Resensi Buku Krakatoa: The Day The World Exploded

Pasca letusan dan tsunami Gunung Anak Krakatau pada hari Sabtu, 22 Desember 2018, saya segera memesan buku Krakatoa yang ditulis oleh Simon Winchester. Saya ingin membaca buku ini karena ulasan-ulasannya yang sangat bagus, juga rekomendasi dari sangat banyak orang untuk membaca buku ini


…a trove of wonderfully arcane information. The author has been able to attach so many tentacles to a single event – the spectacular and catastrophic eruption of the title volcano – that there seems to be nowhere he can’t go

Janet Maslin – New York Times

Penulis buku ini adalah seorang geolog lulusan Oxford yang banting setir menjadi penulis dan jurnalis. Karir kepenulisannya sudah sangat panjang sejak 1975. Ia mempublikasikan Krakatoa pada tahun 2004.

Buku Krakatoa: The day the world exploded, bagi saya adalah buku yang sangat komprehensif. Dalam buku setebal 432 halaman yang diterbitkan oleh Penguin Books di London ini, Simon Winchester bercerita segala hal yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau tahun 1883, salah satu letusan paling dahsyat di periode modern.

Secara umum buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian pertama sebelum terjadi letusan, bagian kedua ketika letusan terjadi, dan bagian ketiga yaitu pasca letusan.

Di bagian pertama, Winchester membuka cerita ini dengan menuturkan kisah-kisah tentang Tektonik Lempeng untuk memberikan gambaran kenapa terjadi letusan di Selat Sunda, bukan di tengah-tengah Benua Eropa, misal. Ia bercerita tentang Alfred Wegener dan teori Pengapungan Benua yang ditolak habis-habisan oleh para geolog, hanya karena Wegener tidak mampu menjelaskan sumber energi yang mengakibatkan Pengapungan Benua terjadi.

Winchester juga bercerita tentang Alfred Russel Wallace, seorang Naturalis dari Inggris, yang kalah tenar dari Charles Darwin, padahal ia dianggap sama berjasanya terhadap perkembangan teori evolusi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya. Alfred Wallace menarik garis batas flora dan fauna Indonesia bagian barat dan timur, yang kelak diketahui bahwa batas ini juga adalah batas lempeng.

Kemudian Winchester juga menjelaskan tentang perkembangan teknologi komunikasi. Ini penting untuk menjelaskan premis Winchester tentang kenapa letusan Krakatau bisa sangat terkenal di dunia, yaitu karena teknologi komunikasi sudah berkembang cukup pesat kala itu.

Di bagian kedua, Winchester berkisah tentang laporan-laporan dari Anyer, dari Teluk Betung, dari Batavia, dari para pelaut yang melewati Selat Sunda pada masa-masa sebelum Krakatau meletus, dan sebelum letusan paroksismal terjadi. Ia juga bercerita tentang saat letusan terjadi, secara runtun hari per hari, dari semua sisi. Laporan resmi pemerintah kolonial, para pelaut, dan saksi-saksi.

Ia juga menuliskan sejauh mana letusan ini terdengar. Membuat ilustrasi petanya agar bisa dibayangkan lebih mudah. Kesaksian-kesaksian dituliskan dalam bentuk kutipan, seolah kita sedang menjadi orang yang membaca laporan.

Di bagian ketiga, Winchester bercerita tentang dampak letusan ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kehidupan sosial. Ia berkisah tentang pemberontakan petani di Banten tahun 1888 yang kemungkinan besar juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial pasca letusan. Ia bercerita tentang langit dunia sepanjang tahun 1883-1884 yang memberikan semburat warna yang indahnya luar biasa akibat distorsi abu Krakatau di atmosfer membelokkan cahaya matahari.

Letusan Krakatau 1883 juga membuka peluang ilmu biologi untuk berkembang, karena untuk pertama kalinya kita bisa mempelajari suksesi kehidupan pasca bencana besar terjadi.

Di akhir Winchester juga menyertakan bahan-bahan bacaan untuk memahami buku ini lebih baik lagi.

Secara umum buku ini sangat keren! Seperti ulasan dari Janet Maslin yang berkata bahwa kisah-kisah di buku ini seperti tentakel-tentakel cerita yang bermuara pada satu kisah utama, saya hanya bisa setuju, karena memang begitu benar adanya.

Saya sangat mengagumi cara bercerita Winchester karena kita seolah dibawa kembali ke masa lalu. Ia memberikan gambaran pentingnya kejadian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bagi perkembangan kehidupan umat manusia. Dan 432 halaman tak terasa begitu panjang, seperti kedipan mata, mungkin karena asyiknya membaca.

Maka tak ada kata lain selain, Sangat Direkomendasikan untuk Dibaca!

Ci Tarum Tercemar Amat Sangat Super Luar Biasa Berat!

Hari ini saya belajar mengenai status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman ini, metoda yang digunakan untuk menentukan status mutu air adalah metoda STORET. Metoda ini secara prinsip membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Untuk mengklasifikasikan status mutu air, digunakan sistem nilai dari US-EPA, yang mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu
(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10  cemar ringan
(3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30  cemar sedang
(4) Kelas D : buruk, skor lebih kecil dari -31  cemar berat

Angka di atas kurang lebih berarti seperti ini: setiap ada satu parameter yang lebih besar dari batas ambang minimal, maka akan dapat skor minus. Parameter yang diukur seperti parameter fisika (TDS, suhu, DHL), kimia (kandungan zat-zat kimia), dan biologi (e-coli). Semakin rendah nilainya (semakin minus), maka semakin buruk skornya.

Nah kemudian saya mencoba membaca hasil analisis kualitas air Ci Tarum di Nanjung, dekat Jembatan Ci Tarum di Leuwigajah, yang dilaporkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat. Pengukurannya sendiri dilakukan pada bulan April, Mei, Juli, September, dan Oktober 2013. Hasilnya adalah skor Storet Ci Tarum di Nanjung -176! (cek tabelnya di: NANJUNG)

Skor -176 ini selisihnya lebih dari 140 dari batas minimal kelas D yang artinya tercemar berat. Mungkin kita bisa menambah beberapa kelas lagi sampai kelas Z untuk menunjukkan bahwa Ci Tarum ini tingkat ketercemarannya sangat luar biasa buruk.

Lebih lima tahun lalu saat kampanye mantan Gubernur Ahmad Heryawan, beliau menjanjikan pada 2018 air Ci Tarum bisa diminum. Janji ini tentu hanya sekedar janji politik yang omong kosong. Kenapa begitu? Karena lihat saja tahun 2013 saat janji itu diungkapkan, angkanya -176, mungkin di stasiun pengukuran lain sama juga, sementara untuk bisa diminum, yaitu memenuhi baku mutu maka nilainya itu 0. Ada puluhan parameter yang harus diperbaiki, sementara aksinya tidak terasa kalau tidak boleh bilang tidak ada.

Kini tahun 2018, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat belum menyediakan lagi data kualitas air Ci Tarum di laman situsnya. Konon klaimnya, meski kualitas air tetap buruk, tapi angkanya membaik.

Karena di rezim jaman sekarang itu tidak boleh asal kritik dan harus memberi solusi, maka saya ingin mencoba memberi solusi.

Solusi dari saya adalah keterbukaan data agar masyarakat bisa melihat sendiri perbaikan yang terjadi di Ci Tarum. Buka akses selebar-lebarnya terhadap semua pengukuran dan monitoring di Ci Tarum. Buka data analisis kualitas air, dan tunjukkan grafiknya bahwa perubahan terjadi menuju arah yang lebih baik. Biar kita bisa mengukur sendiri, biar kita bisa tahu sejauh mana dampak upaya kita untuk melindungi Ci Tarum.

Saat ini data yang tersedia hanya data tahun 2013. Sementara itu untuk mengakses data-data terbaru harus mengajukkan permohonan yang tentu memakan waktu dan terutama karena kita paham ruwetnya birokrasi. Dengan terbukanya akses data, maka partisipasi warga akan lebih mudah. Toh data milik warga juga, tidak perlu disembunyi-sembunyikan. Kecuali memang ada yang ingin disembunyikan.

Solusi saya yang kedua sifatnya lebih lokal. Salah satu simpul Ci Tarum adalah Curug Jompong. Dalam tulisan saya yang lalu, saya menulis tentang Curug Jompong yang telah dikenal sejak lama dan telah menjadi tempat bergeowisata sekurang-kurangnya sejak 1918. Dengan menghidupkan kembali Curug Jompong sebagai tujuan berwisata (meskipun masih kotor, jorok, dan berbau tak sedap) kita mengundang masyarakat untuk menjadi pengawas Ci Tarum. Ini untuk membuka pikiran masyarakat bahwa Ci Tarum adalah beranda rumah kita, yang harus kita jaga dan pelihara. Juga untuk mengingatkan semua orang bahwa Ci Tarum pernah begitu berjaya dengan Curug Jompongnya, menjadi objek wisata kebanggaan warga Bandung sejak 100 tahun yang lalu.

Semoga saya bisa menjadi bagian dari solusi, bukan hanya yang berucap tanpa berbuat.

Marburg, Ibukota Tuna Netra Jerman

Seberapa seringkah kamu melihat tuna netra berjalan-jalan keluar di kotamu? Coba keluar dan perhatikan trotoar jalanan, mungkin jarimu jarang sekali menghitung. Tapi jika kamu ada di Marburg, negara bagian Hesse, Jerman, kamu akan sering sekali melihat tuna netra berjalan bebas di jalanan, karena Marburg adalah ibukotanya tuna netra di Jerman.

Di Marburg, orang-orang dengan tongkat panjang berwarna putih dengan bola di ujung tongkatnya adalah tetangga, sahabat, dan bagian tak terpisahkan dari pemandangan jalanan. Tidak ada kota lain di Jerman dengan jumlah tuna netra sebanyak Marburg. Kota ini menyediakan fasilitas yang begitu mendorong inklusivitas dan memfasilitasi tuna tetra untuk berkarya, memanifestasikan bakatnya. Seluruh persimpangan dan lampu lalu lintas sudah ramah tuna netra, tangga-tangga telah ditandai, trotoar dengan ubin taktil, lift yang bersuara, denah kota yang taktil, dan menu dalam huruf braile.

Kolam renang memiliki sistem pemanduan tuna netra. Stasiun kereta api, pasar swalayan, stadion olahraga, dan kantor-kantor pemerintahan memiliki denah taktil. Bahkan ada juga mesin ATM dan teater serta bioskop yang menyediakan fasilitas deskripsi suara. Telah begitu lama Marburg mengupayakan kesejahteraan bagi para tuna netra, sehingga sangatlah pantas kota ini menyandang sebutan Der Blindehaupstadt, atau ibukotanya tuna tetra.

Kota universitas ini berutang kepada Blindenstudienanstalt (blista, lembaga pendidikan tuna netra) yang didirikan di Marburg lebih 100 tahun lalu. Alumni mereka yang terkenal seperti peraih medali emas Paralimpiade, Verena Bentele, kemudian Sabriye Tenberken, Komisaris Pemerintah Federal untuk Penyandang Cacat, yang pernah naik ke Gunung Everest. Kemudian ada komposer muda Sarah Pisek yang memenangkan penghargaan Bambi. Selain itu masih banyak lagi alumni lainnya yang menjadi aktrik terkenal, penyanyi, wartawan, politisi, dan pengacara.

Verena Bentele, peraih medali emas Paralimpiade

Di Marburg, tuna netra bisa beraktualisasi diri tanpa perlu merasa berbeda dengan orang lain. Kita bisa melihat siswa-siswa blista berlarian melalui jalanan Marburg, begitu cepat seolah-olah mereka tidak punya disabilitas. Kita dengan mudah melihat mereka berjalanan di dalam bus, di ruang publik, dan tinggal di apartemen yang sama dengan orang-orang lain.

Informasi menarik ini saya dapat dari lembar panduan wisata di Der Blindenhauptstadt Marburg. Dalam kunjungan saya ke Marburg, saya terkesima dengan cara Marburg memuliakan penduduk tuna netranya. Bahkan mereka membuat sebuah jalur wisata khusus untuk menceritakan tentang Marburg sebagai ibukotanya tuna netra. Tak semua tempat dalam jalur wisata ini saya kunjungi, hanya beberapa saja.

Wisata ini dimulai dengan berkisah tentang sejarah bagaimana ini bermula. Kisah ini diceritakan sambil mengunjungi tempat tinggal Carl Strehl dan Alfred Bielschowsky pada masa lampau dan juga mengunjungi Rumah Bielschowsky, yaitu Pusat Rehabilitasi untuk Tuna Netra. Siapakah Strehl dan Bielschowsky?

Alkisah pada akhir perang dunia pertama, lebih dari tiga ribu orang tentara menjadi tuna netra akibat pecahan peluru atau gas beracun. Kebanyakan dari mereka diarahkan menuju Marburg, di mana Prof. Alfred Bileschowsky (1871-1940), direktur dari departemen Ophtalmology, memulai departemen khusus bagi korban kebutaan akibat perang. Kemudian mereka menyadari bahwa pendekatan pemulihan bagi mereka yang kehilangan penglihatan akibat perang tidak bisa hanya pendekatan pengobatan saja, mereka harus diberikan masa depan agar tidak menjadi pengangguran dan peminta-minta pengharap belas kasihan. Bielschowsky mengatur penyelenggaraan kursus Braille. Tak hanya itu, ia juga mengurus akomodasi, pengadaan bahan literatur, dan semua yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi tuna netra. Untuk kebutuhan ini, ia mempekerjakan seorang mahasiswa, Carl Strehl (1886-1971) yang hampir kehilangan seluruh penglihatannya akibat kecelakaan di laboratorium kimia di New York. Mereka berdua kemudian membentuk Asosiasi Pendidikan Tuna Netra Jerman pada tahun 1916, dan mendirikan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan pusat konseling bagi tuna netra. Ini artinya, untuk pertama kalinya di Jerman, tuna netra mampu dan bisa untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Bielschowsky kemudian menjadi direktur kehormatan dari Blista dan Strehl memimpin manajemen.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg (Blista). Sekolah ini adalah sekolah menengah (setara SMA) khusus tuna netra pertama di dunia. Sekolah Carl Strehl ini merupakan inti dari Blista Marburg, yang menerima siswa dari Jerman mulai dari kelas 5. Sekolah ini sangat sukses, dengan rata-rata nilainya sesuai dengan rata-rata nasional Jerman. Banyak lulusan dari sini mendapatkan pekerjaan yang baik, karena suasana pembelajarannya yang nyaman dan menarik.

Kelas terdiri dari hanya 6 hingga 12 siswa dengan literatur beraksara Braille, komputer dengan tampilan Braille dan memiliki fitur berbicara, membaca layar dan piranti lunak untuk memperbesar gambar dan tulisan, serta banyak fitur bantuan lainnya. Yang tidak bisa divisualisasikan digantikan dengan merasakan, mendengar, mencium, dan meraba. Ada model untuk merasakan gempa bumi, meraba molekul dan bentuk geometri. Ada orang-orang yang mentransformasikan listrik dan warna menjadi suara.

Selain kegiatan akademik, Blista juga menyediakan aktivitas luar lapangan seperti berkuda, berenang, bersepeda, mendayung, judo, berselancar, ski, dan bahkan bermain sepakbola. Ada juga kegiatan lain seperti ekskursi, drama, dan magang. Blista juga mengajarkan siswa-siswanya untuk hidup normal, berbelanja, menggunakan transportasi umum, mengunjungi teman, makan tidak belepotan, memasak, mencuci baju, dan bersih-bersih juga merupakan bagian dari pembelajaran. Karenanya, pada pelajar yang tinggal di sekitar 40 tempat di seluruh Marburg merupakan bagian aktif dari masyarakatnya.

Siswa tuna netra Berperahu di Sungai Lahn

Blista juga memiliki program untuk meningkatkan kompetensi pemuda-pemuda dengan menyediakan hampir 48 ribu buku dan majalah dalam format suara yang bisa dipinjam secara gratis. Pusat rehabilitasi menawarkan konseling, pelatihan orientasi, mobilitas, dan juga kemampuan sehari-hari. Mereka juga menyediakan konseling untuk para senior, konseling untuk sekolah-sekolah, juga saran-saran untuk mereka yang membutuhkan alat bantu penglihatan, terutama mereka yang mengalami low-vision.

Menyusuri jalanan Marburg, kita bisa melihat lampu-lampu lalu lintas yang khusus didesain untuk tuna netra. Lampu lalu lintas ini bisa berbunyi bersuara memberi tanda untuk berhenti atau mulai berjalan. Lampu lalu lintas khusus tuna netra ini pertama dibuat pada tahun 1971 di dekat Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg di Ketzerbach. Sekarang, hampir semua lampu lalu lintas di Marburg dilengkapi dengan sinyal suara. Di sekitar pusat kota, hanya ada tiga lampu lalu lintas yang tidak dilengkapi suara. Ini sengaja dilakukan agar di sana siswa Blista bisa belajar bagaimana menyebrang jalan di persimpangan jalan tanpa sinyal suara.

Secara ritmik mereka mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke jalan sembari menyeberang dari ujung ubin taktil ke ujung ubin taktil lainnya di seberang jalan. Ubin-ubin ini sudah dipasang sejak tahun 2000, sejak saat itu sangat banyak jalur-jalur yang dilengkapi dengan ubin ini. Meski demikian ubin ini tidak menjadi satu-satunya alat pemandu, tepi-tepi trotoar, tiang pegangan, juga bisa menjadi alat bantu pemanduan berjalan.

Ada tombol di setiap lampu lalu lintas. Di halte-halte bus, jika tombol dipencet, kedatangan dan kepergian bus diumumkan nyaring. Stasiun Marburg juga dibuat sangat nyaman untuk dikunjungi tuna netra. Denah stasiun kereta sudah dibuat dan ubin-ubin taktil dipasang di dalam stasiun. Sejak direnovasi menjadi stasiun yang nyaman untuk tuna netra, Stasiun Marburg menjadi kebanggaan kota. Pada 2015, bahkan stasiun ini menjadi Stasiun Tahun 2015 oleh Pemerintah Jerman.

Tipikal kota-kota di Jerman pasti memiliki bangunan-bangunan megah yang menjadi tengara (land mark) kota. Di Marburg ada beberapa tengara yang menarik dan selalu menjadi tujuan berwisata para turis. Namun tentu saja sulit bagi tuna netra untuk membayangkan bangunan-bangunan megah hanya dengan bantuan suara. Oleh karena itu, pemerintah kota Marburg membuat maket-maket tengara Kota Marburg dari perunggu dengan keterangan beraksara Braille. Ada beberapa maket yang dibuat seperti maket Marktplatz (pasar utama), maket Marburger Schloss (Kastil Marburg), maket Gereja Elisabeth (Elisabetkirche), dan maket sinagog. Maket ini dibuat sangat detil dan presisi dengan keterangan yang lengkap. Saya melihat beberapa kali tuna netra yang sedang meraba-raba maket mencoba membayangkan bangunan yang ada di depannya.

Maket Gereja Elisabeth Marburg dengan aksara Braille sebagai keterangannya

Tuna netra dan penyandang low vision yang mengunjungi Marburg bisa memilih enam paket tur yang ditawarkan oleh pemerintah kota. Pemerintah kota telah melatih para pemandu wisata dengan bantuan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman, agar bisa memandu para tuna netra. Sebelum menerima lisensinya mereka wajib untuk menjelajahi kota dengan mengenakan penutup mata agar mereka bisa melatih nalurinya. Mereka akan mengajak para peserta tur untuk menyusuri Kota Marburg, mendengarkan para pemain terompet memainkan musiknya. Mereka akan mengajak peserta untuk menjelajahi Gerbang Dominika di Kampus Lama, serta tengara-tengara kota lainnya.

Peta Wisata Blindenhauptstadt Marburg

Lokasi terakhir yang saya kunjungi adalah Jalur Planet. Ini adalah instalasi sederhana yang menurut saya penuh makna. Di tempat ini pemerintah Kota Marburg membuat suatu jalur setapak yang di sepanjang jalur itu, mereka membuat deretan planet di tata surya mulai dari Matahari hingga Pluto dalam skala satu banding satu miliar. Jalur ini menunjukkan betapa berdekatannya planet-planet dalam dibandingkan planet-planet luar, juga perbandingan antara matahari yang berukuran 1.39 meter dibandingkan dengan bumi yang berukuran sebiji kacang. Tentu instalasi ini bentuknya 3 dimensi dan memiliki keterangan beraksara Braille.

Jalur Planet. Foto oleh Michael Fielitz

Begitulan Marburg, ibukotanya tuna netra. Sebuah bukti bahwa ada cara untuk memberdayakan tuna netra, bahwa itu mungkin, sangat mungkin, dan juga menjadikan tuna netra sebagai subjek pembangunan. Dengan diberikan akses yang sama terhadap pendidikan, maka tuna netra juga menjadi golongan pekerja yang memberikan sumbangan tak kecil dalam bentuk pajak untuk pembangunan negeri. Semoga Bandung bisa menjadi kota ramah tuna netra yang berikutnya.

Aamiin.

sumber: Brosur wisata Marburg Blindenhauptstadt

Main dengan Story Maps ESRI

Saya sering banget memikirkan gimana caranya memvisualisasikan hasil survey biar kelihatan canggih. Baru minggu ini dapat jawabannya. Ternyata ESRI menyediakan fitur Story Maps. Di sini kita bisa bikin blog atau cerita tapi berbasis peta. Kalau pernah lihat liputan tsunami palu yang dirilis sama Kantor Berita Reuters, nah yang kaya gitu dibikin basisnya Story Maps.

Contohnya web map saya ini, judulnya Geowisata Bandung Barat Daya, yaitu titik-titik geowisata yang saya kunjungi beberapa tahun lalu. Lokasinya di selatan Pegunungan Rajamandala dan di bagian lain Genangan Saguling.

Ada sekitar 30 titik. Malas kalau ditulis satu per satu, tapi siapa juga yang mau baca kalau digabungkan semua dalam satu tulisan. Maka menampilkan dalam bentuk web map ini paling mantap.

Dari sini saya kepikiran untuk mengembangkan peta ini jadi lebih oke lagi. Nanti setiap titik akan saya coba untuk buat Cascade Storynya. Cascade Story adalah metode bercerita yang memanfaatkan scroll mouse atau geser atas bawah di handphone. Silakan mampir di web map saya. Tolong kabari kalau ada ide kira-kira apa yang harus ditambahkan.

Picture1

Geowisata Bandung Barat Daya

Picture1

Felsenmeer Odenwald

Gak kerasa saya kerjain ini hampir dua hari, tapi seru. Kalau mau belajar silakan buka youtube. Sudah banyak banget tutorial tentang cara pakai Story Maps.

Grimm Bersaudara dan Dedikasinya pada Sastra

Semua orang pasti pernah dengar cerita Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Rapunzel, dll. Siapa coba pengarangnya?

Cerita-cerita itu adalah folklor dari Jerman yang kemudian dicatat, dikembangkan, dan ditulis ulang oleh Grimm Bersaudara, Jacob dan Wilhelm Grimm pada awal abad ke-19. Mereka adalah cendekiawan dari Jerman, filolog, leksikolog, akademia di bidang kultur dan budaya. Kisahnya diabadikan dalam film Brothers Grimm yang dibintangi oleh Matt Damon dan Heath Ledger (saya belum nonton tapi kayanya seru nih).

Jacob_und_Wilhelm_Grimm.png
Grimm Bersaudara. By Ludwig Emil Grimm – Historisches Museum, Hanau zeno.org, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3193091

Grimm Bersaudara lahir di Hanau, sekitar 20 kilometer arah timur dari Frankfurt, dekat dengan tempat saya tinggal. Mereka berkuliah di Universitas Marburg, salah satu universitas paling tua di Jerman, juga paling terkemuka. Di sinilah mereka memulai studi tentang sastra periode pertengahan Jerman.

Sekitar tahun 1810 mereka bekerja sebagai pustawakan di Kassel, pekerjaan yang sederhana tapi bisa memberikan waktu luar biasa untuk meriset dan berkarya. Sekitar periode ini hingga 1830 merupakan saat-saat paling produktif tatkala mereka berhasil mempublikasikan banyak karya terutama Kinder- und Hausmärchen, yaitu cerita anak-anak Jerman. Juga karya-karya seperti folklor Denmark dan Irlandia, mitologi bangsa Nordik. 

Karena publikasinya ini, mereka diangkat sebagai Profesor Sastra Jerman di Universitas Goettingen. Jacob mempublikasikan Mitologi Jerman, sementara Wilhelm melanjutkan publikasi Kinder- und Hausmärchen. 

Karya terbesar mereka adalah Kamus Besar Bahasa Jerman edisi pertama. Mereka memulai projek ini pada tahun 1838 setelah mereka dipecat dari universitas karena memprotes penguasa. Selama dua tahun mereka mengerjakan projek ini secara mandiri, hingga kemudian situasi politik mencair dan mereka melanjutkan bekerja di Universitas Berlin. Di sini juga mereka menerima dana riset dan melanjutkan pembuatan Kamus Besar Bahasa Jerman yang dipublikasikan pertama kali pada 1854.

German_dictionary

Wilhelm meninggal dunia di Berlin pada 1859. Jacob yang berlarut dalam kesedihan akibat kehilangan saudaranya terus melanjutkan perjuangan mereka dalam menyusun kamus, hingga akhirnya menyusul pada tahun 1863.

Grimm Bersaudara adalah contoh dedikasi tiada henti pada bidang sastra. Karyanya pada dokumentasi folklor kemudian menjadi suatu cabang ilmu (folkloristics), menjadi standar dalam dokumentasi cerita rakyat lain mungkin hingga sekarang. Kinder- und Hausmärchen adalah buku yang menjadi bacaan wajib pelajar pada akhir abad ke 19. Dongeng-dongeng hasil publikasi Grimm Bersaudara kini menjadi dasar fondasi dari kerajaan milyaran dolar Disney. Cerita-ceritanya mewarnai masa kecil hampir semua anak di dunia. 

Brothers_grimm_movie_poster
By Source, Fair use, https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=1980464

Rumah Grimm Bersaudara di Marburg. Sayang pas berkunjung lagi tutup karena pengurusnya sedang libur musim panas.

Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Brothers_Grimm

Sketsa Gereja Tua di atas Batugamping Terumbu dan Ingatan pada Sang Guru

Saya duduk di tepian Sungai Lahn, melihat pemandangan Gereja St. Lubentius yang dibangun megah pada abad ke-13 di atas batugamping terumbu berumur Devon (sekitar 375 juta tahun yang lalu). Siang itu benderang dan saya duduk di rimbun taman tepi sungai. Orang-orang berlewatan, berlari, bersepeda, berhenti sejenak kemudian berenang di Sungai Lahn yang tenang. Tempat ini indah dan sudah ditetapkan menjadi bagian dari Geopark Lahn-Westerwald-Taunus, sebuah geopark nasional di Jerman dengan luas 3800 km persegi yang menyimpan kisah geologi lebih 400 juta tahun ke belakang.
Waktu saya masih panjang, kereta hadir setiap jam. Pikir saya tak perlu terburu-buru. Lalu saya keluarkan pensil dan kertas, memulai mengukur dan mengeker, membayangkan proporsi bentuk sketsa saya. Mengingat dengan keras ajaran-ajaran yang saya serap dari almarhum guru saya, yang saya yakin akan sedang asyik menyeketsa jika ada bersama saya di sana. Memamerkan hasilnya pada saya, membuat saya berkecil hati, lalu dia tertawa.
Saya bukan penggemar membuat sketsa, hanya siang itu saya merasa ingin melakukannya. Karena dengan begitu saya merasa dekat dengan Sang Guru, yang selalu memuji, sejelek apapun hasil sketsa saya. Kata beliau, “Sketsa saya juga dulu jelek”, yang mana saya yakin merupakan manifestasi kerendahhatiannya, karena saya membaca skripsi sarjana beliau, skripsi lulusan terbaik pada periode wisudanya, yang dihadiahi palu geologi oleh himpunan kami sebagai penghargaannya. Tentu sketsa di skripsi beliau itu luar biasa bagusnya, silakan mampir di perpustakaan Klompe jika tak percaya.
Menyeketsa perlu waktu yang lama, perlu ketekunan membuat garis, memberi tekstur, dan memperkirakan proporsi gambar agar sesuai, tak terlalu kecil, tak terlalu besar. Tekun bukan sifat saya. Sulit buat saya untuk tekun, karena begitu banyak distraksi. Mungkin karena sifat milenial yang kesulitan berkonsentrasi dan mudah tergoda melakukan hal lain. Tapi saya percaya bahwa membuat sketsa adalah salah satu cara baik untuk melatih ketekunan. Menyelesaikan yang sudah kita mulai, dengan hasil baik yang memuaskan.
Terima kasih Pak Budi Brahmantyo, semoga ilmu bapak menjadi amal yang tiada putus-putusnya menerangi di alam sana.

St. Lubentius an der Lahn auf dem Devonischer Kalkstein,

Limburg, Hessen, Deustchland

22.August.2018

Cerita Berguru Kepada Mahasiswa di Unikom

Salah satu pengalaman hidup saya yang paling saya banggakan adalah pengalaman mengajar saya. Pada tahun 2015-2016 saya diminta untuk membantu mengajar mata kuliah Geologi Lingkungan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Unikom Bandung. Sebenarnya saya paham saya belum pantas untuk mengajar karena minimnya pengetahuan yang saya punya, juga status pendidikan saya yang hanya sarjana, tapi mungkin inilah kenyataan di Indonesia bahwa kita kekurangan tenaga pendidik.

Sebelum mengajar di Unikom, pengalaman mengajar saya adalah sebagai asisten praktikum di Jurusan Teknik Geologi ITB, yaitu praktikum Petrologi, praktikum Sistem Informasi Geografi (SIG), dan praktikum Geologi Teknik. Selain itu saya juga membantu pengajaran mata kuliah Geologi Lingkungan, yaitu memfasilitasi penyelesaian masalah geologi lingkungan menggunakan SIG. Juga membantu almarhum Pak Budi Brahmantyo mengajar peserta Olimpiade Geografi Nasional untuk mempersiapkan ke Olimpiade Geografi Internasional.

Tapi tentu yang paling berkesan bagi saya adalah mengajar di Unikom, karena di sini saya bertanggung jawab penuh terhadap tata cara pengajaran dari materi, ujian, penilaian, hingga ekskursi.

Saya yang waktu itu masih berumur 24 tahun sudah dipanggil Bapak oleh mahasiswa-mahasiswa yang tidak lebih muda dari adik saya. Rasanya agak canggung, tapi saya merasakan hormat yang besar dari kawan-kawan saya itu. Ya, mereka lebih pantas saya sebut sebagai kawan-kawan saya dibandingkan sebagai mahasiswa saya.

Rasanya juga tak pantas jika saya disebut mengajar kawan-kawan saya itu, karena saya merasa saya belajar lebih banyak dari mereka. Saya belajar untuk mempersiapkan diri, saya belajar untuk berbicara di depan publik, saya belajar untuk menuangkan pikiran saya dengan kalimat yang sederhana. Tapi yang paling utama adalah saya belajar untuk mempraktikkan ilmu yang saya terima dari guru saya, Pak Budi Brahmantyo, yaitu cara menciptakan suasana belajar mengajar yang egaliter tapi tetap saling menghargai.

Saya menikmati setiap kunjungan saya ke Museum Geologi untuk memikirkan cara yang paling mudah mengajari kawan-kawan saya ini mengerti bebatuan dan geologi. Membayangkan tugas yang diberikan, seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas karena saya paham mahasiswa tidak senang mengerjakan tugas.

Saya menikmati menyiapkan presentasi kuliah, mengatur temponya agar sesuai dengan lama waktu perkuliahan. Saya ingat di awal periode perkuliahan saya memakai salindia (slide) milik Pak Budi. Saya ingat Pak Budi menghabiskan lebih dari 2 jam mata pelajaran untuk menyelesaikan salindia tersebut, sementara saya bercuap-cuap dan selesai dalam 30 menit. Saya sadar di sana bahwa saya perlu berlatih dan bersiap-siap. Saya harus tahu betul apa yang mau saya sampaikan dan bagaimana cara saya mengukur ketersampaian apa yang saya sampaikan.

Suatu hari setelah berkisah tentang bencana geologi, seorang mahasiswa saya melaporkan tentang banjir bandang di daerah Cikutra. Ia menuliskan opininya, pandangannya tentang alih fungsi lahan di Bandung Utara yang menyebabkan terjadinya banjir bandang di sana. Saya bangga luar biasa pada dia, bahwa dalam dirinya ada keinginan untuk mencari tahu dan peduli pada sekitar.

Di hari yang lain kawan-kawan saya ini menyusun sebuah acara geowisata kunjungan ke Taman Hutan Raya Djuanda. Ini merupakan ekskursi mandiri mereka setelah ekskursi wajib pertama ke Rajamandala. Saya merasa melihat diri saya sendiri bertahun-tahun lalu ketika masih mahasiswa dan punya energi untuk melakukan banyak hal. Begitu juga teman-teman saya ini, energinya besar untuk berbuat dan menghasilkan karya.

Mengajar di Unikom merupakan salah satu pengalaman terbaik saya. Di sana saya belajar banyak tentang ilmu kehidupan. Benar-benar ilmu kehidupan karena jarang kita punya kesempatan untuk belajar menjadi teman, guru, mentor, teladan. Tak banyak kesempatan kita untuk belajar bersikap, menghargai pendapat, memberi semangat dan motivasi.

Dan untuk itu saya berterima kasih banyak pada kawan-kawan saya,

PWK Unikom 2014

pwk2014

PWK Unikom 2015

pwk2015

Merawat Sejarah Bentang Alam

Suatu hari saya berjalan kaki di tepian Sungai Elbe di Kota Dresden, Jerman. Di awal musim semi ketika udara mulai hangat dan orang-orang bertebaran menikmati matahari yang tak lagi jarang. Sungai Elbe adalah salah satu sungai penting di Eropa Tengah dengan panjang hingga 1000 kilometer. Ia mengalir dari Pegunungan Krkonoše di Republik Ceko hingga bermuara ke Hamburg, di Laut Utara.

Selayaknya kota di mana pun di dunia yang menjadikan sungai sebagai pusat kebudayaannya, di Dresden pun sama, Sungai Elbe adalah denyut nadi utama kota Dresden. Ia menjadi saksi tumbuh kembangnya budaya, naik-turunnya raja-raja, pemerintahan-pemerintahan, dari monarki yang absolut, Republik Demokrasi Jerman Timur, hingga pemerintahan zaman sekarang.

Di tepian Sungai Elbe, saya melihat sebuah instalasi sederhana yang mengagumkan. Instalasi itu hanya sebuah bingkai tembus yang menghadap ke arah Sungai Elbe dengan latar bangunan-bangunan tua kebanggaan Kota Dresden. Melihat ke bingkai itu, ditambah dengan sebuah deskripsi mengenai Kota Dresden di masa lampau dan sebuah lukisan lawas lanskap yang sama tempo dulu, membuat saya seolah kembali ke masa lalu, ke masa 100-200 tahun yang lalu.

Dari seberang Sungai Elbe, kita bisa menangkap bangunan-bangunan tua berderet (dari kiri ke kanan di dalam bingkai:) Frauenkirche, Courthouse Dresden, dan Katolische Hofkirche, serta Jembatan Augustus (Augustusbrucke). Bangunan-bangunan yang masih sama dengan ratusan tahun yang lalu, hanya tanpa mesin-mesin yang dipakai untuk renovasi di masa sekarang.

20180405_152737

20180405_151809
Gambar di bagian bawah bingkai. Terlihat Frauenkirche (sebelah kiri), dan Katolische Hofkirche (kanan). Gambar sekitar abad ke-19.

Saya kira instalasi ini sangat elegan. Sebuah upaya merawat sebuah lanskap agar tak hilang ditelan ketamakan. Saya yakin benar bahwa pemerintah Kota Dresden akan berupaya sekuat tenaga untuk menjaga lanskap ini tetap sama sebagai identitas utama kotanya.

Melihat itu kemudian saya teringat Gedung Sate dan Gedung Balai Kota Bandung yang gagal menjaga lanskapnya. Dari pemahaman saya melalui cerita-cerita yang saya pahami, Gedung Sate dibangun berorientasi Utara-Selatan dan kita disajikan pemandangan Gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang bebas tanpa halangan apa-apa. Oleh karena itu, konon tak boleh ada gedung yang tinggi di depan Gedung Sate sehingga tak menghalangi pemandangan gunung-gunung tersebut.

gedung sate.png
Pemandangan Gedung Sate. Amati gedung putih tinggi yang menghalangi pandangan dari Gedung Sate ke Gunung Burangrang. Gambar dicuplik dari video drone oleh Drone Keliling.

Pun demikian dengan Gedung Balai Kota, kita bisa melihat hotel di belakang Gedung Balai Kota. Menurut hemat saya, (tanpa bermaksud menjelekkan gedung baru) keberadaan hotel ini menghancurkan estetika Gedung Balai Kota sama sekali.

20170420_130844.jpg
Gedung di belakang Balai Kota Bandung, sangat merusak estetika bangunan. Gagal paham.

Bentang alam adalah sebuah monumen yang harus dilestarikan. Ia adalah latar dari kota, bangunan, kejadian-kejadian, atau segala hal-hal yang kemudian mempunyai nilai sebagai identitas. Tanpa bentang alam ini, maka identitas kota, bangunan, kejadian-kejadian pun perlahan sirna, orang sulit mengingatnya.

Pun demikian halnya dengan bentang alam geologi, seperti kisah “Gunung Gamping, Contoh Buruk Eksploitasi Karst” yang ditulis oleh dosen saya, Dr. Budi Brahmantyo, beliau bercerita tentang kegagalan kita menjaga bentang alam Gunung Gamping hingga hanya menyisakan sebuah sketsa lama Junghuhn, dan sebuah bongkah batu kecil sebagai penanda bahwa pernah ada formasi batugamping di sana.

 

Posted by Budi Brahmantyo on Thursday, July 4, 2013

Demikian instalasi bingkai kota Dresden dan Sungai Elbe ini menginspirasi saya tentang cara yang sangat sederhana untuk merawat bentang alam. Mengabadikannya dengan membuat instalasi sederhana, agar orang yang datang mampu merasakan bahwa lanskap yang ada di hadapannya adalah berharga, jangan dihalangi oleh gedung-gedung tinggi, atau jangan dibongkar diratakan dengan tanah demi kepentingan rupiah yang tak seberapa. Buat saya instalasi ini sangat menarik untuk dipraktekkan untuk melawan degradasi hebat di monumen-monumen kota dan alam di Indonesia. Siapa tahu?

 

For the Love of Peat

My article for Global Landscape Forum Youth Ambassador Program 2017

For the Love of Peat

My name is Muhammad Malik Ar Rahiem. I am a geologist. In 2014-2015 I was working as hydrologist at peatland restoration project at Katingan, Central Borneo, Indonesia. Those periods change my life forever. Let me tell you a story about that.

Imagine you are in a barbeque party at the back of your house. Somehow the winds are blowing to you and brings you smoke from the stove. You’re coughing because of the smoke, your eyes are hurt and red and tears running down your face. I believe we all have that kind of experience.

But imagine that kinds of situation in a whole city, whole province, almost whole island are covered in smoke. That’s what life is like for Central Borneo, Indonesia, during the huge forest fire in 2014-2015. I was there during the moment. I saw how degraded and burned peatland has devastating my people. There’s haze everywhere, nowhere to hide, planes could not land nor fly, respiratory diseases increased, people were suffered.

Burned peatland was the main reason the forest fire could be so huge. Peatland that is supposed to be wet and inundated are drained to be converted to (mostly) palm oil plantation. As their content are mostly organic material, they are easily burnt if the moisture is low. During the drought season, as the water level are already drained for agricultural purpose, peatland are prone to fire. People even intentionally burned the land to open new agriculture land. This happen in a massive scale so that huge forest fire occurred, then there goes all the CO2 emission to the atmosphere.

Peatland contains a lot of carbon. We only have 3% of peatland in our land surface but they contain more carbon than the entire forest biomass of the world. Converting our peatland is the fastest way to store up CO2 to the atmosphere

It never come up to me before to work in a peatland. I dont even have any idea what is peatland when I was a bachelor student. But then working on peatland has open my eyes of one major climate change challenge in my country Indonesia.

One third of my country carbon emission is coming from degraded peatland and Indonesia is the 6thlargest carbon emitter in the world. Our government has set Peat Restoration Agency with the mission to re-wet 2 million hectares of degraded peatland until 2020. I want to have contribution to that effort. For that reason, I am now pursuing my master degree in Tropical Hydrogeology and Environmental Engineering at TU Darmstadt Germany. I want to learn and conduct research in peat hydrology and methods on peat restoration. This two aspects are very crucial for the effort of peat restoration in Indonesia.

Half of world population are below 30 years, the damage caused by degraded peatland will be felt in our lifetime. We will have the impact of CO2 level rising, sea water level rising, the melts of glacier, the extinction of corals due to the ocean acidity and lots of species following, more extreme weather, and every disaster that has been told to us. I want to take part in a campaign to support peatland restoration as I believe that peatland restoration is one of major issue regarding climate change, especially in my country.

When I joined GLF Jakarta 2017, I was impressed and inspired by GLF communities because in GLF people share their thought and action. People writes inspirational story about landscape restoration success and inspire another to follow and perform their own landscape action. In GLF, scientific words are rewritten so that people can easily followed the latest update of landscape restoration science. It is brilliant.

Inspired by GLF, I started my own blog and write about what I was doing as my landscape restoration action. I wrote about geology and climate change, as well as geology and peatland (malikarrahiem.wordpress.com). I also made my own video about my climate action that I submitted to COP23 (bit.ly/malik-unfcccc). I love using twitter and facebook and follow the official account of internationally recognized organizations in landscape restoration and climate change because they share a lot of interesting stuff about their effort to save the planet and gives us hope that we can do this, that we can have our planet better.

As our population grows, so the pressure to the planet. Demands of foods are continue to rise, peatland will always be threatened because we see the land as an asset to produce food without seeing its environmental role as carbon pool. This year, scientist has found the biggest tropical peatland in the tropical jungle of Republic Democratic Congo. We have not touched it yet, but there must be someone who is already had idea to convert that pristine area for agricultural purpose. We need to protect all the yet unharmed peatland and we must restore the one that already degraded. That is a must because the degradation of peatland will bring nothing but suffer for our planet.

Thats my story about how peatland has changed my life, and here I am, sitting in my couch applying for the youth ambassador program of GLF to bring the voice of peatland conservation and restoration.

Peatland has been storing Earth’s carbon for thousands of year and we need to protect it to keep our carbon cycle balanced. To end this application, I want to quote James Balog, the actor of Chasing Ice, the one I admire so much for his action documenting the glacier melts.

When my daughters, Simone and Emily, look at me 25 or 30 years from now and say “what were you doing when, when global warming was happening and you guys knew what was coming down the road?” I want to be able to say, “guys, I was doing everything I knew how to do.”

I want to do that to, I want to be able to say, I was doing everything I knew how to do.

Thank you.

Trotoar yang Aksesibel

Ada dua berita yang terbayang-bayang di benak saya seminggu belakangan ini, yang pertama adalah berita mengenai Indonesia sebagai negara urutan buncit dalam berjalan kaki, yang kedua adalah mengenai perisakan (bullying) pada mahasiswa difabel di Universitas Gunadarma.

Hampir semua setuju bahwa penyebab utama orang Indonesia malas berjalan kaki adalah karena fasilitas trotoar yang tidak mumpuni. Tidak semua ruas jalan punya trotoar, trotoar yang ada pun rusak, atau kalau pun nyaman maka invasi pesepeda motor dan pedagang kaki lima menambah alasan kita untuk enggan berjalan kaki. Ditambah dengan kemudahan transportasi angkot, ojek, kendaraan pribadi yang bisa berhenti dimana saja, parkir dimana pun tanpa perlu peduli bahwa di tempat kita parkir ada hak orang lain yang kita zalimi.

Di jalanan Indonesia, pejalan kaki adalah golongan kelas ke sekian, penyandang difabel adalah kelas yang lebih bawah lagi. Keberadaannya dianggap sebelah mata, fasilitasnya tiada. Bagi penyandang difabel, keluar rumah itu seperti menantang petaka. Contoh kasus yang paling nyata adalah para penyandang tuna netra.

Bayangkan anda harus pergi ke tempat kerja tapi anda tidak punya supir pribadi yang bisa mengantarkan anda langsung ke depan pintu ruangan anda. Harus berjalan kaki, naik angkutan umum, dan berjalan kaki lagi. Tapi di trotoar tempat anda berjalan ada lubang besar yang menganga, kabel listrik menjuntai-juntai berbahaya, belum lagi pecahan ubin siap menorehkan luka. Bayangkan itu pada hampir 3 juta orang tuna netra di Indonesia. Perjalanan ke luar rumah itu mengancam nyawa, padahal ada anak istri harus dinafkahi, padahal ada mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya agar taraf hidup bisa diperbaiki. Belum lagi di sekolah dirisak oleh kawan-kawannya yang padahal bersekolah tapi tak berpendidikan.

TUNE MAP
Lubang mengakibatkan jalur aksesibel menjadi jebakan yang menjerumuskan tunanetra

Pemerintah tentu tidak abai, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas dan pelayanan publik. Selain itu begitu banyak juga peraturan-peraturan teknis mengenai jalur aksesibilitas, bangunan yang aksesibel, beserta sanksi-sanksi apabila tidak dijalankan. Namun implementasinya tentu masih jauh panggang dari api.

Di Bandung, sudah banyak trotoar yang dilengkapi dengan jalur aksesibel. Jalur kuning ini seharusnya membantu memandu tuna netra untuk berjalan kaki dengan aman. Namun masih jauh dari ideal. Kesaksian dari kawan-kawan tuna netra menyatakan bahwa jalur itu banyak yang menjerumuskan. Banyak lubang, tiang listrik, pepohonan, dan pot bunga. Perilaku warga kota yang belum menyadari fasilitas tuna netra ini juga menambah parah kondisi. Pedagang kaki lima, parkir kendaraan, dan juga invasi pesepeda motor bahkan mobil di trotoar.

20170530_135536
Parkir mobil menghalangi dan merusak jalur aksesibilitas tunanetra

Ketiadaan fasilitas trotoar yang aman mengakibatkan ketakutan bagi tuna netra untuk beraktivitas. Menurut data dari Kemendikbud pada pertengahan tahun 2000an angka partisipasi anak-anak tunanetra untuk bersekolah hanya 10 persen, 90 persen lainnya tinggal di rumah. Penyediaan fasilitas untuk tunanetra, salah satunya aksesibilitas yang aman bukanlah dalam rangka berbelas kasihan, tapi dalam rangka menjadikan tunanetra sebagai subjek pembangunan.

Buat kita mungkin fasilitas trotoar yang tidak nyaman hanya mengakibatkan kita malas berjalan kaki. Namun bagi tunanetra, ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka tidak bisa bersekolah dan tanpa pendidikan yang baik, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka kesulitan untuk bekerja dan mengembangkan potensinya. Kurangnya pemahaman warga tentang fasilitas tunanetra juga memperburuk keadaan. Masih begitu banyak yang tidak tahu fungsi jalur aksesibilitas di trotoar, dengan begitu maka tanpa perasaan bersalah jalur aksesibilitas ditutupi oleh gerobak dagangan, oleh parkiran kendaraan, oleh pot, tiang, dan segalanya yang mengakibatkan jalur itu menjadi membahayakan.

Penyediaan trotoar yang nyaman dan askesibel adalah hak asasi dari kelompok difabel, terutama tunanetra. Ia harus terjamin keselamatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel bagi kelompok difabel tentu akan nyaman juga bagi kelompok yang lainnya. Maka memperjuangkan hak trotoar yang nyaman dan aksesibel adalah memperjuangkan hak semuanya.