahasa latin dan memuat catatan-catatan flora yang sangat komprehensif, terutama dari sekitar Priangan. Lalu Caspar Georg Carl Reinwardt, kepala pertama Kebun Raya Bogor.

Sangat disayangkan bahwa ilmu-ilmu yang telah mereka catat sejak 200 tahun lalu belum tersambung ke zaman sekarang karena bahasa. Tulisan-tulisan mereka yang dibuat dalam bahasa Jerman atau Belanda masih sulit kita mengerti. Meski ada kabar gembira, bahwa magnum opus-nya Junghuhn, Java, sedang diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Tentu ini sangat menggembirakan untuk ditunggu.

Memvisualisasikan DEM Menggunakan Rayshader

Sudah lama saya gak menulis di blog saya, mungkin lebih 6 bulan sejak saya pulang dari Jerman, September lalu. Banyak yang dikerjakan di Indonesia, membuat saya gak sempat menulis. Jadi ingat dulu pernah ngobrol dengan Pak Erwin tentang rindu saat menganggur jadi bisa banyak menulis.

Di tulisan kali ini saya ingin berbagi tentang membuat visualisasi model elevasi digital menggunakan R, tepatnya menggunakan Rayshader. Bagi yang belum tahu apa itu Rayshader, saya sarankan mampir di https://www.rayshader.com/, atau di blognya pencipta Rayshader, Tyler Morgan, https://www.tylermw.com/posts/. Saya super salut sama developer R yang satu ini. Super duper jenius.

Rayshader bikinan Tyler ini membuat semua orang bisa bikin visualisasi model elevasi yang bagus, indah, eyecatchy. Contohnya misal gambar ini:

Visualisasi DEM Cekungan Bandung menggunakan Rayshader. Cekungan Bandung dilihat dari selatan ke utara. Gunung di tengah merupakan kaldera raksasa Gunung Sunda Purba.

yang mana bikinan saya. Gambar di atas adalah model 2.5D Cekungan Bandung yang saya bikin menggunakan Rayshader. Gambar ini diambil dari selatan, Gunung yang terlihat besar di belakang adalah Gunung Sunda Purba dengan kaldera raksasanya. Gunung Tangkuban Perahu terlihat sebagai puncak di sebelah kanan dengan lubang kawah di tengahnya, Gunung Burangrang di sebelah kiri tebing kaldera raksasa. Dataran di tengahnya adalah Dataran Cekungan Bandung, di mana lebih dari 8 juta orang hidup di atasnya.

Untuk membuat ini, saya cuma nulis sekitar 20 baris kode. Apakah Anda tertarik untuk bisa membuatnya juga?

Kalau misalkan tertarik untuk bikin gambar sejenis dari data DEM, bisa lanjutkan membaca, kalau nggak juga gak apa-apa. Akan ada sedikit bahasa-bahasa teknis R setelah paragraf ini.

Pertama Anda perlu R untuk membuat visualisasi ini. Jika Anda belum familiar dengan R, tenang ada super banyak tutorial dan kelas-kelas online yang bisa membantu Anda untuk mempelajari bahasa super yang bisa memudahkan pekerjaan ini.

Ada 5 tahap dalam tutorial ini:

  1. Membuat batas area of interest (AOI)
  2. Mendownload data DEM
  3. Memotong data DEM ke AOI
  4. Membuat visualisasi Rayshader
  5. Menyimpan data Render

Package yang digunakan dalam tutorial ini adalah: raster, sp, rayshader, dan elevatr. Kegunaan dari package ini akan saya jelaskan belakangan.

Membuat Area of Interest (AOI)

Ada beberapa cara untuk membuat AOI, bisa menggunakan shapefile yang sudah Anda punya, atau dengan membuat polygon biasa. Kali ini saya akan membuat dengan polygon biasa.

Saya membuat fungsi, namanya Fungsi AOI. Dengan fungsi ini kita cuma perlu masukkan nilai minimum dan maksimum longitude dan latitude. Urutannya searah jarum jam: kiri, atas, kanan, bawah, atau min long, max lat, max long, min lat.

Mendowload Data DEM

Setelah memasukkan AOI, kita ingin mendownload data DEM. Jika Anda punya data DEM sendiri, maka itu bisa dipakai. Tapi di tutorial ini saya memanfaatkan package Elevatr yang dikembangkan oleh Hollister dan Shah (2017). Package ini memungkinkan kita mengakses data DEM yang free, misal SRTM, 3DEP, GMTED2010, dan ETOPO1 data-data ini milik U.S. Geological Survey dan U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration. Lembaga ini harus kita attribute kalau kita memanfaatkan data mereka.

Rumus mendownload data mudah saja, pakai fungsi get_elev_raster, masukkan AOI, dan z. Nilai z ini memengaruhi kualitas DEM yg kita download. Kalau z kecil, DEM kasar tapi size data kecil, berlaku sebaliknya. Saya pakai z=11. Selanjutnya saya pastikan projectionnya pakai longlat.

Memotong Data DEM ke AOI

Kode kita mendownload semua DEM yang AOI kita masuk di dalamnya. Sebagai contoh AOI saya ada di perbatasan 2 DEM, utara selatan. Jadi kepotong gitu. Setelahnya kita bisa potong DEM besar kita secukupnya di AOI, agar tidak terlalu besar dan berat.

Bermain dengan Rayshader

Barulah kita masuk ke Rayshader. Agak susah juga sebenarnya saya menjelaskan tentang Rayshader karena banyak hal teknisnya. Tapi ada beberapa input yang penting kita masukkan untuk membuat gambar kita jadi bagus:

  1. sunangle –> pilih berdasarkan arah mata angin (menggunakan derajat) ingin dari mana matahari datang
  2. texture –> ada imhof (favorit saya), desert, bw, dan unicorn. Imhof sendiri ada 4 jenis. Silakan cba sendiri.
  3. zscale –> menentukan exxageration, 1 exxageration tinggi, makin besar angkanya makin rendah.
  4. theta –> arah pengambilan gambar. 0 berarti gambar diambil dari selatan menghadap ke utara
  5. zoom –> perbesaran gambar, makin kecil angkanya makin zoom in
  6. phi –> sudut pengambilan gambar, 0 derajat searah horison, 90 derajat tegak lurus dari atas

Silakan bermain-main dengan pengaturan ini. Tapi saya sarankan betul untuk ikuti tutorialnya Tyler Morgan untuk lebih detil tentang setting Rayshader ini.

Berikut Script R untuk bikin Rayshader Cekungan Bandung

library(raster)
 library(sp)
 library(rayshader)
 library(elevatr)

#Fungsi untuk menentukan poligon Area of Interest
AOI <- function(p, q, r, s) {   
xleft <- p   
ytop <- q   
xright <- r   
ybot <- s   
x_coord <- c(xleft,xleft,xright,xright)   
y_coord <- c(ytop,ybot, ybot, ytop)   
xym <- cbind(x_coord, y_coord)   
p <- Polygon(xym)   
ps = Polygons(list(p),1)   
sps = SpatialPolygons(list(ps))   
proj4string(sps) = CRS("+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0")   
return(sps) } 

mask <- AOI(107.4, -6.6, 107.9, -7.2) #Ubah koordinat di bagian ini jika ingin bikin di daerah lain

#Mendownload DEM menggunakan fungsi dari package Elevatr
Elevation_File <- get_elev_raster(mask, z=11) 

projectRaster(Elevation_File,               
crs= "+proj=longlat +datum=WGS84 +no_defs +ellps=WGS84 +towgs84=0,0,0") 

#Memotong DEM sesuai dengan AOI
localtif_mask <- crop(Elevation_File, mask) 

#Memulai Rayshader, buka tutorialnya Tyler Morgan kalau mau lebih jelas 
elmat2 <- matrix(raster::extract(localtif_mask,
raster::extent(localtif_mask),
buffer=1000),nrow=ncol(localtif_mask),
ncol=nrow(localtif_mask)) 

raymat2 <- ray_shade(elmat2) 
ambmat2 <- ambient_shade(elmat2) 

elmat2 %>%
   sphere_shade(sunangle = 225 ,texture = "imhof1") %>%
   add_water(detect_water(elmat2, min_area = 100), color="imhof1") %>%
   add_shadow(ray_shade(elmat2,zscale=3,maxsearch = 300),0.5) %>%
   add_shadow(ambmat2,0.5)%>%
   plot_3d(elmat2, zscale = 20, theta = 0, zoom = 0.3, 
           phi = 25, water = TRUE, windowsize = c(1366,768))
 render_snapshot("bandungbasin", clear = FALSE)

Jadi deh plot kita. Sama persis kaya yang di atas, sedikit digocek ke kiri saja. Sebenarnya dia bisa tampil sebagai window, interaktif, tapi saya gak tahu caranya mengembed di web kaya gimana. Jadi cukup kita tampilkan apa adanya saja.

Tampilan Rayshader

Yang baru dari tulisan ini sebenarnya adalah teknik mendownload DEM menggunakan Elevatr. Saya lihat tutorial dari Tyler dll masih menggunakan data pribadi. Mungkin karena di kampung mereka, data sudah canggih-canggih. Hi-resolution. Sementara kita ya bersyukur saja dengan SRTM yang ada. Alhamdulillah.

Silakan mencoba ganti koordinatnya dengan titik-titik yang Anda ingin buat visualisasinya! Tag saya di twitter @malikarrahiem jika sudah berhasil . Letsgoo!

Memeta Publikasi Ilmiah: Studi Kasus Riset Jasa Ekosistem

Di dekade kedua abad ke-21 ini kita dihadapkan pada melimpahnya publikasi ilmiah. Ada ribuan jurnal dan puluh jutaan publikasi yang dihasilkan dari ratusan ribu atau jutaan peneliti dari seluruh dunia. Kita bingung memilih mana yang harus dibaca. Semua tampak menarik. Banyak yang dari institusi penelitian bergengsi.

Beberapa minggu lalu saya menyimpan sebuah gambar dari Twitter, sayangnya saya lupa mencuplik layar atau menyimpan tautannya. Saya akan tuliskan apa isi gambar itu.

Pada tahun 1990an, orang-orang yang membaca jurnal penelitian, menerima jurnal karena mereka berlangganan. Jurnal datang ke rumahnya dan mereka membaca jurnal sebagai teman bacaan di hari minggu pagi.

Pada tahun 2000an, orang-orang membaca jurnal dengan mengakses Pubmed. 98 persen orang hanya membaca abstrak makalah, sementara 2 persen lainnya membaca lengkap keseluruhan makalah.

Sekarang, di tahun 2019, 60% yang membaca artikel Anda, mungkin hanya melihat dari Twit yang anda kirim. 39% membaca abstrak publikasi Anda, dan 1% lainnya membaca penuh makalah yang Anda publikasikan.

Di kampus saya semester lalu, saya wajib ikut mata kuliah Scientific Training. Luaran dari mata kuliah ini adalah sebuah makalah yang ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah.

Saya melakukan riset sederhana tentang bagaimana mengekstrak metadata dari publikasi ilmiah dengan topik “Ecosystem Services“. Setelah puluhan tahun riset dan ribuan makalah dengan topik ini dipublikasikan, informasi apa saja sih yang mungkin bisa didapat tanpa kita harus membaca ribuan makalah?

Berangkat dari situ, saya mengekstrak data publikasi dari pusat data Web of Science. 4203 publikasi dengan “Ecosystem Services” (selanjutnya disebut sebagai Jasa Ekosistem) di dalam judulnya. Teks dalam judul dan abstrak dianalisis kemunculannya untuk mengetahui kata kunci apa yang paling sering muncul dan bagaimana kata kunci tersebut saling berhubungan.

Hasil penambangan kata dari abstrak dan judul publikasi Jasa Ekosistem

Gambar di atas adalah hasil penambangan kata menggunakan abstrak dan judul dari metadata publikasi Jasa Ekosistem. Dari gambar ini kita bisa lihat bahwa riset Jasa Ekosistem oleh algoritma statisik VOSviewer diklasifikasikan ke dalam 6 kluster. Interpretasi terhadap kluster tentu akan berbeda-beda tergantung pemahaman pembaca terhadap topik Jasa Ekosistem

Dari gambar ini, saya kemudian teringat kembali sebuah gambar menarik yang saya temukan (lagi-lagi) di Twitter (saya kira penting bagi mereka yang berkecimpung di bidang riset dan akademik untuk bergabung dalam komunitas Twitter, karena sangat banyak informasi-informasi menarik yang dibagikan di sana).

Gambar di atas sangat sesuai dengan penelitian kecil saya. Kita ingin memahami pola dari sesuatu yang acak. Ingin mencari keteraturan dari sesuatu yang seolah tak beraturan.

Oleh karena itu, saya juga menganalisis pasangan bibliografis bibliographic coupling, yaitu suatu ukuran untuk mengelompokkan makalah berdasarkan referensi yang disitir. Jika dua makalah menyitir satu referensi yang sama, maka dua makalah tersebut berpasangan secara bibliografis.

Hasil analisis pasangan bibliografis riset Jasa Ekosistem

Gambar di atas adalah suatu pola kluster makalah-makalah Jasa Ekosistem dengan nama belakang penulis pertama dan tahun publikasi sebagai labelnya. Metode pengelompokkan menggunakan nilai pasangan bibliografis. Semakin dekat jarak antara dua titik, maka semakin banyak referensi yang mereka sama-sama kutip.

Menggunakan pendekatan ini, kita bisa mengelompokkan makalah-makalah. Tapi kita perlu tahu apa maksud dari kluster-kluster ini. Maka dari itu saya melakukan analisis judul makalah dari penulis-penulis yang ada di diagram di atas.

Kluster 1, dicirikan dengan warna merah berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, terutama sebagai modal alam (natural capital).

Kluster 2, dicirikan dengan warna hijau, juga berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, tetapi lebih dalam konteks manajemen dan akuntansi.

Kluster 3, dicirikan dengan warna biru, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati terutama berkaitan dengan kelimpahan spesies.

Kluster 4, dicirikan dengan warna kuning, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati, tetapi berkaitan dengan dampak jasa ekosistem terhadap kesejahteraan manusia.

Kluster 5, dicirikan dengan warna ungu, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem dan perubahan iklim.

Terakhir, kluster 6, dicirikan dengan warna biru muda, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem di daerah urban.

Bagian kedua dari makalah saya adalah tentang jaringan sitasi (citation network). Dalam jaringan ini, menggunakan piranti lunak CitNetExplorer, makalah-makalah penting dalam riset jasa ekosistem diurutkan berdasarkan tahun terbitnya dan dihubung-hubungkan berdasarkan hubungan sitasinya.

Jaringan sitasi publikasi Jasa Ekosistem

Bagi saya, gambaran jaringan sitasi ini sangat menarik. Kita bisa melihat sejarah bagaimana suatu topik berkembang dari awal mula hingga sekarang. Dalam gambar ini, saya membandingkan hasil analisis dari CitNetExplorer dengan publikasi-publikasi kunci topik Jasa Ekosistem yang dikutip oleh Chaudry dkk dalam artikelnya “The evolution of ecosystem services: A time series and discourse-centered analysis” yang dipublikasikan dalam Jurnal Environmental Science & Policy pada tahun 2015.

Lantas apa?

Teknik menambang teks dan juga membuat jaringan sitasi merupakan teknik yang penting untuk dikuasai oleh mereka yang ingin mengulas suatu topik. Membuat ulasan itu pekerjaan yang berat dan melelahkan. Banyak bacaan yang harus dibaca dan seperti yang sudah saya sampaikan di awal, banyak kebingungan untuk memilih mana yang penting untuk dibaca duluan.

Bagi saya, seorang geolog, memeta itu sudah menjadi bagian diri yang tak terpisahkan. Melihat sesuatu dari kejauhan, mengamati pola, dan menginterpretasi kecenderungan, menjadi bagian dari kebiasaan. Dalam hal ini pun demikian. Sebelum lebih jauh terjun ke dalam suatu topik, saya merasa memetakan dulu apa yang ada di sana, bagaimana kecenderungannya.

Demikian juga Anda sekalian yang mungkin sedang bergulat dengan tinjauan literatur untuk riset Anda. Mungkin bisa duduk sejenak dan mulai memetakan topik riset yang sedang Anda kerjakan.

Jika ingin melihat makalah lengkapnya, bisa mampir di tautan berikut:
https://osf.io/preprints/inarxiv/k93ws/

Semoga bermanfaat.

Tulisan dimuat di DW dan Detik.com

Beberapa bulan lalu saya lihat tawaran menulis untuk blog DWnesia. Temanya tentang pengalaman berkuliah di Jerman. Langsunglah saya tulis cerita bergeowisata ke Geopark di Jerman. Hasilnya tulisan saya dimuat di DW dan diteruskan ke Detikcom. Lumayan juga membanggakan, bikin semangat untuk menulis lagi dan masukkan ke media.

Berikut tautannya.

DW

Detik

Setelah membaca-baca tulisan sendiri, baru menyadari kemampuan berbahasa saya yang payah. Agak membingungkan juga bagaimana cara pasang koma, titik, titik dua, titik koma, dan tanda baca lainnya. Tapi yang penting selalu bersemangat dan terus berusaha menulis menulis dan menulis!

Trotoar yang Aksesibel

Ada dua berita yang terbayang-bayang di benak saya seminggu belakangan ini, yang pertama adalah berita mengenai Indonesia sebagai negara urutan buncit dalam berjalan kaki, yang kedua adalah mengenai perisakan (bullying) pada mahasiswa difabel di Universitas Gunadarma.

Hampir semua setuju bahwa penyebab utama orang Indonesia malas berjalan kaki adalah karena fasilitas trotoar yang tidak mumpuni. Tidak semua ruas jalan punya trotoar, trotoar yang ada pun rusak, atau kalau pun nyaman maka invasi pesepeda motor dan pedagang kaki lima menambah alasan kita untuk enggan berjalan kaki. Ditambah dengan kemudahan transportasi angkot, ojek, kendaraan pribadi yang bisa berhenti dimana saja, parkir dimana pun tanpa perlu peduli bahwa di tempat kita parkir ada hak orang lain yang kita zalimi.

Di jalanan Indonesia, pejalan kaki adalah golongan kelas ke sekian, penyandang difabel adalah kelas yang lebih bawah lagi. Keberadaannya dianggap sebelah mata, fasilitasnya tiada. Bagi penyandang difabel, keluar rumah itu seperti menantang petaka. Contoh kasus yang paling nyata adalah para penyandang tuna netra.

Bayangkan anda harus pergi ke tempat kerja tapi anda tidak punya supir pribadi yang bisa mengantarkan anda langsung ke depan pintu ruangan anda. Harus berjalan kaki, naik angkutan umum, dan berjalan kaki lagi. Tapi di trotoar tempat anda berjalan ada lubang besar yang menganga, kabel listrik menjuntai-juntai berbahaya, belum lagi pecahan ubin siap menorehkan luka. Bayangkan itu pada hampir 3 juta orang tuna netra di Indonesia. Perjalanan ke luar rumah itu mengancam nyawa, padahal ada anak istri harus dinafkahi, padahal ada mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya agar taraf hidup bisa diperbaiki. Belum lagi di sekolah dirisak oleh kawan-kawannya yang padahal bersekolah tapi tak berpendidikan.

TUNE MAP
Lubang mengakibatkan jalur aksesibel menjadi jebakan yang menjerumuskan tunanetra

Pemerintah tentu tidak abai, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas dan pelayanan publik. Selain itu begitu banyak juga peraturan-peraturan teknis mengenai jalur aksesibilitas, bangunan yang aksesibel, beserta sanksi-sanksi apabila tidak dijalankan. Namun implementasinya tentu masih jauh panggang dari api.

Di Bandung, sudah banyak trotoar yang dilengkapi dengan jalur aksesibel. Jalur kuning ini seharusnya membantu memandu tuna netra untuk berjalan kaki dengan aman. Namun masih jauh dari ideal. Kesaksian dari kawan-kawan tuna netra menyatakan bahwa jalur itu banyak yang menjerumuskan. Banyak lubang, tiang listrik, pepohonan, dan pot bunga. Perilaku warga kota yang belum menyadari fasilitas tuna netra ini juga menambah parah kondisi. Pedagang kaki lima, parkir kendaraan, dan juga invasi pesepeda motor bahkan mobil di trotoar.

20170530_135536
Parkir mobil menghalangi dan merusak jalur aksesibilitas tunanetra

Ketiadaan fasilitas trotoar yang aman mengakibatkan ketakutan bagi tuna netra untuk beraktivitas. Menurut data dari Kemendikbud pada pertengahan tahun 2000an angka partisipasi anak-anak tunanetra untuk bersekolah hanya 10 persen, 90 persen lainnya tinggal di rumah. Penyediaan fasilitas untuk tunanetra, salah satunya aksesibilitas yang aman bukanlah dalam rangka berbelas kasihan, tapi dalam rangka menjadikan tunanetra sebagai subjek pembangunan.

Buat kita mungkin fasilitas trotoar yang tidak nyaman hanya mengakibatkan kita malas berjalan kaki. Namun bagi tunanetra, ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka tidak bisa bersekolah dan tanpa pendidikan yang baik, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka kesulitan untuk bekerja dan mengembangkan potensinya. Kurangnya pemahaman warga tentang fasilitas tunanetra juga memperburuk keadaan. Masih begitu banyak yang tidak tahu fungsi jalur aksesibilitas di trotoar, dengan begitu maka tanpa perasaan bersalah jalur aksesibilitas ditutupi oleh gerobak dagangan, oleh parkiran kendaraan, oleh pot, tiang, dan segalanya yang mengakibatkan jalur itu menjadi membahayakan.

Penyediaan trotoar yang nyaman dan askesibel adalah hak asasi dari kelompok difabel, terutama tunanetra. Ia harus terjamin keselamatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel bagi kelompok difabel tentu akan nyaman juga bagi kelompok yang lainnya. Maka memperjuangkan hak trotoar yang nyaman dan aksesibel adalah memperjuangkan hak semuanya.