Lomba Geosites of the Year

Capture

Ada satu hal menarik yang saya amati dari pengelolaan Geopark Odenwald-Bergstrasse (baca tulisan saya tentang geopark ini Belajar dari Geopark di Jerman), yaitu tentang Geotopes of the Year. Ini adalah hal yang sederhana, sangat mudah ditiru, tapi bisa memberikan dampak yang besar bagi perkembangan geopark di Indonesia.

Pada prinsipnya kita akan menyeleksi situs-situs di dalam geopark untuk kemudian dipilih sebagai Geotopes tahun ini. Hal ini kita lakukan setiap tahun sehingga setiap kelompok yang mengelola masing-masing situs bisa berlomba-lomba memperbaiki situsnya.

Yang saya lihat di Jerman, pengelolaan geopark sudah dilaksanakan sangat baik oleh komunitas-komunitas lokal. Sebagai contoh Situs Felsenmeer yang merupakan Geotopes tahun 2002 (lihat di sini: Mengarungi Lautan Bebatuan Felsenmeer) sudah memiliki pengelola sendiri, juga situs yang saya kunjungi terakhir yaitu situs Kekar Kolom Otzberg (Geotopes 2005) juga memiliki pengelolanya sendiri (lihat di sini). Juga Situs Grube Messel (baca di sini) yang merupakan Geotopes tahun 2010.

Ide ini saya kira sangat bisa dipraktikkan di Indonesia. Melalui perlombaan ini saya kira kita bisa mempercepat tumbuh kembang komunitas-komunitas lokal pengelola geopark. Sebuah pengakuan bahwa situsnya memenangi perlombaan saya kira akan menimbulkan rasa bangga dan keinginan untuk mengembangkan diri lagi dan lagi.

Selain perlombaan Geotopes of the Year, saya kira bisa juga dilakukan perlombaan membuat desain poster informasi situs di dalam geopark. Hal ini juga untuk menambah partisipasi warga dalam memiliki dan membagikan informasi mengenai geopark.

Beberapa ide lomba:

  1. Lomba Situs Geopark Tahun Ini
  2. Lomba Membuat Poster Situs Geopark
  3. Lomba Membuat Rekomendasi Jalur Geowisata di Geopark
  4. dll.

http://www.geo-naturpark.net/en/geologie/geotope-des-jahres.php

contoh brosur Geotopes of the Year

Grube Messel 2010

Der Otzberg 2005

Die Grube Marie 2017

 

Kembali Ke 49 Juta Tahun Lalu di Messel

20180519_151536

Saya ingat pertama kali menonton film Jurassic Park saya sangat terinspirasi oleh tokoh-tokohnya. Betapa kerennya bekerja mencari fosil dan kembali ke masa lalu. Meskipun di kemudian hari saya tidak mendalami paleontologi tapi tetap ada rasa kagum saya pada mereka yang bekerja mengekskavasi fosil-fosil.

Saya sering memikirkan tentang wisata paleontologi seperti yang pernah saya tulis dalam artikel saya tentang fosil moluska di Gunung Halu. Wisata jenis ini sangat mungkin berkembang dan menjadi sarana hebat untuk menginspirasi anak-anak mencintai ilmu pengetahuan.

Di situs Messel, Jerman, sekitar 15 km dari tempat saya tinggal, kawasan ekskavasi fosil dikembangkan menjadi situs pariwisata. Situs ini juga menjadi bagian dari Geopark Odenwald-Bergstrasse (mampir tulisan saya yang lain tentang geopark Belajar dari Geopark di Jerman).

Dari lebih seratus tahun lalu hingga hampir 50 tahun lalu, situs ini merupakan area penambangan minyak serpih (oil shale). Meskipun sudah banyak penemuan fosil-fosil sejak awal proses eksplorasi, baru pada 1970an, ketika proses eksploitasi tak lagi menguntungkan secara ekonomi, daerah ini mulai dipikirkan untuk dilindungi, meskipun sempat pula ada ide untuk mengalihfungsikan situs ini sebagai tempat penimbunan sampah.

Beruntung pemerintah, komunitas peneliti, dan masyarakat melindungi situs ini hingga akhirnya pada 1995 UNESCO memutuskan situs ini sebagai warisan dunia karena signifikansinya terhadap ilmu pengetahuan, terutama di bidang paleontologi. Situs ini merupakan satu lokasi di mana kita bisa memahami mengenai periode Eosen, ketika mamalia secara mantap hidup di ekosistem darat. Tingkat keterawetan fosil sangat luar biasa sehingga data yang dihasilkan memungkinkan penelitian saintifik yang sangat mendalam.

Begitu pentingnya situs ini bagi umat manusia karena saking lengkapnya fosil yang ada, ia bisa menggambarkan lingkungan kala Eosen, evolusi, dan perkembangan mamalia modern.

Fosil-fosil yang ditemukan di sini seperti: Nenek moyang primata, fosil kura-kura yang sedang berhubungan seksual, lebih dari 10 ribu fosil ikan dari berbagai spesies, ribuan serangga air dan darat dengan warna yang masih bisa dibedakan, mamalia seperti kuda pigmi, tikus, primata, trenggiling, kelelawar, burung (terutama burung predator), reptil dan amfibi seperti buaya, kura-kura, kodok, kadal, lebih dari 30 spesies tumbuhan, dan begitu banyak lagi fosil lain yang ditemukan di sini (sumber: wikipedia).

German_Heritage-2014-1773_new

(Paleontolog menyiapkan sampel di Messel. Kita bisa melakukan melihat langsung aktivitas ini di lapangan. gambar dari https://goo.gl/images/U8bReE)

Situs Fosil Messel dikelola sebagai kawasan wisata khusus. Ada tur dengan pemandu yang bisa menjelaskan dengan sangat baik proses ekskavasi fosil, informasi mengenai fosil, dan juga signifikansinya terhadap ilmu pengetahuan. Lebih menariknya lagi bahwa kita bisa melakukannya langsung di lokasi ekskavasi.

Ada banyak pilihan yang ditawarkan seperti tur di area ekskavasi baik singkat maupun tur panjang, atau bisa juga hanya di dalam museum yang juga luar biasa. Di dalam museum, ada seorang petugas yang sedang melakukan preparasi fosil yang kita bisa melihatnya langsung. Ia dengan senang hati menceritakan bagaimana caranya melakukan preparasi fosil dan menunjukkannya.

Sebuah pilihan yang tepat, hebat, dan berani dari Pemerintah Negara Bagian Hesse hampir 30 tahun lalu untuk melindungi dan melestarikan kawasan ini untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kini ia menjadi situs yang begitu menarik dan saya yakin menginspirasi banyak anak-anak untuk menggemari geologi dan menginspirasi dunia untuk lebih melindungi cagar geologinya.

Di Indonesia kita punya banyak juga tempat sejenis yang mungkin bisa dikembangkan. Situs Sangiran saya kira sudah cukup berkembang. Ada juga situs fosil di Ciamis, Cirebon, Majalengka yang sangat menarik juga untuk dikembangkan. Sudah ada contohnya dan bisa, sangat bisa berkembang, tinggal kita punya keinginan yang kuat untuk mewujudkannya.

 

 

Merawat Sejarah Bentang Alam

Suatu hari saya berjalan kaki di tepian Sungai Elbe di Kota Dresden, Jerman. Di awal musim semi ketika udara mulai hangat dan orang-orang bertebaran menikmati matahari yang tak lagi jarang. Sungai Elbe adalah salah satu sungai penting di Eropa Tengah dengan panjang hingga 1000 kilometer. Ia mengalir dari Pegunungan Krkonoše di Republik Ceko hingga bermuara ke Hamburg, di Laut Utara.

Selayaknya kota di mana pun di dunia yang menjadikan sungai sebagai pusat kebudayaannya, di Dresden pun sama, Sungai Elbe adalah denyut nadi utama kota Dresden. Ia menjadi saksi tumbuh kembangnya budaya, naik-turunnya raja-raja, pemerintahan-pemerintahan, dari monarki yang absolut, Republik Demokrasi Jerman Timur, hingga pemerintahan zaman sekarang.

Di tepian Sungai Elbe, saya melihat sebuah instalasi sederhana yang mengagumkan. Instalasi itu hanya sebuah bingkai tembus yang menghadap ke arah Sungai Elbe dengan latar bangunan-bangunan tua kebanggaan Kota Dresden. Melihat ke bingkai itu, ditambah dengan sebuah deskripsi mengenai Kota Dresden di masa lampau dan sebuah lukisan lawas lanskap yang sama tempo dulu, membuat saya seolah kembali ke masa lalu, ke masa 100-200 tahun yang lalu.

Dari seberang Sungai Elbe, kita bisa menangkap bangunan-bangunan tua berderet (dari kiri ke kanan di dalam bingkai:) Frauenkirche, Courthouse Dresden, dan Katolische Hofkirche, serta Jembatan Augustus (Augustusbrucke). Bangunan-bangunan yang masih sama dengan ratusan tahun yang lalu, hanya tanpa mesin-mesin yang dipakai untuk renovasi di masa sekarang.

20180405_152737

20180405_151809
Gambar di bagian bawah bingkai. Terlihat Frauenkirche (sebelah kiri), dan Katolische Hofkirche (kanan). Gambar sekitar abad ke-19.

Saya kira instalasi ini sangat elegan. Sebuah upaya merawat sebuah lanskap agar tak hilang ditelan ketamakan. Saya yakin benar bahwa pemerintah Kota Dresden akan berupaya sekuat tenaga untuk menjaga lanskap ini tetap sama sebagai identitas utama kotanya.

Melihat itu kemudian saya teringat Gedung Sate dan Gedung Balai Kota Bandung yang gagal menjaga lanskapnya. Dari pemahaman saya melalui cerita-cerita yang saya pahami, Gedung Sate dibangun berorientasi Utara-Selatan dan kita disajikan pemandangan Gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang bebas tanpa halangan apa-apa. Oleh karena itu, konon tak boleh ada gedung yang tinggi di depan Gedung Sate sehingga tak menghalangi pemandangan gunung-gunung tersebut.

gedung sate.png
Pemandangan Gedung Sate. Amati gedung putih tinggi yang menghalangi pandangan dari Gedung Sate ke Gunung Burangrang. Gambar dicuplik dari video drone oleh Drone Keliling.

Pun demikian dengan Gedung Balai Kota, kita bisa melihat hotel di belakang Gedung Balai Kota. Menurut hemat saya, (tanpa bermaksud menjelekkan gedung baru) keberadaan hotel ini menghancurkan estetika Gedung Balai Kota sama sekali.

20170420_130844.jpg
Gedung di belakang Balai Kota Bandung, sangat merusak estetika bangunan. Gagal paham.

Bentang alam adalah sebuah monumen yang harus dilestarikan. Ia adalah latar dari kota, bangunan, kejadian-kejadian, atau segala hal-hal yang kemudian mempunyai nilai sebagai identitas. Tanpa bentang alam ini, maka identitas kota, bangunan, kejadian-kejadian pun perlahan sirna, orang sulit mengingatnya.

Pun demikian halnya dengan bentang alam geologi, seperti kisah “Gunung Gamping, Contoh Buruk Eksploitasi Karst” yang ditulis oleh dosen saya, Dr. Budi Brahmantyo, beliau bercerita tentang kegagalan kita menjaga bentang alam Gunung Gamping hingga hanya menyisakan sebuah sketsa lama Junghuhn, dan sebuah bongkah batu kecil sebagai penanda bahwa pernah ada formasi batugamping di sana.

 

Posted by Budi Brahmantyo on Thursday, July 4, 2013

Demikian instalasi bingkai kota Dresden dan Sungai Elbe ini menginspirasi saya tentang cara yang sangat sederhana untuk merawat bentang alam. Mengabadikannya dengan membuat instalasi sederhana, agar orang yang datang mampu merasakan bahwa lanskap yang ada di hadapannya adalah berharga, jangan dihalangi oleh gedung-gedung tinggi, atau jangan dibongkar diratakan dengan tanah demi kepentingan rupiah yang tak seberapa. Buat saya instalasi ini sangat menarik untuk dipraktekkan untuk melawan degradasi hebat di monumen-monumen kota dan alam di Indonesia. Siapa tahu?

 

Mengarungi Lautan Bebatuan Felsenmeer

20180324_113732
Felsenmeer di Lautertal, Odenwald, Hessen, Jerman.

Karena musim dingin sudah berakhir, udara sudah mulai hangat, dan matahari sudah bersinar, maka waktunya jalan-jalan dimulai. Akhir minggu ini saya berkesempatan untuk jalan-jalan lagi ke geosite lain di Geopark Odenwald-Bergstrasse, yaitu ke Geosite Felsenmeer (Felsen=batu, Meer=laut). Felsenmeer terletak di daerah Lautertal, sekitar 40 kilometer arah selatan dari Darmstadt, kota saya melanjutkan studi. Seperti namanya, lautan batu, tempat ini tersusun atas bongkahan-bongkahan besar granodiorit yang begitu banyak seolah-olah seperti lautan bebatuan.

1Secara geologis, daerah ini tersusun atas batuan granodiorit berumur Permian, atau sekitar 300 juta tahun yang lalu. Batuan granodiorit yang membeku jauh di bawah permukaan bumi perlu waktu ratusan juta tahun hingga akhirnya tersingkap ke permukaan, yaitu pada kala Tersier. Karena batuan yang sebelumnya berada di atas batuan granodiorit ini tidak ada lagi, maka tekanan yang biasa menekan granodiorit ini pun hilang. Batuan granodiorit merespon hilangnya tekanan ini dengan merekah dan membentuk pola rekahan yang kemudian mempercepat proses pelapukan. Pada daerah-daerah yang berlereng, bongkahan bebatuan ini menumpuk, seperti di Lautertal ini. (Gambar: Proses pembentukan lautan bebatuan di Lautertal, Geopark Odenwald-Berstrasse, 2002). Proses pelapukan seperti ini dikenal sebagai proses pelapukan bantal atau Woolsack Weathering, atau dalam bahasa Jerman Wollsackverwittung.

20180324_105401Selain fenomena geologinya yang luar biasa, ternyata Felsenmeer juga mempunyai sejarah panjang yang tak kalah mengagumkan. Tercatat Bangsa Roma sejak awal abad ke-3 sudah mulai mengeksploitasi bebatuan di Lautertal. Di gerbang masuk Felsenmeer terdapat miniatur gergaji batu yang membuat saya berdecak kagum, “Bangsa Roma, Gila!”. Bayangkan saja batuan Granodiorit, keras, berat, dipotong manual dengan gergaji.

20180324_105825Di gerbang masuk Felsenmeer juga ada museum kecil yang berisikan cerita proses geologi Felsenmeer beserta batuan-batuan yang ditemukan di area sekitar. Selain itu juga ada mainan-mainan bebatuan dari Zaman Romawi Kuno, seperti main SOS zaman sekarang. Juga ada juga maket bengkel situs yang kemudian jadi panduan kami untuk menjelajahi Felsenmeer. Tapi yang paling utama dari museum ini adalah gratisnya, hahaha.

Mendaki Felsenmeer cukup melelahkan. Batuan-batuan besar, jarak yang cukup jauh, dan juga beda elevasi yang cukup tinggi lumayan menguras tenaga. Di tengah-tengah kita sampai di sebuah jembatan yang jadi lokasi istirahat yang lumayan melegakan. Setelah jembatan ini, trek tidak begitu menanjak seperti sebelumnya, lebih landai dan bebatuan mulai jarang-jarang. Disini kita akan bertemu bengkel bebatuan zaman Roma.

WhatsApp Image 2018-03-25 at 9.51.37 AM (1)

Menurut informasi, ada sekitar 300 artefak yang ditemukan di kawasan Felsenmeer, tapi kami hanya menjumpai beberapa, mungkin karena kurang awas. Salah satu yang paling menarik adalah sebuah tiang batu yang sangat besar, mungkin panjangnya 10 meter dengan estimasi berat 30 ton. Pilar-pilar dari Felsenmeer dipakai di beberapa tempat, seperti di Trier Domstein, Kota Trier, dan di Kastil Heidelberg (sumber: wikipedia). Bayangkan proses pengangkutannya, pemotongannya, dan segala kerumitan yang dilakukan ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu.

Di Felsenmeer saya belajar bagaimana orang Jerman mengelola warisan geologi dan warisan sejarahnya. Di Felsenmeer, terutama di museumnya, kita bisa tahu apa yang ada di dalam situs ini, flora-faunanya, geologinya, sejarahnya. Peta jalur tersedia begitu informatif dan juga di setiap stop bisa kita temukan, sehingga kita bisa berjalan tanpa pemandu, meskipun jika mau, pengurus menawarkan jasanya. Selain itu secara rutin ada acara khusus untuk anak-anak. Bentuknya bermacam-macam, ada tur, ada permainan, dan lain-lain. Semuanya semata-mata sebagai upaya menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan fenomena alam sebagai sarana edukasi dan wisata.

Statusnya sebagai Geotopes of the Year 2002 juga sangat membantu, karena setiap tempat yang mendapat gelar Geotopes of the Year memiliki brosur dan keterangan yang cukup informatif yang bisa kita unduh dari situs Geopark Odenwald-Bergstrasse.

 

Sumber: Brosur Geotopes Tahun 2002 – http://www.geo-naturpark.net/deutsch/infothek/infomaterial.php#anchor_1bd3c59a_Accordion-4-Flyer-zu-Geotopen

 

Belajar dari Geopark di Jerman

Di Indonesia sedang begitu marak tentang euforia Geopark. Terhitung sejak 2012, saat sidang Global Geopark Networks (GGN) di Portugal yang menetapkan Geopark Gunung Batur sebagai bagian dari GGN, hingga kini di Indonesia sudah ada 2 Geopark yang berstatus GGN, yaitu Batur dan Gunung Sewu. Sementara itu geopark nasional pun cukup banyak, di antaranya: Rinjani, Ciletuh-Palabuhan Ratu, Merangin, Toba, dan lainnya. Daerah-daerah pun berupaya memajukan keunggulan wilayahnya untuk dijadikan geopark. Tentu ini sebagai angin segar bahwa kita percaya geopark sebagai salah satu solusi konservasi alam yang selaras dengan semangat konservasi dan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Penulis saat ini berdomisli di Jerman, sebagai seorang yang bergiat dalam geowisata sejak hampir 5 tahun yang lalu, tentu penulis merasa penasaran dengan geowisata di Jerman. Bagaimana Jerman mengelola geowisatanya? Hal-hal apa saja yang bisa ditiru dan dikembangkan di Indonesia?

Geopark di Provinsi Hessen

Di Provinsi Hessen, tempat penulis melanjutkan studi, terdapat 3 geopark. Satu GGN, yaitu Geopark Odenwald-Bergstrasse, satu geopark nasional, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus, dan satu kawasan yang sedang dimajukan menjadi geopark nasional, yaitu Vogelsberg.

Geopark Odenwald-Bergstrasse menjual kisah geologi tentang batuan granitik berumur 300-500 juta tahun yang lalu. Selain itu ada juga batuan sedimen berumur Mezosoikum dan juga batuan sedimen Tersier yang mengisi lembah Graben Rhine.

Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus kita akan melihat jejak-jejak terumbu karang tropis, sisa-sisa volkanisme tua, juga sistem gua yang masif. Sejarah geologinya pun sangat panjang, terhitung sejak kala Paleozoikum. Disini banyak ditemui fosil-fosil tua yang menjadi jejak sejarah panjang kawasan ini.

Sedangkan Vogelsberg adalah kawasan volkanik paling luas di Eropa Tengah yang terbentuk pada 15-18 juta tahun yang lalu. Lava mengalir dimana-mana. Jejak gunungapi purba, retakan-retakan kekar dan sesar, bom vulkanik berukuran raksasa mewarnai daerah ini menjadikannya sebagai salah satu tempat terbaik untuk mempelajari jejak gunungapi di Jerman.

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita amati dari geopark di Jerman. Yang pertama adalah hampir semua geopark memiliki jalur treking yang nyaman. Jalurnya terbagi menjadi trek berjalan kaki dan juga trek bersepeda.

Sebagai contoh di Geopark Odenwald-Bergstrasse telah ada 33 jalur treking yang disesuaikan dengan temanya masing-masing. Di Vogelsberg ada 6 jalur dengan total panjang 115 kilometer yang bisa ditempuh dalam 6 hari. Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus pun demikian, ada banyak jalur treking dengan temanya masing-masing, namun yang paling terkenal disini adalah Druidensteig, treking sepanjang 83 kilometer yang terbagi atas 6 rute.

Keberadaan jalur treking ini tentu untuk memenuhi kegemaran masyarakat Jerman untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan di luar ruang seperti bersepeda atau berjalan kaki menikmati alam bebas. Sering terlihat rombongan orang tua atau anak-anak yang mengunjungi kawasan geopark.

Hal kedua yang menarik dari geopark-geopark di Provinsi Hessen adalah informasi yang mudah diakses. Informasi daring tentang geopark tersedia dalam laman masing-masing geopark. Pada umumnya informasi yang tersedia seperti informasi lokasi menarik, informasi jalur menarik, geosite terbaik setiap tahun, program-program geopark setiap bulannya, info materi yang bisa diunduh, dan juga peluang-peluang kerja sama antara geopark dengan institusi pendidikan.

Program geosite setiap tahun sangat menarik dan sangat mungkin direplikasi. Modelnya adalah setiap komunitas mengajukkan situs di kawasannya yang kemudian dipilih dalam hari penghargaan. Kawasan yang diajukkan harus memiliki topik geologi yang menarik, juga aspek alamiah, kultur, dan budaya sehingga memungkinkan pandangan yang holistik bagi pengunjung yang datang ke sana.

Geopark di Jerman sudah cukup dewasa, ia sudah ada sejak tahun 2002, sedang kita baru memulainya 6 tahun yang lalu. Untuk itu tentu banyak pelajaran yang bisa kita petik, karena Indonesia tinggal mereplikasi dan melakukan lebih baik dari pada praktik yang sudah ada. Masih ada begitu banyak hal tentang geopark di Jerman yang bisa diceritakan, semoga ada waktu dan kesempatan untuk belajar dan berbagi.

Salam geowisata!

 

Meninggalkan Hati di Jembatan Bastei

20171224_123833
Basteibrucke dari titik pengamatan. Perhatikan sebagai latar bukit Mesa Konigstein.

Pengembaraan saya di Jerman membawa saya kepada singkapan batupasir berumur kapur yang tersingkap luar biasa di tepian Sungai Elbe, Provinsi Saxony, sekitar 1 jam berkereta api dari ibukota Provinsi Saxony, Dresden, sebuah kota cantik di bagian timur Jerman.

Basteibrucke begitu namanya (brucke=jembatan dalam bahasa Jerman), adalah jembatan batu setinggi 194 meter yang dibangun di atas Formasi Batupasir Elbe sekitar tahun 1854 untuk tujuan wisata, setidaknya begitu yang saya baca dari wikipedia. Sejak lebih 200 tahun yang lalu, Bastei telah jadi fenomena alam yang menarik wisatawan. Pada 1814 dibangun jembatan kayu untuk mengakomodasi turis yang ingin menjelajahi bebatuan eksotis ini yang kemudian dikembangkan lebih permanen 40 tahun kemudian.

20171224_110304
Stasiun Rathen dengan latar Batupasir Elbe

Terpesona adalah kata yang mungkin mendeskripsi perasaan saya mengunjungi tempat ini. Sejak dalam perjalanan berkereta, kita menyusuri Sungai Elbe yang dibatasi oleh tebing-tebing eksotis Batupasir Elbe yang berumur Kapur, atau sekitar 100-80 juta tahun yang lalu. Saya sempat menduga bahwa ini bebatuan karst seperti Maros karena bentukan bukit pinnacle, bahkan dosen saya (Pak Budi Brahmantyo) ketika saya melihat foto ini pun menduga hal yang sama. Tapi ternyata batupasir bisa membentuk morfologi yang serupa.

Kereta kami berhenti di Stasiun Rathen, tepat di tepian point bar Sungai Elbe, kami harus menyeberangi Sungai Elbe untuk mulai berjalan kaki di kawasan Bastei. Menggunakan kapal yang dikelola masyarakat lokal kami menyebrang dengan cukup membayar EUR 1.8 untuk pergi pulang. Kami sampai di Desa Rathen. Desa Rathen adalah desa kecil yang indah. Dengan rumah-rumah cantik seperti di dalam cerita-cerita dongeng. Di bagian atasnya ada reruntuhan kastil tua Altrathen Schloss yang diduga dibangun sekitar abad ke-12.

20171224_134446
Perlu menyebrang Sungai Elbe untuk memulai trekking. Di seberang adalah Desa Rathen dengan kastil Altrathen di bukitnya

Karena sudah dikelola sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, pariwisata di Bastei ini kalau boleh saya bilang sangat matang. Jalur wisata dibuat sangat nyaman, jelas, dan tentu aman. Meskipun elevasi yang ditempuh berbeda cukup jauh (sekitar 200-300 mdpl) namun pendakian terasa sangat nyaman. Kami bahkan bertemu banyak Oma dan Opa yang mendaki bersama (orang Jerman sangat senang trekking). Dengan fasilitas sedemikian rupa, kita tak perlu membayar apa-apa untuk kesini selain biaya transportasi, itu pun saya rasa sangat murah, EUR 13 untuk tiket harian pergi dan pulang di sekitaran Dresden.

Geologi Batupasir Elbe

Bastei adalah singkapan Formasi Batupasir Elbe yang berumur Kapur (100-80 juta tahun yang lalu). Batupasir Elbe adalah penamaan untuk semua jenis batupasir yang tersingkap di sekitar lembah Elbe dengan jenis utama yaitu batupasir kuarsa dengan semen silikaan. Batupasir ini melampar jauh 20 km x 30 km meliputi dua negara yaitu Jerman dan Republik Ceko dengan ketebalan hingga 600 meter (Migori, 2010).

Batupasir ini terbentuk pada lingkungan pengendapan laut regresi. Sumber sedimennya diduga berasal dari bagian utara, yaitu tubuh granitoid yang lebih tua (Vařilová, 2016). Yang menarik dari daerah ini adalah morfologi pinnacle pada bukit-bukitnya. Lagi-lagi menurut wikipedia, bentukan ini terjadi karena tebalnya lapisan batupasir dan juga kekar yang tegak lurus vertikal dengan lapisan yang datar. Ini kemudian menjadi sebuah istilah dalam bahasa Jerman yaitu Quadersandsteingebirge atau Square sandstone mountains atau bukit batupasir mengotak jika saya coba menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Istilah ini dikenalkan oleh Hans Brunno Geinitz pada 1849 untuk mendeskripsi fenomena sejenis, namun sebenarnya merujuk secara spesifik pada batupasir Elbe.

20171224_114025
Jalur trekking menuju Bastei. Sepanjang jalan anak tangga lebar dan aman
20171224_122359
Batupasir Elbe dari titik pertama. Perhatikan bentuk-bentuk mengotak yang kadang mengecoh seolah seperti bukit-bukit pinnacle Karst

Di Bastei, jenis-jenis morfologi Plato bisa kita pelajari dengan mudah. Plato adalah dataran tinggi yang dibentuk dari lapisan datar. Ada bukit Mesa Konigstein yang bisa dilihat dari titik vista pengamatan jembatan Bastei. Mesa adalah morfologi tinggian berbentuk seperti meja (lihat gambar pertama).

Bastei, Elbe, dan Kisah di Baliknya

Buat saya, sungai adalah morfologi yang paling romantis. Ia adalah mula dari semua kisah manusia. Kita bisa membahas semua mula budaya, yang kesemuanya dimulai dari tepian sungai. Seperti sejarah panjang kebudayaan Mohenjo Daro dan Harappa yang berkembang di tepian Sungai Indus. Atau Mesopotamia yang masyhur karena diapit Eufrat dan Tigris yang melimpahinya dengan tanah subur. Juga Mesir yang dikenal sebagai “Hadiah dari Sungai Nil” karena lekatnya sejarah peradaban bangsa Mesir di sekitar lembah Nil. Begitu pula di Indonesia, peradaban manusia purba Sangiran bertumpu pada aliran Bengawan Solo. Bangkit runtuhnya kerajaan di tatar Sunda pun disaksikan oleh aliran Ci Tarum.

Kita punya begitu banyak karya sastra dengan sungai sebagai sumber inspirasinya, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho adalah salah satu favorit saya yang bercerita tentang perjalanan spiritual Pilar. Juga cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono, Sungai.

Sungai Elbe pun sama. Ia bermula dari Pegunungan Krkonose atau Giant Mountains di utara Republik Ceko, mengalir menuju kawasan Bohemia, Saxony di Jerman, hingga bermuara di Laut Utara. Sungai Elbe telah lama dikenal sebagai batas geografis negara-negara. Sejak zaman Romawi, Kekaisaran Roma membatasi wilayahnya di sekitar Elbe dan terus berperang mempertahankan batas negaranya dari serangan kaum barbar.

Di puncak Bastei kita bisa menjumpai artefak-artefak kerajaan dan bekas benteng. Kami mendapati sebuah ketapel raksasa (catapult) dengan ukuran peluru sebesar kepala orang dewasa. Selain itu dijumpai juga pecahan-pecahan gerabah dan bekas benteng dari kayu. Mungkin pada zaman dahulu tempat ini merupakan benteng perlindungan. Kadang saya suka membayangkan betapa berat tinggal disini pasti sulit mendapat air.

20171224_123155
Sungai Elbe membelah perbukitan batupasir Elbe.

 

20171224_115639
Singkapan batupasir Elbe membentuk kotak-kotak. Jadi teringat pelajaran zaman dulu bahwa batupasir yang masif bisa membentuk pelapukan mengulit bawang.
20171224_125424
Artefak ketapel raksasa di puncak Bastei
20171224_124931
Sketsa Felsenburg (bukit batu) dari Bastei. Ingin rasanya duduk dan membuat sketsa, tapi musim dingin tidak memungkinkan saya melakukannya. 
20171224_125138
Bagian paling saya suka, peta gunung-gunung. Buat saya penting untuk kita memahami geomorfologi sekitar. Contoh yang bagus banget buat ditiru di Indonesia.

Bagi saya, Jembatan Bastei adalah salah satu tempat paling bagus yang pernah saya kunjungi. Unsur-unsur yang saya senangi hampir semua ada, bentang alam, singkapan, tinggian, lembah, bukit, sungai, puncak, jejak sejarah, dan unsur geowisata yang paripurna yaitu informasi yang memadai untuk kita mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh tempat wisata ini.

Entah kapan saya bisa kesini lagi, tapi Jembatan Bastei punya tempat yang spesial di hati saya. Sampai jumpa lagi Bastei, sampai kita bertemu lagi.

Auf wiedersehen

 

Migoŕi, P. (2010). Geomorphological Landscapes of the World. Springer. p. 202. ISBN 978-90-481-3054-2. Retrieved 30 April 2011.

Vařilová Z. (2016) Elbe Sandstones. In: Pánek T., Hradecký J. (eds) Landscapes and Landforms of the Czech Republic. World Geomorphological Landscapes. Springer, Cham

Rheingraben, Sebuah Perkenalan

20171118_103258
Dinding horst Rheingraben, Zwingenberg, Hesse, Jerman.

Kota tempat studi saya, Darmstadt, berada di ujung utara dari Upper Rheingraben, tepat di sebelah utara dari horstnya, yaitu batuan dasar granitik Odenwald. Daerah ini oleh pemerintah Jerman dijadikan sebagai kawasan Geopark Odenwald-Bergstrasse dengan aspek geologi utamanya adalah batuan dasar kristalin Odenwald, Graben Rhine Atas, dan Buntsandstein Odenwald (batupasir Odenwald) yang berumur Trias.

Saya berkesempatan untuk menyusuri geopark ini melalui jalur yang telah tersedia. Dimulai dari kota kecil Zwingenberg kami berjalan menuju Gunung Melibokus, bukit granit dengan ketinggian sekitar 500 mdpl. Disini kami disuguhi pemandangan Rheingraben yang tertutup kabut tebal dan mendung awan musim gugur November yang dingin.

Ada beberapa kastil tua di sekitar perbukitan yang memanjang utara selatan ini. Kemungkinan besar dibangun ratusan tahun lalu sebagai tempat perlindungan, mungkin dulu banyak peperangan disini. Beberapa kastil yang kami kunjungi seperti Kastil Auberbach, Kastil Alsbach, Kastil Heilenberg, dan Kastil Frankenstein. Kastil yang terakhir ini hampir 200 tahun yang lalu menginspirasi Mary Shelley untuk menulis novelnya yang terkenal, Frankenstein.

Kembali ke batuan. Batuan granit yang menjadi latar foto saya, berumur Paleozoik, mungkin sekitar 300-350 juta tahun pada era Permian. Pembentukannya terjadi karena kolisi antara lempeng Afrika dan Eropa ketika itu. Jutaan tahun berlalu dan batuan-batuan telah menumpuk di atas batuan granit ini, seperti batupasir Buntsandstein, juga batugamping Muschelkalk yang berumur Trias atau sekitar 250-200 juta tahun yang lalu.

Pada kala Eosen hingga puncaknya pada Oligosen, terbentuklah struktur graben akibat tumbukan Lempeng Afrika dan Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Orogenesa Alpen. Proses yang sebenarnya agak rumit karena agak sulit menjelaskan bagaimana suatu orogenesa bisa menghasilkan struktur graben yang begitu besar. Saat ini, penjelasan utama yang diterima oleh para peneliti adalah Orogenesa Alpen menjadi salah satu pemicu pemekaran pasif di Lempeng Eurasia dan menghasilkan Rheingraben. Graben memanjang utara selatan hampir 400 km dari Basel di Swiss hingga Frankfurt yang merupakan bagian dari European Cenozoic Rift System (ECRIS) yang memanjang 1100 km dari Mediterrania hingga ke Laut Utara.

20171118_101022
Sketsa geologi Geonaturpark Odenwald-Bergstrasse, Jerman

Menyusuri geopark di Jerman menjadi hiburan menyenangkan bagi saya yang cukup penasaran dengan kondisi geologi tempat saya tinggal. Ke depannya, saya berniat untuk mencari singkapan-singkapan dari batuan Bundsandstein dan juga Muschelkalk karena cukup banyak juga singkapan-singkapan menarik untuk dikunjungi dan dipelajari.

Selain Geopark Odenwald, di provinsi Hesse juga terdapat geopark lain, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus yang berada di bagian barat laut dari Frankfurt. Akan sangat menyenangkan juga untuk mengunjungi geopark itu.

Aufwiedersehen

Tschuss!