Merawat Sejarah Bentang Alam

Suatu hari saya berjalan kaki di tepian Sungai Elbe di Kota Dresden, Jerman. Di awal musim semi ketika udara mulai hangat dan orang-orang bertebaran menikmati matahari yang tak lagi jarang. Sungai Elbe adalah salah satu sungai penting di Eropa Tengah dengan panjang hingga 1000 kilometer. Ia mengalir dari Pegunungan Krkonoše di Republik Ceko hingga bermuara ke Hamburg, di Laut Utara.

Selayaknya kota di mana pun di dunia yang menjadikan sungai sebagai pusat kebudayaannya, di Dresden pun sama, Sungai Elbe adalah denyut nadi utama kota Dresden. Ia menjadi saksi tumbuh kembangnya budaya, naik-turunnya raja-raja, pemerintahan-pemerintahan, dari monarki yang absolut, Republik Demokrasi Jerman Timur, hingga pemerintahan zaman sekarang.

Di tepian Sungai Elbe, saya melihat sebuah instalasi sederhana yang mengagumkan. Instalasi itu hanya sebuah bingkai tembus yang menghadap ke arah Sungai Elbe dengan latar bangunan-bangunan tua kebanggaan Kota Dresden. Melihat ke bingkai itu, ditambah dengan sebuah deskripsi mengenai Kota Dresden di masa lampau dan sebuah lukisan lawas lanskap yang sama tempo dulu, membuat saya seolah kembali ke masa lalu, ke masa 100-200 tahun yang lalu.

Dari seberang Sungai Elbe, kita bisa menangkap bangunan-bangunan tua berderet (dari kiri ke kanan di dalam bingkai:) Frauenkirche, Courthouse Dresden, dan Katolische Hofkirche, serta Jembatan Augustus (Augustusbrucke). Bangunan-bangunan yang masih sama dengan ratusan tahun yang lalu, hanya tanpa mesin-mesin yang dipakai untuk renovasi di masa sekarang.

20180405_152737

20180405_151809
Gambar di bagian bawah bingkai. Terlihat Frauenkirche (sebelah kiri), dan Katolische Hofkirche (kanan). Gambar sekitar abad ke-19.

Saya kira instalasi ini sangat elegan. Sebuah upaya merawat sebuah lanskap agar tak hilang ditelan ketamakan. Saya yakin benar bahwa pemerintah Kota Dresden akan berupaya sekuat tenaga untuk menjaga lanskap ini tetap sama sebagai identitas utama kotanya.

Melihat itu kemudian saya teringat Gedung Sate dan Gedung Balai Kota Bandung yang gagal menjaga lanskapnya. Dari pemahaman saya melalui cerita-cerita yang saya pahami, Gedung Sate dibangun berorientasi Utara-Selatan dan kita disajikan pemandangan Gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang bebas tanpa halangan apa-apa. Oleh karena itu, konon tak boleh ada gedung yang tinggi di depan Gedung Sate sehingga tak menghalangi pemandangan gunung-gunung tersebut.

gedung sate.png
Pemandangan Gedung Sate. Amati gedung putih tinggi yang menghalangi pandangan dari Gedung Sate ke Gunung Burangrang. Gambar dicuplik dari video drone oleh Drone Keliling.

Pun demikian dengan Gedung Balai Kota, kita bisa melihat hotel di belakang Gedung Balai Kota. Menurut hemat saya, (tanpa bermaksud menjelekkan gedung baru) keberadaan hotel ini menghancurkan estetika Gedung Balai Kota sama sekali.

20170420_130844.jpg
Gedung di belakang Balai Kota Bandung, sangat merusak estetika bangunan. Gagal paham.

Bentang alam adalah sebuah monumen yang harus dilestarikan. Ia adalah latar dari kota, bangunan, kejadian-kejadian, atau segala hal-hal yang kemudian mempunyai nilai sebagai identitas. Tanpa bentang alam ini, maka identitas kota, bangunan, kejadian-kejadian pun perlahan sirna, orang sulit mengingatnya.

Pun demikian halnya dengan bentang alam geologi, seperti kisah “Gunung Gamping, Contoh Buruk Eksploitasi Karst” yang ditulis oleh dosen saya, Dr. Budi Brahmantyo, beliau bercerita tentang kegagalan kita menjaga bentang alam Gunung Gamping hingga hanya menyisakan sebuah sketsa lama Junghuhn, dan sebuah bongkah batu kecil sebagai penanda bahwa pernah ada formasi batugamping di sana.

 

Posted by Budi Brahmantyo on Thursday, July 4, 2013

Demikian instalasi bingkai kota Dresden dan Sungai Elbe ini menginspirasi saya tentang cara yang sangat sederhana untuk merawat bentang alam. Mengabadikannya dengan membuat instalasi sederhana, agar orang yang datang mampu merasakan bahwa lanskap yang ada di hadapannya adalah berharga, jangan dihalangi oleh gedung-gedung tinggi, atau jangan dibongkar diratakan dengan tanah demi kepentingan rupiah yang tak seberapa. Buat saya instalasi ini sangat menarik untuk dipraktekkan untuk melawan degradasi hebat di monumen-monumen kota dan alam di Indonesia. Siapa tahu?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *