Rangkuman Buku Agrogeology : Rocks for Crops

Saya ingin berbagi mengenai tugas kuliah saya dulu. Isinya adalah rangkuman dari bab pendahuluan sebuah buku judulnya Agrogeology : Rocks for Crops. Buku ini ditulis untuk menjawab tantangan kebutuhan pangan yang luar biasa besar di masa yang akan datang. Meskipun studi kasus dilakukan di Afrika yang sulit jika dianalogikan sama dengan Indonesia, namun semangat untuk meneliti tentulah harus ditiru. Dengan visi Pak Jokowi untuk swasembada pangan dalam 3 tahun dan tentu seterusnya, maka pertanian yang berkelanjutan harus menjadi prioritas. Dengan itu tentu saja harus diterapkan segala disiplin ilmu agar didapatkan hasil yang maksimal.

Berikut rangkuman saya:

Sistem agrikultur yang berkelanjutan dan produktif adalah salah satu kebutuhan fundamental sebuah Negara dalam perkembangannya. Di Negara-negara Afrika sub-Sahara, lebih dari 50% populasinya bergantung pada agrikultur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang secara makro terhitung berkontribusi >30% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Agrikultur adalah sumber utama penghasilan, pekerjaan, ketahanan pangan, dan upaya survival dari populasi umum. Namun saat ini pertumbuhan dari produk agrikultur relatif tetap sedangkan pertambahan populasi tumbuh lebih cepat dari produksi pangan. Hasilnya adalah penurunan produksi pangan per kapita, yang berkontribusi terhadap defisit pangan dan kelaparan. Pada umumnya petani afrika diklasifikasikan sebagai kalangan miskin karena kesulitan modal, lahan, buruh, dan dengan penghasilan harian per kapita <US$1. Angka ekspektasi hidup pun sangat rendah di Afrika, sebagai contoh di Guinea-Bissau, Madagaskar, Malawi, Rwanda, Sierra Leone, Uganda, dan Zambia, angka ekspektasi hidup <42 tahun. Hasilnya adalah Negara Afrika sub-Sahara memiliki proporsi tertinggi dari anak kekurangan gizi di dunia.

Penduduk di daerah Afrika sub-Sahara pada umumnya bergantung pada tanah dan hujan untuk mendukung produksi agrikultur. Tanah adalah basis dari upaya mereka untuk bertahan, untuk menjamin ketahanan pangan, dan bekerja. Namun di hampir semua daerah di Afrika, tanah mengalami eksploitasi yang berlebihan. Untuk kesuburan tanah yang berkelanjutan, perlu dilakukan penambahan nutrisi tanah dengan jumlah yang sesuai penggunaan nutrisi tersebut oleh tumbuhan. Namun pada hampir semua daerah di Afrika, lebih banyak nutrisi tanah yang dipakai daripada yang ditambahkan. Konsekuensinya adalah nutrisi tanah seolah-olah “ditambang” (Van der Pol, 1993). Selain itu, banyak area yang tidak terlindungi dari ancaman erosi sehingga tanah seolah-olah digerus dari ladang petani. Dalam beberapa dekade ke belakang, produktivitas tanah terus menerus berkurang. Laju penipisan tahunan di sub-Sahara mencapai 22kg nitrogen, 2.5 kg fosfor, dan 15 kg potassium per hektar tanah yang dibudidayakan. Nilai ini ekuivalen dengan US$ 4 miliar pupuk (Sanchez, 2002). Penurunan kualitas tanah ini disebut-sebut oleh banyak saintis sebagai penyebab biofisik utama dari penurunan produksi pangan di sub-Sahara (Sanchez dkk, 1997; Sanchez, 2002).

Kebutuhan akan produktifitas agrikultur yang berkelanjutan untuk periode waktu yang lama kemudian dijawab dengan pelatihan manajemen efektifitas tanah, air dan nutrisi yang efektif. Untuk menjawab tantangan kebutuhan pangan di Negara sub-Sahara, diperlukan usaha yang keras dari berbagai tingkat masyarakat, individu, komunitas, nasional, dan bahkan internasional. Hal ini karena masa depan generasi muda bertautan erat dengan adanya ketahanan pangan yang berkelanjutan dan juga adanya pangan yang bernutrisi dan cukup untuk dikonsumsi semua orang.

Untuk meningkatkan produktifitas tanah, produktifitas pangan, dan ketahanan pangan, petani tidak hanya harus menambah kadar nutrisi tanah (pupuk), tapi juga harus meningkatkan kualitas struktur tanah, dan mengurangi kehilangan tanah (erosi). Pemanfaatan pupuk dan juga nutrisi alamiah lainnya merupakan salah satu strategi dalam manajemen sumber daya yang efektif. Penggunaan pupuk yang larut dalam air juga merupakan langkah yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanah. Namun, penggunaan produk ini juga dibatasi oleh komponen biaya yang tinggi dan juga kurangnya ketersediaan. Hal ini juga karena adanya perubahan kebijakan ekonomi makro di tahun 90an yang menghasilkan liberalisasi produk pertanian dan perang harga juga komersialisasi pupuk bersubsisdi. Hal ini mengakibatkan tingkat penggunaan pupuk menjadi berkurang. Secara regional, penggunaan pupuk per hektar sangat rendah yaitu <5 kg pupuk cair per hektar, yang merupakan rata-rata penggunaan terendah di dunia.

Kebutuhan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan ketahanan pangan, dan melindungi lingkungan memerlukan usaha yang lebih luas dan lebih substansial, dan lebih berinovasi. Sanchez dan Leakey (1997) menyebutkan tiga kebutuhan penting untuk meningkatkan produksi agrikultur per kapita untuk petani berlahan kecil, hal ini meliputi kebijakan dan peningkatan infrastruktur lingkungan (meliputi pendidikan, fasilitas kesehatan, kredit, pasar, dan servis). Juga perlu ada upaya melawan pengurangan kesuburan tanah seperti dengan intensifikasi dan diversifikasi penggunaan lahan.

Riset dan pengembangan tanah pada umumnya hanya fokus pada isu teknikal. Tapi faktor non-teknis seperti sosial, ekonomi, dan politik juga penting. Situasi di kebun cukup kompleks sehingga solusi teoritis seringkali sulit untuk diaplikasikan. Salahsatu yang bisa dilakukan adalah studi mengenai nutrisi agrikultur.

Nutrisi agrikultur meliputi pupuk, kesuburan, dan sumber daya geologi (agromineral) yang berpotensi menambah produktifitas tanah. Agromineral secara natural merupakan material geologi yang terbentuk di dalam tanah dan bisa digunakan dalam sistem produksi pangan untuk menambah kesuburan tanah. Agromineral yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan biasa disebut sebagai “pupuk batuan” (Benetti, 1983; Appleton, 1990), kadang pula disebut “petrofertilizer” (Mathers 1994; Leonardos dkk, 1987, 2000), yaitu batuan dengan komposisi yang berbeda.

Istilah agromineral digunakan disini dan memiliki arti yang luas. Itu termasuk pula batuan penyedia nutrisi seperti batuan fosfat, nitrogen, garam potassium, dll. Juga termasuk “soil amendment” termasuk batugamping dan dolomite dan juga batuan silikat. Sumber daya geologi batuan ini pada umumnya mampu memberikan nutrisi pada tanah pada periode waktu yang cukup lama. Agromineral juga termasuk pada batuan dan mineral yang meningkatkan status fisik tanah. Misalkan perlit digunakan untuk menambah tingkat aerasi pada media tumbuh buatan di rumah kaca. Vermikulit dan zeolit adalah mineral yang mampu menampung dan melepas nutrisi dan moisture secara perlahan. Dan batuan volkanik scoria dan pumis mampu membantu mengurangi evaporasi.

Secara konvensional, pupuk kimia hasil industri berbentuk cairan dan mengandung nutrisi dalam konsentrasi yang cukup tinggi, kecuali pada beberapa pupuk nitrogen Sedangkan agromineral pada umumnya hanya dimodifikasi secara fisik dengan dihancurkan atau digerus. Yang sering digunakan juga adalah penggabungan antara metode kimiawi dengan agromineral.

Kini, banyak institusi sains nasional ataupun internasional yang mengumpulkan data-data mengenai kegunaan mineral-mineral. Namun data yang umum adalah data mengenai kegunaan unsur metal. Data-data mengenai agromineral masih tersebar dimana-mana sehingga perlu pendekatan yang komprehensif mengenai aset nutrisi tanaman yang mampu disediakan oleh unsur geologi, terutama yang dapat meningkatkan produksi pangan di dunia.

Kegunaan buku ini setidak-tidaknya ada dua, yaitu untuk merangkum peran potensial batuan dan mineral dalam meningkatkan produktifitas tanah, yang kedua adalah untuk menjadai khazanah pengetahuan dalam memahami sumber daya agromineral untuk 48 negara di selatan Sahara, Afrika.