Marburg, Ibukota Tuna Netra Jerman

Seberapa seringkah kamu melihat tuna netra berjalan-jalan keluar di kotamu? Coba keluar dan perhatikan trotoar jalanan, mungkin jarimu jarang sekali menghitung. Tapi jika kamu ada di Marburg, negara bagian Hesse, Jerman, kamu akan sering sekali melihat tuna netra berjalan bebas di jalanan, karena Marburg adalah ibukotanya tuna netra di Jerman.

Di Marburg, orang-orang dengan tongkat panjang berwarna putih dengan bola di ujung tongkatnya adalah tetangga, sahabat, dan bagian tak terpisahkan dari pemandangan jalanan. Tidak ada kota lain di Jerman dengan jumlah tuna netra sebanyak Marburg. Kota ini menyediakan fasilitas yang begitu mendorong inklusivitas dan memfasilitasi tuna tetra untuk berkarya, memanifestasikan bakatnya. Seluruh persimpangan dan lampu lalu lintas sudah ramah tuna netra, tangga-tangga telah ditandai, trotoar dengan ubin taktil, lift yang bersuara, denah kota yang taktil, dan menu dalam huruf braile.

Kolam renang memiliki sistem pemanduan tuna netra. Stasiun kereta api, pasar swalayan, stadion olahraga, dan kantor-kantor pemerintahan memiliki denah taktil. Bahkan ada juga mesin ATM dan teater serta bioskop yang menyediakan fasilitas deskripsi suara. Telah begitu lama Marburg mengupayakan kesejahteraan bagi para tuna netra, sehingga sangatlah pantas kota ini menyandang sebutan Der Blindehaupstadt, atau ibukotanya tuna tetra.

Kota universitas ini berutang kepada Blindenstudienanstalt (blista, lembaga pendidikan tuna netra) yang didirikan di Marburg lebih 100 tahun lalu. Alumni mereka yang terkenal seperti peraih medali emas Paralimpiade, Verena Bentele, kemudian Sabriye Tenberken, Komisaris Pemerintah Federal untuk Penyandang Cacat, yang pernah naik ke Gunung Everest. Kemudian ada komposer muda Sarah Pisek yang memenangkan penghargaan Bambi. Selain itu masih banyak lagi alumni lainnya yang menjadi aktrik terkenal, penyanyi, wartawan, politisi, dan pengacara.

Verena Bentele, peraih medali emas Paralimpiade

Di Marburg, tuna netra bisa beraktualisasi diri tanpa perlu merasa berbeda dengan orang lain. Kita bisa melihat siswa-siswa blista berlarian melalui jalanan Marburg, begitu cepat seolah-olah mereka tidak punya disabilitas. Kita dengan mudah melihat mereka berjalanan di dalam bus, di ruang publik, dan tinggal di apartemen yang sama dengan orang-orang lain.

Informasi menarik ini saya dapat dari lembar panduan wisata di Der Blindenhauptstadt Marburg. Dalam kunjungan saya ke Marburg, saya terkesima dengan cara Marburg memuliakan penduduk tuna netranya. Bahkan mereka membuat sebuah jalur wisata khusus untuk menceritakan tentang Marburg sebagai ibukotanya tuna netra. Tak semua tempat dalam jalur wisata ini saya kunjungi, hanya beberapa saja.

Wisata ini dimulai dengan berkisah tentang sejarah bagaimana ini bermula. Kisah ini diceritakan sambil mengunjungi tempat tinggal Carl Strehl dan Alfred Bielschowsky pada masa lampau dan juga mengunjungi Rumah Bielschowsky, yaitu Pusat Rehabilitasi untuk Tuna Netra. Siapakah Strehl dan Bielschowsky?

Alkisah pada akhir perang dunia pertama, lebih dari tiga ribu orang tentara menjadi tuna netra akibat pecahan peluru atau gas beracun. Kebanyakan dari mereka diarahkan menuju Marburg, di mana Prof. Alfred Bileschowsky (1871-1940), direktur dari departemen Ophtalmology, memulai departemen khusus bagi korban kebutaan akibat perang. Kemudian mereka menyadari bahwa pendekatan pemulihan bagi mereka yang kehilangan penglihatan akibat perang tidak bisa hanya pendekatan pengobatan saja, mereka harus diberikan masa depan agar tidak menjadi pengangguran dan peminta-minta pengharap belas kasihan. Bielschowsky mengatur penyelenggaraan kursus Braille. Tak hanya itu, ia juga mengurus akomodasi, pengadaan bahan literatur, dan semua yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi tuna netra. Untuk kebutuhan ini, ia mempekerjakan seorang mahasiswa, Carl Strehl (1886-1971) yang hampir kehilangan seluruh penglihatannya akibat kecelakaan di laboratorium kimia di New York. Mereka berdua kemudian membentuk Asosiasi Pendidikan Tuna Netra Jerman pada tahun 1916, dan mendirikan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan pusat konseling bagi tuna netra. Ini artinya, untuk pertama kalinya di Jerman, tuna netra mampu dan bisa untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Bielschowsky kemudian menjadi direktur kehormatan dari Blista dan Strehl memimpin manajemen.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg (Blista). Sekolah ini adalah sekolah menengah (setara SMA) khusus tuna netra pertama di dunia. Sekolah Carl Strehl ini merupakan inti dari Blista Marburg, yang menerima siswa dari Jerman mulai dari kelas 5. Sekolah ini sangat sukses, dengan rata-rata nilainya sesuai dengan rata-rata nasional Jerman. Banyak lulusan dari sini mendapatkan pekerjaan yang baik, karena suasana pembelajarannya yang nyaman dan menarik.

Kelas terdiri dari hanya 6 hingga 12 siswa dengan literatur beraksara Braille, komputer dengan tampilan Braille dan memiliki fitur berbicara, membaca layar dan piranti lunak untuk memperbesar gambar dan tulisan, serta banyak fitur bantuan lainnya. Yang tidak bisa divisualisasikan digantikan dengan merasakan, mendengar, mencium, dan meraba. Ada model untuk merasakan gempa bumi, meraba molekul dan bentuk geometri. Ada orang-orang yang mentransformasikan listrik dan warna menjadi suara.

Selain kegiatan akademik, Blista juga menyediakan aktivitas luar lapangan seperti berkuda, berenang, bersepeda, mendayung, judo, berselancar, ski, dan bahkan bermain sepakbola. Ada juga kegiatan lain seperti ekskursi, drama, dan magang. Blista juga mengajarkan siswa-siswanya untuk hidup normal, berbelanja, menggunakan transportasi umum, mengunjungi teman, makan tidak belepotan, memasak, mencuci baju, dan bersih-bersih juga merupakan bagian dari pembelajaran. Karenanya, pada pelajar yang tinggal di sekitar 40 tempat di seluruh Marburg merupakan bagian aktif dari masyarakatnya.

Siswa tuna netra Berperahu di Sungai Lahn

Blista juga memiliki program untuk meningkatkan kompetensi pemuda-pemuda dengan menyediakan hampir 48 ribu buku dan majalah dalam format suara yang bisa dipinjam secara gratis. Pusat rehabilitasi menawarkan konseling, pelatihan orientasi, mobilitas, dan juga kemampuan sehari-hari. Mereka juga menyediakan konseling untuk para senior, konseling untuk sekolah-sekolah, juga saran-saran untuk mereka yang membutuhkan alat bantu penglihatan, terutama mereka yang mengalami low-vision.

Menyusuri jalanan Marburg, kita bisa melihat lampu-lampu lalu lintas yang khusus didesain untuk tuna netra. Lampu lalu lintas ini bisa berbunyi bersuara memberi tanda untuk berhenti atau mulai berjalan. Lampu lalu lintas khusus tuna netra ini pertama dibuat pada tahun 1971 di dekat Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg di Ketzerbach. Sekarang, hampir semua lampu lalu lintas di Marburg dilengkapi dengan sinyal suara. Di sekitar pusat kota, hanya ada tiga lampu lalu lintas yang tidak dilengkapi suara. Ini sengaja dilakukan agar di sana siswa Blista bisa belajar bagaimana menyebrang jalan di persimpangan jalan tanpa sinyal suara.

Secara ritmik mereka mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke jalan sembari menyeberang dari ujung ubin taktil ke ujung ubin taktil lainnya di seberang jalan. Ubin-ubin ini sudah dipasang sejak tahun 2000, sejak saat itu sangat banyak jalur-jalur yang dilengkapi dengan ubin ini. Meski demikian ubin ini tidak menjadi satu-satunya alat pemandu, tepi-tepi trotoar, tiang pegangan, juga bisa menjadi alat bantu pemanduan berjalan.

Ada tombol di setiap lampu lalu lintas. Di halte-halte bus, jika tombol dipencet, kedatangan dan kepergian bus diumumkan nyaring. Stasiun Marburg juga dibuat sangat nyaman untuk dikunjungi tuna netra. Denah stasiun kereta sudah dibuat dan ubin-ubin taktil dipasang di dalam stasiun. Sejak direnovasi menjadi stasiun yang nyaman untuk tuna netra, Stasiun Marburg menjadi kebanggaan kota. Pada 2015, bahkan stasiun ini menjadi Stasiun Tahun 2015 oleh Pemerintah Jerman.

Tipikal kota-kota di Jerman pasti memiliki bangunan-bangunan megah yang menjadi tengara (land mark) kota. Di Marburg ada beberapa tengara yang menarik dan selalu menjadi tujuan berwisata para turis. Namun tentu saja sulit bagi tuna netra untuk membayangkan bangunan-bangunan megah hanya dengan bantuan suara. Oleh karena itu, pemerintah kota Marburg membuat maket-maket tengara Kota Marburg dari perunggu dengan keterangan beraksara Braille. Ada beberapa maket yang dibuat seperti maket Marktplatz (pasar utama), maket Marburger Schloss (Kastil Marburg), maket Gereja Elisabeth (Elisabetkirche), dan maket sinagog. Maket ini dibuat sangat detil dan presisi dengan keterangan yang lengkap. Saya melihat beberapa kali tuna netra yang sedang meraba-raba maket mencoba membayangkan bangunan yang ada di depannya.

Maket Gereja Elisabeth Marburg dengan aksara Braille sebagai keterangannya

Tuna netra dan penyandang low vision yang mengunjungi Marburg bisa memilih enam paket tur yang ditawarkan oleh pemerintah kota. Pemerintah kota telah melatih para pemandu wisata dengan bantuan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman, agar bisa memandu para tuna netra. Sebelum menerima lisensinya mereka wajib untuk menjelajahi kota dengan mengenakan penutup mata agar mereka bisa melatih nalurinya. Mereka akan mengajak para peserta tur untuk menyusuri Kota Marburg, mendengarkan para pemain terompet memainkan musiknya. Mereka akan mengajak peserta untuk menjelajahi Gerbang Dominika di Kampus Lama, serta tengara-tengara kota lainnya.

Peta Wisata Blindenhauptstadt Marburg

Lokasi terakhir yang saya kunjungi adalah Jalur Planet. Ini adalah instalasi sederhana yang menurut saya penuh makna. Di tempat ini pemerintah Kota Marburg membuat suatu jalur setapak yang di sepanjang jalur itu, mereka membuat deretan planet di tata surya mulai dari Matahari hingga Pluto dalam skala satu banding satu miliar. Jalur ini menunjukkan betapa berdekatannya planet-planet dalam dibandingkan planet-planet luar, juga perbandingan antara matahari yang berukuran 1.39 meter dibandingkan dengan bumi yang berukuran sebiji kacang. Tentu instalasi ini bentuknya 3 dimensi dan memiliki keterangan beraksara Braille.

Jalur Planet. Foto oleh Michael Fielitz

Begitulan Marburg, ibukotanya tuna netra. Sebuah bukti bahwa ada cara untuk memberdayakan tuna netra, bahwa itu mungkin, sangat mungkin, dan juga menjadikan tuna netra sebagai subjek pembangunan. Dengan diberikan akses yang sama terhadap pendidikan, maka tuna netra juga menjadi golongan pekerja yang memberikan sumbangan tak kecil dalam bentuk pajak untuk pembangunan negeri. Semoga Bandung bisa menjadi kota ramah tuna netra yang berikutnya.

Aamiin.

sumber: Brosur wisata Marburg Blindenhauptstadt

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *