Mengarungi Lautan Bebatuan Felsenmeer

20180324_113732
Felsenmeer di Lautertal, Odenwald, Hessen, Jerman.

Karena musim dingin sudah berakhir, udara sudah mulai hangat, dan matahari sudah bersinar, maka waktunya jalan-jalan dimulai. Akhir minggu ini saya berkesempatan untuk jalan-jalan lagi ke geosite lain di Geopark Odenwald-Bergstrasse, yaitu ke Geosite Felsenmeer (Felsen=batu, Meer=laut). Felsenmeer terletak di daerah Lautertal, sekitar 40 kilometer arah selatan dari Darmstadt, kota saya melanjutkan studi. Seperti namanya, lautan batu, tempat ini tersusun atas bongkahan-bongkahan besar granodiorit yang begitu banyak seolah-olah seperti lautan bebatuan.

1Secara geologis, daerah ini tersusun atas batuan granodiorit berumur Permian, atau sekitar 300 juta tahun yang lalu. Batuan granodiorit yang membeku jauh di bawah permukaan bumi perlu waktu ratusan juta tahun hingga akhirnya tersingkap ke permukaan, yaitu pada kala Tersier. Karena batuan yang sebelumnya berada di atas batuan granodiorit ini tidak ada lagi, maka tekanan yang biasa menekan granodiorit ini pun hilang. Batuan granodiorit merespon hilangnya tekanan ini dengan merekah dan membentuk pola rekahan yang kemudian mempercepat proses pelapukan. Pada daerah-daerah yang berlereng, bongkahan bebatuan ini menumpuk, seperti di Lautertal ini. (Gambar: Proses pembentukan lautan bebatuan di Lautertal, Geopark Odenwald-Berstrasse, 2002). Proses pelapukan seperti ini dikenal sebagai proses pelapukan bantal atau Woolsack Weathering, atau dalam bahasa Jerman Wollsackverwittung.

20180324_105401Selain fenomena geologinya yang luar biasa, ternyata Felsenmeer juga mempunyai sejarah panjang yang tak kalah mengagumkan. Tercatat Bangsa Roma sejak awal abad ke-3 sudah mulai mengeksploitasi bebatuan di Lautertal. Di gerbang masuk Felsenmeer terdapat miniatur gergaji batu yang membuat saya berdecak kagum, “Bangsa Roma, Gila!”. Bayangkan saja batuan Granodiorit, keras, berat, dipotong manual dengan gergaji.

20180324_105825Di gerbang masuk Felsenmeer juga ada museum kecil yang berisikan cerita proses geologi Felsenmeer beserta batuan-batuan yang ditemukan di area sekitar. Selain itu juga ada mainan-mainan bebatuan dari Zaman Romawi Kuno, seperti main SOS zaman sekarang. Juga ada juga maket bengkel situs yang kemudian jadi panduan kami untuk menjelajahi Felsenmeer. Tapi yang paling utama dari museum ini adalah gratisnya, hahaha.

Mendaki Felsenmeer cukup melelahkan. Batuan-batuan besar, jarak yang cukup jauh, dan juga beda elevasi yang cukup tinggi lumayan menguras tenaga. Di tengah-tengah kita sampai di sebuah jembatan yang jadi lokasi istirahat yang lumayan melegakan. Setelah jembatan ini, trek tidak begitu menanjak seperti sebelumnya, lebih landai dan bebatuan mulai jarang-jarang. Disini kita akan bertemu bengkel bebatuan zaman Roma.

WhatsApp Image 2018-03-25 at 9.51.37 AM (1)

Menurut informasi, ada sekitar 300 artefak yang ditemukan di kawasan Felsenmeer, tapi kami hanya menjumpai beberapa, mungkin karena kurang awas. Salah satu yang paling menarik adalah sebuah tiang batu yang sangat besar, mungkin panjangnya 10 meter dengan estimasi berat 30 ton. Pilar-pilar dari Felsenmeer dipakai di beberapa tempat, seperti di Trier Domstein, Kota Trier, dan di Kastil Heidelberg (sumber: wikipedia). Bayangkan proses pengangkutannya, pemotongannya, dan segala kerumitan yang dilakukan ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu.

Di Felsenmeer saya belajar bagaimana orang Jerman mengelola warisan geologi dan warisan sejarahnya. Di Felsenmeer, terutama di museumnya, kita bisa tahu apa yang ada di dalam situs ini, flora-faunanya, geologinya, sejarahnya. Peta jalur tersedia begitu informatif dan juga di setiap stop bisa kita temukan, sehingga kita bisa berjalan tanpa pemandu, meskipun jika mau, pengurus menawarkan jasanya. Selain itu secara rutin ada acara khusus untuk anak-anak. Bentuknya bermacam-macam, ada tur, ada permainan, dan lain-lain. Semuanya semata-mata sebagai upaya menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan fenomena alam sebagai sarana edukasi dan wisata.

Statusnya sebagai Geotopes of the Year 2002 juga sangat membantu, karena setiap tempat yang mendapat gelar Geotopes of the Year memiliki brosur dan keterangan yang cukup informatif yang bisa kita unduh dari situs Geopark Odenwald-Bergstrasse.

 

Sumber: Brosur Geotopes Tahun 2002 – http://www.geo-naturpark.net/deutsch/infothek/infomaterial.php#anchor_1bd3c59a_Accordion-4-Flyer-zu-Geotopen

 

Belajar dari Geopark di Jerman

Di Indonesia sedang begitu marak tentang euforia Geopark. Terhitung sejak 2012, saat sidang Global Geopark Networks (GGN) di Portugal yang menetapkan Geopark Gunung Batur sebagai bagian dari GGN, hingga kini di Indonesia sudah ada 2 Geopark yang berstatus GGN, yaitu Batur dan Gunung Sewu. Sementara itu geopark nasional pun cukup banyak, di antaranya: Rinjani, Ciletuh-Palabuhan Ratu, Merangin, Toba, dan lainnya. Daerah-daerah pun berupaya memajukan keunggulan wilayahnya untuk dijadikan geopark. Tentu ini sebagai angin segar bahwa kita percaya geopark sebagai salah satu solusi konservasi alam yang selaras dengan semangat konservasi dan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Penulis saat ini berdomisli di Jerman, sebagai seorang yang bergiat dalam geowisata sejak hampir 5 tahun yang lalu, tentu penulis merasa penasaran dengan geowisata di Jerman. Bagaimana Jerman mengelola geowisatanya? Hal-hal apa saja yang bisa ditiru dan dikembangkan di Indonesia?

Geopark di Provinsi Hessen

Di Provinsi Hessen, tempat penulis melanjutkan studi, terdapat 3 geopark. Satu GGN, yaitu Geopark Odenwald-Bergstrasse, satu geopark nasional, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus, dan satu kawasan yang sedang dimajukan menjadi geopark nasional, yaitu Vogelsberg.

Geopark Odenwald-Bergstrasse menjual kisah geologi tentang batuan granitik berumur 300-500 juta tahun yang lalu. Selain itu ada juga batuan sedimen berumur Mezosoikum dan juga batuan sedimen Tersier yang mengisi lembah Graben Rhine.

Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus kita akan melihat jejak-jejak terumbu karang tropis, sisa-sisa volkanisme tua, juga sistem gua yang masif. Sejarah geologinya pun sangat panjang, terhitung sejak kala Paleozoikum. Disini banyak ditemui fosil-fosil tua yang menjadi jejak sejarah panjang kawasan ini.

Sedangkan Vogelsberg adalah kawasan volkanik paling luas di Eropa Tengah yang terbentuk pada 15-18 juta tahun yang lalu. Lava mengalir dimana-mana. Jejak gunungapi purba, retakan-retakan kekar dan sesar, bom vulkanik berukuran raksasa mewarnai daerah ini menjadikannya sebagai salah satu tempat terbaik untuk mempelajari jejak gunungapi di Jerman.

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita amati dari geopark di Jerman. Yang pertama adalah hampir semua geopark memiliki jalur treking yang nyaman. Jalurnya terbagi menjadi trek berjalan kaki dan juga trek bersepeda.

Sebagai contoh di Geopark Odenwald-Bergstrasse telah ada 33 jalur treking yang disesuaikan dengan temanya masing-masing. Di Vogelsberg ada 6 jalur dengan total panjang 115 kilometer yang bisa ditempuh dalam 6 hari. Di Geopark Westerwald-Lahn-Taunus pun demikian, ada banyak jalur treking dengan temanya masing-masing, namun yang paling terkenal disini adalah Druidensteig, treking sepanjang 83 kilometer yang terbagi atas 6 rute.

Keberadaan jalur treking ini tentu untuk memenuhi kegemaran masyarakat Jerman untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan di luar ruang seperti bersepeda atau berjalan kaki menikmati alam bebas. Sering terlihat rombongan orang tua atau anak-anak yang mengunjungi kawasan geopark.

Hal kedua yang menarik dari geopark-geopark di Provinsi Hessen adalah informasi yang mudah diakses. Informasi daring tentang geopark tersedia dalam laman masing-masing geopark. Pada umumnya informasi yang tersedia seperti informasi lokasi menarik, informasi jalur menarik, geosite terbaik setiap tahun, program-program geopark setiap bulannya, info materi yang bisa diunduh, dan juga peluang-peluang kerja sama antara geopark dengan institusi pendidikan.

Program geosite setiap tahun sangat menarik dan sangat mungkin direplikasi. Modelnya adalah setiap komunitas mengajukkan situs di kawasannya yang kemudian dipilih dalam hari penghargaan. Kawasan yang diajukkan harus memiliki topik geologi yang menarik, juga aspek alamiah, kultur, dan budaya sehingga memungkinkan pandangan yang holistik bagi pengunjung yang datang ke sana.

Geopark di Jerman sudah cukup dewasa, ia sudah ada sejak tahun 2002, sedang kita baru memulainya 6 tahun yang lalu. Untuk itu tentu banyak pelajaran yang bisa kita petik, karena Indonesia tinggal mereplikasi dan melakukan lebih baik dari pada praktik yang sudah ada. Masih ada begitu banyak hal tentang geopark di Jerman yang bisa diceritakan, semoga ada waktu dan kesempatan untuk belajar dan berbagi.

Salam geowisata!

 

Meninggalkan Hati di Jembatan Bastei

20171224_123833
Basteibrucke dari titik pengamatan. Perhatikan sebagai latar bukit Mesa Konigstein.

Pengembaraan saya di Jerman membawa saya kepada singkapan batupasir berumur kapur yang tersingkap luar biasa di tepian Sungai Elbe, Provinsi Saxony, sekitar 1 jam berkereta api dari ibukota Provinsi Saxony, Dresden, sebuah kota cantik di bagian timur Jerman.

Basteibrucke begitu namanya (brucke=jembatan dalam bahasa Jerman), adalah jembatan batu setinggi 194 meter yang dibangun di atas Formasi Batupasir Elbe sekitar tahun 1854 untuk tujuan wisata, setidaknya begitu yang saya baca dari wikipedia. Sejak lebih 200 tahun yang lalu, Bastei telah jadi fenomena alam yang menarik wisatawan. Pada 1814 dibangun jembatan kayu untuk mengakomodasi turis yang ingin menjelajahi bebatuan eksotis ini yang kemudian dikembangkan lebih permanen 40 tahun kemudian.

20171224_110304
Stasiun Rathen dengan latar Batupasir Elbe

Terpesona adalah kata yang mungkin mendeskripsi perasaan saya mengunjungi tempat ini. Sejak dalam perjalanan berkereta, kita menyusuri Sungai Elbe yang dibatasi oleh tebing-tebing eksotis Batupasir Elbe yang berumur Kapur, atau sekitar 100-80 juta tahun yang lalu. Saya sempat menduga bahwa ini bebatuan karst seperti Maros karena bentukan bukit pinnacle, bahkan dosen saya (Pak Budi Brahmantyo) ketika saya melihat foto ini pun menduga hal yang sama. Tapi ternyata batupasir bisa membentuk morfologi yang serupa.

Kereta kami berhenti di Stasiun Rathen, tepat di tepian point bar Sungai Elbe, kami harus menyeberangi Sungai Elbe untuk mulai berjalan kaki di kawasan Bastei. Menggunakan kapal yang dikelola masyarakat lokal kami menyebrang dengan cukup membayar EUR 1.8 untuk pergi pulang. Kami sampai di Desa Rathen. Desa Rathen adalah desa kecil yang indah. Dengan rumah-rumah cantik seperti di dalam cerita-cerita dongeng. Di bagian atasnya ada reruntuhan kastil tua Altrathen Schloss yang diduga dibangun sekitar abad ke-12.

20171224_134446
Perlu menyebrang Sungai Elbe untuk memulai trekking. Di seberang adalah Desa Rathen dengan kastil Altrathen di bukitnya

Karena sudah dikelola sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, pariwisata di Bastei ini kalau boleh saya bilang sangat matang. Jalur wisata dibuat sangat nyaman, jelas, dan tentu aman. Meskipun elevasi yang ditempuh berbeda cukup jauh (sekitar 200-300 mdpl) namun pendakian terasa sangat nyaman. Kami bahkan bertemu banyak Oma dan Opa yang mendaki bersama (orang Jerman sangat senang trekking). Dengan fasilitas sedemikian rupa, kita tak perlu membayar apa-apa untuk kesini selain biaya transportasi, itu pun saya rasa sangat murah, EUR 13 untuk tiket harian pergi dan pulang di sekitaran Dresden.

Geologi Batupasir Elbe

Bastei adalah singkapan Formasi Batupasir Elbe yang berumur Kapur (100-80 juta tahun yang lalu). Batupasir Elbe adalah penamaan untuk semua jenis batupasir yang tersingkap di sekitar lembah Elbe dengan jenis utama yaitu batupasir kuarsa dengan semen silikaan. Batupasir ini melampar jauh 20 km x 30 km meliputi dua negara yaitu Jerman dan Republik Ceko dengan ketebalan hingga 600 meter (Migori, 2010).

Batupasir ini terbentuk pada lingkungan pengendapan laut regresi. Sumber sedimennya diduga berasal dari bagian utara, yaitu tubuh granitoid yang lebih tua (Vařilová, 2016). Yang menarik dari daerah ini adalah morfologi pinnacle pada bukit-bukitnya. Lagi-lagi menurut wikipedia, bentukan ini terjadi karena tebalnya lapisan batupasir dan juga kekar yang tegak lurus vertikal dengan lapisan yang datar. Ini kemudian menjadi sebuah istilah dalam bahasa Jerman yaitu Quadersandsteingebirge atau Square sandstone mountains atau bukit batupasir mengotak jika saya coba menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Istilah ini dikenalkan oleh Hans Brunno Geinitz pada 1849 untuk mendeskripsi fenomena sejenis, namun sebenarnya merujuk secara spesifik pada batupasir Elbe.

20171224_114025
Jalur trekking menuju Bastei. Sepanjang jalan anak tangga lebar dan aman
20171224_122359
Batupasir Elbe dari titik pertama. Perhatikan bentuk-bentuk mengotak yang kadang mengecoh seolah seperti bukit-bukit pinnacle Karst

Di Bastei, jenis-jenis morfologi Plato bisa kita pelajari dengan mudah. Plato adalah dataran tinggi yang dibentuk dari lapisan datar. Ada bukit Mesa Konigstein yang bisa dilihat dari titik vista pengamatan jembatan Bastei. Mesa adalah morfologi tinggian berbentuk seperti meja (lihat gambar pertama).

Bastei, Elbe, dan Kisah di Baliknya

Buat saya, sungai adalah morfologi yang paling romantis. Ia adalah mula dari semua kisah manusia. Kita bisa membahas semua mula budaya, yang kesemuanya dimulai dari tepian sungai. Seperti sejarah panjang kebudayaan Mohenjo Daro dan Harappa yang berkembang di tepian Sungai Indus. Atau Mesopotamia yang masyhur karena diapit Eufrat dan Tigris yang melimpahinya dengan tanah subur. Juga Mesir yang dikenal sebagai “Hadiah dari Sungai Nil” karena lekatnya sejarah peradaban bangsa Mesir di sekitar lembah Nil. Begitu pula di Indonesia, peradaban manusia purba Sangiran bertumpu pada aliran Bengawan Solo. Bangkit runtuhnya kerajaan di tatar Sunda pun disaksikan oleh aliran Ci Tarum.

Kita punya begitu banyak karya sastra dengan sungai sebagai sumber inspirasinya, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho adalah salah satu favorit saya yang bercerita tentang perjalanan spiritual Pilar. Juga cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono, Sungai.

Sungai Elbe pun sama. Ia bermula dari Pegunungan Krkonose atau Giant Mountains di utara Republik Ceko, mengalir menuju kawasan Bohemia, Saxony di Jerman, hingga bermuara di Laut Utara. Sungai Elbe telah lama dikenal sebagai batas geografis negara-negara. Sejak zaman Romawi, Kekaisaran Roma membatasi wilayahnya di sekitar Elbe dan terus berperang mempertahankan batas negaranya dari serangan kaum barbar.

Di puncak Bastei kita bisa menjumpai artefak-artefak kerajaan dan bekas benteng. Kami mendapati sebuah ketapel raksasa (catapult) dengan ukuran peluru sebesar kepala orang dewasa. Selain itu dijumpai juga pecahan-pecahan gerabah dan bekas benteng dari kayu. Mungkin pada zaman dahulu tempat ini merupakan benteng perlindungan. Kadang saya suka membayangkan betapa berat tinggal disini pasti sulit mendapat air.

20171224_123155
Sungai Elbe membelah perbukitan batupasir Elbe.

 

20171224_115639
Singkapan batupasir Elbe membentuk kotak-kotak. Jadi teringat pelajaran zaman dulu bahwa batupasir yang masif bisa membentuk pelapukan mengulit bawang.
20171224_125424
Artefak ketapel raksasa di puncak Bastei
20171224_124931
Sketsa Felsenburg (bukit batu) dari Bastei. Ingin rasanya duduk dan membuat sketsa, tapi musim dingin tidak memungkinkan saya melakukannya. 
20171224_125138
Bagian paling saya suka, peta gunung-gunung. Buat saya penting untuk kita memahami geomorfologi sekitar. Contoh yang bagus banget buat ditiru di Indonesia.

Bagi saya, Jembatan Bastei adalah salah satu tempat paling bagus yang pernah saya kunjungi. Unsur-unsur yang saya senangi hampir semua ada, bentang alam, singkapan, tinggian, lembah, bukit, sungai, puncak, jejak sejarah, dan unsur geowisata yang paripurna yaitu informasi yang memadai untuk kita mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh tempat wisata ini.

Entah kapan saya bisa kesini lagi, tapi Jembatan Bastei punya tempat yang spesial di hati saya. Sampai jumpa lagi Bastei, sampai kita bertemu lagi.

Auf wiedersehen

 

Migoŕi, P. (2010). Geomorphological Landscapes of the World. Springer. p. 202. ISBN 978-90-481-3054-2. Retrieved 30 April 2011.

Vařilová Z. (2016) Elbe Sandstones. In: Pánek T., Hradecký J. (eds) Landscapes and Landforms of the Czech Republic. World Geomorphological Landscapes. Springer, Cham

Rheingraben, Sebuah Perkenalan

20171118_103258
Dinding horst Rheingraben, Zwingenberg, Hesse, Jerman.

Kota tempat studi saya, Darmstadt, berada di ujung utara dari Upper Rheingraben, tepat di sebelah utara dari horstnya, yaitu batuan dasar granitik Odenwald. Daerah ini oleh pemerintah Jerman dijadikan sebagai kawasan Geopark Odenwald-Bergstrasse dengan aspek geologi utamanya adalah batuan dasar kristalin Odenwald, Graben Rhine Atas, dan Buntsandstein Odenwald (batupasir Odenwald) yang berumur Trias.

Saya berkesempatan untuk menyusuri geopark ini melalui jalur yang telah tersedia. Dimulai dari kota kecil Zwingenberg kami berjalan menuju Gunung Melibokus, bukit granit dengan ketinggian sekitar 500 mdpl. Disini kami disuguhi pemandangan Rheingraben yang tertutup kabut tebal dan mendung awan musim gugur November yang dingin.

Ada beberapa kastil tua di sekitar perbukitan yang memanjang utara selatan ini. Kemungkinan besar dibangun ratusan tahun lalu sebagai tempat perlindungan, mungkin dulu banyak peperangan disini. Beberapa kastil yang kami kunjungi seperti Kastil Auberbach, Kastil Alsbach, Kastil Heilenberg, dan Kastil Frankenstein. Kastil yang terakhir ini hampir 200 tahun yang lalu menginspirasi Mary Shelley untuk menulis novelnya yang terkenal, Frankenstein.

Kembali ke batuan. Batuan granit yang menjadi latar foto saya, berumur Paleozoik, mungkin sekitar 300-350 juta tahun pada era Permian. Pembentukannya terjadi karena kolisi antara lempeng Afrika dan Eropa ketika itu. Jutaan tahun berlalu dan batuan-batuan telah menumpuk di atas batuan granit ini, seperti batupasir Buntsandstein, juga batugamping Muschelkalk yang berumur Trias atau sekitar 250-200 juta tahun yang lalu.

Pada kala Eosen hingga puncaknya pada Oligosen, terbentuklah struktur graben akibat tumbukan Lempeng Afrika dan Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Orogenesa Alpen. Proses yang sebenarnya agak rumit karena agak sulit menjelaskan bagaimana suatu orogenesa bisa menghasilkan struktur graben yang begitu besar. Saat ini, penjelasan utama yang diterima oleh para peneliti adalah Orogenesa Alpen menjadi salah satu pemicu pemekaran pasif di Lempeng Eurasia dan menghasilkan Rheingraben. Graben memanjang utara selatan hampir 400 km dari Basel di Swiss hingga Frankfurt yang merupakan bagian dari European Cenozoic Rift System (ECRIS) yang memanjang 1100 km dari Mediterrania hingga ke Laut Utara.

20171118_101022
Sketsa geologi Geonaturpark Odenwald-Bergstrasse, Jerman

Menyusuri geopark di Jerman menjadi hiburan menyenangkan bagi saya yang cukup penasaran dengan kondisi geologi tempat saya tinggal. Ke depannya, saya berniat untuk mencari singkapan-singkapan dari batuan Bundsandstein dan juga Muschelkalk karena cukup banyak juga singkapan-singkapan menarik untuk dikunjungi dan dipelajari.

Selain Geopark Odenwald, di provinsi Hesse juga terdapat geopark lain, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus yang berada di bagian barat laut dari Frankfurt. Akan sangat menyenangkan juga untuk mengunjungi geopark itu.

Aufwiedersehen

Tschuss!

Berburu Fosil Moluska dan Fosil Kayu di Ci Lanang

Alkisah 5-6 tahun yang lalu saya diminta mengantar ibu saya ke daerah Cijenuk, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 35 km arah barat daya Kota Bandung, untuk mengunjungi suatu pesantren. Waktu itu pertama kali saya mengunjungi Cijenuk dan rasanya jauh sekali. Saya mengumpat dan menyumpah, kurang lebih seperti ini, “Aku mah moal sakali-kali deui kadieu” atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya saya tidak akan sekali-kali lagi kesini. Namun ternyata tidak baik mengumpat di depan orangtua, akhirnya saya kena dampaknya. Di tahun 2013, lapangan tugas akhir saya berlokasi di Gunung Halu, ya sekitar 30 kilometer arah barat dari Cijenuk.

Saya punya ikatan batin yang cukup baik dengan daerah Gununghalu, terutama karena berkat peta geologi saya di daerah ini saya dapat lulus sarjana dari ITB dan bisa mencari makan dengan pengetahuan yang saya miliki.

Tulisan kali ini adalah upaya saya untuk memperkenalkan salahsatu tempat untuk belajar dan berwisata di Gununghalu, yaitu Ci Lanang – Wisata Fosil Moluska, Fosil Kayu, dan Akik.

Cilanang Beds

Cilanang Beds adalah istilah yang diperkenalkan oleh Oostingh (1939, dalam van Bemmelen 1949) sebagai suatu lapisan batupasir di Ci Lanang yang mengandung fosil-fosil moluska berumur Miosen Tengah atau oleh Oostingh dikelompokkan ke dalam jenjang Preangerian. Umur ini didapatkan dengan meninjau kandungan fosil moluska yang masih hidup hingga sekarang yaitu sebanyak 33%.

Selain kandungan fosil moluska, di Ci Lanang juga dijumpai fosil-fosil kayu dan batu akik sebagaimana penemuan oleh Sujatmiko dan penulis sendiri ketika melaksanakan tugas akhir di tahun 2013.

Dalam peta geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk, 1996), lapisan ini termasuk ke dalam Formasi Cimandiri (Tmc) berumur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan fluvial-peralihan. Ciri litologinya adalah perselingan batulempung dan batulanau kelabu muda sampai menengah dan batupasir coklat kekuning-kuningan; setempat gampingan; setempat meliputi endapan lahar yang tersusun atas tuf, breksi andesit, dan breksi tuf. Globigerina, butir-butir damar yang lembut dan sisa-sisa tumbuhan terdapat jarang-jarang di dalam sisipan batulanau atau batupasir mengandung glaukonit.

peta-geologi-gabung
Lokasi penelitian pada Formasi Cimandiri (Tmc) berwarna hijau kebiruan. Lembar bagian atas adalah Lembar Cianjur, bagian bawah adalah Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru.

Sedangkan dalam peta geologi Lembar Cianjur (Sujatmiko), lapisan ini dikelompokkan sebagai Tufa Batuapung, Batupasir Tufan (Mt) dengan ciri litologi: Breksi tufan berbatuapung, batupasir tufan, napal tufan. Mengandung foraminifera kecil. Berlapis baik. Bila lapuk, formasi ini bercorak khusus, lunak, putih, atau abu-abu muda dan dapat dikenal mudah dari kejauhan. Di beberapa tempat terdapat tufa-tufa terkersikkan (akik) dan kayu terkersikkan.

Kehadiran fosil, akik dan fosil kayu dalam Formasi Cimandiri merupakan suatu hal unik dan menarik untuk diamati dan dipelajari.

Lokasi Penemuan Fosil Moluska dan Fosil Kayu

Aliran Ci Lanang berasal dari Pasir Ciasahan di Desa Tamanjaya, Kecamatan Gununghalu. Sungai ini bermuara ke genangan Saguling di Kampung Cinangka, Desa Mekarsari, Kecamatan Cipongkor. Lokasi pengamatan fosil moluska, akik, dan fosil kayu berada di Kampung Tonjongpeusing, Desa Wargasaluyu.

Pada lokasi ini ditemukan beberapa jenis fosil moluska yaitu Paphia neglecta, Strombus herklotsi, dan Anadara preangerensis. Moluska-moluska ini hidup pada zaman Miosen Atas dengan lingkungan hidup laut dangkal.

moluska
Kandungan fosil moluska di daerah penelitian. (a) , Paphia neglecta  Martin, 1919 (b) Strombus herklotsi  Martin, 1879 (c) Anadara preangerensis Martin, 1910

Di bagian hulu dari Ci Lanang, ditemukan fosil kayu dalam endapan laharik. Fosil ini merupakan kayu yang sudah mengalami silisifikasi sehingga menjadi keras.

Fosil Kayu di Ci Lanang
Fosil Kayu di Ci Lanang dalam singkapan aliran lahar
Fosil Kayu di Ci Lanang
Fosil Kayu di Ci Lanang dalam aliran laharik. Teramati sisa-sisa karbon pembakaran arang.

Sujatmiko dalam laman facebooknya (https://www.facebook.com/sujatmiko.miko24/posts/10204251346833644) melaporkan penemuan batuakik pada singkapan di Ci Lanang. Penulis menduga bahwa lokasi penemuan tidak jauh dari lokasi temuan penulis.

10406477_10204250413850320_5283812878537429191_n
Temuan batuakik oleh Sujatmiko yang telah diolah dan siap menjadi perhiasan

Menurut Sujatmiko, salahsatu batu mulia yang ditemukan di Cilanang adalah kalsedon yang ditemukan mengisi rekahan-rekahan dalam satu bongkah besar batupasir Formasi Cimandiri. Struktur-struktur pada batu mulia yang dijumpai di antaranya struktur bulu ayam (plume structure) atau bunga (flower structure).

Model Wisata Edukasi

Keberadaan fosil moluska, fosil kayu, dan batuakik dalam singkapan-singkapan di Ci Lanang merupakan suatu potensi pembelajaran yang baik dan menarik. Saya membayangkan geotrek yang kontennya adalah eksplorasi fosil moluska, fosil kayu, dan batu akik. Seperti yang dilakukan oleh Sujatmiko dengan SEG-SC (Society of Economic Geology – Student Chapter) Unpad pada tahun 2014.

Para pengunjung bisa mengeksplorasi fosil-fosil dan mungkin membawa pulang sebagai oleh-oleh seperti wisata fosil di Amerika (U-Dig Fossil, Utah) dimana pengunjung melakukan eksplorasi mandiri terhadap fosil-fosil dan kemudian boleh membawanya pulang. Bahkan beberapa paleontolog muda kemudian lahir dari model pariwisata semacam ini, yaitu anak-anak yang diinspirasi oleh orangtuanya untuk berburu fosil-fosil.

Harapan saya kemudian kelak wisata edukasi seperti ini akan berkembang, semakin diminati dan mewujudkan mimpi para perintis bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

equipment_hammer_chisel2
Contoh wisata edukasi mencari fosil di Inggris (http://www.discoveringfossils.co.uk/equipment.htm)

Salam.

Daftar Pustaka:

Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Jawa skala 1:100.000 edisi ke-2. Puslitbang Geologi, Bandung.

Sujatmiko. 1972. Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1:100.000. Puslitbang Geologi. Bandung

Sujatmiko.”FIELD TRIP SEG-SC UNPAD KE GUNUNG HALU BANDUNG.” Artikel Facebook. 18 Juni 2014. Diakses 31 Oktober 2016. https://www.facebook.com/sujatmiko.miko24/posts/10204251346833644

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia vol 1A.. Martinus Nijhof, The Hague, The Netherland

Lava di Galeri Nuarta

Berkunjung ke Galeri Nuart milik perupa Nyoman Nuarta di Setrasari Bandung merupakan pengalaman seni yang menarik sekali. Ditemani sahabat saya, seorang pemandu di galeri tersebut, kami disuguhi cerita tentang karya-karya Pak Nyoman yang begitu mendunia. 

Namun dalam perjalanan saya, saya terkesima akan satu pemandangan dekat bengkel kerja patung Garuda Wisnu Kencana di bagian belakang galeri ini. Pak Nyoman membangun galeri ini di hamparan aliran lava Tangkuban Perahu purba berumur 48ka. Meski saya tak sempat mendekat untuk mengobservasi lebih teliti, saya mengamati blok-blok lava yang sepintas mirip kekar kolom yang tak membentuk sempurna.

Pak Nyoman sendiri membangun rumahnya di dekat sebuah curug bernama Curug Aleh. Curug ini dipercaya merupakan ujung aliran lava dari Tangkuban Perahu di sungai ini. Analog dengan Curug Dago yang juga merupakan ujung aliran lava Tangkuban Perahu 48ka. 

Lava yang bersifat basaltik ini mengalir encer dari pusat erupsinya di Tangkuban Perahu sana, membentuk aliran lava dengan struktur menarik seperti kekar kolom, pahoehoe lava, dll.

Alangkah baiknya jika informasi geologi disediakan pula di Galeri Nuarta sebagai pengaya informasi sehingga pengunjung menerima informasi komprehensif mengenai Galeri Nuarta. Tapi secara keseluruhan, galeri ini sangat menarik untuk dikunjungi. 

Muhammad Malik Ar Rahiem

Geotrek Curug Malela, Ekspresi Rasa Takjub pada Ciptaan Yang Maha Kuasa

1
Rombongan Travel O’Logy Curug Malela. Foto oleh Azmi Harsana.

Perkenalan saya dengan Curug Malela dimulai di tahun 2009 ketika saya membaca artikel tentang Curug Malela di harian Pikiran Rakyat. Artikel itu memuat cerita tentang Curug Malela yang ditulis oleh Dr. Budi Brahmantyo.Setahun kemudian, Pak Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur mengunjungi Curug Malela dan kemudian air terjun ini menjadi begitu tenar kemana-mana.

Meskipun sudah dikunjungi wagub, perjalanan ke Curug Malela ketika itu sangat mengerikan. Bagaimana tidak, jalanan rusak mulai dari Cililin. Jalan berlubang berbatu, berbahaya. Semakin dekat bukan semakin baik tapi semakin parah. Bahkan masuk di Kecamatan Rongga, jalanan berbatu, berlumpur sangat menguras tenaga.

Ketika itu kami pergi bersepeda motor, dari Bandung pagi hari, sampai di Curug Malela sore hari. Pulang pun terpaksa harus menginap semalam di Cililin karena perjalanan terlalu melelahkan.

Namun kini, jalan menuju Curug Malela mulai diperbaiki. Sejak tahun 2010 hingga sekarang perbaikan cukup terasa. Tahun 2013, waktu saya mengunjungi Curug Malela untuk kali kedua, jalan Bandung hingga Gununghalu sudah mulai mulus. Meski jalanan di Rongga masih banyak yang berbatu. Di tahun 2016 sekarang, jalanan sudah mulus beraspal hingga Desa Cicadas, 5 km dari Curug Malela, sehingga cukup kita trekking sejauh 5 km saja.

Berdasarkan informasi yang saya terima dari masyarakat sekitar Curug Malela, jalan dari Cicadas ke Curug Malela pun akan diperbaiki di tahun ini, sehingga harapannya di tahun 2017, jalan ke Curug Malela sudah tersambung aspal seluruhnya.  Aamiin. Meski begitu harus dipikirkan juga akses jalan yang sempit yag cukup menyulitkan jika dua mobil berpapasan.

Bagi saya, Curug Malela adalah airterjun perjuangan. Curug ini adalah tempat yang pencapaiannya penuh perjuangan, tapi perjuangannya sepadan dengan hasilnya. Hanya 3-4 jam perjalanan berkendara dilanjutkan dengan 1 jam jalan kaki, kita akan disambut airterjun raksasa yang derunya terdengar dari jarak 3 km. Dari kejauhan telah terlihat buih dan aliran putih yang begitu menggoda sesiapa untuk turun melihat ke hadapannya.

Nama Curug Malela

Menurut T. Bachtiar (2016), kata malela  digunakan sebagai suatu ekspresi untuk menggambarkan kekaguman, kekuatan, atau daya lebih dari suatu benda. Oleh karena itu ketika melihat hamparan keusik atau pasir yang berkilauan, masyarakat menambahkan kata malela menjadi keusik malela.  Ketika melihat tanaman yang daunnya berbulu sangat gatal, lebih gatal daripada tanaman daun biasa, maka disebutlah pulus malela.

Dari situ sangat mungkin pula, penamaan Curug Malela bermula. Desa Cicadas tempat air terjun itu berada, merupakan desa dengan topografi berbukit-bukit tersusun atas batuan-batuan yang keras dan kasar atau batu cadas. Air terjun ini jatuh di sungai dengan lebar lebih dari 50 meter dengan tinggi lebih dari 20 meter sehingga tidak lazin dari air terjun biasa yang hanya 2 meter atau kurang dari 10 meter lebarnya.

Aliran Ci Dadap tempat Curug Malela mengalir kemudian berubah menjadi Ci Curug yang mencirikan bahwa alirannya berjeram-jeram. Kemudian alirannya bermuara ke Ci Sokan yang saat ini telah dibangun Bendungan Upper Ci Sokan dan Lower Ci Sokan.

Geologi Curug Malela

Curug Malela jatuh di aliran Ci Dadap yang berhulu di Gunung Kendeng, Kabupaten Bandung. Menurut Koesmono dkk dalam Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Curug Malela berada pada Formasi Beser, yaitu endapan gunungapi berumur Mio-Pliosen atau sekitar 5-7 juta tahun yang lalu. Sedangkan menurut Brahmantyo (2016), Curug Malela merupakan singkapan puncak antiklin Formasi Saguling yang berumur Miosen Awal hingga Tengah atau 15-10 juta tahun yang lalu.

2
Sketsa Curug Malela oleh Budi Brahmantyo (2016)

Curug Malela di Cicadas, Kecamatan Rongga, Kab. Bandung Barat, adalah air terjun jenis katarak (lebar membentuk tabir air) dari Ci Dadap (Ci Curug) yang jatuh setinggi kira-kira 50 m pada perlapisan batupasir amalgamasi (lapisan masif sangat tebal dengan batas lapisan yang tidak jelas) dari Formasi Saguling berumur Miosen Atas. Di sini membentuk kemiringan kecil (seperti plateau) karena diperkirakan persis pada puncak antiklin. Sketsa dibuat pada acara Jelajah Geotrek Matra Bumi 30 Juli 2016

Batuannya sendiri berupa perlapisan datar batupasir dan breksi yang sangat keras. Pannekoek (1946, dalam van Bemmelen, 1949) menyebut daerah ini sebagai Plateau Rongga, yaitu bagian selatan dari Punggungan Rajamandala dan transisi antara Zona Bandung dan Pegunungan Selatan. Plateau Rongga ini memiliki elevasi mulai dari 1000 meter dan permukaannya merupakan bukit dewasa hingga tua.

3
Modifikasi Sketsa Peta Geomorfologi Plato Rongga van Bemmelen 1949, dalam Ar Rahiem 2013.

Sebagai suatu plateau, maka tentu saja morfologi daerah ini tersusun atas lapisan-lapisan datar yang terpotong oleh lembah-lembah yang terjal. Pannekoek menduga daerah Plateau Rongga diduga merupakan dataran berumur Pliosen sebagai akibat dari denudasi Jampang.

Selain di Curug Malela, bentukan morfologi Plato Rongga bisa kita amati dengan baik di Tebing Gunung Celak, Kecamatan Gunung Halu, sekitar 20 km sebelum Curug Malela. Tebing ini merupakan lapisan landai breksi volkanik Formasi Beser berumur Mio-Pliosen atau sekitar 5-7 juta tahun yang lalu.

4
Tebing Celak di Kecamatan Gununghalu. Penciri bentangalam plato, yaitu tinggian yang dibatasi tebing terjal. Foto oleh Azmi Harsana.

Sebagai suatu platau, wajarlah bahwa sungai di kawasan Rongga dan sekitarnya banyak terpotong oleh air terjun. Lapisan datar atau landai memiliki kecenderungan untuk membentuk air terjun. Pada batuan sedimen yang berlapis, terdapat perbedaan resistensi. Ada lapisan yang keras, ada lapisan yang lebih lunak. Gambar di bawah mencoba menjelaskan bahwa aliran sungai mengerosi lapisan yang lebih lunak sehingga menyebabkan lapisan tersebut membentuk cerukan yang dalam istilah arung-jeram disebut sebagai undercut. Cerukan ini makin lama makin dalam dan mengakibatkan lapisan di atasnya menjadi menggantung dan lama-lama runtuh. Keruntuhannya menyisakan bongkah-bongkah besar yang biasanya banyak berada di sekitar airterjun. Selain itu, keruntuhannya juga menyebabkan airterjun semakin mundur. Jika dilihat dari udara, air terjun ini seolah-olah membentuk bentukan tapal kuda. Kita bisa melihat contoh ini dengan baik di Niagara.

5
Ilustrasi pembentukan airterjun pada lapisan landai dan datar.
6
Bentukan tapal kuda Air Terjun Niagara.

Sepanjang sungai, aliran ini mengerosi lapisan-lapisan datar membentuk begitu banyak airterjun. Di Curug Malela sendiri, terdapat 7 air terjun. Menurut dugaan penulis, beberapa curug ini pasti berada pada satu aliran sungai, meskipun ada juga yang jatuh di aliran anak sungai. Curug-curug ini di antaranya adalah Curug Malela, Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan ditutup dengan Curug Pameungpeuk.

 

Sejarah Curug Malela              

22240609
Buku tentang kisah para juragan teh Jawa Barat

Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU Agraria yang mengizinkan swasta melakukan usaha perkebunan di Indonesia. Ketika itu swasta berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia. Di Jawa Barat sendiri, komoditas yang popular adalah teh. Para pengusahanya biasa disebut sebagai Preanger Planters. Beberapa tokoh Preanger Planters yang terkenal diantaranya adalah K.F. Holle, Bosscha, keluarga Kerkhoven, dll.

Di Bandung Barat sendiri, pada 1908 berdirilah perkebunan Montaya milik perusahaan NV Cultuur My. Area kebunnya meliputi Kecamatan Gununghalu dan Kecamatan Rongga dengan luas konsesi keseluruhan sekitar 2100 hektar. Di dekat perkebunan teh inilah Curug Malela berada.

Dalam buku Bandung Tempo Dulu karya Haryoto Kunto pada bagian Pariwisata Bandung ada sebuah foto Curug Malela yang saat itu disebut sebagai Curug Sumpah. Meskipun tidak ada keterangan yang jelas mengenai air terjun ini, tetapi keberadaan informasi ini menjadi titik terang bahwa curug ini telah sejak lama menjadi lokasi wisata.

7
Curug Malela dalam buku Bandung Tempo Dulu karya Haryoto Kunto. Pada saat itu Curug Malela dikenal sebagai Curug Sumpah

 

Curug Malela dan Perkembangan Geowisata

Curug Malela telah berkembang begitu pesat sejak ekspos pariwisata di harian Pikiran Rakyat tahun 2009. Ia bersolek dan bermolek untuk menyambut tamu-tamu yang ingin menyegarkan pikirannya. Bertualang mengagumi keindahan ciptaan-Nya. Masyarakat bahu membahu menata lingkungan Curug Malela agar rapi dan nyaman dikunjungi. Fasilitas yang ada sudah begitu baik, warung makan, kamar mandi, mushola, tempat sampah, dan terbaru adalah platform untuk berfoto-foto kekinian. Pengunjung bisa berpose di atas pohon dengan pemandangan Curug Malela yang tak terhalang. Fasilitas ini menjadi salah satu fasilitas yang digemari oleh pengunjung.

8
Platform di atas pohon untuk berfoto menjadi idola para pengunjung. Cukup membayar Rp3000 saja sekali naik. Foto oleh Malik Ar Rahiem
9
Pak Atip, petugas Curug Malela.

Begitu pula petugas sangat ramah dan tanpa segan bersiap membantu pengunjung yang kesulitan. Mereka telah cukup terlatih dan terbiasa untuk memandu dan menawarkan jasanya tanpa membuat pengunjung merasa dipaksa. Hal ini tentu sangat positif dan meningkatkan kenyamanan pengunjung.

Pariwisata menjadi salahsatu katalis perkembangan wilayah. Keberadaan Curug Malela dan ekspos positif dari media membuat pembangunan menjadi suatu keniscayaan. Interaksi ekonomi antara pengunjung dan masyarakat membuat warga sadar bahwa Curug Malela merupakan aset daerah yang harus dijaga dan dikembangkan.

Menuju Curug Malela

Berjalan-jalan ke Curug Malela adalah suatu keharusan bagi anda yang menyenangi pemandangan alam (sampai saat ini saya belum bertemu orang yang tidak senang dengan pemandangan alam). Perjalanannya yang cukup jauh terbayar dengan keindahan alamnya yang luar biasa.

Untuk menuju ke Curug Malela ada beberapa opsi yang bisa ditempuh. Jalur ke Curug Malela dari Bandung adalah sebagai berikut; Bandung – Batujajar – Cililin – Sindangkerta – Gununghalu – Rongga – Desa Cicadas – Curug Malela sejauh 75km (gambar). Dari Bandung hingga Rongga jalanan sudah beraspal baik, namun dari Gununghalu hingga ke Rongga jalanan cukup sempit hanya bisa dilalui kendaraan kecil (maksimal elf). Panduan jalan dengan menggunakan Google Maps sudah cukup informatif. Di beberapa tempat ada plang jalan yang kadang terlewat sehingga harus berhati-hati agar tidak tersesat.

10
Peta Jalan Curug Malela – T. Bachtiar.

Dari Rongga hingga Cicadas, sudah beraspal baik. Ujung aspal berada di dekat perkebunan teh yaitu di warung Abah Kuluk, sekitar 6 km dari Curug Malela. Jalanan berbatu namun masih bisa dilewati hingga gerbang tiket Curug Malela, yaitu dekat SMPN 3 Rongga. Dari sini kita harus berjalan kaki sekitar 4 km menuju Curug Malela. Jika menggunakan motor, bisa hingga warung-warung Curug Malela, namun perjalanan cukup berat karena jalanan tanah dan berbatu. Dari warung ini juga bisa menggunakan jasa ojek dengan tarif negosiasi sekitar Rp30.000 – Rp50.000 tergantung musim perjalanan.

Musim kunjungan Curug Malela yang terbaik adalah ketika musim penghujan. Saat itu debit Curug Malela sangat tinggi dan aliran air begitu megahnya, tapi sangat tidak disarankan untuk berenang karena aliran yang deras dan rawan terjadi banjir bandang dari hulu. Meski demikian, kunjungan pada musim penghujan cukup berat karena jalanan tanah yang licin. Pada musim kemarau, debit Curug Malela kecil namun bisa untuk berenang dan bermain air.

Jika menggunakan angkutan umum, bisa menggunakan elf Ciroyom – Bunijaya. Informasi tarif belum jelas, namun mungkin sekitar Rp20.000 – Rp50.000. Dari Bunijaya kita harus menyewa ojek yang tarifnya sekitar Rp50.000 – Rp100.000 dengan jarak perjalanan sekitar 20 km (15 km jalan aspal dan 5 km jalan tanah berbatu).

11

Jadi tunggu apa lagi. Siapkan akhir pekanmu, kunjungi Curug Malela segera!

Daftar Pustaka

Ar Rahiem, M.M. 2013. Geologi dan Identifikasi Gerakan Tanah Daerah Celak Kabupaten Bandung Barat. Tugas Akhir Sarjana pada FITB ITB Bandung. Tidak diterbitkan.

Bachtiar, T. (2011, 11, September). Curug Malela, Wow Keren! Geomagz Volume 1 no 3.

Bevis, K.A. 2013. Tumalo Creek; Its Glaciated Valley and Spectacular Waterfalls (Field Trip 1E. [daring]. Tersedia:http://intheplaygroundofgiants.com/field-guides-to-central-oregons-geology/field-guide-to-the-bend-area/tumalo-creek-its-glaciated-valley-and-spectacular-waterfalls-field-trip-1e/ [diakses 4 Oktober 2016]

Brahmantyo, B. (2009, 3, Agustus). Curug Malela Lebih Dari Sekedar Wisata. Harian Pikiran Rakyat.

Brahmantyo, B. 2016. Sketsa Curug Malela-Album Facebook. [daring]. Tersedia: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1020257771414681&set=a.117584741681993.22623.100002914046227&type=3&theater. [diakses 4 Oktober 2016]

Kunto, Haryoto. 1982. Bandung Tempo Dulu. Bandung. Grasindo

Niagara Parks. 2016. Niagara. [daring]. Tersedia: http://www.infoniagara.com/attractions/canadian_falls/images/image2.jpg [diakses 4 Oktober 2016]

Sepercik Kasih Travel O’Logy

Saya senang bercerita. Mungkin ini turun dari mama saya yang sangat pandai bercerita. Pernah suatu ketika beberapa kawan mampir ke rumah. Mereka sudah ingin pulang, tapi mama menahannya dengan tidak berhenti-berhentinya bercerita. Waktu teman-teman sudah berdiri mendekat ke pintu, mama melanjutkan lagi ceritanya sampai teman-teman akhirnya duduk lagi.

Kesenangan itu saya bawa hingga mahasiswa dan sekarang setelah lama lulus kuliah. Ketika mendirikan Travel O’Logy, salah satu motivasi saya saat itu adalah agar saya bisa menjadi interpreter sekaliber dosen saya, Pak Budi Brahmantyo, yang hampir semua orang mengakui bahwa beliau pandai membawakan kisah geologi dengan cara yang sederhana. Motivasi dari beliau pun sama, harapannya adalah ada interpreter muda yang bisa mengedukasi geologi dengan cara yang populer lagi tidak menggurui.

Bercerita tentang geologi membuat saya merasa berkembang. Bagaimanapun saya dipaksa untuk merangkum semua detil rumit kisah geologi tentang tektonik, petrogenesa, sedimentologi, vulkanisme, dan lain-lain ke dalam bahasa sederhana yang bisa dimengerti bahkan oleh bocah TK. Mencoba berbagi juga berarti saya harus membuka diri bahwa saya lebih banyak tidak tahu dan menerima juga bahwa mungkin ada orang lain yang lebih tahu, dan saya boleh jadi salah.

Bagi saya, pengalaman bersama Travel O’Logy adalah suatu pencapaian paling hebat dalam hidup saya. Meskipun Travel O’Logy belum berkembang sebagaimana yang saya bayangkan, meskipun ia masih tersengal-sengal, namun saya merasa bangga bahwa kami sudah sampai sejauh ini.

Perlu energi yang begitu besar untuk mendirikan sesuatu yang berkelanjutan. Perlu energi yang besar untuk menciptakan sistem yang bisa berjalan. Perlu energi yang besar untuk bertahan selama ini. Namun yang lebih diperlukan adalah kerendahan hati, untuk bisa menerima bahwa saya tak akan menjadi apa-apa tanpa bantuan dari teman-teman semua. Terima kasih banyak untuk : Fusi, Kure, Yuanita, dan Ikhrandi sebagai founder pertama Travel O’Logy. Terima kasih juga untuk Amran, Ndoy, Edo, Asmi, Carok, Sirka, Nabilah, Dulleh, dan teman-teman lain yang sudah banyak membantu kami bisa berjalan sampai sejauh ini.

Mari berkarya lagi setelah Lebaran!

Gowes Bareng Geolog VI : Surutnya Danau Bandung

Pagi hari Sabtu, 19 Maret 2016 adalah pagi yang seru. Kami Travel O’Logy berkesempatan untuk melakukan pendokumentasian acara ikonik dari Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB (IAGL-ITB), yaitu Gowes Bareng Geolog (GBG) VI : Surutnya Danau Bandung. GBG merupakan acara pertama di Indonesia yang mengombinasikan bersepeda dengan field trip geologi dan telah berlangsung 6 kali sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2011.

 

Acara GBG VI ini dilaksanakan juga untuk memperingati World Water Day yang diperingati setiap tanggal 22 Maret. Tema Surutnya Danau Bandung dan lokasi acara di sekitar Danau Saguling dipilih juga untuk mengingatkan kita betapa pentingnya air bagi kehidupan. Danau Saguling yang semakin terancam oleh pencemaran menjadi suatu topik yang diangkat untuk meningkatkan awareness peserta mengenai pentingnya sadar lingkungan, terutama mengenai air.

Acara GBG VI ini diikuti oleh sekitar 140an penggowes dan dipandu oleh interpreter Dr. Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc, yang menjelaskan bagaimana surutnya Danau Bandung. Perjalanan dimulai dari ITB, sepeda dinaikkan ke mobil bak terbuka, peserta berarak menggunakan angkutan bus.

DSC_0018
Peserta berfoto bersama sebelum berangkat di Gerbang Depan ITB

Spot I : Bendungan Saguling

Perjalanan sepeda dimulai di Bendungan Saguling. Bendungan Saguling yang mulai beroperasi pada tahun 1985. Air genangan Saguling kemudian dialirkan melalui pipa pesat untuk memutarkan turbin yang menghasilkan listrik sebesar 700 MW dan menerangi Pulau Jawa. Saat ini, Bendungan Saguling menghasilkan genangan pada elevasi 643 mdpl.

20160317112042
Genangan Danau Saguling di elevasi 643 mdpl

Melihat genangan air danau Saguling, kita seolah-olah dibawa ke puluhan ribu tahun yang lalu ketika Cekungan Bandung masih tergenang air menjadi sebuah danau. Alkisah pada 105 ribu tahun yang lalu, terjadi sebuah letusan katastrofi dari sebuah gunung di Utara Bandung, yaitu Gunung Sunda. Letusan ini menutup sebuah lembah di sekitar Padalarang, mengakibatkan Sungai Citarum Purba yang melewatinya terbendung dan kemudian menggenangi kawasan Cekungan Bandung yang serupa mangkok. Namun ketinggian air pada saat itu jauh lebih tinggi dari sekarang. Jika genangan air Saguling berada pada elevasi maksimal 643 mdpl, genangan air Danau Bandung kala itu berada pada elevasi 715 mdpl.

Permasalahan Lingkungan

Bendungan Saguling didesain untuk beroperasi selama 100 tahun dengan laju sedimentasi maksimal sebesar 4 juta m3/tahun. Namun perubahan tata guna lahan di daerah tangkapan air Danau Saguling mengakibatkan laju sedimentasi terus bertambah hingga 4.2 juta m3/tahun. Hal ini terjadi karena di daerah hulu terjadi perubahan tata guna lahan, dari hutan menjadi perkebunan, perumahan, industri, dan lain-lain. Dengan laju sedimentasi seperti saat ini, maka diperkirakan sedimen akan memenuhi Danau Saguling pada 36 tahun yang akan datang. Ketika hal ini terjadi, maka Bendungan Saguling hanya akan bisa memproduksi listrik di musim penghujan, akibatnya adalah hilangnya 700 MW yang diproduksi oleh PLTA Saguling.

Air Danau Saguling pun kini sudah berada di level D, dari sebelumnya di level B pada saat pembangunannya. Level D ini berarti bahwa kualitas air Danau Saguling hanya cocok untuk kebutuhan industri. Pada awal pembendungan, ikan mas masih bisa dibudidayakan di air Danau Saguling, namun kini ikan Patin yang lebih tangguh pun sudah tidak bisa dibudidayakan disini. Selain itu, kualitas air yang buruk dan sedimen yang tinggi juga memengaruhi kebutuhan kincir pemutar turbin yang dengan mudahnya terkorosi. Hal ini tentu membuat biaya perawatan alat di PLTA semakin tinggi.

Spot II : Surge Tank

Dari Bendungan Saguling, kami bersepeda terus ke arah Cikuda. Menyusuri tanjakan Pasir Cikukur yang melelahkan. Disini para penggowes diuji ketabahannya dalam menaiki tanjakan. Satu persatu terlihat memapah sepedanya, yang lain melambai-lambai mencari pertolongan. Warung-warung ramai dimampiri sekedar mencari teh manis untuk mengisi energi. Hingga akhirnya sampai di puncak Pasir Tikukur dan turun sedikit ke Surge Tank.

Surge Tank atau Bak Pendatar Air adalah sebuah bak yang digunakan untuk mengumpulkan air Danau Saguling sebelum dialirkan ke pipa pesat untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Secara teori pipa pesat berfungsi sebagaimana piston yang harus terisi air sepenuh mungkin dan tidak boleh ada udara di dalamnya. Ketika pipa pesat terisi penuh, maka energi potensialnya akan maksimal. Energi potensial inilah yang dikonversi menjadi energi listrik ketika aliran deras air memutar turbin.

Spot III : Curug Bedil

Dari Surge Tank kita terus turun menuruni Back Slope dari punggungan homoklin Saguling yang miring ke selatan. Hingga kita berhenti di sebuah air terjun (dalam bahasa sunda disebut curug), bernama Curug Bedil. Yang menarik dari curug ini adalah bahwa curug ini menjadi model paling ideal untuk menggambarkan proses erosi ke hulu. Proses ini merupakan proses yang bertanggung jawab atas bobolnya Danau Bandung pada masa lampau.

20160317120311
Curug Bedil sebagai contoh erosi ke hulu resen. Erosi ke hulu menjadi alasan utama pembobolan Danau Bandung

Setelah Sungai Citarum terbendung pada 105 ribu tahun yang lalu, proses erosi secara intensif terjadi di balik genangan Danau Bandung. Puncaknya adalah di 16 ribu tahun yang lalu, bertepatan dengan puncak zaman es Wurm Max (18 ribu tahun yang lalu). Ketika itu muka air laut lebih rendah hingga 140 meter dari muka air laut saat ini. Akibatnya adalah erosi vertikal semakin besar di seluruh daratan karena air berupaya mengejar muka air laut.

Ketika itu, di antara Pasir Kiara dan Pasir Larang pada saat ini terjadi penjebolan dinding yang membendung Danau Bandung. Air yang menemukan celahnya kemudian mengerosi celah tersebut begitu hebatnya hingga terbentuk sebuah lembah yang begitu terjal dan dalam yang kini menjadi lembah Citarum lama.

Erosi ke hulu resen yang kita lihat di Curug Bedil merupakan sebuah cara bagaimana seorang geolog melihat masa lalu. Kami percaya bahwa the present is the key to the past, yaitu proses-proses yang terjadi di masa sekarang juga terjadi pada masa lampau.

 

 

 

Spot IV : Sanghyang Tikoro

Akhir dari turunan kita tiba di Sanghyang Tikoro, tepat di samping Power House PLTA Saguling. Sanghyang Tikoro berarti Kerongkongan Dewa (atau Dewa Kerongkongan?). Hal ini merujuk pada dimensi lubang yang begitu besar dan air Citarum masuk ke dalamnya. Siapapun yang melihat aliran Citarum di Sanghyang Tikoro tentu berimajinasi. Sejak lama geolog-geolog Belanda menduga bahwa bocornya Danau Bandung terjadi disini. Hal ini dipercaya turun-temurun. Bahkan pada saat perang kemerdekaan, beberapa pejuang mengusulkan mengebom Sanghyang Tikoro dengan tujuan membuat Bandung menjadi danau lagi.

20160317122717
Citarum masuk ke dalam Gua Sanghyang Tikoro. Besarnya dimensi gua ini mengakibatkan semua berimajinasi bahwa Danau Bandung bobol disini.

Hal ini dapat dibuktikan keliru secara geomorfologi, karena Danau Bandung tak pernah menyentuh Sanghyang Tikoro mengingat elevasinya yang begitu rendah dan posisinya yang berada di balik dinding bendungan. Sanghyang Tikoro berelevasi 394 mdpl, begitu jauh dari elevasi genangan Danau Bandung di elevasi 715 mdpl. Diketahui kemudian bahwa pembobolan Danau Bandung terjadi di sebuah lembah terjal antara Pasir Kiara dan Pasir Larang.

 

Spot V : Jembatan Gantung Citarum

Selepas dari Sanghyang Tikoro kami melanjutkan gowes ke arah Desa Bantar Caringin menyebrangi Sungai Citarum dengan jembatan gantung dan masuk ke lokasi proyek Bendungan Rajamandala. Dengan medan offroad tanah dan berbatu kami mengayuh pedal kami kepayahan karena panas yang luar biasa. Konon katanya hari itu adalah hari ketika matahari tepat berada di khatulistiwa sehingga panasnya cuaca menguras stamina kami.

Kemudian kami masuk ke hutan untuk menembus ke Desa Untu-Untu, Cihea. Di desa ini kami menyusuri jalan perkebunan singkong/jagung milik PTPN yang tak ada tanaman pelindung. Meskipun begitu, pemandangan Gunung Guha di belakang kami menjadi sebuah pelipur kelelahan yang mendera.

Lepas dari jalur perkebunan, kami masuk ke jalan Bandung-Cianjur lama. Jalan ini jarang dilewati lagi semenjak pembangunan Jembatan Rajamandala, sehingga sepi kendaraan yang lewat. Meskipun begitu jalanan begitu bagus sehingga perjalanan lancar, kecuali bagi kami yang sudah kehabisan stamina.

Spot VI : Jembatan Rajamandala

Jembatan Rajamandala menjadi pemberhentian terakhir. Disini kami makan dana menerima satu materi terakhir. Sebenarnya ini mempercepat finish karena lokasi finish sebenarnya di Jembatan Kereta Leuwijurig, yaitu jalur kereta api Bandung-Cianjur yang kini non-aktif.

Disini kami melihat lembah terjal yang digores oleh Citarum. Kami bisa membayangkan bagaimana derasnya aliran Citarum sehingga menghasilkan lembah yang begitu tinggi, vertikal. Namun saat ini setelah dibendung di Saguling dan Cirata, Citarum bagaikan anak manis yang mengalir dengan manja. Alirannya pelan santai, kita bisa berperahu di bawahnya.

Acara berakhir dengan kuis dari Pak Budi yang berhadiah batu mulia dari Mang Okim. Mang Okim menutup acara dengan mengajak kami menyanyikan lagu Bagimu Negeri. Hal ini menurut beliau adalah karena perjalanan ini adalah upaya kita untuk mengenali negeri kita dalam rangka memperkuat rasa cinta kita pada Indonesia. Bahwa orang-orang yang terlibat menyelenggarakan acara ini berupaya begitu maksimal agar acara berjalan lancar dan bagaimana acara ini kemudian mampu memberikan makna bagi kami para peserta yang mengikutinya.

Terima kasih untuk panitia Gowes Bareng Geolog VI! Bravo GEA! Sampai jumpa di GBG VII, segera!

Kaitan Sasakala Sangkuriang Dengan Kejadian Geologi Cekungan Bandung

Bicara tentang Cekungan Bandung, maka kita takkan lepas dari kisah Sangkuriang yang mencintai ibunya, Dayang Sumbi. Kisah ini begitu melegenda, bahkan catatan paling tua tentang kisah ini ada sejak abad ke-16, yaitu pada catatan Bujangga Manik. Bujangga Manik, seorang pangeran Kerajaan Pajajaran memilih jalan hidup seorang resi atau pertapa dan melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa. Catatannya yang kini tersimpan di Museum Oxford di Inggris menyimpan begitu banyak informasi mengenai toponimi daerah di Jawa Barat. Mengenai Sangkuriang, ia mencatat:

Leumpang aing ka baratkeun, datang ka bukit Patenggeng. Sasakala Sang Kuriang, masa dek nyitu Ci Tarum, burung tembey kasiangan

Artinya:

“Berjalanan aku ke barat, datang dari Bukit Patenggeng, Legenda Sang Kuriang, bagaimana mau membendung Ci Tarum, gagal karena kesiangan”

legenda sangkuriang dan gunung tangkuban perahu
Ilustrasi Sangkuriang menendang perahu yang telah dibuatnya

R.W. van Bemmelen, seorang geolog Belanda begitu terpana ketika mendengar kisah Sangkuriang, Keterpanaan ini karena menurutnya kisah Sangkuriang begitu cocok dengan kisah pembentukan Danau Bandung dan letusan katastrofi Gunung Tangkuban Perahu. Hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan Sasakala Sangkuriang.

Berdasarkan legenda, Sangkuriang yang diminta untuk membuat sebuah danau dan perahu, membendung Ci Tarum dalam satu malam. Bahan perahu diambilnya dari Pohon Lametang yang berada di sebelah timur. Pohon itu ditebangnya kemudian runtuh ke arah barat. Sisa tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukittunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat sehingga menimbulkan gempa. Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur menjadi tinggian Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian ini terjadi sebelum terbentuknya perahu. Hal ini dianggap bersesuaian dengan penelitian bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung yang berusia lebih muda dibandingkan gunung-gunung di sekitarnya.

Kemudian Sangkuriang membendung Ci Tarum dan ketika air Ci Tarum mulai tergenang dan danau akan selesai, Dayang Sumbi yang cemas bersiasat sembari berdoa pada yang maha Kuasa. Ia mengibar-ngibarkan selendangnya di ufuk timur. Selendangnya konon tersisa sebagai Batu Selendang di Tahura Dago. Melihat mentari telah bersinar di ufuk timur, Sangkuriang yang merasa gagal sangatlah kesal. Ia kemudian menendang perahu yang telah dibuatnya. Perahu mendarat terbalik menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Batu Selendang, dipercaya sebagai Selendang Dayang Sumbi. Foto oleh Budi Brahmantyo.

Sisa-sisa Sasakala Sangkuriang juga terdapat di Bandung Barat. Di kawasan perbukitan kapur Rajamandala, beberapa bukit dinamai sesuai dengan nama-nama perkakas pesta. Di daerah ini terdapat beberapa nama bukit seperti Bukit Pawon yang artinya dapur. Ada pula Pasir Pabeasan yang artinya tempat beras. Pasir Manik = manik-manik perhiasan, Pasir Hawu = tungku, Pasir Leuit = lumbung, Pasir Kancahnangkub =wajan/panci terbalik, Pasir Bende dan Gua Ketuk = alat tetabuhan. Bukit-bukit itu berada pada posisi yang terpisa jauh, seolah-olah berserakan karena ditendang Sangkuriang.

Kearifan masyarakat Sunda dalam menamai wilayahnya tentu sangat menarik untuk dikaji. Bagaimana bisa kisah-kisah ini begitu berkaitan. Bagi mereka yang skeptis, boleh jadi ini hanya reka-rekaan atau kita hanya mencocok-cocokan. Namun saya merasa bahwa hal ini terlalu menarik untuk disebut sebagai sebuah kebetulan. Bagaimanapun masih banyak kebijaksanaan leluhur kita yang kita belum pahami. Begitu banyak warisan lisan yang tak tercatat dan akan segera hilang apabila penuturnya telah berpulang. Maka tentu sangat penting bagi kita generasi muda untuk mencari tahu dan menjaga agar kearifan-kearifan itu bisa terjaga.

 

Daftar Pustaka

Bachtiar, T. dan Syafriani, Dewi., 2012. Bandung Purba. Bandung: Pustaka Jaya

Kunto, H., 2014. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia

Brahmantyo, B., dan Bachtiar, T., 2009. Wisata Bumi Cekungan Bandung. Bandung: Truedeepustakasejati