Kaitan Sasakala Sangkuriang Dengan Kejadian Geologi Cekungan Bandung

Bicara tentang Cekungan Bandung, maka kita takkan lepas dari kisah Sangkuriang yang mencintai ibunya, Dayang Sumbi. Kisah ini begitu melegenda, bahkan catatan paling tua tentang kisah ini ada sejak abad ke-16, yaitu pada catatan Bujangga Manik. Bujangga Manik, seorang pangeran Kerajaan Pajajaran memilih jalan hidup seorang resi atau pertapa dan melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa. Catatannya yang kini tersimpan di Museum Oxford di Inggris menyimpan begitu banyak informasi mengenai toponimi daerah di Jawa Barat. Mengenai Sangkuriang, ia mencatat:

Leumpang aing ka baratkeun, datang ka bukit Patenggeng. Sasakala Sang Kuriang, masa dek nyitu Ci Tarum, burung tembey kasiangan

Artinya:

“Berjalanan aku ke barat, datang dari Bukit Patenggeng, Legenda Sang Kuriang, bagaimana mau membendung Ci Tarum, gagal karena kesiangan”

legenda sangkuriang dan gunung tangkuban perahu
Ilustrasi Sangkuriang menendang perahu yang telah dibuatnya

R.W. van Bemmelen, seorang geolog Belanda begitu terpana ketika mendengar kisah Sangkuriang, Keterpanaan ini karena menurutnya kisah Sangkuriang begitu cocok dengan kisah pembentukan Danau Bandung dan letusan katastrofi Gunung Tangkuban Perahu. Hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan Sasakala Sangkuriang.

Berdasarkan legenda, Sangkuriang yang diminta untuk membuat sebuah danau dan perahu, membendung Ci Tarum dalam satu malam. Bahan perahu diambilnya dari Pohon Lametang yang berada di sebelah timur. Pohon itu ditebangnya kemudian runtuh ke arah barat. Sisa tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukittunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat sehingga menimbulkan gempa. Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur menjadi tinggian Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian ini terjadi sebelum terbentuknya perahu. Hal ini dianggap bersesuaian dengan penelitian bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung yang berusia lebih muda dibandingkan gunung-gunung di sekitarnya.

Kemudian Sangkuriang membendung Ci Tarum dan ketika air Ci Tarum mulai tergenang dan danau akan selesai, Dayang Sumbi yang cemas bersiasat sembari berdoa pada yang maha Kuasa. Ia mengibar-ngibarkan selendangnya di ufuk timur. Selendangnya konon tersisa sebagai Batu Selendang di Tahura Dago. Melihat mentari telah bersinar di ufuk timur, Sangkuriang yang merasa gagal sangatlah kesal. Ia kemudian menendang perahu yang telah dibuatnya. Perahu mendarat terbalik menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Batu Selendang, dipercaya sebagai Selendang Dayang Sumbi. Foto oleh Budi Brahmantyo.

Sisa-sisa Sasakala Sangkuriang juga terdapat di Bandung Barat. Di kawasan perbukitan kapur Rajamandala, beberapa bukit dinamai sesuai dengan nama-nama perkakas pesta. Di daerah ini terdapat beberapa nama bukit seperti Bukit Pawon yang artinya dapur. Ada pula Pasir Pabeasan yang artinya tempat beras. Pasir Manik = manik-manik perhiasan, Pasir Hawu = tungku, Pasir Leuit = lumbung, Pasir Kancahnangkub =wajan/panci terbalik, Pasir Bende dan Gua Ketuk = alat tetabuhan. Bukit-bukit itu berada pada posisi yang terpisa jauh, seolah-olah berserakan karena ditendang Sangkuriang.

Kearifan masyarakat Sunda dalam menamai wilayahnya tentu sangat menarik untuk dikaji. Bagaimana bisa kisah-kisah ini begitu berkaitan. Bagi mereka yang skeptis, boleh jadi ini hanya reka-rekaan atau kita hanya mencocok-cocokan. Namun saya merasa bahwa hal ini terlalu menarik untuk disebut sebagai sebuah kebetulan. Bagaimanapun masih banyak kebijaksanaan leluhur kita yang kita belum pahami. Begitu banyak warisan lisan yang tak tercatat dan akan segera hilang apabila penuturnya telah berpulang. Maka tentu sangat penting bagi kita generasi muda untuk mencari tahu dan menjaga agar kearifan-kearifan itu bisa terjaga.

 

Daftar Pustaka

Bachtiar, T. dan Syafriani, Dewi., 2012. Bandung Purba. Bandung: Pustaka Jaya

Kunto, H., 2014. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia

Brahmantyo, B., dan Bachtiar, T., 2009. Wisata Bumi Cekungan Bandung. Bandung: Truedeepustakasejati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *