Kisah Mueller di Gunung Lumbung

Ini adalah cerita tentang seorang naturalis Jerman yang ditugaskan untuk meneliti di Hindia Belanda pada abad ke-19. Penelitian sains di Hindia Belanda pada abad ke-19 bermula pada tahun 1815, ketika Napoleon yang kala itu menguasai hampir seluruh Benua Eropa, takluk pada pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Waterloo. Konon salah satu penyebabnya adalah keganjilan musim akibat letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara beberapa bulan sebelumnya.

Kekalahan Napoleon, diiringi dengan Perjanjian Wina, membuat Kerajaan Belanda kembali merdeka. Berdaulat atas tanahnya sendiri, dan kembali berkuasa di tanah jajahan mereka, nun jauh di Hindia sana.

Kerajaan Belanda yang bangkrut dan defisit membutuhkan terobosan untuk mencari pemasukan. Raja William I, berpikir keras bagaimana cara mengeksploitasi tanah jajahan mereka. Ia kemudian membentuk Komisi Ilmu Alam Hindia Belanda Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië, sebuah komisi beranggotakan ilmuwan, pelukis, dan penulis yang akan melakukan ekspedisi sains untuk memahami tanah jajahan, Hindia Belanda. Teranglah bahwa tujuan utama investasi pada sains tak lain hanyalah untuk maksud mengeksploitasi.

Komisi itu berdiri pada 1820 hingga dibubarkan pada 1850. Terlepas dari tujuan pendiriannya, selama 30 tahun berdiri, komisi ini menyumbangkan koleksi spesimen yang luar biasa berharga dengan laporan-laporan berkualitas tinggi, yang masih bisa kita manfaatkan hingga sekarang.

Salomon Mueller

Salah satu anggota dari Komisi Ilmu Alam Hindia Belanda adalah seorang Jerman bernama Salomon Mueller. Ia bertugas di Hindia Belanda selama 10 tahun (1826-1836). Ia adalah salah satu yang beruntung dapat selamat kembali ke negerinya, karena banyak dari anggota Komisi yang wafat kala menjalankan tugas penelitian di rimba Hindia Belanda yang ganas, yang membunuh begitu banyak orang Eropa yang mengembara ke sana.

Mueller mungkin tak seterkenal anggota Komisi yang lain, seperti Franz Junghuhn, si Humboldt dari Jawa, atau Carl Anton Schwaner yang namanya diabadikan menjadi nama pegunungan yang menjadi batas antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Meski begitu, Mueller meninggalkan jejak penting yang menarik untuk dibahas. Terutama bagi mereka yang tinggal di Cekungan Bandung. Mueller pernah berekspedisi ke Cekungan Bandung pada tahun 1833 dan laporannya sangat menarik untuk diikuti.

Dalam laporannya, Aanteekeningen Gehouden op Eene Reize Over Een Gedelte van het Eiland Java, atau Laporan Perjalanan ke Sebagian Pulau Jawa yang ditulis oleh Mueller dengan rekannya Pieter van Oort, seorang pelukis, Mueller berkisah tentang perjalanannya di Cekungan Bandung pada awal tahun 1833.

Ia memulai ceritanya di Leuwigajah pada tanggal 3 Januari 1833 dan menutup ceritanya di Banjaran pada tanggal 6 Maret 1833. Selama dua bulan, Mueller dan van Oort berkelana mengarungi tempat-tempat menarik di Cekungan Bandung, mulai dari Situ Lembang, Curug Cimahi, Cililin, Gunung Lumbung, Ciwidey, Banjaran, dan banyak tempat lainnya.

Sebagai seorang pelukis, van Oort menyertakan lukisan dan sketsa otentik dan luar biasa dari Cekungan Bandung pada kala itu. Kawah Ratu, Curug Cimahi, Situ Lembang, hingga sketsa-sketsa peninggalan arkeologi yang ada di Cekungan Bandung, seperti arca yang ditemukan di Ciwidey, lingga dan pecahan gerabah yang ditemukan di Gunung Lumbung, hingga patung sapi yang ditemukan di tepi Ci Tarum.

Lukisan Curug Penganten di Cimahi oleh Pieter van Oort

Dalam tulisan ini, saya akan membagikan cerita Mueller dan van Oort di Gunung Lumbung. Cerita ini sangat menarik karena menyebutkan salah satu pahlawan penting dalam sejarah orang Sunda, yaitu Dipati Ukur, yang mati akibat diperangi oleh Sultan Agung, raja Mataram kala itu. Cerita ini diterjemahkan dari catatan van Oort dan Mueller sehingga penulisannya menggunakan sudut pandang orang pertama. Berikut kisahnya:

Cililin, 17 Januari 1833

Pagi hari sekali, ditemani oleh tetua kampung, kami meninggalkan Cililin untuk menelusuri jejak penemuan artefak yang dilaporkan oleh penduduk lokal. Kami diberitahu bahwa ada artefak di Gunung Lumbung. Selain itu juga dilaporkan bahwa di sini merupakan tempat persembunyian dari Dalem Dipati Ukur. Seorang bangsawan Sunda yang pernah berperang melawan Sultan Agung.

Pagi itu kembali berkabut. Kami berkuda menuju barat daya dari Gunung Geger Pulus, melewati dataran yang indah dan subur di antara aliran-aliran sungai yang berkelok-kelok melewati bentang alam yang indah, yang dihuni kelompok-kelompok kecil masyarakat lokal. Sekitar 1.5 mil dari Cililin, kami harus menyeberangi Sungai Ciminyak yang dalam karena jembatan kayunya hanyut terbawa banjir bandang.

Kabut perlahan menghilang ketika kami sampai di seberang sungai, dan lembah subur Ci Minyak terhampar di hadapan kami. Sungai yang jernih yang menerobos lembah yang lebar memberi efek mencolok pada warna hijau sawah dan warna cerah dari pohon-pohon palem yang tumbuh di lereng dan punggungan. Teramati gunung-gunung, Salak Panden (Salak Pandan), Poetrie (Putri), dan Moenkal-Pajong (kini dikenal sebagai Mukapayung, namun nampaknya ini kekeliruan penerjemahan karena banyak daerah di Jawa Barat yang dimulai dengan kata Mungkal, catatan dari Pak T. Bachtiar), sebagian tertutup awan dan kabut, menjadi latar indah pemandangan ini.

Kami melewati daerah yang cukup kering kemudian menyusuri lagi Ci Minyak hingga sampai di kampung Tegal Ladja[1], yang jaraknya sekitar satu mil dari Cililin. Di sini kami meninggalkan kuda kami, dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke Gunung Lumbung.

Semakin ke dalam, pemandangan menjadi semakin monoton. Lahan yang subur digantikan dengan dataran yang ditumbuhi alang-alang yang tinggi. Jalur ini mengarah ke timur menuju lahan padi yang tidak digarap warga di sekitar Gunung Putri dan Gunung Mukapayung. Di kiri kami berdiri tinggi Gunung Salak Pandan. Di antara pepohonan, tebing-tebing terjal yang terbentuk dari batuan trakhit. Di lembahnya, yang ditanami padi, bebatuan raksasa bertebaran. Di kaki Gunung Mukapayung, kami melewati sungai kecil Tjiebieton (Ci Bitung), yang tepi sungainya terdiri dari lapisan-lapisan horizontal hasil pelapukan batulempung. Kami kemudian menuju ke arah timur, menanjak ekstrim melalui lembah yang sempit yang mengarah ke tenggara. Lembah ini dibatasi oleh Gunung Putri dan Gunung Mukapayung di sebelah selatan, dan Gunung Salak Pandan di sebelah utaranya. Lembah ini ditumbuhi oleh pohon pinus dan semakin ke timur oleh palem.

Pemandangan Gunung Salak Pandan (terpotong di ujung kiri), Lembah Cibitung (kiri), Gunung Putri (tengah), Lembah Ciririp (kanan), dan Gunung Hanyewong (ujung kanan) Foto oleh Deni Sugandi

Setelah melewati sungai yang bertingkat-tingkat, sekitar satu mil jaraknya dari Tegal Ladja, hutan mulai terbuka, dan kami tiba di cekungan yang cukup lebar, di mana pada beberapa ketinggian ada beberapa pondokan yang kami pakai untuk beristirahat. Cekungan ini disebut dengan Liembang yang berarti danau atau singgasana, dengan ketinggian sekitar 4000 kaki di atas permukaan laut. Menurut penduduk lokal, biasanya tergenang air, dikelilingi oleh pegunungan Salak Pandan, Gedogan, dan Lumbung. Sebagian dari dataran ini ditutupi oleh hutan, sementara sebagian yang lain ditutupi alang-alang.

Dasar lembah ditanami padi, dengan sepuluh atau dua belas gubuk sebagai bangunan membentuk Desa Lembang. Penghuni desa ini berasal dari Tegal Ladja, namun berpindah untuk mendapatkan lebih banyak lahan untuk menanam padi, gula, dan memelihara kerbau.

Di siang hari kami mendaki Gunung Lumbung dengan lerengnya yang terjal berpohon jarang. Ketika kami sampai di puncak, kami menemukan beberapa teras persegi yang ditumbuhi rerumputan dan semak menutupi tanah yang luas. Puncak bagian tenggara dan barat daya dari Gunung Lumbung juga ditutupi rumput dan semak seperti itu.

Petak-petak teras ini kemungkinan besar merupakan sisa pemukiman dari Pahlawan Sunda, Dipati Ukur. Tetua lokal yang menemani kami bercerita tentang Dipati Ukur. Katanya, dulu ia mendengar Bupati Bandung bercerita:

“Pada masa ketika Sultan Agung[1] mendeklarasikan perang terhadap Belanda di Pulau Kokos[2](Sunda Kelapa), ia mengirim orang-orang terbaiknya. Dipati Ukur adalah salah satunya dan Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur mengumpulkan pasukan Sunda dan pergi berperang. Dipati Ukur kemudian mengumpulkan pasukannya dan bersiap menyerang orang kulit putih di Pulau Kokos (Sunda Kelapa). Belum jauh pasukannya pergi berperang, ia diberitahu oleh anak buahnya bahwa anak buah Sultan telah masuk ke kamar istrinya, berbuat tidak senonoh, memperkosa wanita-wanita yang ditinggalkan di kota.

Dipati Ukur marah, menolak pergi berperang dan kembali ke tempatnya, menemukan anak buah Sultan di kamar istrinya. Dipati Ukur membunuh mereka semua. Sultan Agung yang tidak tahu cerita sesungguhnya murka mendengar Dipati Ukur mundur. Tidak mau tahu ia kemudian mengirimkan pasukan yang besar untuk memburu Dipati Ukur. Dipati Ukur kemudian mundur dan membangun pertahanan di Gunung Lumbung.

Pasukan Sultan Agung yang menyerang ke gunung ini disergap oleh pasukan Dipati Ukur dengan menggelindingkan batu-batu raksasa dari gunung, mengakibatkan pasukan Sultan berguguran. Sadar tak bisa menangkap Dipati Ukur dengan kekerasan, Sultan Agung memutuskan memakai jalan lain yang curang. Ia menyuap teman dan saudara Dipati Ukur agar bersedia mengkhianatinya, yang mana cara ini berhasil. Dipati Ukur ditangkap oleh pasukan Sultan dan dibawa ke Mataram. Sultan Agung mengikatnya telanjang di alun-alun dan memerintahkan setiap orang yang lewat untuk mengiris tubuhnya hingga Dipati Ukur tewas tinggal tersisa kerangkanya saja. Kemudian jenazahnya dibuang. Sultan Agung berkata, “Negara ini (negaranya Dipati Ukur) telah binasa. Gunung Lumbung telah dihancurkan. Lelakinya telah dibunuh. Anak-anak dan perempuan ditangkap dan dibawa ke timur.”


  • [1] Sulthan Agung, yang juga dikenal dengan nama Raden Rensang, memerintah kerajaan Mataram dari 1616 hingga 1648, orang kulit putih berarti orang Belanda di sini dan pulau Kokos berarti Batavia. Perang yang dimaksud di sini adalah pada 1628-1629. Dalem Dipati Ukur menguasai sebagian dari Kabupaten Bandung saat itu dan sangat penting untuk Sultan Agung.
  • [2] Perlu dicatat bahwa Pulau Jawa dikenal oleh orang-orang pelaut di Kepulauan India dengan nama Pulau Kalapa, dan dalam tradisi lama dengan nama itu beberapa kali terjadi.

Kini ketika kami tiba Gunung Lumbung, kami menemukan pecahan pot, porselen Cina, dan gentong-gentong yang telah hancur. Seorang janda tua, memberi kami koin perunggu dan mangkok batu yang ditemukannya ketika menyiapkan lahan sawah. Kami menerimanya dan menggantinya dengan uang. Kemudian pemandu kami mengajak kami ke puncak gunung dan kami terkejut karena menemukan arca batu yang sudah sangat tua, entah apakah bisa dibilang sebagai patung apabila melihat bentuknya yang tidak beraturan sekarang.

Arca ini berada di bawah pohon Hoeni (Antidesma bunius). Arca ini dikelilingi oleh belasan batu kali yang tertutupi oleh daun merah pohon Hanjuang (Dracaena terminalis). Bentuk arca ini tidak jelas karena sudah melapuk hebat akibat oksidasi dan tetes air.

Dari depan kami menduga bentuknya adalah kepala burung, seperti burung merak jelas terlihat. Bentuk lainnya kurang jelas, dugaan kami adalah mata ketiga yang terletak di dahi dan melambangkan Dewa Siwa, sang mentari. Tinggi patung ini 0.65 meter, lebar 0.4 meter, dan tebalnya 0.25 meter. Bagian depan mengarah ke barat laut.

Kemudian terdapat juga batu panjang tipis berwarna kemerahan yang kami duga sebagai Lingga. Letaknya di timur laut dari arca. Tingginya 1.2 meter, lebar 0.28 meter, dan tebal 0.2 meter. Kami menemukan batang-batang kayu dan colokan bambu yang terbakar, yang kami duga sebagai sesembahan masyarakat lokal yang ingin mencari wangsit.

Kami meyakini ini bukan peninggalan dari Dipati Ukur karena bagaimanapun Dipati Ukur merupakan pengikut ajaran Muhammad.  Islam sudah masuk dua abad sebelum zaman Dipati Ukur. Mungkin ini berasal dari masa awal Islam di sini. Seorang penganut Hindu menyembunyikan diri di gunung ini. Patung ini berdiri di bawah pohon tua yang tinggi dan dikelilingi oleh batu-batu yang dibuat melingkar.

Penduduk setempat menyebutnya Artja (Arca) dan jika mereka mengunjungi Arca tersebut, mereka menyalakan dupa kemudian memohon kehendak-kehendak yang mereka inginkan.

Dari sini (dari Puncak Gunung Lumbung) pemandangan sangatlah indah. Kami bisa melihat puncak tinggi Pegunungan Selatan dan ke arah barat kami bisa lihat dataran Rongga yang berhutan lebat. Kami membayangkan Dipati Ukur ketika penyerangan oleh pasukan Sultan Agung, kesedihannya karena kekalahannya di Gunung Lumbung. Beranjak ke sore hari, kami kembali ke Cililin.

Sumber:
Aanteekeningen Gehouden op Eene Reize Over Een Gedeelte van het Eiland Java
Over Eenige Oudheden van Java en Sumatra door Dr. Sal Muller

Ketika di Meteora

Negeri Yunani tak hanya tentang kisah panjang Dewa-Dewi. Juga bukan hanya tentang lahirnya demokrasi dengan filsafat-filsafat ternamanya; Sokrates, Aristoteles, Plato, Pytagoras. Ada sisi lain yang tak banyak orang ketahui, mungkin tenggelam oleh kisah-kisah yang disebut di awal. Yang memang begitu panjang dan mengesankan.

Salah satunya adalah kisah tentang Biara-Biara di Meteora. Ketika kami berada di Pegunungan Pindos, di bagian barat Thessalia, antara Metsovo dan Livadia, Yunani. Kami menyaksikan Perbukitan Meteora berdiri gagah menjadi saksi zaman. Salah satu bentang alam paling indah yang pernah saya lihat seumur hidup.

Selang-seling batupasir dan konglomerat, berlapis datar hingga miring landai, membentuk tebing-tebing tegak. Batuan tersingkap jelas, tanpa vegetasi menutupinya. Di puncak-puncaknya berdiri monasteri. Biara-biara Katolik Ortodox yang dibangun sejak abak ke-14.

Pada masa kejayaannya, terdapat 24 biara berdiri di bukit-bukit konglomerat Meteora. Biara ini menempel di tebing yang tinggi, dulunya hanya bisa diakses dengan tangga dan memanjat dinding yang tegak. Kini hanya 6 biara yang tersisa, sementara lainnya hanya tinggal reruntuhan saja.

Pemandangan Lembah Meteora
By Wisniowy – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=4990018
Biara Rousanou
By Vaggelis Vlahos – Own work, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3431138

Tebing-tebing yang berdiri tegak hingga 400 meter merepresentasikan megahnya kekuasaan Tuhan. Suasana syahdu kala memandang bukit-bukit ini menjulang, menjadikan Meteora menjadi tempat yang sempurna untuk mencari kedamaian, untuk membaktikan diri kepada kehidupan rohani.

Di Meteora, para biarawan/biarawati mengabdi. Hidup di kesunyian yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Di puncak bukit, yang entah bagaimana mereka mendapat sumber airnya. Mungkin memanen air hujan, atau menjaring embun pagi.

Begitulah di Meteora. Hari berlangsung lambat. Meski di luar zaman beranjak cepat. Turis yang berlewatan. Satu per satu datang dan pergi. Tapi Meteora tetap berdiri.

Dengan Lawrence, kawan baik dari Ghana

Bandung Hareudang – Penelitian Suhu Permukaan Kota Bandung

Bandung yang dingin adalah sebuah kefanaan. Dalam buku-buku nostalgia, banyak dikisahkan cerita tentang Bandung yang dingin, adem, dan nyaman ditinggali. Bahkan ada sebuah memoar terkenal karya Us Tiarsa berjudul Basa Bandung Halimunan, atau jika diterjemahkan berarti Ketika Bandung Berkabut, menunjukkan betapa Bandung sebagai kota yang dingin dan bahkan sering berkabut saking dinginnya.

“Bandung dingin adalah fana, hareudang-lah yang nyata”

Hal inilah yang mendorong saya melakukan penelitian kecil sederhana. Yang sudah banyak dilakukan orang sebelumnya. Hanya sedikit saya modifikasi. Agar ada perbedaan. Ada kebaruan. Saya mencoba memetakan suhu permukaan di Kota Bandung. Memberi bukti, bahwa hareudang itu nyata.

Syahdan NASA (LAPAN-nya Amerika Serikat) dan USGS (Badan Geologi-nya Amerika Serikat) mengirimkan satelit ke atmosfir. Nama misinya Landsat. Mulai dari Landsat 1 tahun 1972, hingga sekarang sudah Landsat 8 sejak 2013, dan nanti Landsat 9 mungkin tahun 2020.

Dari langit satelit ini merekam respon permukaan bumi terhadap radiasi cahaya matahari. Hutan punya respon tersendiri. Kota juga punya. Begitu juga air, sawah, dan berbagai macam bentang alam lainnya.

Setiap 16 hari sekali Landsat 8 ini mengelilingi bumi. Satu titik di gambar yang direkam satelit ini mewakili 0.1 – 1 hektar lahan. Salah satu data yang bisa direkam adalah suhu di permukaan. Yang saya pakai untuk penelitian saya ini.

Selain satelit Landsat, sebenarnya masih banyak lagi satelit lain yang merekam temperatur. Tapi tidak saya pakai. Mungkin nanti. Jika ada waktu dan kesempatan di lain hari.

Citra satelit ini saya saring berdasarkan tutupan awan. Kalau ada awan, tidak ada data suhu permukaan. Yang terekam angka negatif. Sangat dingin karena suhu awan.

Dari tahun 2013 hingga sekarang total ada 125 citra satelit yang berhasil dikumpulkan oleh piranti Google Earth Engine (GEE). Piranti super powerful yang menurut saya harus dikuasai oleh ahli kebumian seperti di tulisan saya yang lalu.

Dengan memodifikasi naskah-naskah pemrograman Java yang tersedia di forum-forum developer GEE, saya membuat peta persebaran suhu permukaan tanah di Cekungan Bandung dan membuat diagram seri waktu suhu di tengah kota, di Baksil, dan di Tahura.

Hasilnya mudah diduga, bahwa suhu di tengah kota lebih tinggi. Kemudian suhu di Baksil, dan paling adem adalah suhu di Tahura.

Peta suhu permukaan tanah rata-rata Cekungan Bandung. Suhu rata-rata 20-22 C.
Peta suhu permukaan tanah rata-rata Kota Bandung dan sekitarnya. Suhu rata-rata 25-26 C.

Fenomena kota yang lebih panas dari daerah di sekitarnya dikenal dengan nama Urban heat island. Ini terjadi di seluruh daerah urban di dunia. Seiring dengan ancaman perubahan iklim akibat ulah manusia, akan semakin sering terjadi suhu ekstrim. Artinya musim panas semakin panas, musim dingin semakin dingin.

Di Kota Bandung, suhu rata-ratanya antara 25-26 C, sementara di Cekungan Bandung suhu rata-ratanya antara 20-22 C. Di titik di kota, suhu rata-ratanya 27.94 C. Di Baksil suhu rata-ratanya 22.57 C. Sementara di Tahura suhu rata-ratanya adalah 19.33 C.

Menurut penelitian dari Widya Ningrum (2018), suhu rata-rata Kota Bandung bertambah 1.3 C antara tahun 2005 hingga tahun 2016.

Penting bagi para perencana kota untuk merespon fenomena Pulau Panas Perkotaan ini agar panasnya Kota Bandung tidak sampai taraf mematikan. Pernah dengar cerita para lansia yang meninggal dunia karena musim panas yang tidak mampu ditahannya? Cerita itu nyata dan terjadi di banyak tempat di bumi kita ini.

Ada banyak penelitian juga yang menunjukkan bahwa orang-orang yang taraf ekonominya kurang, umumnya hidup di wilayah yang lebih panas. Akibatnya mereka lebih rentan terkena dampak fenomena ini.

Data suhu yang saya sajikan di tulisan ini hanyalah data dari satelit. Tingkat akurasinya tidak meyakinkan. Perlu lebih banyak sensor suhu dipasang di darat. Merekam data harian. Agar kita tahu bagaimana kota kita hidup. Bagaimana kota kita ini berdenyut.

Konon saya dengar ada pemasangan sensor suhu di kelurahan-kelurahan di Kota Bandung. Wah ini sangat menarik kalau datanya bisa dielaborasi. Digabungkan dan dianalisis bersama-sama. Lalu kita bisa tahu di mana kekurangan data. Biar kita bisa semakin pahami kota yang kita cintai ini.

Karena aksi itu harus bisa diukur tingkat keberhasilannya. Misal kita menanam sejuta pohon. Apakah itu berhasil atau tidak? Mana kita tahu jika tidak ada pembandingnya. Hanya perasaan saja. Contoh yang paling nyata misal pembuatan sejuta lubang biopori. Apakah itu ada pengukuran dampaknya? Saya kira tidak ada. Maka ya itu seolah gerakan asal saja.

Penelitian Pulau Panas Perkotaan ini masih bisa berkembang jauh lagi. Kita bisa bandingkan setiap kelurahan dan kepadatan penduduknya. Kita bisa bandingkan tingkat pendapatan dan jenis kegiatan dominan yang ada di wilayah tersebut. Kita bisa hitung jumlah ruang terbuka hijau dan membandingkan suhu rata-rata di daerah yang banyak dan sedikit ruang terbuka hijaunya. Dan masih banyak lagi kemungkinan penelitian-penelitian lainnya. Yang seru. Yang membuka mata kita akan fakta-fakta tentang kota yang kita cinta.

Dan Bandung bagiku bukan hanya
masalah wilayah belaka
Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan
yang bersamaku ketika sunyi

Pidi Baiq

PS: oh iya penelitian ini sedang saya tulis makalahnya untuk dimasukkan ke http://sinasinderaja.lapan.go.id/, konferensi tahunan yang diselenggarakan LAPAN (NASA-nya Indonesia). Nanti kalau sudah selesai, saya akan bagikan tautan makalah dan juga kode programnya.

Time Lapse Gunung Anak Krakatau

Sejak letusan Gunung Anak Krakatau akhir tahun 2018 lalu, saya jadi sering mengikuti cuitan-cuitan para peneliti mengenai gunung ini. Salah satu yang sering saya lihat adalah akun Annamaria Luongo @annamaria_84, seorang peneliti inderaja yang rutin membagikan gambar-gambar terbaru Gunung Anak Krakatau.

Gambar-gambarnya bagus, jernih, bebas awan. Saya jadi penasaran bagaimana cara mendapatkan data tersebut.

Saya juga kemudian mengikuti akun-akun terkait inderaja lainnya seperti @CopernicusEU, @CopernicusEMS, atau @USGSLandsat.

Kesemua akun ini, mengajak kita untuk memanfaatkan data inderaja. Data-data ini terbuka untuk publik dan bisa diakses dengan gratis.

Kemudian saya mencoba mengolah data-data ini sendiri. Piranti lunak yang saya gunakan adalah Sentinel-Hub. Piranti lunak super canggih, yang memberi kita kemudahan untuk mengakses data citra satelit, mengolahnya, dan juga membuat gambar berselang waktu (time lapse).

Hebatnya, kita bisa melakukan semua ini tanpa perlu mengunduh data. Kita bisa lakukan menggunakan komputasi awan memanfaatkan server Sentinel. Persis seperti Google Earth Engine yang saya bahas dalam tulisan sebelum ini.

Hasilnya adalah gambar berselang waktu dengan format .gif yang saya unggah di atas.

Di gambar ini, 42 citra satelit Gunung Anak Krakatau dari awal 2018 hingga sekarang ditayangkan secara berurutan. 42 citra satelit ini dipilih berdasarkan cakupan awan terendah. Agar gambar yang ditampilkan tidak merupakan gambar yang tidak tertutup awan.

Kita bisa lihat letusan-letusan kecil sebelum letusan masif yang menghancurkan badan Gunung Anak Krakatau pada akhir 2018 lalu. Menarik bukan?

Dengan memanfaatkan citra satelit, kita bisa memantau apa yang terjadi di sekitar kita. Misal setiap kali terjadi banjir bandang atau musibah-musibah, kita selalu menyalahkan perubahan tata guna lahan di bagian hulu. Apakah benar kejadiannya seperti itu? Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa gunakan citra satelit.

Teknologi satelit saat ini sudah sangat maju. Resolusi spasial citra Sentinel ini bisa mencapai 10 meter. Artinya satu piksel gambar mewakili 10 meter asli. Resolusi ini sudah sangat detil dan bisa dipakai untuk pengamatan berskala besar, misal 1:10.000.

Resolusi temporalnya sekitar 5 hari. Artinya kita akan mendapat gambar baru setiap 5 hari. Keren kan?

Seru sih. Saya jadi bersemangat untuk belajar lebih keras untuk bisa paham cara memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh ini. Saya kira ini salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai oleh ahli kebumian.

Memeta Publikasi Ilmiah: Studi Kasus Riset Jasa Ekosistem

Di dekade kedua abad ke-21 ini kita dihadapkan pada melimpahnya publikasi ilmiah. Ada ribuan jurnal dan puluh jutaan publikasi yang dihasilkan dari ratusan ribu atau jutaan peneliti dari seluruh dunia. Kita bingung memilih mana yang harus dibaca. Semua tampak menarik. Banyak yang dari institusi penelitian bergengsi.

Beberapa minggu lalu saya menyimpan sebuah gambar dari Twitter, sayangnya saya lupa mencuplik layar atau menyimpan tautannya. Saya akan tuliskan apa isi gambar itu.

Pada tahun 1990an, orang-orang yang membaca jurnal penelitian, menerima jurnal karena mereka berlangganan. Jurnal datang ke rumahnya dan mereka membaca jurnal sebagai teman bacaan di hari minggu pagi.

Pada tahun 2000an, orang-orang membaca jurnal dengan mengakses Pubmed. 98 persen orang hanya membaca abstrak makalah, sementara 2 persen lainnya membaca lengkap keseluruhan makalah.

Sekarang, di tahun 2019, 60% yang membaca artikel Anda, mungkin hanya melihat dari Twit yang anda kirim. 39% membaca abstrak publikasi Anda, dan 1% lainnya membaca penuh makalah yang Anda publikasikan.

Di kampus saya semester lalu, saya wajib ikut mata kuliah Scientific Training. Luaran dari mata kuliah ini adalah sebuah makalah yang ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah.

Saya melakukan riset sederhana tentang bagaimana mengekstrak metadata dari publikasi ilmiah dengan topik “Ecosystem Services“. Setelah puluhan tahun riset dan ribuan makalah dengan topik ini dipublikasikan, informasi apa saja sih yang mungkin bisa didapat tanpa kita harus membaca ribuan makalah?

Berangkat dari situ, saya mengekstrak data publikasi dari pusat data Web of Science. 4203 publikasi dengan “Ecosystem Services” (selanjutnya disebut sebagai Jasa Ekosistem) di dalam judulnya. Teks dalam judul dan abstrak dianalisis kemunculannya untuk mengetahui kata kunci apa yang paling sering muncul dan bagaimana kata kunci tersebut saling berhubungan.

Hasil penambangan kata dari abstrak dan judul publikasi Jasa Ekosistem

Gambar di atas adalah hasil penambangan kata menggunakan abstrak dan judul dari metadata publikasi Jasa Ekosistem. Dari gambar ini kita bisa lihat bahwa riset Jasa Ekosistem oleh algoritma statisik VOSviewer diklasifikasikan ke dalam 6 kluster. Interpretasi terhadap kluster tentu akan berbeda-beda tergantung pemahaman pembaca terhadap topik Jasa Ekosistem

Dari gambar ini, saya kemudian teringat kembali sebuah gambar menarik yang saya temukan (lagi-lagi) di Twitter (saya kira penting bagi mereka yang berkecimpung di bidang riset dan akademik untuk bergabung dalam komunitas Twitter, karena sangat banyak informasi-informasi menarik yang dibagikan di sana).

Gambar di atas sangat sesuai dengan penelitian kecil saya. Kita ingin memahami pola dari sesuatu yang acak. Ingin mencari keteraturan dari sesuatu yang seolah tak beraturan.

Oleh karena itu, saya juga menganalisis pasangan bibliografis bibliographic coupling, yaitu suatu ukuran untuk mengelompokkan makalah berdasarkan referensi yang disitir. Jika dua makalah menyitir satu referensi yang sama, maka dua makalah tersebut berpasangan secara bibliografis.

Hasil analisis pasangan bibliografis riset Jasa Ekosistem

Gambar di atas adalah suatu pola kluster makalah-makalah Jasa Ekosistem dengan nama belakang penulis pertama dan tahun publikasi sebagai labelnya. Metode pengelompokkan menggunakan nilai pasangan bibliografis. Semakin dekat jarak antara dua titik, maka semakin banyak referensi yang mereka sama-sama kutip.

Menggunakan pendekatan ini, kita bisa mengelompokkan makalah-makalah. Tapi kita perlu tahu apa maksud dari kluster-kluster ini. Maka dari itu saya melakukan analisis judul makalah dari penulis-penulis yang ada di diagram di atas.

Kluster 1, dicirikan dengan warna merah berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, terutama sebagai modal alam (natural capital).

Kluster 2, dicirikan dengan warna hijau, juga berisikan makalah-makalah tentang penilaian ekonomis atas jasa ekosistem, tetapi lebih dalam konteks manajemen dan akuntansi.

Kluster 3, dicirikan dengan warna biru, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati terutama berkaitan dengan kelimpahan spesies.

Kluster 4, dicirikan dengan warna kuning, berisikan makalah-makalah tentang konservasi keragaman hayati, tetapi berkaitan dengan dampak jasa ekosistem terhadap kesejahteraan manusia.

Kluster 5, dicirikan dengan warna ungu, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem dan perubahan iklim.

Terakhir, kluster 6, dicirikan dengan warna biru muda, berisikan makalah-makalah tentang jasa ekosistem di daerah urban.

Bagian kedua dari makalah saya adalah tentang jaringan sitasi (citation network). Dalam jaringan ini, menggunakan piranti lunak CitNetExplorer, makalah-makalah penting dalam riset jasa ekosistem diurutkan berdasarkan tahun terbitnya dan dihubung-hubungkan berdasarkan hubungan sitasinya.

Jaringan sitasi publikasi Jasa Ekosistem

Bagi saya, gambaran jaringan sitasi ini sangat menarik. Kita bisa melihat sejarah bagaimana suatu topik berkembang dari awal mula hingga sekarang. Dalam gambar ini, saya membandingkan hasil analisis dari CitNetExplorer dengan publikasi-publikasi kunci topik Jasa Ekosistem yang dikutip oleh Chaudry dkk dalam artikelnya “The evolution of ecosystem services: A time series and discourse-centered analysis” yang dipublikasikan dalam Jurnal Environmental Science & Policy pada tahun 2015.

Lantas apa?

Teknik menambang teks dan juga membuat jaringan sitasi merupakan teknik yang penting untuk dikuasai oleh mereka yang ingin mengulas suatu topik. Membuat ulasan itu pekerjaan yang berat dan melelahkan. Banyak bacaan yang harus dibaca dan seperti yang sudah saya sampaikan di awal, banyak kebingungan untuk memilih mana yang penting untuk dibaca duluan.

Bagi saya, seorang geolog, memeta itu sudah menjadi bagian diri yang tak terpisahkan. Melihat sesuatu dari kejauhan, mengamati pola, dan menginterpretasi kecenderungan, menjadi bagian dari kebiasaan. Dalam hal ini pun demikian. Sebelum lebih jauh terjun ke dalam suatu topik, saya merasa memetakan dulu apa yang ada di sana, bagaimana kecenderungannya.

Demikian juga Anda sekalian yang mungkin sedang bergulat dengan tinjauan literatur untuk riset Anda. Mungkin bisa duduk sejenak dan mulai memetakan topik riset yang sedang Anda kerjakan.

Jika ingin melihat makalah lengkapnya, bisa mampir di tautan berikut:
https://osf.io/preprints/inarxiv/k93ws/

Semoga bermanfaat.

Google Earth Engine: Salah Satu Piranti Lunak yang Harus Dikuasai Ahli Kebumian

Ada banyak kemampuan penting yang harus dikuasai oleh seorang ahli kebumian. Selain kemampuan lapangan, kemampuan memahami medan juga sangat penting. Salah satu cara paling mudah untuk memahami medan penelitian adalah dengan melakukan penginderaan jarak jauh. Menerawang lokasi penelitian tanpa perlu menginjakkan kaki ke lapangan. Kemampuan ini amat sangat penting bagi ahli kebumian jaman now.

Minggu lalu saya ikut block course Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing). Block Course ini adalah salah satu kelas yang diampu oleh pengajar tamu dari luar TU Darmstadt. Programnya dipadatkan selama 1 minggu dari jam 9 sampai jam 4 sore. Pengajarnya seorang calon Doktor di bidang Inderaja dari Universitas Zaragoza, Spanyol.

Ada fakta penting yang menarik untuk dicermati terkait bidang ini. Di langit sana, ada ratusan atau ribuan satelit beterbangan mengorbit bumi. Dari mulai Satelit Sputnik dari Rusia yang merupakan satelit pertama yang diluncurkan ke angkasa, hingga Satelit Palapa kebanggaan bangsa Indonesia. Satelit-satelit ini terbang dengan berbagai tujuan; telekomunikasi, militer, riset, dan lain sebagainya. Salah satu satelit, yaitu Landsat yang diluncurkan NASA, sejak 1972 mengorbit bumi dan secara konsisten merekam gambar-gambar permukaan bumi.

Yang menarik lagi satelit ini tidak cuma merekam gelombang warna yang kasat mata (visible wave), tapi juga bisa merekam gelombang warna tak kasat mata. Setiap objek di muka bumi memiliki karakter pemantulan (Reflectance Signature) cahayanya masing-masing, yang kemudian memungkinkan kita untuk mengidentifikasi objek yang terekam dalam gambar.

Tabel yang menunjukkan karakter reflektansi tanaman. Perbedaan karakter reflektansi ini dapat digunakan untuk membedakan tanaman-tanaman sehingga luas tutupan tanaman ini dapat kita ukur. Sumber

Jika kita melakukan validasi di lapangan, kemudian menjadikan titik validasi tersebut sebagai acuan bagi piranti lunak untuk mengidentifikasi suatu bentang alam, maka piranti lunak kita bisa mengidentifikasi area yang sangat luas dengan konsistensi yang baik.

Memahami materi ini, kemudian saya ingat petuah mentor saya di Bandung dulu

Lik, lu harus belajar Earth Engine. Barang bagus itu!

Mbah Rendi

Setelah mendapat petuah ini dulu, saya beberapa kali mencoba Earth Engine dan melihat video serta tutorial. Tapi saya tidak paham kegunaan dan cara memanfaatkannya. Baru setelah kuliah ini saya paham.

Kenapa Google Earth Engine ini penting?

Data inderaja itu besar. Jika kita mengunduh dari Earth Explorer-nya USGS misal, satu data itu bisa sampai 1 GB. Artinya untuk memproses data ini, kita perlu komputer yang tangguh. Itu baru satu area, bagaimana kalau kita mau menganalisis satu Pulau Kalimantan misal, atau satu Benua Eropa?

Nah Google Earth Engine ini jawabannya.

Google punya akses ke hampir semua data-data satelit yang bisa kita akses gratis. Saking besarnya data yang mereka punya, unit datanya bukan lagi Giga atau Tera, tapi Petabyte, 1 PB = 1000 TB = 1000.000 GB. Earth Engine tidak hanya menyediakan data saja, tapi mereka juga memberi kita peluang untuk menggunakan komputer super Google untuk menganalisis data yang kita inginkan.

Kuncinya cuma satu: kemampuan membuat skrip (script) Java (entah apa padanannya script, rasanya naskah kurang pas). Kita bisa membuat skrip ini untuk memerintahkan komputer Google menganalisis data-data yang kita mau.

Hasilnya keren!

Misal studi Tutupan Hutan Global yang dipimpin oleh Matt Hansen dari Universitas Maryland. Mereka menggunakan Google Earth Engine untuk mengetahui perkembangan tutupan hutan di seluruh dunia, baik daerah yang kehilangan tutupan hutan atau daerah yang tutupan hutannya justru bertambah. Studi ini dipublikasikan di Jurnal Science, dan sangat mengagumkan karena bisa menganalisis semua benua, kecuali Antartika dan beberapa pulau di Kutub Utara. Studi ini mencakup area seluas 128.8 juta km2, yang setara dengan 143 miliar piksel data dengan resolusi spasial 30 meter. Ini tidak mungkin bisa dilakukan jika menggunakan komputer biasa.

Peta Perubahan Lanskap Hutan Karya Matt Hansen dkk. Sumber

Lantas kenapa saya bilang ahli kebumian harus menguasai kemampuan ini?

Google Earth Engine ini gratis. Penggunanya belum banyak, komunitasnya berkembang. Saya sudah mencoba beberapa baris kode dan tidak terlalu sulit juga untuk belajar. Permasalahan sangat banyak di Indonesia yang bisa dibantu penyelesaiannya dengan pemahaman spasial dan temporal yang lebih baik.

Kita bisa mengukur perubahan bentang alam di mana-mana. Kita bisa hitung ekspansi perkebunan ke lahan sawit. Kita bisa hitung area habitat orangutan yang terancam. Kita bisa mengetahui di mana daerah kering dan di mana daerah basah, serta bagaimana perkembangan setiap tahunnya. Kita bisa ukur luas kebakaran hutan, dan banyak aplikasi-aplikasi lainnya.

Tapi yang paling utama adalah karena teknologi ini sangat canggih. Kita cukup duduk di warnet yang tidak perlu spesifikasi komputer canggih, lalu tinggal merangkai kode. Kita bisa simpan dan lanjutkan lagi kemudian hari di komputer kantor atau di rumah. Tidak perlu lagi membawa komputer-komputer super yang berat dan menyiksa punggung. Kita bisa kerja di mana saja (asal ada internetnya).

Ayo mari mencoba!

Sumber Air Minum Warga Kota Bandung

Minggu ini saya bermain-main dengan data dari http://data.bandung.go.id/dataset. Ternyata ada banyak data yang bisa dipakai untuk buat peta ala-ala.

Di peta ini digambarkan persentase sumber air minum warga Kota Bandung. Sumber air minum warga kota Bandung terdiri dari air kemasan/mineral, ledeng, pompa, sumur terlindung, sumur tak terlindung,, mata air terlindung, mata air tak terlindung, dan lain-lain. Bisa dilihat di gambar bahwa mayoritas warga Kota Bandung membeli air minumnya berupa air kemasan atau air galon.

Hampir di semua tempat, terutama di Bandung bagian selatan, orang-orang membeli air mineral/kemasan sebagai air minumnya. Hanya di beberapa tempat, terutama di Bandung Utara, warga bisa memakai sumber mata air, atau dari sumur.

Memang kita bisa mafhum, karena air kita memang tercemar. Sehingga untuk minum, memang paling aman pakai air galon.

Mungkin jika ada yang membuat penelitian tentang pengeluaran masyarakat untuk air, peta ini bisa disandingkan sehingga kita bisa bikin perbandingannya. Atau bisa juga kita tumpang tindihkan dengan peta kemiskinan dan pendapatan yang datanya juga tersedia di pusat data Kota Bandung.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan. Pantas saja bisnis air galon maju terus pantang mundur. Pasarnya gede betul, hampir 2.5 juta orang di masa depan akan pakai air galon untuk sumber minumnya. Akibatnya perusahaan air makin rajin beli kaveling di sumber-sumber air kita semua.

Mungkin teman-teman banyak yang tidak tahu bahwa PDAM adalah singkatan dari Perusahaan Daerah Air Minum. Sebenarnya mereka punya obligasi untuk menyediakan air minum bagi masyarakat Kota Bandung. Namun entah kenapa sampai kini mereka hanya sediakan air baku, itu pun jaringannya sangat terbatas, mati-nyala-mati-nyala bergiliran komplain di media masa.

Yang menarik sebenarnya, kita bisa pakai data ini sebagai titik awal Kota Bandung berbenah di bidang air. Kita bikin regulasi yang ketat untuk air galon, kualitas tinggi harga murah. PDAM yang menyediakannya.

Jangan seperti sekarang, harga air galon mahal. Misal merk Aqua yang keluarga saya biasa beli 19 ribu satu galon (19 liter, 1000/liter). Sementara di Jerman, di tempat saya tinggal sekarang, air keran yang bisa diminum itu harganya 2 euro per m3, atau 32 ribu per 1000 liter, atau 32 rupiah per liter. Kualitasnya jangan tanya, standarnya ketat, monitoringnya rutin nyaris tanpa cela.

Kalau kita bikin air galon harga 19 liter atau 1 galon = 600 rupiah, kira-kira orang masih mau kah beli Aqua 19 ribu atau VIT 9 ribu rupiah di Alfa? Kalau kita bisa bikin prosesnya bagus, tentu bisa kita kejar harganya segitu.

Jangan lah masyarakat itu dipaksa menyediakan sendiri air minumnya. Jangan kebutuhan penting kaya begitu diserahkan ke mekanisme pasar. Jangan kita dipaksa membeli yang mahal karena ketidakmampuan kita untuk percaya pada pemerintah mampu menyediakan hal yang lebih murah dan terjangkau.

Data ini ke depannya ingin saya tumpang tindihkan dengan data jaringan distribusi PDAM dan sumur-sumur milik warga. Selain itu saya juga sedang mencari data titik-titik sumur pantau di Kota Bandung. Biar bisa membuat peta kedalaman air tanah di Kota Bandung. Barangkali ada yang tahu di mana saya bisa cari datanya, bisa berbagi dengan saya.

Kira-kira bisa berkembang ke mana saja kah data ini, terutama jika dikaitkan dengan kondisi hidrogeologi Kota Bandung?

Cekungan Bandung ala Lord of the Rings

Semester ini di TU Darmstadt saya dapat akses ke ArcGIS Pro. Wah ini piranti lunak yang sudah lama ingin saya coba, terutama sejak saya lihat artikel keren, judulnya Mapping with Style yang ditulis oleh John Nelson dari ESRI.

Di artikel ini, John Nelson memamerkan peta dunia yang digambarnya pakai gaya Lord of the Rings. Saya jadi kepengen dong!

Nah karena itu, saya kemudian ngulik dan sekarang berhasil membuat peta Cekungan Bandung bergaya Lord of the Rings. Cara buatnya saya ikutin artikelnya John Nelson, bisa dibaca sendiri.

Saya sedang gandrung dengan kartografi dan mungkin akan mencoba mengasah kemampuan saya di bidang ini agar bisa menghasilkan peta yang enak dilihat dan mudah dimengerti. Harapan saya agar bisa membuat peta yang tak lekang dimakan waktu, seperti peta-peta karya Junghuhn, atau peta zaman dulu, yang entah kenapa sangat informatif dan enak dibaca, padahal bikinnya manual dilukis tangan.

Mohon jika ingin menggunakan peta ini agar mencantumkan tauntan langsung ke blog saya.

Resensi Buku Krakatoa: The Day The World Exploded

Pasca letusan dan tsunami Gunung Anak Krakatau pada hari Sabtu, 22 Desember 2018, saya segera memesan buku Krakatoa yang ditulis oleh Simon Winchester. Saya ingin membaca buku ini karena ulasan-ulasannya yang sangat bagus, juga rekomendasi dari sangat banyak orang untuk membaca buku ini


…a trove of wonderfully arcane information. The author has been able to attach so many tentacles to a single event – the spectacular and catastrophic eruption of the title volcano – that there seems to be nowhere he can’t go

Janet Maslin – New York Times

Penulis buku ini adalah seorang geolog lulusan Oxford yang banting setir menjadi penulis dan jurnalis. Karir kepenulisannya sudah sangat panjang sejak 1975. Ia mempublikasikan Krakatoa pada tahun 2004.

Buku Krakatoa: The day the world exploded, bagi saya adalah buku yang sangat komprehensif. Dalam buku setebal 432 halaman yang diterbitkan oleh Penguin Books di London ini, Simon Winchester bercerita segala hal yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau tahun 1883, salah satu letusan paling dahsyat di periode modern.

Secara umum buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian pertama sebelum terjadi letusan, bagian kedua ketika letusan terjadi, dan bagian ketiga yaitu pasca letusan.

Di bagian pertama, Winchester membuka cerita ini dengan menuturkan kisah-kisah tentang Tektonik Lempeng untuk memberikan gambaran kenapa terjadi letusan di Selat Sunda, bukan di tengah-tengah Benua Eropa, misal. Ia bercerita tentang Alfred Wegener dan teori Pengapungan Benua yang ditolak habis-habisan oleh para geolog, hanya karena Wegener tidak mampu menjelaskan sumber energi yang mengakibatkan Pengapungan Benua terjadi.

Winchester juga bercerita tentang Alfred Russel Wallace, seorang Naturalis dari Inggris, yang kalah tenar dari Charles Darwin, padahal ia dianggap sama berjasanya terhadap perkembangan teori evolusi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya. Alfred Wallace menarik garis batas flora dan fauna Indonesia bagian barat dan timur, yang kelak diketahui bahwa batas ini juga adalah batas lempeng.

Kemudian Winchester juga menjelaskan tentang perkembangan teknologi komunikasi. Ini penting untuk menjelaskan premis Winchester tentang kenapa letusan Krakatau bisa sangat terkenal di dunia, yaitu karena teknologi komunikasi sudah berkembang cukup pesat kala itu.

Di bagian kedua, Winchester berkisah tentang laporan-laporan dari Anyer, dari Teluk Betung, dari Batavia, dari para pelaut yang melewati Selat Sunda pada masa-masa sebelum Krakatau meletus, dan sebelum letusan paroksismal terjadi. Ia juga bercerita tentang saat letusan terjadi, secara runtun hari per hari, dari semua sisi. Laporan resmi pemerintah kolonial, para pelaut, dan saksi-saksi.

Ia juga menuliskan sejauh mana letusan ini terdengar. Membuat ilustrasi petanya agar bisa dibayangkan lebih mudah. Kesaksian-kesaksian dituliskan dalam bentuk kutipan, seolah kita sedang menjadi orang yang membaca laporan.

Di bagian ketiga, Winchester bercerita tentang dampak letusan ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kehidupan sosial. Ia berkisah tentang pemberontakan petani di Banten tahun 1888 yang kemungkinan besar juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial pasca letusan. Ia bercerita tentang langit dunia sepanjang tahun 1883-1884 yang memberikan semburat warna yang indahnya luar biasa akibat distorsi abu Krakatau di atmosfer membelokkan cahaya matahari.

Letusan Krakatau 1883 juga membuka peluang ilmu biologi untuk berkembang, karena untuk pertama kalinya kita bisa mempelajari suksesi kehidupan pasca bencana besar terjadi.

Di akhir Winchester juga menyertakan bahan-bahan bacaan untuk memahami buku ini lebih baik lagi.

Secara umum buku ini sangat keren! Seperti ulasan dari Janet Maslin yang berkata bahwa kisah-kisah di buku ini seperti tentakel-tentakel cerita yang bermuara pada satu kisah utama, saya hanya bisa setuju, karena memang begitu benar adanya.

Saya sangat mengagumi cara bercerita Winchester karena kita seolah dibawa kembali ke masa lalu. Ia memberikan gambaran pentingnya kejadian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bagi perkembangan kehidupan umat manusia. Dan 432 halaman tak terasa begitu panjang, seperti kedipan mata, mungkin karena asyiknya membaca.

Maka tak ada kata lain selain, Sangat Direkomendasikan untuk Dibaca!

Orang Pertama yang Melaporkan Kawah Patuha (?)

Waktu saya kecil dulu, dalam perjalanan kami ke Cimanggu untuk berendam air panas, ayah saya sering bercerita tentang orang pertama yang menemukan Kawah Putih. Ia adalah orang Eropa. Konon kata ayah, orang itu merasa penasaran kala melihat dari kejauhan, tepatnya dari Kota Ciwidey sekarang, bahwa burung-burung tak pernah terbang di atas Gunung Patuha. Ada pun jika burung terbang di atas Patuha, maka segera ia akan mati, menukik jatuh, seolah pesawat yang rusak mesinnya. Di Ciwidey kala itu, masyarakat mencoba menerangkan fenomena ini dari kacamata mistis, tentang makhluk-makhluk penunggu gunung yang enggan diganggu, bahkan oleh burung sekali pun.

Sebagai seorang Eropa yang menolak perkara mistis, tentu si petualang itu menolak percaya mitos. Ia ingin membuktikan sendiri dan merancang sebuah ekspedisi mendaki Gunung Patuha. Ratusan kuli dikerahkannya untuk menemani perjalanannya mendaki. Orang Eropa itu bernama Franz Junghuhn, si Humboldt dari Jawa, yang masyhur karena penelitiannya pada abad ke 19, membuka tabir Pulau Jawa dari kacamata sains modern.

Cerita ini diteruskan turun temurun dari mulut ke mulut. Tak bisa kita telusuri siapa orang pertama yang menceritakannya, siapa yang pertama bilang Junghuhn adalah orangnya yang pertama ke sana, atau pertama kali melaporkan keberadaan Kawah Putih yang megah. Karena ayah saya juga mendapat cerita ini dari entah siapa, maka ia pun tidak bisa mempertanggungjawabkan cerita ini. Tidak ada sumber yang pasti, selalu desas-desus, selalu konon, selalu kabar angin. Hingga suatu hari saya menemukan nama dan tanggal yang lebih pasti.

Yang sudah bisa saya pastikan adalah bahwa bukan Franz Junghuhn orang pertama yang datang ke Kawah Putih. Franz Junghuhn datang ke Kawah Putih dalam perjalanan penelitiannya di Pulau Jawa pada 1837. Junghuhn kala itu bekerja di bawah supervisi dari peneliti Jerman bernama Ernst Albert Fritze yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda kala itu.

Pada tanggal 11 Juli – 23 Agustus 1837, Junghuhn bersama Fritze berkelana di rimba hutan Jawa Barat. Ia mendatangi Situ Patengan, Gunung Patuha, Gunung Tangkuban Perahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Catatan perjalanan Junghuhn di Pulau Jawa dibukukannya dalam Topographische und naturwissenschaftliche Reise durch Java yang diterbitkan pada tahun 1838.

Dalam magnum opusnya: Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart  volume kedua yang diterbitkan pada tahun 1857 di Leipzig, Junghuhn menuliskan orang-orang yang lebih dahulu melaporkan tentang Kawah Gunung Patuha.

Pada tahun 1787, seorang ahli Botani dari Spanyol bernama Francisco Noronha mengunjungi Kawah Putih. Noronha terkenal memberikan jasa yang luar biasa besar bagi pembuatan katalog tanaman di Jawa. Kemudian pada tahun 1804, seorang naturalis dari Amerika Dr. Thomas Horsfield juga mengunjungi Kawah Putih.

Setelah Horsfield, pada tahun 1819 giliran Professor Caspar Georg Carl Reinwardt, seorang naturalis kelahiran Prusia berkebangsaan Belanda yang mengunjungi Kawah Putih. Menurut Junghuhn, Reinwardt melaporkan ketinggian Kawah Putih pada 6950 kaki, sementara menurut pengukuran Junghuhn, ketinggian Kawah Putih berada pada elevasi 6685 kaki. Reinwardt adalah salah satu perintis Kebun Raya Bogor. Reinwardt memberikan apresiasi untuk Noronha dengan memberi nama satu spesies tanaman, yaitu Pohon Puspa Schima noronhae.

Empat tahun sebelum ekspedisi Junghuhn, pada tahun 1833, dua orang peneliti dari Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië, Salomon Müller dan Pieter van Oort juga melakukan kunjungan ke Kawah Putih. Müller adalah seorang naturalis dari Jerman, sementara van Oort adalah seorang pelukis dari Belanda. Mereka melakukan perjalanan ke Jawa Barat dan melaporkan perjalanannya pada komite. Perjalanan dimulai pada awal Januari 1833 dari Situ Lembang menyusuri Ci Mahi hingga ke Cililin, kemudian ke Gunung Lumbung untuk melihat peninggalan Dipati Ukur, selanjutnya mereka menyusuri Pegunungan Tumpak Royong, yang kini dikenal sebagai Gunung Padang Ciwidey hingga akhirnya sampai di Ciwidey yang kala itu termasuk dalam Distrik Cisondari. Perjalanan berakhir di Banjaran pada 10 Maret 1833.

Lukisan Kawah Putih oleh Pieter van Oort. Sumber 

Di Ciwidey, Müller dan van Oort menyusuri kebun kopi yang subur yang merupakan produk dari periode Tanam Paksa yang di kawasan Priangan telah dilaksanakan sejak abad ke-18 (Preangersteelsel), dan dilanjutkan kembali sejak 1830 melalui Cultuurnstelsel. Mereka akhirnya sampai di Kawah Gunung Patuha dan melihat pemandangan indah Kawah Putih. Van Oort membuat sketsa yang indah dari kawah ini.

Kini hampir dua ratus tahun atau lebih sejak Reinwardt berkunjung ke Kawah Putih. Hampir 250 tahun sejak Noronha menjejakkan kaki di sana. Tempat ini kini ramai hiruk pikuk tak karuan. Orang-orang datang tanpa henti, tapi banyak yang kembali tanpa membawa apa-apa selain rasa senang sudah bepergian, atau stroberi yang ditanam warga di lereng-lereng Ci Sondari. Memang bukan urusan hidup dan mati siapa yang pertama datang, atau siapa pernah melakukan apa. Juga bukan suatu keharusan orang harus tahu tentang Junghuhn, Mueller, van Oort, Reinwardt, dan seterusnya. Tapi seperti Soekarno selalu bilang, “jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah“. Atau seperti kata Kuntowijoyo “Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta.” 

Dan memang setelah kita mengetahui sejarah panjang Kawah Patuha, semakin pula kita mencintainya.

Lukisan Kawah Putih Gunung Patuha oleh Franz Junghuhn. Sumber https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Junghuhn_See_Kawah_Patua_auf_Java.jpg

catatan: Sejauh ini saya belum dapat catatan orang yang lebih dulu melaporkan Kawah Patuha sebelum Noronha. Boleh jadi ada yang lebih dulu. Mohon infonya bila ada di antara pembaca yang budiman mengetahui. Karena saya bukan ahli sejarah, hanya orang yang menggemari sejarah.