Membandingkan Elevasi Gunung Anak Krakatau Sebelum dan Setelah Erupsi Desember 2018

Kemarin saya lihat satu cuitan Twitter dari salah satu peneliti yang saya ikuti, Dr. Sotiris Valkaniotis dari Universitas Tesaloniki, Yunani. Beliau ini rajin membagikan info-info menarik, terutama tentang kebencanaan. Saya pertama mengikuti akunnya pasca erupsi Anak Krakatau, akhir tahun 2018 lalu.

Di cuitannya, Dr. Valkaniotis membagikan perbandingan elevasi Gunung Anak Krakatau sebelum erupsi besar akhir tahun 2018 lalu dan setelah erupsi. Data elevasi sebelum erupsi didapat dari model elevasi nasional DEMNAS yang dipublikasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), bisa diakses di http://tides.big.go.id/DEMNAS/. Data elevasi setelah erupsi didapat dari satelit ICEsat 2 (Ice, Cloud, and Land Elevation Satellite), yang bisa diakses di https://openaltimetry.org/data/icesat2/.

Karena saya penasaran dengan data ICEsat 2 ini, saya langsung cari di google dan akhirnya ketemu. Lalu saya coba sendiri mengolah data mentah elevasi dari ICEsat 2 ini.

Misi ICEsat 2 ini menarik karena dia menyediakan kita data elevasi dari satelit. Satelit ini mengelilingi bumi dan mengukur ketinggian dengan presisi yang mengagumkan. Dia bisa mendeteksi perubahan tinggi kanopi, bisa juga mendeteksi perubahan ketebalan lapisan es, yang mana dua ini merupakan alasan utama diluncurkannya satelit ini ke angkasa. Untuk tahu lebih lanjut bisa langsung buka di sini.

Saya kemudian mencoba membuat ulang apa yang sudah dibuat oleh Dr. Valkaniotis. Rekonstruksi ketinggian Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah erupsi akhir tahun 2018.

Gambar di atas adalah hasil rekonstruksi saya. Titik-titik elevasi dari ICEsat 2 (berwarna biru) saya ekstrak kemudian saya tampilkan bandingkan dengan elevasi dari DEMNAS. Agak sedikit tricky karena model bumi yang dipakai oleh ICEsat 2 adalah model bumi ellipsoid, sementara model bumi DEMNAS adalah model bumi geoid. Ini pelajaran dasar ilmu geodesi yang sejujurnya gak pernah saya menduga akan mengaplikasikannya sendiri.

Intinya elevasi dari ICEsat 2 ini harus dikonversi dulu. Tapi tenang sudah ada kalkulatornya, jadi kita tidak perlu cemas.

Setelah dibandingkan kita jadi tahu bahwa kawah yang terbentuk sekarang itu dulunya puncak Anak Krakatau yang hampir 250 meter tingginya. Kalau sempat, sebenarnya bisa juga kita estimasi volume yang hilang (volume sebelum erupsi – volume setelah erupsi), tapi untuk ini kita baiknya punya data batimetri agar volume di bawah laut dihitung juga.

(Bangga baru bisa bikin slider image kaya gambar di atas!) Gambar sebelum erupsi menggunakan false color dengan komposisi Band 12, Band 11, dan Band 4. Gambar setelah erupsi menggunakan mode True Color komposisi Band 4, Band 3, Band 2.

Pesan penting!
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tiga hal yang menurut saya sangat penting bagi perkembangan sains.

Pertama adalah keterbukaan data. Bayangkan data Openaltimetry.org dan DEMNAS gak terbuka dan bebas diakses? Gak akan ada tulisan ini. Maka penting sekali bahwa data-data yang sifatnya publik dan bisa bermanfaat bagi orang banyak untuk dibuka atau dimudahkan aksesnya. Jangan dibuat ribet harus datang, bikin surat, bikin segala macam administrasi yang menghambat perkembangan sains. Jangan cuma investasi yang dipermudah.

Maka saya berterima kasih banyak pada BIG yang membagikan data secara gratis. Saya ingat dulu waktu mahasiswa kalau mau beli data Autocad topografi itu harus bayar ke Bakosurtanal. Sekarang kita sudah bisa akses mudah dan gratis di web BIG.

Kedua adalah keinginan untuk berbagi. Tulisan ini tidak akan ada kalau Dr. Sotiris Valkaniotis tidak membagikan gambarnya tentang ICEsat 2 dan Gunung Anak Krakatau. Tanpa twitnya, saya tidak akan tahu ICEsat dan tidak akan terbesit untuk mencoba. Tapi dia berbagi, dan karena kesediaannya untuk berbagi, dia menginspirasi orang.

Bayangkan jika semua ilmuwan berbagi ilmunya, wah betapa cepatnya sains terdiseminasi. Semakin inklusif dan bisa diakses semua orang. Dibagikan dengan kalimat yang mudah dimengerti dengan bentuk yang tidak kaku.

Ketiga adalah pentingnya kita untuk bermedia sosial, dalam hal ini Twitter. Buat saya, twitter adalah media sosial paling bagus untuk mengupdate hal termutakhir dalam sains. Sekarang sudah sangat banyak peneliti yang punya akun Twitter dan mereka sehari-hari membagi apa yang mereka kerjakan. Sudah banyak instansi riset yang mengumumkan aktivitas dan hasil riset mereka. Dan Twitter adalah media yang paling cepat. Dalam hitungan jam sesuatu bisa mendunia di Twitter

Terakhir, semoga tulisan ini menjadi hal yang bermanfaat, terutama bagi diri saya pribadi, dan bagi rekan-rekan sekalian yang membacanya.

Salam

Aplikasi Sistem Informasi Hidrogeologi Cekungan Bandung

Di Cekungan Bandung, pasti sudah ada ratusan atau bahkan ribuan sumur bor yang terdaftar, belum yang tidak terdaftar atau bahkan yang ilegal. Sumur-sumur bor yang terdaftar, untuk mengajukan izin pembuatan atau perpanjangan, harus melampirkan rencana konstruksi sumur, salah satunya adalah log sumur, yang dipakai untuk menentukan di kedalaman mana saringan/screen akan dipasang, atau dengan kata lain dari akifer mana air akan diambil. Akifer adalah lapisan yang menyimpan dan mampu melewatkan air.

Di Cekungan Bandung ada beberapa lapisan akifer. Ada lapisan akifer dangkal dan lapisan akifer dalam. Geometrinya cukup kompleks karena terbentuk dari perselingan endapan gunungapi. endapan kipas aluvial, dan endapan danau-rawa. Masing-masing endapan ini tidak selalu saling berhubungan, membentuk endapan yang pelamparannya luas. Seringkali endapan-endapan ini hanya berupa kantung-kantung (patches) yang hubungan antar satuannya itu menjari atau membaji.

Konsumsi air tanah di Cekungan Bandung sudah masuk dalam tahap mencemaskan. Pemompaan berlebih dari akifer dalam mengakibatkan akifer yang dulu sifatnya artesis, kini muka air tanahnya lebih rendah daripada batas atas lapisan (Hutasoit, 2009). Ekstraksi air tanah berlebih telah mengakibatkan penurunan ekstrim. Di beberapa tempat bahkan menyentuh hingga 23 cm/tahun (Abidin dkk, 2012).

Dalam rangka melindungi akifer, kita harus memahami geometri akifer kita. Hanya dengan begitu kita bisa membuat strategi pemantauan yang jitu, yang tepat guna. Data yang kita butuhkan untuk memahami geometri akifer sudah ada, yaitu data sumur-sumur bor yang sudah begitu melimpah kita punya.

Penelitian mengenai geometri akifer Cekungan Bandung terbaru dilakukan oleh Pak Bambang Sunarwan (2014) Dalam disertasinya, Sunarwan mengembangkan unit hidrostratigrafi di Cekungan Bandung berdasarkan parameter hidrolik, hidrokimia dan isotop. Hebatnya disertasi ini adalah keterbukaan akses. Artinya semua bisa melihat, membaca, dan mengakses datanya. Lisensi datanya adalah cc-by. Dalam lisensi ini, pengguna data dapat menggunakan dan mengadaptasi data dalam format apapun untuk kebutuhan apapun.

Karena keterbukaan datanya, saya bisa menggunakan data ini untuk mengembangkan aplikasi sederhana Sistem Informasi Hidrogeologi Cekungan Bandung. Ada sekitar 100 sumur yang saya jadikan data dasar. Data yang saya miliki adalah data log litologi dan log resistivitas. Kedua data ini bisa dijadikan sebagai dasar untuk menginterpretasi lapisan pembawa air/akifer. Berikut adalah tampilannya.

Aplikasi ini saya kembangkan berbasis R. Sebenarnya saya sudah membuat aplikasi webnya di menggunakan shinyapps.io, https://malikarrahiem.shinyapps.io/Malik_Apps/ . Tapi akun saya gratisan, hanya bisa diakses total 10 jam. Jadi sementara saya matikan. Akan dinyalakan nanti kalau mau ketemu dosen pembimbing.

Aplikasi pertama saya ini terbatas kemampuannya. Di dalam aplikasi, hanya ditampilkan titik-titik sumur. Jika kita mengeklik sumur, maka di layar sebelah kanan akan muncul log litologi dan resistivitas.

Dalam bayangan saya nanti, kita bisa menambah informasi yang ditampilkan. Misal formasi batuan X ada di kedalaman berapa, hidrostratigrafi Y ada di kedalaman berapa, dan seterusnya. Kita juga bisa menambah informasi lain seperti parameter hidrolik, hidrokimia, atau juga data isotop.

Latar belakangnya juga bukan cuma gambar Kota Bandung saja, tapi bisa juga ditambahkan poligon hidrogeologi yang didigitasi dari Peta Hidrogeologi Bandung. Bisa juga peta geologi, peta geomorfologi, atau juga peta tata guna lahan.

Selain itu, saya juga akan menampilkan penampang. Misal pengguna ingin membuat penampang di antara titik-titik tertentu, maka aplikasi akan menampilkan seperti gambar di bawah ini.

Tak cuma tampilan 2 dimensi, saya juga sedang mengembangkan model 3 dimensi unit hidrostratigafi di Cekungan Bandung. Melalui tampilan 3 dimensi, yang juga akan ditampilkan dalam webGIS ini nanti, pengguna bisa melihat model 3 dimensi dan memainkannya. Memutar-mutar, memperbesar, memperkecil, menambah dan mengurangi lapisan yang ingin ditampilkan, dll. Tapi ini masih belum ada yang bisa ditunjukkan jadi semoga segera bisa saya kerjakan.

Melalui sistem informasi hidrogeologi ini, saya berharap orang-orang menjadi lebih mudah untuk memahami sistem hidrogeologi Cekungan Bandung. Dengan memahami maka akan timbul rasa memiliki dan keinginan untuk menjaga. Selain itu, keterbukaan data juga akan mendorong tata kelola air tanah yang lebih transparan.

Saya menyadari bahwa ini masih panjang dan perlu tekad kuat serta konsistensi untuk mewujudkannya. Semoga Allah berikan saya kekuatan untuk menyelesaikan apa yang sudah saya mulai.

Bismillah

Mengeplot Log Sumur dan Resistivitas dalam Penampang Menggunakan R

Sejak beberapa tahun lalu, dosen saya di GL ITB, Pak Dasapta Erwin Irawan sangat rajin menulis tentang R. Sejujurnya saya tidak pernah benar-benar mengerti tentang R, kecuali selentingan-selentingan bahwa software ini sangat powerful dan bisa digunakan untuk mengolah data yang sangat besar.

Tapi kemudian saya mulai merasakan hebatnya R. Untuk kebutuhan tesis, saya harus mengolah data sekitar 100 sumur. Dari sumur-sumur ini saya harus membuat banyak penampang geologi. Membuat penampang geologi ini super ribet. Apalagi jika pakai cara manual. Mengeplot satu per satu di milimeter blok. Wah stres!

Sebelum saya mencoba R, saya mencoba mencari piranti lunak gratis yang bisa dipakai untuk kebutuhan menganalisis log sumur. Sayangnya kebanyakan piranti lunak yang ada itu berbayar. Atau kalau pun ada, saya harus menginvestasikan waktu saya untuk ngulik softwarenya, yang entah saya akan pakai atau ngga nanti setelah lulus.

Karena itu saya kemudian memutuskan untuk mengulik R, dan belajar mengeplot data saya di R. Dengan harapan bahwa saya bisa mengotomatisasi proses pembuatan penampang ini. Sekaligus memahami kehebatan program ini.

Hasilnya jenius! Skrip saya bekerja seperti sihir. Data saya yang 15 ribu baris bisa dimodifikasi sesuka hati tanpa rasa takut mengubah data utama. Saya bisa mengeplot sangat banyak penampang sekaligus. Kemudian jika saya ingin menginterpretasi, saya bisa print dan menyeketsa penampang geologinya di sana.

Sekarang saya belum bisa membuat penampang geologi yang ada interpretasi antar sumur di R. Yang bisa saya lakukan hanya mengeplot data sumurnya saja. Tapi saya yakin di software canggih ini, sudah ada atau akan ada orang yang bisa juga bikin penampang geologi lengkap dengan lapisan-lapisan, sesar, dan simbol litologinya. Hanya saya saja yang belum nemu orangnya atau caranya.

Gambar di atas itu adalah plot litologi dan resistivitas dari salah satu penampang yang ada dalam data saya. Plot di atas dibuat menggunakan paket Tidyverse, yang di dalamnya ada paket ggplot2 dan dplyr. Setelah plot ini jadi, nanti tinggal kita tarik-tarik interpretasi stratigrafinya, voilaa jadilah penampang geologi!

Hebatnya lagi karena basisnya adalah kode, maka kalau saya mau bikin penampang yang lain, saya tinggal modifikasi kodenya. Saya bisa pilih penampang saya mau lewat sumur mana saja, lalu jalankan kodenya. Maka jadilah plot sumur kita.

Jenius memang R. Sekali coba, nagih rasanya! Ayo ngulik R!

Kalau mau coba, berikut kodenya:
Mungkin ada juga yang berminat memodifikasi biar kodenya lebih taktis dan singkat.

library(ggplot2)
library(tidyverse)
library(dplyr)

Logs <- read.csv(file = “Complete_Logs.csv”, header = TRUE)
Logs P_AB <- Logs %>%
select(KodeSumur, TopElev, BotElev, Litologi, KodeLito, R) %>%
filter(KodeSumur %in% c(“P33”, “P47”, “P4”, “P28”, “P24”, “P67”, “P80”))

P_AB$KodeSumur_f =factor(PenampangAB$KodeSumur, levels = c(“P28”, “P24”, “P67”, “P33”, “P47”, “P4”, “P80”))

ggplot(data = P_AB, mapping = aes(x=KodeSumur, y= 1, fill=KodeLito )) +
geom_col(position = position_stack(reverse = TRUE), width= 0.5)+
scale_y_reverse()

ggplot()+
geom_rect(data = P_AB, mapping = aes(xmin=BotElev, xmax=TopElev, ymin=0, ymax= 50, fill= KodeLito))+
facet_wrap(~KodeSumur_f, ncol = 7)+
geom_line(data= P_AB, mapping = aes(x= TopElev, y= R))+
theme_bw()+
coord_flip()

Banjir Konawe Utara dari Sentinel-1

Satelit adalah mata dunia. Dengan satelit kita semakin memahami bumi. Lebih jauh daripada yang kita bayangkan dulu, ketika kita masih meraba bumi dari darat, sebelum kita mengenal satelit.

Ada banyak jenis satelit. Ada satelit telekomunikasi, ada satelit navigasi, ada juga satelit penginderaan jauh. Yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai mata dunia. Ia mengindera bumi dari kejauhan. Dalam bahasa inggris, dikenal sebagai Remote Sensing. Istilah ini sudah lama dibahasaindonesiakan sebagai inderaja, .

Satelit-satelit inderaja ini bekerja dengan memanfaatkan hukum-hukum fisika. Ada yang merespon refleksi cahaya matahari, baik gelombang yang tampak, maupun gelombang tak tampak. Ada juga satelit yang menembakkan gelombang ke Bumi. Pantulannya kemudian diukur, responnya diteliti. Lalu kita menginterpretasi apa yang terjadi.

Banyak negara mengirim misi satelit inderaja ke langit. Merekam informasi dari kejauhan. Ada banyak tujuan mengirim satelit inderaja; militer, sains, bisnis, dll. Indonesia dengan LAPAN-nya pun tak mau kalah. Kita punya beberapa satelit inderaja di langit sana. Dari laman Pusat Teknologi Satelit, kita tahu bahwa LAPAN punya setidaknya 3 satelit; Satelit LAPAN Tubsat, LAPAN A2, dan LAPAN A3.

Di tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang satelit LAPAN. Karena saya belum pernah coba pakai data dari satelit LAPAN. Meskipun besar keinginan saya untuk kelak mencoba memanfaatkan data dari satelit anak bangsa, tapi untuk sekarang akses ke data satelit LAPAN belum cukup nyaman bagi saya.

Saya ingin bercerita tentang satelit Sentinel-1. Satelit kebanggaan European Space Agency (ESA), LAPAN-nya Uni Eropa.

Satelit Sentinel 1 memiliki dua satelit yang mengorbit di langit, yaitu Sentinel 1A dan Sentinel 1B. Keduanya membawa instrumen C-Band Synthetic-aperture radar yang memungkinkan instrumen ini merekam data siang dan malam, di segala cuaca. Jadi kelebihan satelit ini, tidak terpengaruh awan. Tidak seperti satelit Landsat atau satelit Sentinel 2, yang sifatnya optikal.

Gampangnya satelit ini penting sekali, karena datanya tidak terganggu awan. Jadi setiap dia merekam data, maka jadilah datanya bisa digunakan. Tidak perlu menyaring cakupan awan. Salah satu hal paling menyebalkan dari satelit optik seperti Landsat atau Sentinel-2.

Aplikasi dari Sentinel-1 banyak banget. Dia bisa dipakai untuk aplikasi kemaritiman, misal; memonitor tinggi air laut dan kondisi es, kebocoran minyak di laut, aktivitas kapal. Satelit ini juga biasa dipakai untuk memonitor perubahan lahan di daratan, yang sangat bermanfaat, terutama bagi bidang pertanian dan kehutanan.

Tapi, terutama yang paling saya suka adalah kemampuan satelit ini untuk merespon kondisi darurat bencana, misal banjir, longsor, gunung api, gempa, dll. Satelit ini bisa mengukur perbedaan elevasi akibat bencana. Misal penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah berlebih, perubahan topografi pasca gempa, longsor, letusan gunung api.

Dan banjir. Seperti di Konawe yang lagi rame belakangan ini. (Lokasi Konawe di peta Google Maps berikut)

Image result for banjir konawe
Banjir Konawe Utara
Kawasan terdampak banjir. Citra Sentinel-1 tanggal 9 Juni 2019. Toponimi dari Badan Informasi Geospasial.

Kabupaten Konawe Utara, di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah beberapa minggu ini menjadi tajuk utama di media masa akibat banjir besar yang menghantam wilayah ini. Menurut BNPB, total 5847 kepala keluarga atau sekitar 22.573 jiwa terdampak banjir di sini. Dilaporkan 4688 unit rumah rusak, 32 unit taman kanak-kanak, 49 unit sekolah dasar, dan 14 sekolah menengah pertama terendam banjir yang terjadi sejak sebelum lebaran dan masih menggenang hingga sekarang.

Belum sawah, lahan pertanian, dan kerugian lainnya menimpa saudara-saudara kita di sana. Semoga Allah melindungi mereka semua dan mengganti segala kerugian dengan kebaikan yang melimpah kelak.

Dari gif berikut kita bisa lihat seluas apa banjir yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara. Gif ini dibuat dari citra Sentinel-1 yang diakses menggunakan Sentinel-Hub. Secara total terdapat 5 gambar tertanggal 28 Mei 2019, 2 Juni 2019, 9 Juni 2019, 14 Juni 2019, 21 Juni 2019, atau dengan interval 5-7 hari.

Gif banjir Konawe Utara di daerah Desa Tapuwatu

Di gambar-gambar di atas kita bisa bedakan air dengan daratan. Ini karena air dan daratan memberikan respon yang berbeda terhadap gelombang radar yang dipancarkan satelit. Secara naluriah pun kita bisa bedakan. Air pasti yang warnanya gelap, karena ada sungai. Daratan warnanya abu terang bertekstur kasar. Dari membedakan ini saja kita sudah bisa membayangkan sejauh mana pelamparan banjir terjadi.

Di pojok kiri bawah terdapat garis skala agar terbayang luasnya. Sungai yang ada di peta ini adalah Sungai Lasolo yang bermuara menuju Pulau Bahabulu di bagian timur kaki Sulawesi.

Kita juga bisa dengan mudah menghitung luas banjir. Kita bisa konversi jumlah piksel berwarna hitam sebelum banjir (misal tanggal 28 Mei 2019), kemudian konversi jumlah piksel setelah banjir terjadi. Kemudian kita hitung perbedaannya. Jika satu piksel itu resolusinya 10 meter atau 100 meter persegi, maka jumlah piksel hitam dikali 100 meter persegi adalah luas banjir, Dengan piranti Sistem Informasi Geografi ini mudah saja untuk dilakukan.

Semoga nanti ada waktu untuk melakukannya.

Akibat dari banjir ini, Desa Tapuwatu, yang terletak di tepian Sungai Lasolo, menghilang. Tanggal 9 Juni, Sungai Lasolo meluap hingga ke atap rumah warga. Ketika banjir agak mereda, desa sudah tiada. Banjir tidak meninggalkan sisa.

Bangunan habis semua. Warga mengungsi. Entah sampai kapan mereka bertahan, karena mereka tak lagi punya rumah untuk kembali.

Kemudian gif kedua adalah kondisi di Sungai Lalindu, yang merupakan anak Sungai Lasolo. Letaknya ke arah utara dari Sungai Lasolo. Daerah ini tak kurang parah dihantam banjir yang sama. Perhatikan gambar! Pada puncak banjir, hampir seluruh lembah Sungai Lalindu ini penuh terisi air yang meruah. Meski sekarang sudah cukup mereda.

Gif banjir Sungai Lalindu

Lalu semakin ke utara dari Sungai Lalindu. Ke daerah Wiwirano, di sepanjang Jalan Poros Lamonae-Landawe yang merupakan jalur Trans-Sulawesi tampak banjir merajalela. Memutus jalan poros yang menjadi nadi logistik, membuat tentara harus mengirim bantuan dari udara.

Gif di Wiwirano

Banjir Konawe ini memang dahsyat. Menghantam kita begitu telak di masa lebaran ketika orang-orang harusnya bergembira. Desa-desa harus direlokasi. Tak kurang tiga desa harus berpindah tempat; Desa Tapuwatu, Wanggudu Raya, dan Walalindu. Semua di bantaran Sungai Lasolo.

Respon LAPAN dan BPPT
Meski kemampuan kita untuk memitigasi bencana masih banyak kurangnya di sana-sini, tapi institusi riset kita harus diberi acungan jempol atas kesigapannya merespon kejadian ini. Pada tanggal 10 Juni, 4 hari pasca banjir terjadi, LAPAN menginformasikan estimasi bangunan terdampak banjir dengan memanfaatkan citra Sentinel-1. BPPT juga melaporkan hasil pengamatannya melalui akun instagram PTPSW (Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah).

http://pusfatja.lapan.go.id/simba/qr/BANJIR/2019/06_Juni/Bangunan_Terdampak_Banjir_10_Juni_2019_Konawe_Sulawesi_Tenggara/Konawe_Bangunan_Terdampak_A.pdf

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN (Pusfatja) melaporkan 12 peta yang meliputi semua area terdampak banjir di daerah ini. Peta ini kemudian dimanfaatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mengestimasi jumlah korban, merencanakan aksi tanggap bencana, dan banyak hal penting lainnya yang harus sigap dilaksanakan pasca bencana terjadi.

Yang mana harus kita apresiasi sebesar-besarnya dan kita dukung agar program tanggap bencana ini semakin sigap ke depannya.

Dari kejadian banjir ini saya belajar pentingnya program satelit sebagai mata kita dari langit. Program satelit bukan program gagah-gagahan negara bisa mengirim satelit ke angkasa, tapi program ketahanan negara, bagaimana kita bisa memahami negeri kita sendiri.

Jika NASA tidak menggratiskan lagi layanannya, atau Copernicus ogah membagikan datanya lagi pada kita, lantas bagaimana kita melihat negeri kita sendiri? Maka dari itu, penting bagi kita untuk mendukung program satelit LAPAN, agar semakin berkembang, semakin membuka datanya pada masyarakat. Agar kita bisa gunakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan orang banyak.

Satu riset pernah dilakukan di Amerika Serikat, mengenai dampak digratiskannya citra Landsat ke khalayak umum sejak tahun 2008. Ada 2 milyar dolar Amerika per tahun berputar sebagai omset dari perusahaan yang bergerak di bidang penginderaan jauh. Luar biasa! Padahal biaya misi Landsat ini hanya kurang dari 1 milyar dolar saja

The economic value of just one year of Landsat data far exceeds the multi-year total cost of building, launching, and managing Landsat satellites and sensors.

 Landsat Advisory Group of the National Geospatial Advisory Committee, 2014

Dari banjir Konawe kita berdoa, semoga tidak ada lagi bencana-bencana menimpa tanah air kita, Indonesia. Semoga korban-korban tetap terlindungi dari penyakit dan kesulitan, serta selalu mendapat bantuan-bantuan yang mereka perlukan.

Insyaallah.

Data: Citra Sentinel-1 tahun 2019 yang diolah menggunakan piranti daring Sentinel Hub

Ketika di Meteora

Negeri Yunani tak hanya tentang kisah panjang Dewa-Dewi. Juga bukan hanya tentang lahirnya demokrasi dengan filsafat-filsafat ternamanya; Sokrates, Aristoteles, Plato, Pytagoras. Ada sisi lain yang tak banyak orang ketahui, mungkin tenggelam oleh kisah-kisah yang disebut di awal. Yang memang begitu panjang dan mengesankan.

Salah satunya adalah kisah tentang Biara-Biara di Meteora. Ketika kami berada di Pegunungan Pindos, di bagian barat Thessalia, antara Metsovo dan Livadia, Yunani. Kami menyaksikan Perbukitan Meteora berdiri gagah menjadi saksi zaman. Salah satu bentang alam paling indah yang pernah saya lihat seumur hidup.

Selang-seling batupasir dan konglomerat, berlapis datar hingga miring landai, membentuk tebing-tebing tegak. Batuan tersingkap jelas, tanpa vegetasi menutupinya. Di puncak-puncaknya berdiri monasteri. Biara-biara Katolik Ortodox yang dibangun sejak abak ke-14.

Pada masa kejayaannya, terdapat 24 biara berdiri di bukit-bukit konglomerat Meteora. Biara ini menempel di tebing yang tinggi, dulunya hanya bisa diakses dengan tangga dan memanjat dinding yang tegak. Kini hanya 6 biara yang tersisa, sementara lainnya hanya tinggal reruntuhan saja.

Pemandangan Lembah Meteora
By Wisniowy – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=4990018
Biara Rousanou
By Vaggelis Vlahos – Own work, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3431138

Tebing-tebing yang berdiri tegak hingga 400 meter merepresentasikan megahnya kekuasaan Tuhan. Suasana syahdu kala memandang bukit-bukit ini menjulang, menjadikan Meteora menjadi tempat yang sempurna untuk mencari kedamaian, untuk membaktikan diri kepada kehidupan rohani.

Di Meteora, para biarawan/biarawati mengabdi. Hidup di kesunyian yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Di puncak bukit, yang entah bagaimana mereka mendapat sumber airnya. Mungkin memanen air hujan, atau menjaring embun pagi.

Begitulah di Meteora. Hari berlangsung lambat. Meski di luar zaman beranjak cepat. Turis yang berlewatan. Satu per satu datang dan pergi. Tapi Meteora tetap berdiri.

Dengan Lawrence, kawan baik dari Ghana

Time Lapse Gunung Anak Krakatau

Sejak letusan Gunung Anak Krakatau akhir tahun 2018 lalu, saya jadi sering mengikuti cuitan-cuitan para peneliti mengenai gunung ini. Salah satu yang sering saya lihat adalah akun Annamaria Luongo @annamaria_84, seorang peneliti inderaja yang rutin membagikan gambar-gambar terbaru Gunung Anak Krakatau.

Gambar-gambarnya bagus, jernih, bebas awan. Saya jadi penasaran bagaimana cara mendapatkan data tersebut.

Saya juga kemudian mengikuti akun-akun terkait inderaja lainnya seperti @CopernicusEU, @CopernicusEMS, atau @USGSLandsat.

Kesemua akun ini, mengajak kita untuk memanfaatkan data inderaja. Data-data ini terbuka untuk publik dan bisa diakses dengan gratis.

Kemudian saya mencoba mengolah data-data ini sendiri. Piranti lunak yang saya gunakan adalah Sentinel-Hub. Piranti lunak super canggih, yang memberi kita kemudahan untuk mengakses data citra satelit, mengolahnya, dan juga membuat gambar berselang waktu (time lapse).

Hebatnya, kita bisa melakukan semua ini tanpa perlu mengunduh data. Kita bisa lakukan menggunakan komputasi awan memanfaatkan server Sentinel. Persis seperti Google Earth Engine yang saya bahas dalam tulisan sebelum ini.

Hasilnya adalah gambar berselang waktu dengan format .gif yang saya unggah di atas.

Di gambar ini, 42 citra satelit Gunung Anak Krakatau dari awal 2018 hingga sekarang ditayangkan secara berurutan. 42 citra satelit ini dipilih berdasarkan cakupan awan terendah. Agar gambar yang ditampilkan tidak merupakan gambar yang tidak tertutup awan.

Kita bisa lihat letusan-letusan kecil sebelum letusan masif yang menghancurkan badan Gunung Anak Krakatau pada akhir 2018 lalu. Menarik bukan?

Dengan memanfaatkan citra satelit, kita bisa memantau apa yang terjadi di sekitar kita. Misal setiap kali terjadi banjir bandang atau musibah-musibah, kita selalu menyalahkan perubahan tata guna lahan di bagian hulu. Apakah benar kejadiannya seperti itu? Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa gunakan citra satelit.

Teknologi satelit saat ini sudah sangat maju. Resolusi spasial citra Sentinel ini bisa mencapai 10 meter. Artinya satu piksel gambar mewakili 10 meter asli. Resolusi ini sudah sangat detil dan bisa dipakai untuk pengamatan berskala besar, misal 1:10.000.

Resolusi temporalnya sekitar 5 hari. Artinya kita akan mendapat gambar baru setiap 5 hari. Keren kan?

Seru sih. Saya jadi bersemangat untuk belajar lebih keras untuk bisa paham cara memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh ini. Saya kira ini salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai oleh ahli kebumian.

Google Earth Engine: Salah Satu Piranti Lunak yang Harus Dikuasai Ahli Kebumian

Ada banyak kemampuan penting yang harus dikuasai oleh seorang ahli kebumian. Selain kemampuan lapangan, kemampuan memahami medan juga sangat penting. Salah satu cara paling mudah untuk memahami medan penelitian adalah dengan melakukan penginderaan jarak jauh. Menerawang lokasi penelitian tanpa perlu menginjakkan kaki ke lapangan. Kemampuan ini amat sangat penting bagi ahli kebumian jaman now.

Minggu lalu saya ikut block course Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing). Block Course ini adalah salah satu kelas yang diampu oleh pengajar tamu dari luar TU Darmstadt. Programnya dipadatkan selama 1 minggu dari jam 9 sampai jam 4 sore. Pengajarnya seorang calon Doktor di bidang Inderaja dari Universitas Zaragoza, Spanyol.

Ada fakta penting yang menarik untuk dicermati terkait bidang ini. Di langit sana, ada ratusan atau ribuan satelit beterbangan mengorbit bumi. Dari mulai Satelit Sputnik dari Rusia yang merupakan satelit pertama yang diluncurkan ke angkasa, hingga Satelit Palapa kebanggaan bangsa Indonesia. Satelit-satelit ini terbang dengan berbagai tujuan; telekomunikasi, militer, riset, dan lain sebagainya. Salah satu satelit, yaitu Landsat yang diluncurkan NASA, sejak 1972 mengorbit bumi dan secara konsisten merekam gambar-gambar permukaan bumi.

Yang menarik lagi satelit ini tidak cuma merekam gelombang warna yang kasat mata (visible wave), tapi juga bisa merekam gelombang warna tak kasat mata. Setiap objek di muka bumi memiliki karakter pemantulan (Reflectance Signature) cahayanya masing-masing, yang kemudian memungkinkan kita untuk mengidentifikasi objek yang terekam dalam gambar.

Tabel yang menunjukkan karakter reflektansi tanaman. Perbedaan karakter reflektansi ini dapat digunakan untuk membedakan tanaman-tanaman sehingga luas tutupan tanaman ini dapat kita ukur. Sumber

Jika kita melakukan validasi di lapangan, kemudian menjadikan titik validasi tersebut sebagai acuan bagi piranti lunak untuk mengidentifikasi suatu bentang alam, maka piranti lunak kita bisa mengidentifikasi area yang sangat luas dengan konsistensi yang baik.

Memahami materi ini, kemudian saya ingat petuah mentor saya di Bandung dulu

Lik, lu harus belajar Earth Engine. Barang bagus itu!

Mbah Rendi

Setelah mendapat petuah ini dulu, saya beberapa kali mencoba Earth Engine dan melihat video serta tutorial. Tapi saya tidak paham kegunaan dan cara memanfaatkannya. Baru setelah kuliah ini saya paham.

Kenapa Google Earth Engine ini penting?

Data inderaja itu besar. Jika kita mengunduh dari Earth Explorer-nya USGS misal, satu data itu bisa sampai 1 GB. Artinya untuk memproses data ini, kita perlu komputer yang tangguh. Itu baru satu area, bagaimana kalau kita mau menganalisis satu Pulau Kalimantan misal, atau satu Benua Eropa?

Nah Google Earth Engine ini jawabannya.

Google punya akses ke hampir semua data-data satelit yang bisa kita akses gratis. Saking besarnya data yang mereka punya, unit datanya bukan lagi Giga atau Tera, tapi Petabyte, 1 PB = 1000 TB = 1000.000 GB. Earth Engine tidak hanya menyediakan data saja, tapi mereka juga memberi kita peluang untuk menggunakan komputer super Google untuk menganalisis data yang kita inginkan.

Kuncinya cuma satu: kemampuan membuat skrip (script) Java (entah apa padanannya script, rasanya naskah kurang pas). Kita bisa membuat skrip ini untuk memerintahkan komputer Google menganalisis data-data yang kita mau.

Hasilnya keren!

Misal studi Tutupan Hutan Global yang dipimpin oleh Matt Hansen dari Universitas Maryland. Mereka menggunakan Google Earth Engine untuk mengetahui perkembangan tutupan hutan di seluruh dunia, baik daerah yang kehilangan tutupan hutan atau daerah yang tutupan hutannya justru bertambah. Studi ini dipublikasikan di Jurnal Science, dan sangat mengagumkan karena bisa menganalisis semua benua, kecuali Antartika dan beberapa pulau di Kutub Utara. Studi ini mencakup area seluas 128.8 juta km2, yang setara dengan 143 miliar piksel data dengan resolusi spasial 30 meter. Ini tidak mungkin bisa dilakukan jika menggunakan komputer biasa.

Peta Perubahan Lanskap Hutan Karya Matt Hansen dkk. Sumber

Lantas kenapa saya bilang ahli kebumian harus menguasai kemampuan ini?

Google Earth Engine ini gratis. Penggunanya belum banyak, komunitasnya berkembang. Saya sudah mencoba beberapa baris kode dan tidak terlalu sulit juga untuk belajar. Permasalahan sangat banyak di Indonesia yang bisa dibantu penyelesaiannya dengan pemahaman spasial dan temporal yang lebih baik.

Kita bisa mengukur perubahan bentang alam di mana-mana. Kita bisa hitung ekspansi perkebunan ke lahan sawit. Kita bisa hitung area habitat orangutan yang terancam. Kita bisa mengetahui di mana daerah kering dan di mana daerah basah, serta bagaimana perkembangan setiap tahunnya. Kita bisa ukur luas kebakaran hutan, dan banyak aplikasi-aplikasi lainnya.

Tapi yang paling utama adalah karena teknologi ini sangat canggih. Kita cukup duduk di warnet yang tidak perlu spesifikasi komputer canggih, lalu tinggal merangkai kode. Kita bisa simpan dan lanjutkan lagi kemudian hari di komputer kantor atau di rumah. Tidak perlu lagi membawa komputer-komputer super yang berat dan menyiksa punggung. Kita bisa kerja di mana saja (asal ada internetnya).

Ayo mari mencoba!

Sumber Air Minum Warga Kota Bandung

Minggu ini saya bermain-main dengan data dari http://data.bandung.go.id/dataset. Ternyata ada banyak data yang bisa dipakai untuk buat peta ala-ala.

Di peta ini digambarkan persentase sumber air minum warga Kota Bandung. Sumber air minum warga kota Bandung terdiri dari air kemasan/mineral, ledeng, pompa, sumur terlindung, sumur tak terlindung,, mata air terlindung, mata air tak terlindung, dan lain-lain. Bisa dilihat di gambar bahwa mayoritas warga Kota Bandung membeli air minumnya berupa air kemasan atau air galon.

Hampir di semua tempat, terutama di Bandung bagian selatan, orang-orang membeli air mineral/kemasan sebagai air minumnya. Hanya di beberapa tempat, terutama di Bandung Utara, warga bisa memakai sumber mata air, atau dari sumur.

Memang kita bisa mafhum, karena air kita memang tercemar. Sehingga untuk minum, memang paling aman pakai air galon.

Mungkin jika ada yang membuat penelitian tentang pengeluaran masyarakat untuk air, peta ini bisa disandingkan sehingga kita bisa bikin perbandingannya. Atau bisa juga kita tumpang tindihkan dengan peta kemiskinan dan pendapatan yang datanya juga tersedia di pusat data Kota Bandung.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan. Pantas saja bisnis air galon maju terus pantang mundur. Pasarnya gede betul, hampir 2.5 juta orang di masa depan akan pakai air galon untuk sumber minumnya. Akibatnya perusahaan air makin rajin beli kaveling di sumber-sumber air kita semua.

Mungkin teman-teman banyak yang tidak tahu bahwa PDAM adalah singkatan dari Perusahaan Daerah Air Minum. Sebenarnya mereka punya obligasi untuk menyediakan air minum bagi masyarakat Kota Bandung. Namun entah kenapa sampai kini mereka hanya sediakan air baku, itu pun jaringannya sangat terbatas, mati-nyala-mati-nyala bergiliran komplain di media masa.

Yang menarik sebenarnya, kita bisa pakai data ini sebagai titik awal Kota Bandung berbenah di bidang air. Kita bikin regulasi yang ketat untuk air galon, kualitas tinggi harga murah. PDAM yang menyediakannya.

Jangan seperti sekarang, harga air galon mahal. Misal merk Aqua yang keluarga saya biasa beli 19 ribu satu galon (19 liter, 1000/liter). Sementara di Jerman, di tempat saya tinggal sekarang, air keran yang bisa diminum itu harganya 2 euro per m3, atau 32 ribu per 1000 liter, atau 32 rupiah per liter. Kualitasnya jangan tanya, standarnya ketat, monitoringnya rutin nyaris tanpa cela.

Kalau kita bikin air galon harga 19 liter atau 1 galon = 600 rupiah, kira-kira orang masih mau kah beli Aqua 19 ribu atau VIT 9 ribu rupiah di Alfa? Kalau kita bisa bikin prosesnya bagus, tentu bisa kita kejar harganya segitu.

Jangan lah masyarakat itu dipaksa menyediakan sendiri air minumnya. Jangan kebutuhan penting kaya begitu diserahkan ke mekanisme pasar. Jangan kita dipaksa membeli yang mahal karena ketidakmampuan kita untuk percaya pada pemerintah mampu menyediakan hal yang lebih murah dan terjangkau.

Data ini ke depannya ingin saya tumpang tindihkan dengan data jaringan distribusi PDAM dan sumur-sumur milik warga. Selain itu saya juga sedang mencari data titik-titik sumur pantau di Kota Bandung. Biar bisa membuat peta kedalaman air tanah di Kota Bandung. Barangkali ada yang tahu di mana saya bisa cari datanya, bisa berbagi dengan saya.

Kira-kira bisa berkembang ke mana saja kah data ini, terutama jika dikaitkan dengan kondisi hidrogeologi Kota Bandung?

Cekungan Bandung ala Lord of the Rings

Semester ini di TU Darmstadt saya dapat akses ke ArcGIS Pro. Wah ini piranti lunak yang sudah lama ingin saya coba, terutama sejak saya lihat artikel keren, judulnya Mapping with Style yang ditulis oleh John Nelson dari ESRI.

Di artikel ini, John Nelson memamerkan peta dunia yang digambarnya pakai gaya Lord of the Rings. Saya jadi kepengen dong!

Nah karena itu, saya kemudian ngulik dan sekarang berhasil membuat peta Cekungan Bandung bergaya Lord of the Rings. Cara buatnya saya ikutin artikelnya John Nelson, bisa dibaca sendiri.

Saya sedang gandrung dengan kartografi dan mungkin akan mencoba mengasah kemampuan saya di bidang ini agar bisa menghasilkan peta yang enak dilihat dan mudah dimengerti. Harapan saya agar bisa membuat peta yang tak lekang dimakan waktu, seperti peta-peta karya Junghuhn, atau peta zaman dulu, yang entah kenapa sangat informatif dan enak dibaca, padahal bikinnya manual dilukis tangan.

Mohon jika ingin menggunakan peta ini agar mencantumkan tauntan langsung ke blog saya.

Resensi Buku Krakatoa: The Day The World Exploded

Pasca letusan dan tsunami Gunung Anak Krakatau pada hari Sabtu, 22 Desember 2018, saya segera memesan buku Krakatoa yang ditulis oleh Simon Winchester. Saya ingin membaca buku ini karena ulasan-ulasannya yang sangat bagus, juga rekomendasi dari sangat banyak orang untuk membaca buku ini


…a trove of wonderfully arcane information. The author has been able to attach so many tentacles to a single event – the spectacular and catastrophic eruption of the title volcano – that there seems to be nowhere he can’t go

Janet Maslin – New York Times

Penulis buku ini adalah seorang geolog lulusan Oxford yang banting setir menjadi penulis dan jurnalis. Karir kepenulisannya sudah sangat panjang sejak 1975. Ia mempublikasikan Krakatoa pada tahun 2004.

Buku Krakatoa: The day the world exploded, bagi saya adalah buku yang sangat komprehensif. Dalam buku setebal 432 halaman yang diterbitkan oleh Penguin Books di London ini, Simon Winchester bercerita segala hal yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau tahun 1883, salah satu letusan paling dahsyat di periode modern.

Secara umum buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian pertama sebelum terjadi letusan, bagian kedua ketika letusan terjadi, dan bagian ketiga yaitu pasca letusan.

Di bagian pertama, Winchester membuka cerita ini dengan menuturkan kisah-kisah tentang Tektonik Lempeng untuk memberikan gambaran kenapa terjadi letusan di Selat Sunda, bukan di tengah-tengah Benua Eropa, misal. Ia bercerita tentang Alfred Wegener dan teori Pengapungan Benua yang ditolak habis-habisan oleh para geolog, hanya karena Wegener tidak mampu menjelaskan sumber energi yang mengakibatkan Pengapungan Benua terjadi.

Winchester juga bercerita tentang Alfred Russel Wallace, seorang Naturalis dari Inggris, yang kalah tenar dari Charles Darwin, padahal ia dianggap sama berjasanya terhadap perkembangan teori evolusi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya. Alfred Wallace menarik garis batas flora dan fauna Indonesia bagian barat dan timur, yang kelak diketahui bahwa batas ini juga adalah batas lempeng.

Kemudian Winchester juga menjelaskan tentang perkembangan teknologi komunikasi. Ini penting untuk menjelaskan premis Winchester tentang kenapa letusan Krakatau bisa sangat terkenal di dunia, yaitu karena teknologi komunikasi sudah berkembang cukup pesat kala itu.

Di bagian kedua, Winchester berkisah tentang laporan-laporan dari Anyer, dari Teluk Betung, dari Batavia, dari para pelaut yang melewati Selat Sunda pada masa-masa sebelum Krakatau meletus, dan sebelum letusan paroksismal terjadi. Ia juga bercerita tentang saat letusan terjadi, secara runtun hari per hari, dari semua sisi. Laporan resmi pemerintah kolonial, para pelaut, dan saksi-saksi.

Ia juga menuliskan sejauh mana letusan ini terdengar. Membuat ilustrasi petanya agar bisa dibayangkan lebih mudah. Kesaksian-kesaksian dituliskan dalam bentuk kutipan, seolah kita sedang menjadi orang yang membaca laporan.

Di bagian ketiga, Winchester bercerita tentang dampak letusan ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kehidupan sosial. Ia berkisah tentang pemberontakan petani di Banten tahun 1888 yang kemungkinan besar juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial pasca letusan. Ia bercerita tentang langit dunia sepanjang tahun 1883-1884 yang memberikan semburat warna yang indahnya luar biasa akibat distorsi abu Krakatau di atmosfer membelokkan cahaya matahari.

Letusan Krakatau 1883 juga membuka peluang ilmu biologi untuk berkembang, karena untuk pertama kalinya kita bisa mempelajari suksesi kehidupan pasca bencana besar terjadi.

Di akhir Winchester juga menyertakan bahan-bahan bacaan untuk memahami buku ini lebih baik lagi.

Secara umum buku ini sangat keren! Seperti ulasan dari Janet Maslin yang berkata bahwa kisah-kisah di buku ini seperti tentakel-tentakel cerita yang bermuara pada satu kisah utama, saya hanya bisa setuju, karena memang begitu benar adanya.

Saya sangat mengagumi cara bercerita Winchester karena kita seolah dibawa kembali ke masa lalu. Ia memberikan gambaran pentingnya kejadian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bagi perkembangan kehidupan umat manusia. Dan 432 halaman tak terasa begitu panjang, seperti kedipan mata, mungkin karena asyiknya membaca.

Maka tak ada kata lain selain, Sangat Direkomendasikan untuk Dibaca!