Time Lapse Gunung Anak Krakatau

Sejak letusan Gunung Anak Krakatau akhir tahun 2018 lalu, saya jadi sering mengikuti cuitan-cuitan para peneliti mengenai gunung ini. Salah satu yang sering saya lihat adalah akun Annamaria Luongo @annamaria_84, seorang peneliti inderaja yang rutin membagikan gambar-gambar terbaru Gunung Anak Krakatau.

Gambar-gambarnya bagus, jernih, bebas awan. Saya jadi penasaran bagaimana cara mendapatkan data tersebut.

Saya juga kemudian mengikuti akun-akun terkait inderaja lainnya seperti @CopernicusEU, @CopernicusEMS, atau @USGSLandsat.

Kesemua akun ini, mengajak kita untuk memanfaatkan data inderaja. Data-data ini terbuka untuk publik dan bisa diakses dengan gratis.

Kemudian saya mencoba mengolah data-data ini sendiri. Piranti lunak yang saya gunakan adalah Sentinel-Hub. Piranti lunak super canggih, yang memberi kita kemudahan untuk mengakses data citra satelit, mengolahnya, dan juga membuat gambar berselang waktu (time lapse).

Hebatnya, kita bisa melakukan semua ini tanpa perlu mengunduh data. Kita bisa lakukan menggunakan komputasi awan memanfaatkan server Sentinel. Persis seperti Google Earth Engine yang saya bahas dalam tulisan sebelum ini.

Hasilnya adalah gambar berselang waktu dengan format .gif yang saya unggah di atas.

Di gambar ini, 42 citra satelit Gunung Anak Krakatau dari awal 2018 hingga sekarang ditayangkan secara berurutan. 42 citra satelit ini dipilih berdasarkan cakupan awan terendah. Agar gambar yang ditampilkan tidak merupakan gambar yang tidak tertutup awan.

Kita bisa lihat letusan-letusan kecil sebelum letusan masif yang menghancurkan badan Gunung Anak Krakatau pada akhir 2018 lalu. Menarik bukan?

Dengan memanfaatkan citra satelit, kita bisa memantau apa yang terjadi di sekitar kita. Misal setiap kali terjadi banjir bandang atau musibah-musibah, kita selalu menyalahkan perubahan tata guna lahan di bagian hulu. Apakah benar kejadiannya seperti itu? Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa gunakan citra satelit.

Teknologi satelit saat ini sudah sangat maju. Resolusi spasial citra Sentinel ini bisa mencapai 10 meter. Artinya satu piksel gambar mewakili 10 meter asli. Resolusi ini sudah sangat detil dan bisa dipakai untuk pengamatan berskala besar, misal 1:10.000.

Resolusi temporalnya sekitar 5 hari. Artinya kita akan mendapat gambar baru setiap 5 hari. Keren kan?

Seru sih. Saya jadi bersemangat untuk belajar lebih keras untuk bisa paham cara memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh ini. Saya kira ini salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai oleh ahli kebumian.

Google Earth Engine: Salah Satu Piranti Lunak yang Harus Dikuasai Ahli Kebumian

Ada banyak kemampuan penting yang harus dikuasai oleh seorang ahli kebumian. Selain kemampuan lapangan, kemampuan memahami medan juga sangat penting. Salah satu cara paling mudah untuk memahami medan penelitian adalah dengan melakukan penginderaan jarak jauh. Menerawang lokasi penelitian tanpa perlu menginjakkan kaki ke lapangan. Kemampuan ini amat sangat penting bagi ahli kebumian jaman now.

Minggu lalu saya ikut block course Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing). Block Course ini adalah salah satu kelas yang diampu oleh pengajar tamu dari luar TU Darmstadt. Programnya dipadatkan selama 1 minggu dari jam 9 sampai jam 4 sore. Pengajarnya seorang calon Doktor di bidang Inderaja dari Universitas Zaragoza, Spanyol.

Ada fakta penting yang menarik untuk dicermati terkait bidang ini. Di langit sana, ada ratusan atau ribuan satelit beterbangan mengorbit bumi. Dari mulai Satelit Sputnik dari Rusia yang merupakan satelit pertama yang diluncurkan ke angkasa, hingga Satelit Palapa kebanggaan bangsa Indonesia. Satelit-satelit ini terbang dengan berbagai tujuan; telekomunikasi, militer, riset, dan lain sebagainya. Salah satu satelit, yaitu Landsat yang diluncurkan NASA, sejak 1972 mengorbit bumi dan secara konsisten merekam gambar-gambar permukaan bumi.

Yang menarik lagi satelit ini tidak cuma merekam gelombang warna yang kasat mata (visible wave), tapi juga bisa merekam gelombang warna tak kasat mata. Setiap objek di muka bumi memiliki karakter pemantulan (Reflectance Signature) cahayanya masing-masing, yang kemudian memungkinkan kita untuk mengidentifikasi objek yang terekam dalam gambar.

Tabel yang menunjukkan karakter reflektansi tanaman. Perbedaan karakter reflektansi ini dapat digunakan untuk membedakan tanaman-tanaman sehingga luas tutupan tanaman ini dapat kita ukur. Sumber

Jika kita melakukan validasi di lapangan, kemudian menjadikan titik validasi tersebut sebagai acuan bagi piranti lunak untuk mengidentifikasi suatu bentang alam, maka piranti lunak kita bisa mengidentifikasi area yang sangat luas dengan konsistensi yang baik.

Memahami materi ini, kemudian saya ingat petuah mentor saya di Bandung dulu

Lik, lu harus belajar Earth Engine. Barang bagus itu!

Mbah Rendi

Setelah mendapat petuah ini dulu, saya beberapa kali mencoba Earth Engine dan melihat video serta tutorial. Tapi saya tidak paham kegunaan dan cara memanfaatkannya. Baru setelah kuliah ini saya paham.

Kenapa Google Earth Engine ini penting?

Data inderaja itu besar. Jika kita mengunduh dari Earth Explorer-nya USGS misal, satu data itu bisa sampai 1 GB. Artinya untuk memproses data ini, kita perlu komputer yang tangguh. Itu baru satu area, bagaimana kalau kita mau menganalisis satu Pulau Kalimantan misal, atau satu Benua Eropa?

Nah Google Earth Engine ini jawabannya.

Google punya akses ke hampir semua data-data satelit yang bisa kita akses gratis. Saking besarnya data yang mereka punya, unit datanya bukan lagi Giga atau Tera, tapi Petabyte, 1 PB = 1000 TB = 1000.000 GB. Earth Engine tidak hanya menyediakan data saja, tapi mereka juga memberi kita peluang untuk menggunakan komputer super Google untuk menganalisis data yang kita inginkan.

Kuncinya cuma satu: kemampuan membuat skrip (script) Java (entah apa padanannya script, rasanya naskah kurang pas). Kita bisa membuat skrip ini untuk memerintahkan komputer Google menganalisis data-data yang kita mau.

Hasilnya keren!

Misal studi Tutupan Hutan Global yang dipimpin oleh Matt Hansen dari Universitas Maryland. Mereka menggunakan Google Earth Engine untuk mengetahui perkembangan tutupan hutan di seluruh dunia, baik daerah yang kehilangan tutupan hutan atau daerah yang tutupan hutannya justru bertambah. Studi ini dipublikasikan di Jurnal Science, dan sangat mengagumkan karena bisa menganalisis semua benua, kecuali Antartika dan beberapa pulau di Kutub Utara. Studi ini mencakup area seluas 128.8 juta km2, yang setara dengan 143 miliar piksel data dengan resolusi spasial 30 meter. Ini tidak mungkin bisa dilakukan jika menggunakan komputer biasa.

Peta Perubahan Lanskap Hutan Karya Matt Hansen dkk. Sumber

Lantas kenapa saya bilang ahli kebumian harus menguasai kemampuan ini?

Google Earth Engine ini gratis. Penggunanya belum banyak, komunitasnya berkembang. Saya sudah mencoba beberapa baris kode dan tidak terlalu sulit juga untuk belajar. Permasalahan sangat banyak di Indonesia yang bisa dibantu penyelesaiannya dengan pemahaman spasial dan temporal yang lebih baik.

Kita bisa mengukur perubahan bentang alam di mana-mana. Kita bisa hitung ekspansi perkebunan ke lahan sawit. Kita bisa hitung area habitat orangutan yang terancam. Kita bisa mengetahui di mana daerah kering dan di mana daerah basah, serta bagaimana perkembangan setiap tahunnya. Kita bisa ukur luas kebakaran hutan, dan banyak aplikasi-aplikasi lainnya.

Tapi yang paling utama adalah karena teknologi ini sangat canggih. Kita cukup duduk di warnet yang tidak perlu spesifikasi komputer canggih, lalu tinggal merangkai kode. Kita bisa simpan dan lanjutkan lagi kemudian hari di komputer kantor atau di rumah. Tidak perlu lagi membawa komputer-komputer super yang berat dan menyiksa punggung. Kita bisa kerja di mana saja (asal ada internetnya).

Ayo mari mencoba!