Tutorial Membuat GIF Citra Satelit dengan Sentinel-Hub

Adakah yang tertarik bikin GIF kaya gini? Silakan baca lanjutan tulisan saya ini. Saya mau berbagi cara bikin GIF citra satelit.

Perkembangan pengolahan data citra satelit itu luar biasa cepat. Sekarang di zaman 4.0 di mana semua terkoneksi jaringan internet cepat, sudah gak zaman lagi mengolah di komputer sendiri. Data citra satelit yang luar biasa gede itu harus diolah di server dengan teknologi komputasi awan.

Di bidang inilah Amerika dan Eropa bersaing ketat. Google Earth Engine, milik Google sudah lama berjaya. Perusahaan ini mengumpulkan data citra satelit dan menyediakan komputer super mereka untuk algoritma pemrograman yang dibuat oleh pengguna.

Eropa tak mau kalah. ESA dengan Copernicusnya meluncurkan Sentinel-Hub, suatu layanan mengolah data citra satelit, terutama misi Sentinel agar bisa digunakan semua orang. Yang sekarang akan saya sedikit jelaskan bagaimana kita bisa pakai Sentinel-Hub ini untuk hal yang sederhana: membuat GIF.

Pertama buka laman Sentinel Hub https://apps.sentinel-hub.com/eo-browser/

Kurang lebih hasilnnya begini

Silakan mendaftar. Tenang jangan khawatir ini gratis.

Setelah daftar langsung masuk. Login.

Gambarnya sama tapi di bagian kiri atas akan ada nama kita sebagai pengguna.

Langsung tekan huruf i di pojok kanan atas untuk tahu fitur-fitur apa saja yang tersedia dalam layanan ini.

Di panel sebelah kiri kita bisa lihat jenis-jenis data apa yang bisa kita yang bisa kita pakai. Ada Sentinel-1 yang menyediakan data tanpa terpengaruh cuaca dan waktu. Bisa siang dan malam. Ada Sentinel 2 yang menyedikan gambar bumi beresolusi tinggi (satelit ini seperti memotret bumi dari kejauhan). Jenis satelit ini optikal, jadi sangat terpengaruh oleh awan dan cahaya.

Kemudian ada Sentinel-3 yang mirip Sentinel-2 tapi resolusi spasialnya lebih rendah, tapi waktu kunjungan ulangnya lebih rapat daripada Sentinel 2. Setiap 2 hari terdapat data Sentinel 3 yang baru.

Ada juga Sentinel 5P yang menyediakan data pengukuran atmosfir, iklim, ozon, radiasi UV, SO2, NO2, dll. Selain itu ada satelit lain seperti Landsat, Envisat, MODIS, Proba-V, dan GIBS yang gak akan saya bahas.

Di tutorial ini kita akan coba main dengan data Sentinel-2, tepatnya data Sentinel-2 L1C, silakan google sendiri bedanya apa. Kurang lebih Sentinel-2 L2A itu sudah dikoreksi, kalau Sentinel-2 L1C itu belum dikoreksi. Ketersediaannya lebih banyak sentinel-2 L1C, makanya kita akan pakai yang itu. Data Sentinel-2 ini tersedia sejak Juni 2015.

Kita akan bikin GIF letusan Gunung Krakatau seperti yang saya tampilkan di atas.

Di panel sebelah kanan, pilih gambar Mark Point of Interest, bentuknya mirip tanda seru yang ada bolong di tengahnya. Tandai satu titik di mana saja di sekitar Gunung Krakatau.

Selanjutnya centang hanya Sentinel-2 dan centang L1C. Lalu ganti cloud coverage ke misal 30%. Atur juga tanggal pencarian misal ke Juni 2015.

Klik search yang berwarna kuning di bawah. Hasilnya kurang lebih seperti ini:

Hasilnya kurang lebih seperti ini

Pilih gambar yang mana saja. Tapi usahakan yang cakupan awannya paling rendah. Saya pilih yang paling atas. Tertanggal 2019-06-27, cakupan awan 0.65%.

Hasilnya kurang lebih seperti ini

Silakan bermain visualisasi dengan memanfaatkan pilihan-pilihan yang sudah ada. Kita bisa ganti-ganti juga datasetnya ke L2A yang sudah dikoreksi atau L1C. Silakan coba-coba.

visualisasi True Color untuk menunjukkan bagaimana citra terlihat dengan mata normal
Visualisasi false color untuk menunjukkan fitur-fitur yang ingin dilihat. Misal kita ingin membedakan daerah berpohon dengan daerah tidak berpohon

Jika Anda senang dengan gambar yang Anda punya, bisa langsung disimpan dengan mengeklik di panel sebelah kanan kedua dari bawah. Judulnya download image.

Ada tiga pilihan, basic, analytical, atau high-res print. Saya biasa pilih analytical. Lalu pilih image format JPG kalau cuma untuk gambar biasa. Atau pilih TIFF untuk gambar bergeoreferensi. Pilih juga resolusi gambar, misal High Resolution.

Silakan unduh gambar yang Anda kehendaki.

Untuk membuat GIF, tekan tombol yang ada di bawah download image. Judulnya Create Timelapse Animation.

Pilih jangka waktu yang dikehendaki, dan limit cakupan awan. Misal Tsunami Krakatau terjadi sebelum tahun baru 2019, maka pilih gambar dari awal bulan November (konon sejak November pun Krakatau sudah batuk-batuk), dan pilih hingga akhir bulan Januari (2018-11-01 sampai 2019-01-31) dengan cakupan awan misal 100% (tidak disaring). Klik gambar kaca pembesar (search).

Cek bagian bawah yang ada tulisan Speed frames/s. Perhatikan ada 1/37 yang berarti ada 37 gambar tersedia. Kita bisa atur berapa gambar yang ditampilkan dalam gif setiap detiknya. Misal 2 frames/second. Play!

Di kumpulan gambar kita masih ada gambar-gambar yang seperti ini. Gambar-gambar yang tidak kita kehendaki karena tertutup awan harus kita saring. Caranya mudah. Di panel sebelah kiri, cukup matikan centang. Kemudian gambar tidak akan ditampilkan dalam GIF.

Saya hanya pakai 9 gambar dari 37 gambar yang tersedia. Hasilnya kemudian saya unduh dan saya tampilkan sebagai berikut

Perhatikan tanggal 29 Desember 2018, Gunung Krakatau mulai berubah morfologinya. Setelah tahun baru, kita bisa amati danau kawah baru yang terbentuk dengan warna kecoklatan di pantainya. Konon ini karena oksidasi material gunungapi yang baru terpapar atmosfer.

Demikian tutorial singkat menggunakan Sentinel-Hub dari saya. Semoga teman-teman yang membaca bisa mengaplikasikan dan bersedia berbagi apa yang teman-teman kerjakan.

Salam

Banjir Konawe Utara dari Sentinel-1

Satelit adalah mata dunia. Dengan satelit kita semakin memahami bumi. Lebih jauh daripada yang kita bayangkan dulu, ketika kita masih meraba bumi dari darat, sebelum kita mengenal satelit.

Ada banyak jenis satelit. Ada satelit telekomunikasi, ada satelit navigasi, ada juga satelit penginderaan jauh. Yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai mata dunia. Ia mengindera bumi dari kejauhan. Dalam bahasa inggris, dikenal sebagai Remote Sensing. Istilah ini sudah lama dibahasaindonesiakan sebagai inderaja, .

Satelit-satelit inderaja ini bekerja dengan memanfaatkan hukum-hukum fisika. Ada yang merespon refleksi cahaya matahari, baik gelombang yang tampak, maupun gelombang tak tampak. Ada juga satelit yang menembakkan gelombang ke Bumi. Pantulannya kemudian diukur, responnya diteliti. Lalu kita menginterpretasi apa yang terjadi.

Banyak negara mengirim misi satelit inderaja ke langit. Merekam informasi dari kejauhan. Ada banyak tujuan mengirim satelit inderaja; militer, sains, bisnis, dll. Indonesia dengan LAPAN-nya pun tak mau kalah. Kita punya beberapa satelit inderaja di langit sana. Dari laman Pusat Teknologi Satelit, kita tahu bahwa LAPAN punya setidaknya 3 satelit; Satelit LAPAN Tubsat, LAPAN A2, dan LAPAN A3.

Di tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang satelit LAPAN. Karena saya belum pernah coba pakai data dari satelit LAPAN. Meskipun besar keinginan saya untuk kelak mencoba memanfaatkan data dari satelit anak bangsa, tapi untuk sekarang akses ke data satelit LAPAN belum cukup nyaman bagi saya.

Saya ingin bercerita tentang satelit Sentinel-1. Satelit kebanggaan European Space Agency (ESA), LAPAN-nya Uni Eropa.

Satelit Sentinel 1 memiliki dua satelit yang mengorbit di langit, yaitu Sentinel 1A dan Sentinel 1B. Keduanya membawa instrumen C-Band Synthetic-aperture radar yang memungkinkan instrumen ini merekam data siang dan malam, di segala cuaca. Jadi kelebihan satelit ini, tidak terpengaruh awan. Tidak seperti satelit Landsat atau satelit Sentinel 2, yang sifatnya optikal.

Gampangnya satelit ini penting sekali, karena datanya tidak terganggu awan. Jadi setiap dia merekam data, maka jadilah datanya bisa digunakan. Tidak perlu menyaring cakupan awan. Salah satu hal paling menyebalkan dari satelit optik seperti Landsat atau Sentinel-2.

Aplikasi dari Sentinel-1 banyak banget. Dia bisa dipakai untuk aplikasi kemaritiman, misal; memonitor tinggi air laut dan kondisi es, kebocoran minyak di laut, aktivitas kapal. Satelit ini juga biasa dipakai untuk memonitor perubahan lahan di daratan, yang sangat bermanfaat, terutama bagi bidang pertanian dan kehutanan.

Tapi, terutama yang paling saya suka adalah kemampuan satelit ini untuk merespon kondisi darurat bencana, misal banjir, longsor, gunung api, gempa, dll. Satelit ini bisa mengukur perbedaan elevasi akibat bencana. Misal penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah berlebih, perubahan topografi pasca gempa, longsor, letusan gunung api.

Dan banjir. Seperti di Konawe yang lagi rame belakangan ini. (Lokasi Konawe di peta Google Maps berikut)

Image result for banjir konawe
Banjir Konawe Utara
Kawasan terdampak banjir. Citra Sentinel-1 tanggal 9 Juni 2019. Toponimi dari Badan Informasi Geospasial.

Kabupaten Konawe Utara, di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah beberapa minggu ini menjadi tajuk utama di media masa akibat banjir besar yang menghantam wilayah ini. Menurut BNPB, total 5847 kepala keluarga atau sekitar 22.573 jiwa terdampak banjir di sini. Dilaporkan 4688 unit rumah rusak, 32 unit taman kanak-kanak, 49 unit sekolah dasar, dan 14 sekolah menengah pertama terendam banjir yang terjadi sejak sebelum lebaran dan masih menggenang hingga sekarang.

Belum sawah, lahan pertanian, dan kerugian lainnya menimpa saudara-saudara kita di sana. Semoga Allah melindungi mereka semua dan mengganti segala kerugian dengan kebaikan yang melimpah kelak.

Dari gif berikut kita bisa lihat seluas apa banjir yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara. Gif ini dibuat dari citra Sentinel-1 yang diakses menggunakan Sentinel-Hub. Secara total terdapat 5 gambar tertanggal 28 Mei 2019, 2 Juni 2019, 9 Juni 2019, 14 Juni 2019, 21 Juni 2019, atau dengan interval 5-7 hari.

Gif banjir Konawe Utara di daerah Desa Tapuwatu

Di gambar-gambar di atas kita bisa bedakan air dengan daratan. Ini karena air dan daratan memberikan respon yang berbeda terhadap gelombang radar yang dipancarkan satelit. Secara naluriah pun kita bisa bedakan. Air pasti yang warnanya gelap, karena ada sungai. Daratan warnanya abu terang bertekstur kasar. Dari membedakan ini saja kita sudah bisa membayangkan sejauh mana pelamparan banjir terjadi.

Di pojok kiri bawah terdapat garis skala agar terbayang luasnya. Sungai yang ada di peta ini adalah Sungai Lasolo yang bermuara menuju Pulau Bahabulu di bagian timur kaki Sulawesi.

Kita juga bisa dengan mudah menghitung luas banjir. Kita bisa konversi jumlah piksel berwarna hitam sebelum banjir (misal tanggal 28 Mei 2019), kemudian konversi jumlah piksel setelah banjir terjadi. Kemudian kita hitung perbedaannya. Jika satu piksel itu resolusinya 10 meter atau 100 meter persegi, maka jumlah piksel hitam dikali 100 meter persegi adalah luas banjir, Dengan piranti Sistem Informasi Geografi ini mudah saja untuk dilakukan.

Semoga nanti ada waktu untuk melakukannya.

Akibat dari banjir ini, Desa Tapuwatu, yang terletak di tepian Sungai Lasolo, menghilang. Tanggal 9 Juni, Sungai Lasolo meluap hingga ke atap rumah warga. Ketika banjir agak mereda, desa sudah tiada. Banjir tidak meninggalkan sisa.

Bangunan habis semua. Warga mengungsi. Entah sampai kapan mereka bertahan, karena mereka tak lagi punya rumah untuk kembali.

Kemudian gif kedua adalah kondisi di Sungai Lalindu, yang merupakan anak Sungai Lasolo. Letaknya ke arah utara dari Sungai Lasolo. Daerah ini tak kurang parah dihantam banjir yang sama. Perhatikan gambar! Pada puncak banjir, hampir seluruh lembah Sungai Lalindu ini penuh terisi air yang meruah. Meski sekarang sudah cukup mereda.

Gif banjir Sungai Lalindu

Lalu semakin ke utara dari Sungai Lalindu. Ke daerah Wiwirano, di sepanjang Jalan Poros Lamonae-Landawe yang merupakan jalur Trans-Sulawesi tampak banjir merajalela. Memutus jalan poros yang menjadi nadi logistik, membuat tentara harus mengirim bantuan dari udara.

Gif di Wiwirano

Banjir Konawe ini memang dahsyat. Menghantam kita begitu telak di masa lebaran ketika orang-orang harusnya bergembira. Desa-desa harus direlokasi. Tak kurang tiga desa harus berpindah tempat; Desa Tapuwatu, Wanggudu Raya, dan Walalindu. Semua di bantaran Sungai Lasolo.

Respon LAPAN dan BPPT
Meski kemampuan kita untuk memitigasi bencana masih banyak kurangnya di sana-sini, tapi institusi riset kita harus diberi acungan jempol atas kesigapannya merespon kejadian ini. Pada tanggal 10 Juni, 4 hari pasca banjir terjadi, LAPAN menginformasikan estimasi bangunan terdampak banjir dengan memanfaatkan citra Sentinel-1. BPPT juga melaporkan hasil pengamatannya melalui akun instagram PTPSW (Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah).

http://pusfatja.lapan.go.id/simba/qr/BANJIR/2019/06_Juni/Bangunan_Terdampak_Banjir_10_Juni_2019_Konawe_Sulawesi_Tenggara/Konawe_Bangunan_Terdampak_A.pdf

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN (Pusfatja) melaporkan 12 peta yang meliputi semua area terdampak banjir di daerah ini. Peta ini kemudian dimanfaatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mengestimasi jumlah korban, merencanakan aksi tanggap bencana, dan banyak hal penting lainnya yang harus sigap dilaksanakan pasca bencana terjadi.

Yang mana harus kita apresiasi sebesar-besarnya dan kita dukung agar program tanggap bencana ini semakin sigap ke depannya.

Dari kejadian banjir ini saya belajar pentingnya program satelit sebagai mata kita dari langit. Program satelit bukan program gagah-gagahan negara bisa mengirim satelit ke angkasa, tapi program ketahanan negara, bagaimana kita bisa memahami negeri kita sendiri.

Jika NASA tidak menggratiskan lagi layanannya, atau Copernicus ogah membagikan datanya lagi pada kita, lantas bagaimana kita melihat negeri kita sendiri? Maka dari itu, penting bagi kita untuk mendukung program satelit LAPAN, agar semakin berkembang, semakin membuka datanya pada masyarakat. Agar kita bisa gunakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan orang banyak.

Satu riset pernah dilakukan di Amerika Serikat, mengenai dampak digratiskannya citra Landsat ke khalayak umum sejak tahun 2008. Ada 2 milyar dolar Amerika per tahun berputar sebagai omset dari perusahaan yang bergerak di bidang penginderaan jauh. Luar biasa! Padahal biaya misi Landsat ini hanya kurang dari 1 milyar dolar saja

The economic value of just one year of Landsat data far exceeds the multi-year total cost of building, launching, and managing Landsat satellites and sensors.

 Landsat Advisory Group of the National Geospatial Advisory Committee, 2014

Dari banjir Konawe kita berdoa, semoga tidak ada lagi bencana-bencana menimpa tanah air kita, Indonesia. Semoga korban-korban tetap terlindungi dari penyakit dan kesulitan, serta selalu mendapat bantuan-bantuan yang mereka perlukan.

Insyaallah.

Data: Citra Sentinel-1 tahun 2019 yang diolah menggunakan piranti daring Sentinel Hub

Pengalaman Ikut Copernicus Eyes on Earth Roadshow di Darmstadt

Tahukah kamu bahwa di atmosfer sana terdapat lebih dari 3000 satelit mengorbit Bumi?

Tahukah kamu bahwa terdapat ratusan petabytes data citra satelit yang bisa kita akses gratis? (1 petabyte = 1000 terabyte = 1 juta gigabyte)

Tahukah kamu bahwa European Space Agency merilis sekitar 8 petabyte data citra satelit setiap tahunnya?

Terakhir dan paling menohok. Tahukah kamu bahwa cara kamu mengolah data satelit dengan mengunduh data, terus otak-atik di ArcGIS, QGIS, Erdas, dll itu sudah ketinggalan zaman saking cepatnya perkembangan teknologi satelit yang datanya makin gede dan butuh komputasi super?

Saya juga baru tahu minggu lalu.

Ketika saya ikut acara Lokakarya Penginderaan Jarak Jauh yang diselenggarakan di EUMETSAT (European Organisation for Meteorological Satellites) di Darmstadt. Acara ini merupakan bagian dari Lokakarya Eyes of Earth yang diselenggarakan oleh Copernicus (program Observasi Bumi Uni Eropa). Simak liputan acara ini di sini.

Saya beruntung, karena acara ini diselenggarakan di kota tempat saya studi. Gratis. Tidak perlu akomodasi. Makan siang yang enak. Buah tangan seminar yang mantap. Itu beberapa hal kesukaan mahasiswa seperti saya.

Tapi yang lebih utama adalah kesempatan untuk berjejaring dengan para ahli di bidang penginderaan jauh dan dapat gambaran sejauh mana dunia ini sudah berkembang.

Roadshow_Participants_Pictures
Suasana acara. Gambar diambil dari sini

Berkembang Pesat
Penginderaan Jauh berkembang sangat pesat. Sejak Pemerintah Amerika Serikat dengan misi Landsatnya merekam Bumi dari angkasa, diikuti dengan misi-misi lainnya membuat kita bisa mengerti bagaimana Bumi kita ini bekerja. Dengan citra satelit kita bisa mengetahui sebanyak apa es mencair di kutub dan di tempat-tempat lain di dunia.

Kita bisa memonitor pergerakan arus laut dan plankton yang hidup mengikutinya. Kita bisa mengetahui ke arah mana awan dan angin bergerak, sehingga kita bisa memahami cuaca lebih baik dari sebelumnya. Dan begitu banyak aplikasi lain dari teknologi ini.

Ketika data satelit Landsat digratiskan pada tahun 2008, jumlah pengunduh satelit ini meningkat 100 kali lipat, dan menciptakan bisnis dengan nilai 2 miliar dollar per tahunnya di Amerika Serikat saja. Uni Eropa pun tak mau kalah, dengan meluncurkan satelit Sentinel dan membuka datanya gratis untuk publik.

Di acara Eyes on Earth ini saya melihat ada persaingan hebat antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat dalam teknologi satelit dan pemanfaatannya. Orang-orang Eropa ini begitu bangga dengan program Sentinelnya. Juga dengan program-program lain yang mengikuti Sentinel ini.

Misal ketika saya bertanya tentang Google Earth Engine, salah satu piranti lunak yang biasa digunakan untuk mengolah data satelit. Kebanyakan dari mereka menjawab bahwa itu produk Amerika dan mereka tidak boleh bergantung pada produk itu. Copernicus pun menyediakan platform untuk mengolah data citra satelit berbasis komputasi awan. Tak tanggung-tanggung ada lima program yang mereka sediakan, semua punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Kita harus bersyukur dengan persaingan ini, karena ini memberi kita pilihan sebagai pengguna. Kita terima-terima saja dan gunakan semua yang mungkin dan bisa kita gunakan.

Mendorong Terciptanya Start-up
Dalam acara Eyes on Earth ini, Copernicus mendorong terbentuknya perusahaan rintisan yang menggunakan data inderaja sebagai sumber datanya. Sudah ada banyak perusahaan rintisan yang dibimbing dan dikatalis oleh Copernicus.

Misal perusahaan Deep Blue Globe. Perusahaan ini mengembangkan navigasi maritim berbasis kecerdasan buatan. Jadi mereka menggunakan data lalu lintas perjalanan laut dan kondisi cuaca aktual yang dimasukkan ke dalam sistem kecerdasan buatan mereka untuk menavigasi kapal-kapal di lautan.

Perusahaan lain misal AgriBORA yang mengombinasikan data inderaja, stasiun cuaca, dan model pertanian untuk memberikan informasi waktu tanam terbaik kepada petani di Afrika. Informasi ini dikirimkan secara langsung dan aktual kepada petani melalui SMS.

Panitia Eyes on Earth mendorong kami, para peserta, untuk mengembangkan perusahaan rintisan kami sendiri. Ada 6 sesi khusus, antara 30-60 menit untuk kami berdiskusi mencari masalah dan solusi yang mungkin bisa diciptakan, serta bagaimana data inderaja dapat digunakan sebagai bagian dari solusi.

Grup saya, 4 orang, saya, Sophie, Mennatullah, dan Julian, semua dari TU Darmstadt dibimbing oleh ahli inderaja dari Universitas Twente, Valentin. Kami ingin bikin perusahaan bohong-bohongan yang membuat platform pengidentifikasi kualitas air dengan menggunakan citra satelit. Kita bisa bedakan kualitas misal kejernihan (turbidity), kandungan organik (CDOM), klorofil, salinitas, dan temperatur, dari data satelit.

Valentin, Julian, Menna, Sophie, dan saya setelah presentasi hari pertama

Dari diskusi-diskusi singkat di setiap sesi, kami dipaksa untuk mengisi model bisnis Canvas dan kemudian mempresentasikan singkat ide kami di hadapan ahli-ahli inderaja dan mendengar saran dari para ahli ini. Mereka kemudian memberi tahu alat-alat apa yang sudah tersedia. Misi satelit mana yang sesuai dengan kebutuhan data kami, dan seterusnya.

Pada akhirnya, acara Eyes on Earth ini membuka mata saya, bahwa ada begitu banyak peluang terbuka karena satelit telah membuka cakrawala kita terhadap planet yang kita tinggali ini. Keterbukaan data dan kebersediaan orang-orang untuk membagi pengetahuannya menjadi modal sangat berharga untuk memulai karir atau bisnis di bidang ini.

Kemajuan teknologi diikuti dengan membanjirnya data adalah satu hal, tapi kreativitas manusia untuk memanfaatkannya adalah hal lain. Tanpa kreativitas dan visi kita tidak akan gagap dan melaju lambat. Tak peduli betapa majunya teknologi.

Kehadiran satelit merubah cara pandang kita terhadap Bumi. Kemajuan teknologi pengolahan data berbasis awan merubah cara pandang kita terhadap cara mengolah data konvensional di komputer pribadi kita. Dan begitu banyak revolusi lainnya yang merombak secara signifikan bagaimana cara kita bekerja dan berpikir terhadap sesuatu. Sehingga keengganan untuk beradaptasi boleh jadi akan menjadi titik kemunduran kita. Bukan karena kita payah. Hanya karena orang lain jauh lebih visioner dan berani beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Semoga kehadiran saya membawa manfaat, terutama bagi diri saya pribadi, dan semoga kepada orang banyak .

Tabik.

Fridays for Future – Klimastreik

Diinisiasi remaja fenomenal dari Swedia, Greta Thunberg, Fridays for Future kini telah menjadi gerakan yang mendunia. Greta, 16 tahun, pertama kali menginisiasi gerakan ini pada Agustus 2018.

Greta kala itu masih duduk di kelas 9. Ia memutuskan untuk mogok bersekolah dari tanggal 20 Agustus 2018 hingga pemilihan umum di Swedia pada tanggal 9 September 2018. Keputusan itu ia ambil setelah terjadinya bencana iklim gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia.

Why should I be studying for a future that soon may be no more, when no one is doing anything to save that future

Greta Thunberg, 16 tahun

Gerakannya merembet ke mana-mana. Per 17 Juni 2019, sudah terjadi 4410 demo di seluruh dunia, di lebih dari 100 negara, dan 800 kota. Premis demo ini sederhana, kenapa harus belajar untuk masa depan kalau tidak ada masa depan. Kenapa kita harus berusaha agar menjadi orang terpelajar, ketika pemerintah kita ogah mendengarkan orang terpelajar. Info lebih lengkap mengenai gerakan ini bisa didapatkan di laman https://www.fridaysforfuture.org/.

Statistik Fridays for Future Strike source

Ada banyak kemirisan ketika di satu sisi seorang anak bisa menginisiasi gerakan perubahan iklim yang begitu besar, sementara di sisi lain masih banyak orang-orang yang bahkan tak percaya bahwa perubahan iklim itu nyata.

Anak-anak diajarkan bahwa mereka akan mewarisi bumi. Mereka selalu dibebankan tanggung jawab bahwa mereka adalah generasi penerus yang akan menggantikan bapak dan ibu mereka. Bahwa anak-anak adalah masa depan.

Tapi anak-anak ini kita warisi bumi yang sudah kita bikin bobrok. Yang air sungainya tak bisa dipakai mandi apalagi minum. Yang air tanahnya surut semakin mendalam setiap harinya. Yang atmosfernya kotor, partikulat bertebaran kita hirup setiap saatnya.

Anak-anak ini kita warisi keragaman spesies yang minim, karena satu juta spesies sedang menanti kepunahannya. Karena hutan tropis yang kaya akan variasi spesies kita rubah jadi perkebunan monokultur yang menjadikan gajah, harimau, orangutan sebagai hama, dan kita berkonflik dengan mereka setiap harinya.

Pantas saja mereka berkata, “Ngapain saya belajar untuk masa depan, kalau tidak ada masa depan. Ngapain saya belajar kalau gak ada orang yang berjuang untuk menyelamatkan masa depan?

Aksi Greta menginspirasi dunia. Ribuan jika bukan jutaan orang mendukung aksinya. Aksi Greta diabadikan di Miniatur Wunderland, salah satu tempat wisata utama di Kota Hamburg. Miniatur Greta yang sedang berdemo di atas es yang mencair, dengan mobil dan korporasi hitam di satu sisi, dan beruang kutub yang sangat terancam dengan berkurangnya jumlah es di bumi di sisi lainnya. Sementara Greta sedang berdemo dengan spanduknya “ Skoolstreijk for Klimatet“, aksi demo anak sekolah untuk iklim.

Miniatur Wunderland mendukung Greta dengan mendorong semua yang melihat miniatur ini untuk membagikan gambar dengan takarir “Vi Ar Greta” atau Kita adalah Greta!

Miniatur Greta di Miniatur Wunderland, Hamburg. source

Klimastreik di Darmstadt

Di Darmstadt, kota saya tinggal sekarang, saya sudah lihat kurang lebih 4 demo sampai sekarang. Di demo-demo itu semua kalangan ada di sana; anak-anak, pemuda, orang dewasa. Jalan-jalan ditutup. Polisi mengawal. Wartawan berseliweran mengambil gambar dari gerakan yang fenomenal ini.

Fridays for Future terakhir, hari Jumat lalu diikuti kurang lebih 3500 orang.

Yel-yel mereka teriakkan lantang

“Wir sind hier, wir sind laut, weil ihr unsere Zukunft klaut”

Kami di sini, kami berteriak kencang, karena kalian mencuri masa depan kami!

Hampir setengah kota Darmstadt harus ditutup pada hari jumat ini untuk mengakomodasi peserta demo. Demo dilaksanakan damai, dengan aktivitas dan rute demo yang disetujui dan diamankan oleh polisi lokal.

Di kampus saya, mereka pasang poster menohok para mahasiswa. Katanya menyelamatkan iklim bisa juga tanpa perlu M.Sc. Mungkin mereka menyindir orang-orang yang belajar tinggi-tinggi tapi pada akhirnya malah jadi sumber emisi.

Pada akhirnya anak-anak ini ingin kita sadar bahwa kita sedang mencuri masa depan mereka. Dalam harian lokal Darmstadt, echo-online, seorang anak memberikan testimoni, “Saya gak mau beruang kutub mati“. Anak yang lain berkata, “Kita hanya punya sembilan tahun tersisa menuju titik di mana dampak irreversibel bisa kita cegah. Kalau kita gagal, kita selesai”.

Sedih, miris, dan ironis. Tapi juga membuka mata, bahwa perjuangan belum berakhir. Bahwa masih banyak orang-orang di dunia ini yang memperjuangkan dunia yang lebih baik. Yang akan kita wariskan pada anak cucu kita nanti. Yang sekarang sudah geram dan marah karena tahu betapa buruk cara kita mengorganisasi bumi yang akan mereka warisi.

Semoga kita sadar. Semoga kita mengerti. Bahwa kita tak bisa lagi merampok warisan masa depan anak-anak kita lagi.

Wir sind hier, wir sind laut, weil ihr unsere Zukunf klaut! Wir sind Greta!

Kisah Mueller di Gunung Lumbung

Ini adalah cerita tentang seorang naturalis Jerman yang ditugaskan untuk meneliti di Hindia Belanda pada abad ke-19. Penelitian sains di Hindia Belanda pada abad ke-19 bermula pada tahun 1815, ketika Napoleon yang kala itu menguasai hampir seluruh Benua Eropa, takluk pada pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Waterloo. Konon salah satu penyebabnya adalah keganjilan musim akibat letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara beberapa bulan sebelumnya.

Kekalahan Napoleon, diiringi dengan Perjanjian Wina, membuat Kerajaan Belanda kembali merdeka. Berdaulat atas tanahnya sendiri, dan kembali berkuasa di tanah jajahan mereka, nun jauh di Hindia sana.

Kerajaan Belanda yang bangkrut dan defisit membutuhkan terobosan untuk mencari pemasukan. Raja William I, berpikir keras bagaimana cara mengeksploitasi tanah jajahan mereka. Ia kemudian membentuk Komisi Ilmu Alam Hindia Belanda Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië, sebuah komisi beranggotakan ilmuwan, pelukis, dan penulis yang akan melakukan ekspedisi sains untuk memahami tanah jajahan, Hindia Belanda. Teranglah bahwa tujuan utama investasi pada sains tak lain hanyalah untuk maksud mengeksploitasi.

Komisi itu berdiri pada 1820 hingga dibubarkan pada 1850. Terlepas dari tujuan pendiriannya, selama 30 tahun berdiri, komisi ini menyumbangkan koleksi spesimen yang luar biasa berharga dengan laporan-laporan berkualitas tinggi, yang masih bisa kita manfaatkan hingga sekarang.

Salomon Mueller

Salah satu anggota dari Komisi Ilmu Alam Hindia Belanda adalah seorang Jerman bernama Salomon Mueller. Ia bertugas di Hindia Belanda selama 10 tahun (1826-1836). Ia adalah salah satu yang beruntung dapat selamat kembali ke negerinya, karena banyak dari anggota Komisi yang wafat kala menjalankan tugas penelitian di rimba Hindia Belanda yang ganas, yang membunuh begitu banyak orang Eropa yang mengembara ke sana.

Mueller mungkin tak seterkenal anggota Komisi yang lain, seperti Franz Junghuhn, si Humboldt dari Jawa, atau Carl Anton Schwaner yang namanya diabadikan menjadi nama pegunungan yang menjadi batas antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Meski begitu, Mueller meninggalkan jejak penting yang menarik untuk dibahas. Terutama bagi mereka yang tinggal di Cekungan Bandung. Mueller pernah berekspedisi ke Cekungan Bandung pada tahun 1833 dan laporannya sangat menarik untuk diikuti.

Dalam laporannya, Aanteekeningen Gehouden op Eene Reize Over Een Gedelte van het Eiland Java, atau Laporan Perjalanan ke Sebagian Pulau Jawa yang ditulis oleh Mueller dengan rekannya Pieter van Oort, seorang pelukis, Mueller berkisah tentang perjalanannya di Cekungan Bandung pada awal tahun 1833.

Ia memulai ceritanya di Leuwigajah pada tanggal 3 Januari 1833 dan menutup ceritanya di Banjaran pada tanggal 6 Maret 1833. Selama dua bulan, Mueller dan van Oort berkelana mengarungi tempat-tempat menarik di Cekungan Bandung, mulai dari Situ Lembang, Curug Cimahi, Cililin, Gunung Lumbung, Ciwidey, Banjaran, dan banyak tempat lainnya.

Sebagai seorang pelukis, van Oort menyertakan lukisan dan sketsa otentik dan luar biasa dari Cekungan Bandung pada kala itu. Kawah Ratu, Curug Cimahi, Situ Lembang, hingga sketsa-sketsa peninggalan arkeologi yang ada di Cekungan Bandung, seperti arca yang ditemukan di Ciwidey, lingga dan pecahan gerabah yang ditemukan di Gunung Lumbung, hingga patung sapi yang ditemukan di tepi Ci Tarum.

Lukisan Curug Penganten di Cimahi oleh Pieter van Oort

Dalam tulisan ini, saya akan membagikan cerita Mueller dan van Oort di Gunung Lumbung. Cerita ini sangat menarik karena menyebutkan salah satu pahlawan penting dalam sejarah orang Sunda, yaitu Dipati Ukur, yang mati akibat diperangi oleh Sultan Agung, raja Mataram kala itu. Cerita ini diterjemahkan dari catatan van Oort dan Mueller sehingga penulisannya menggunakan sudut pandang orang pertama. Berikut kisahnya:

Cililin, 17 Januari 1833

Pagi hari sekali, ditemani oleh tetua kampung, kami meninggalkan Cililin untuk menelusuri jejak penemuan artefak yang dilaporkan oleh penduduk lokal. Kami diberitahu bahwa ada artefak di Gunung Lumbung. Selain itu juga dilaporkan bahwa di sini merupakan tempat persembunyian dari Dalem Dipati Ukur. Seorang bangsawan Sunda yang pernah berperang melawan Sultan Agung.

Pagi itu kembali berkabut. Kami berkuda menuju barat daya dari Gunung Geger Pulus, melewati dataran yang indah dan subur di antara aliran-aliran sungai yang berkelok-kelok melewati bentang alam yang indah, yang dihuni kelompok-kelompok kecil masyarakat lokal. Sekitar 1.5 mil dari Cililin, kami harus menyeberangi Sungai Ciminyak yang dalam karena jembatan kayunya hanyut terbawa banjir bandang.

Kabut perlahan menghilang ketika kami sampai di seberang sungai, dan lembah subur Ci Minyak terhampar di hadapan kami. Sungai yang jernih yang menerobos lembah yang lebar memberi efek mencolok pada warna hijau sawah dan warna cerah dari pohon-pohon palem yang tumbuh di lereng dan punggungan. Teramati gunung-gunung, Salak Panden (Salak Pandan), Poetrie (Putri), dan Moenkal-Pajong (kini dikenal sebagai Mukapayung, namun nampaknya ini kekeliruan penerjemahan karena banyak daerah di Jawa Barat yang dimulai dengan kata Mungkal, catatan dari Pak T. Bachtiar), sebagian tertutup awan dan kabut, menjadi latar indah pemandangan ini.

Kami melewati daerah yang cukup kering kemudian menyusuri lagi Ci Minyak hingga sampai di kampung Tegal Ladja[1], yang jaraknya sekitar satu mil dari Cililin. Di sini kami meninggalkan kuda kami, dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke Gunung Lumbung.

Semakin ke dalam, pemandangan menjadi semakin monoton. Lahan yang subur digantikan dengan dataran yang ditumbuhi alang-alang yang tinggi. Jalur ini mengarah ke timur menuju lahan padi yang tidak digarap warga di sekitar Gunung Putri dan Gunung Mukapayung. Di kiri kami berdiri tinggi Gunung Salak Pandan. Di antara pepohonan, tebing-tebing terjal yang terbentuk dari batuan trakhit. Di lembahnya, yang ditanami padi, bebatuan raksasa bertebaran. Di kaki Gunung Mukapayung, kami melewati sungai kecil Tjiebieton (Ci Bitung), yang tepi sungainya terdiri dari lapisan-lapisan horizontal hasil pelapukan batulempung. Kami kemudian menuju ke arah timur, menanjak ekstrim melalui lembah yang sempit yang mengarah ke tenggara. Lembah ini dibatasi oleh Gunung Putri dan Gunung Mukapayung di sebelah selatan, dan Gunung Salak Pandan di sebelah utaranya. Lembah ini ditumbuhi oleh pohon pinus dan semakin ke timur oleh palem.

Pemandangan Gunung Salak Pandan (terpotong di ujung kiri), Lembah Cibitung (kiri), Gunung Putri (tengah), Lembah Ciririp (kanan), dan Gunung Hanyewong (ujung kanan) Foto oleh Deni Sugandi

Setelah melewati sungai yang bertingkat-tingkat, sekitar satu mil jaraknya dari Tegal Ladja, hutan mulai terbuka, dan kami tiba di cekungan yang cukup lebar, di mana pada beberapa ketinggian ada beberapa pondokan yang kami pakai untuk beristirahat. Cekungan ini disebut dengan Liembang yang berarti danau atau singgasana, dengan ketinggian sekitar 4000 kaki di atas permukaan laut. Menurut penduduk lokal, biasanya tergenang air, dikelilingi oleh pegunungan Salak Pandan, Gedogan, dan Lumbung. Sebagian dari dataran ini ditutupi oleh hutan, sementara sebagian yang lain ditutupi alang-alang.

Dasar lembah ditanami padi, dengan sepuluh atau dua belas gubuk sebagai bangunan membentuk Desa Lembang. Penghuni desa ini berasal dari Tegal Ladja, namun berpindah untuk mendapatkan lebih banyak lahan untuk menanam padi, gula, dan memelihara kerbau.

Di siang hari kami mendaki Gunung Lumbung dengan lerengnya yang terjal berpohon jarang. Ketika kami sampai di puncak, kami menemukan beberapa teras persegi yang ditumbuhi rerumputan dan semak menutupi tanah yang luas. Puncak bagian tenggara dan barat daya dari Gunung Lumbung juga ditutupi rumput dan semak seperti itu.

Petak-petak teras ini kemungkinan besar merupakan sisa pemukiman dari Pahlawan Sunda, Dipati Ukur. Tetua lokal yang menemani kami bercerita tentang Dipati Ukur. Katanya, dulu ia mendengar Bupati Bandung bercerita:

“Pada masa ketika Sultan Agung[1] mendeklarasikan perang terhadap Belanda di Pulau Kokos[2](Sunda Kelapa), ia mengirim orang-orang terbaiknya. Dipati Ukur adalah salah satunya dan Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur mengumpulkan pasukan Sunda dan pergi berperang. Dipati Ukur kemudian mengumpulkan pasukannya dan bersiap menyerang orang kulit putih di Pulau Kokos (Sunda Kelapa). Belum jauh pasukannya pergi berperang, ia diberitahu oleh anak buahnya bahwa anak buah Sultan telah masuk ke kamar istrinya, berbuat tidak senonoh, memperkosa wanita-wanita yang ditinggalkan di kota.

Dipati Ukur marah, menolak pergi berperang dan kembali ke tempatnya, menemukan anak buah Sultan di kamar istrinya. Dipati Ukur membunuh mereka semua. Sultan Agung yang tidak tahu cerita sesungguhnya murka mendengar Dipati Ukur mundur. Tidak mau tahu ia kemudian mengirimkan pasukan yang besar untuk memburu Dipati Ukur. Dipati Ukur kemudian mundur dan membangun pertahanan di Gunung Lumbung.

Pasukan Sultan Agung yang menyerang ke gunung ini disergap oleh pasukan Dipati Ukur dengan menggelindingkan batu-batu raksasa dari gunung, mengakibatkan pasukan Sultan berguguran. Sadar tak bisa menangkap Dipati Ukur dengan kekerasan, Sultan Agung memutuskan memakai jalan lain yang curang. Ia menyuap teman dan saudara Dipati Ukur agar bersedia mengkhianatinya, yang mana cara ini berhasil. Dipati Ukur ditangkap oleh pasukan Sultan dan dibawa ke Mataram. Sultan Agung mengikatnya telanjang di alun-alun dan memerintahkan setiap orang yang lewat untuk mengiris tubuhnya hingga Dipati Ukur tewas tinggal tersisa kerangkanya saja. Kemudian jenazahnya dibuang. Sultan Agung berkata, “Negara ini (negaranya Dipati Ukur) telah binasa. Gunung Lumbung telah dihancurkan. Lelakinya telah dibunuh. Anak-anak dan perempuan ditangkap dan dibawa ke timur.”


  • [1] Sulthan Agung, yang juga dikenal dengan nama Raden Rensang, memerintah kerajaan Mataram dari 1616 hingga 1648, orang kulit putih berarti orang Belanda di sini dan pulau Kokos berarti Batavia. Perang yang dimaksud di sini adalah pada 1628-1629. Dalem Dipati Ukur menguasai sebagian dari Kabupaten Bandung saat itu dan sangat penting untuk Sultan Agung.
  • [2] Perlu dicatat bahwa Pulau Jawa dikenal oleh orang-orang pelaut di Kepulauan India dengan nama Pulau Kalapa, dan dalam tradisi lama dengan nama itu beberapa kali terjadi.

Kini ketika kami tiba Gunung Lumbung, kami menemukan pecahan pot, porselen Cina, dan gentong-gentong yang telah hancur. Seorang janda tua, memberi kami koin perunggu dan mangkok batu yang ditemukannya ketika menyiapkan lahan sawah. Kami menerimanya dan menggantinya dengan uang. Kemudian pemandu kami mengajak kami ke puncak gunung dan kami terkejut karena menemukan arca batu yang sudah sangat tua, entah apakah bisa dibilang sebagai patung apabila melihat bentuknya yang tidak beraturan sekarang.

Arca ini berada di bawah pohon Hoeni (Antidesma bunius). Arca ini dikelilingi oleh belasan batu kali yang tertutupi oleh daun merah pohon Hanjuang (Dracaena terminalis). Bentuk arca ini tidak jelas karena sudah melapuk hebat akibat oksidasi dan tetes air.

Dari depan kami menduga bentuknya adalah kepala burung, seperti burung merak jelas terlihat. Bentuk lainnya kurang jelas, dugaan kami adalah mata ketiga yang terletak di dahi dan melambangkan Dewa Siwa, sang mentari. Tinggi patung ini 0.65 meter, lebar 0.4 meter, dan tebalnya 0.25 meter. Bagian depan mengarah ke barat laut.

Kemudian terdapat juga batu panjang tipis berwarna kemerahan yang kami duga sebagai Lingga. Letaknya di timur laut dari arca. Tingginya 1.2 meter, lebar 0.28 meter, dan tebal 0.2 meter. Kami menemukan batang-batang kayu dan colokan bambu yang terbakar, yang kami duga sebagai sesembahan masyarakat lokal yang ingin mencari wangsit.

Kami meyakini ini bukan peninggalan dari Dipati Ukur karena bagaimanapun Dipati Ukur merupakan pengikut ajaran Muhammad.  Islam sudah masuk dua abad sebelum zaman Dipati Ukur. Mungkin ini berasal dari masa awal Islam di sini. Seorang penganut Hindu menyembunyikan diri di gunung ini. Patung ini berdiri di bawah pohon tua yang tinggi dan dikelilingi oleh batu-batu yang dibuat melingkar.

Penduduk setempat menyebutnya Artja (Arca) dan jika mereka mengunjungi Arca tersebut, mereka menyalakan dupa kemudian memohon kehendak-kehendak yang mereka inginkan.

Dari sini (dari Puncak Gunung Lumbung) pemandangan sangatlah indah. Kami bisa melihat puncak tinggi Pegunungan Selatan dan ke arah barat kami bisa lihat dataran Rongga yang berhutan lebat. Kami membayangkan Dipati Ukur ketika penyerangan oleh pasukan Sultan Agung, kesedihannya karena kekalahannya di Gunung Lumbung. Beranjak ke sore hari, kami kembali ke Cililin.

Sumber:
Aanteekeningen Gehouden op Eene Reize Over Een Gedeelte van het Eiland Java
Over Eenige Oudheden van Java en Sumatra door Dr. Sal Muller