Trotoar yang Aksesibel

Ada dua berita yang terbayang-bayang di benak saya seminggu belakangan ini, yang pertama adalah berita mengenai Indonesia sebagai negara urutan buncit dalam berjalan kaki, yang kedua adalah mengenai perisakan (bullying) pada mahasiswa difabel di Universitas Gunadarma.

Hampir semua setuju bahwa penyebab utama orang Indonesia malas berjalan kaki adalah karena fasilitas trotoar yang tidak mumpuni. Tidak semua ruas jalan punya trotoar, trotoar yang ada pun rusak, atau kalau pun nyaman maka invasi pesepeda motor dan pedagang kaki lima menambah alasan kita untuk enggan berjalan kaki. Ditambah dengan kemudahan transportasi angkot, ojek, kendaraan pribadi yang bisa berhenti dimana saja, parkir dimana pun tanpa perlu peduli bahwa di tempat kita parkir ada hak orang lain yang kita zalimi.

Di jalanan Indonesia, pejalan kaki adalah golongan kelas ke sekian, penyandang difabel adalah kelas yang lebih bawah lagi. Keberadaannya dianggap sebelah mata, fasilitasnya tiada. Bagi penyandang difabel, keluar rumah itu seperti menantang petaka. Contoh kasus yang paling nyata adalah para penyandang tuna netra.

Bayangkan anda harus pergi ke tempat kerja tapi anda tidak punya supir pribadi yang bisa mengantarkan anda langsung ke depan pintu ruangan anda. Harus berjalan kaki, naik angkutan umum, dan berjalan kaki lagi. Tapi di trotoar tempat anda berjalan ada lubang besar yang menganga, kabel listrik menjuntai-juntai berbahaya, belum lagi pecahan ubin siap menorehkan luka. Bayangkan itu pada hampir 3 juta orang tuna netra di Indonesia. Perjalanan ke luar rumah itu mengancam nyawa, padahal ada anak istri harus dinafkahi, padahal ada mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya agar taraf hidup bisa diperbaiki. Belum lagi di sekolah dirisak oleh kawan-kawannya yang padahal bersekolah tapi tak berpendidikan.

TUNE MAP
Lubang mengakibatkan jalur aksesibel menjadi jebakan yang menjerumuskan tunanetra

Pemerintah tentu tidak abai, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas dan pelayanan publik. Selain itu begitu banyak juga peraturan-peraturan teknis mengenai jalur aksesibilitas, bangunan yang aksesibel, beserta sanksi-sanksi apabila tidak dijalankan. Namun implementasinya tentu masih jauh panggang dari api.

Di Bandung, sudah banyak trotoar yang dilengkapi dengan jalur aksesibel. Jalur kuning ini seharusnya membantu memandu tuna netra untuk berjalan kaki dengan aman. Namun masih jauh dari ideal. Kesaksian dari kawan-kawan tuna netra menyatakan bahwa jalur itu banyak yang menjerumuskan. Banyak lubang, tiang listrik, pepohonan, dan pot bunga. Perilaku warga kota yang belum menyadari fasilitas tuna netra ini juga menambah parah kondisi. Pedagang kaki lima, parkir kendaraan, dan juga invasi pesepeda motor bahkan mobil di trotoar.

20170530_135536
Parkir mobil menghalangi dan merusak jalur aksesibilitas tunanetra

Ketiadaan fasilitas trotoar yang aman mengakibatkan ketakutan bagi tuna netra untuk beraktivitas. Menurut data dari Kemendikbud pada pertengahan tahun 2000an angka partisipasi anak-anak tunanetra untuk bersekolah hanya 10 persen, 90 persen lainnya tinggal di rumah. Penyediaan fasilitas untuk tunanetra, salah satunya aksesibilitas yang aman bukanlah dalam rangka berbelas kasihan, tapi dalam rangka menjadikan tunanetra sebagai subjek pembangunan.

Buat kita mungkin fasilitas trotoar yang tidak nyaman hanya mengakibatkan kita malas berjalan kaki. Namun bagi tunanetra, ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka tidak bisa bersekolah dan tanpa pendidikan yang baik, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka kesulitan untuk bekerja dan mengembangkan potensinya. Kurangnya pemahaman warga tentang fasilitas tunanetra juga memperburuk keadaan. Masih begitu banyak yang tidak tahu fungsi jalur aksesibilitas di trotoar, dengan begitu maka tanpa perasaan bersalah jalur aksesibilitas ditutupi oleh gerobak dagangan, oleh parkiran kendaraan, oleh pot, tiang, dan segalanya yang mengakibatkan jalur itu menjadi membahayakan.

Penyediaan trotoar yang nyaman dan askesibel adalah hak asasi dari kelompok difabel, terutama tunanetra. Ia harus terjamin keselamatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel bagi kelompok difabel tentu akan nyaman juga bagi kelompok yang lainnya. Maka memperjuangkan hak trotoar yang nyaman dan aksesibel adalah memperjuangkan hak semuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *