Dulu, di aliran Ci Tarum di sekitar Leuwigajah, di tempat sekarang Curug Jompong berada, tidak hanya ada satu air terjun saja. Di sana terdapat deretan air terjun, ada dua air terjun lainnya ke hilir dari Curug Jompong. Dua air terjun itu kini tidak ada lagi, karena sejak 1985 ikut tenggelam dalam genangan Waduk Saguling setelah struktur bendungan dibangun antara Pasir Saguling dan Gunung Pancalikan, membendung Ci Tarum pada elevasi 650 meter di atas permukaan laut.
Keberadaan deretan air terjun di Bandung ini telah dilaporkan sejak lama. Tercatat Junghuhn yang pertama melaporkannya pada 1854. Junghuhn dalam bukunya Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi En Inwendige Bouw volume ke 4 yang diterbitkan tahun 1854 (hal. 384), melaporkan penemuan bebatuan Diorit di sekitar Curug Jompong. Ia juga melaporkan deretan air terjun setelah Curug Jompong. Curug Jompong adalah air terjun yang pertama, kemudian Curug Lanang, dan ketiga adalah Curug Kapek.
Pada tahun 1857, Ferdinand Hochstetter dan timnya dalam ekspedisi Novara, menapaktilasi jejak Junghuhn dan melaporkan hasil ekspedisinya dalam buku “Narrative of the Circumnavigation of the Globe by the Austrian Frigate Novara“. Dipimpin oleh Komodor B. von Wullerstrof-Urbair dan ditulis oleh Dr. Karl Scherzer, laporan mengenai tiga air terjun di sekitar Lagadar dilaporkan dalam buku volume kedua yang diterbitkan di London tahun 1862. Tapi catatan lengkap mengenai perjalanan ke Jawa ditulis langsung oleh Ferdinand Hochstetter dalam Geologische Ausflüge auf Java.
Laporan ini merupakan yang paling lengkap dan terperinci mengenai tiga air terjun di Lagadar. Dalam laporannya ini Hochstetter menuliskan pengalamannya berkunjung ke daerah ini.
” Curug Jompong adalah air terjun pertama di Ci Tarum. Lokasinya merupakan gerbang di mana Ci Tarum berpindah dari dataran Bandung menerobos perbukitan yang jika dilihat dari selatan (Gunung Tilu dan Gunung Patuha), perbukitan ini seolah membentuk koridor memanjang ke arah utara menuju dataran tinggi Bandung.
Erosinya cukup dalam di sini, hingga 100 kaki. Sebatang pohon kiara berdiri tegak di dasar sungai yang berdebur kencang, menjadi pemandangan indah yang natural dengan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Aliran air menerjang di lembah dengan lebar sekitar 100 kaki, menderu menurun karena ada dua tingkatan, kemudian bersamaan jatuh setinggi 30 kaki. Sedikit jauh ke hilir kita bisa amati turunan ketiga.
Di tengah-tengah air yang berbusa, tampak batuan tertutup semak dan batuan besar yang seolah membentuk pulau kecil dengan pohon tumbuh dari retakannya. Dinding batuan di sebelah kiri sungai menunjukkan karakter felspatik, teramati juga hornblende dan massa trakitik yang mengandung kuarsa, dengan tekstur porfiritik dan berwarna terang.
Batuan ini mirip dengan batuan Vorospatak di Transylvania yang diteliti oleh Dr. Strassen yang mendeskripsi batuan ini sebagai Dasit. Sayang sekali saya tidak bisa mendapat spesimen yang segar dari tempat ini.
Sekitar setengah mil ke hilir dari Curug Jompong, Ci Tarum yang menoreh bukit-bukit trakitik, seperti Bukit Korehkotok di kiri sungai, dan kerucut Gunung Selacau yang mencolok di kanan sungai, kembali terdisrupsi.
Di sinilah air terjun kedua, yaitu Curug Lanang berada. Erosi sungai semakin dalam di sini. Tepi sungai terjal dan berbatu, sehingga untuk turun ke sungai hanya mungkin dengan bantuan tangga bambu. Curug Lanang ini lebih berupa jeram daripada air terjun. Batuannya sangat resisten dengan mineral berwarna abu kehijauan tanpa hornblende. Dinding vertikal di kiri sungai menunjukkan seri lapisan sedimen yang menarik, yaitu:
–6 kaki lempung
–8 kaki kerakal
–12 kaki batupasir coklat dengan selingan lempung
–10 kaki kerikil
–dan 20 kaki lapisan tipis batupasir kecoklatan.Lapisan-lapisan sedimen ini berlapis datar tanpa disrupsi di atas masa batuan yang menjadi dasar sungai. Lapisan ini merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung.
Kami beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan ke Curug Kapek, yaitu air terjun ketiga. Air terjun ini tidak jauh dari Curug Lanang, tapi karena tidak ada akses kami harus jalan memutar. Curug Kapek juga lebih tepat disebut sebagai jeram daripada air terjun. Sungai di segmen ini hanya selebar 24 kaki, dan air terjun jatuh dari ketinggian 6 kaki dari lapisan batupasir yang merupakan lapisan paling bawah dari profil yang saya sebutkan di atas. Pasir dalam profil ini merupakan endapan volkanik berukuran pasir halus.
Setelah mengamati sendiri, saya merasa cukup yakin tentang pendapat Junghuhn mengenai material yang dianggap sebagai lapisan danau di Dataran Bandung ini berasal dari endapan gunung api. Juga bahwa dataran tinggi ini, seperti juga daerah lain di tengah-tengah Pulau Jawa, ditimbun oleh endapan volkanik, lava, material rombakan, debu, dan pasir. Sementara endapan yang lebih tua mungkin endapan aluvial. Kami bisa membayangkan asal muasal dari material-material ini dengan menganalogikan dengan letusan gunung yang terjadi belakangan ini di Jawa, misal letusan Gunung Galunggung tahun 1822 yang aliran lumpurnya mengakibatkan areal yang berada pada jarak tertentu dari pusat erupsi ini tertimbun hingga 50 kaki dalamnya.”
Kemudian pada tahun 1930, Profesor geologi Th. Klompe dalam buku buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tingginya), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, menulis:
“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. “
Profesor Klompe tidak menyebutkan secara gamblang nama air terjun setelah Curug Jompong. Ia hanya menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan jeram di daerah ini. Boleh jadi ini merujuk pada Curug Lanang dan Curug Kapek seperti yang telah dilaporkan oleh Hochstetter dan Junghuhn.
Setelah mencari-cari cukup lama, akhirnya saya dapat foto air terjun yang saya duga adalah Curug Lanang. Foto-foto ini merupakan koleksi digital dari Universitas Leiden. Kira-kira diambil tahun 1910. Keterangan dalam foto ini hanya menyebut jeram di Ci Tarum tempat bermuaranya Ci Kuya.
Perhatikan batu di gambar 1, merupakan batu yang sama dengan gambar 2. Sementara gambar 3 kemungkinan adalah foto dari jarak jauh.
Yang menarik di dalam Peta Geologi Lembar Bandung yang dibuat oleh van Bemmelen dan Szemian tahun 1934, terdapat toponimi Kapek di sebelah utara Curug Jompong. daerah ini berada di sekitar Ci Kuya yang kemudian bermuara ke Ci Tarum. Meski demikian kemungkinan besar di muara Ci Kuya ini justru merupakan letak dari Curug Lanang, karena deskripsi geografisnya lebih cocok, yaitu di antara Pasir Korehkotok di kiri sungai dan Gunung Selacau di kanan sungai (kiri kanan sungai dilihat dari arah sungai mengalir). Sementara dalam tulisan Klompe, ia menyatakan bahwa Ci Lanang berada di muara sungai pertama setelah Curug Jompong. Dalam peta geologi van Bemmelen dan Szemian ini, Curug Jompong ditandai dengan kata Stroomversnelling yang artinya jeram.
Tentu Curug Lanang tak bisa kita lihat lagi keberadaannya. Namun bukan berarti kita lupakan saja dan lanjutkan hidup seperti biasa. Justru kita harus menggali apa yang mungkin bisa kita manfaatkan untuk masa depan. (Menggali di sini bukan berarti menambang yaa).
Membuka ulang catatan-catatan lama bukan berarti bernostalgia dengan masa lalu dan menganggap masa lalu lebih baik dari masa sekarang. Ini hanyalah upaya untuk merefleksi diri, melihat kembali apa yang pernah kita punya agar kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan ke depannya. Mempelajari sejarah adalah mempelajari kebijaksanaan lampau untuk kita manfaatkan dalam kehidupan kita sehari-hari sekarang. Paling sederhana bisa jadi menghidupkan kembali jalur berwisata di sekitar Curug Jompong. Mengajak orang-orang kembali ke masa lalu untuk bisa memperbaiki Ci Tarum yang rusak berat saat ini.
Dalam catatan-catatan panduan perjalanan berwisata di Bandung, sering sekali disebut bahwa daerah perbukitan intrusi yang diterobos Ci Tarum ini memiliki bentang alam paling indah di Pulau Jawa. Mungkin kita bisa mengembalikan daerah ini seperti dulu, kembali pada habitatnya sebagai tempat yang indah, tempat yang dikunjungi dan dibanggakan, bukan tempat yang dibelakangi dan ditinggalkan.
Semoga bermanfaat.