Memahami Urban Heat Island di Bandung Menggunakan Google Earth Engine

Hari Rabu nanti, 17 Juli 2019, kakak saya, Muhamad Riza Fakhlevi, akan mempresentasikan makalah kami yang berjudul “Analisis Fenomena Pulau Panas Perkotaan di Kota Bandung Menggunakan Google Earth Engine”. Makalah ini kami daftarkan ke Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2019 (Sinasinderaja), yang akan diselenggarakan di Margo Hotel, Depok.

Saya pernah membahas mengenai apa yang kami tuliskan dalam makalah ini dalam tulisan Bandung Hareudang. Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan tersebut, juga merupakan rangkuman dari apa yang akan kami presentasikan nanti di Depok.

Kenapa Harus Riset Urban Heat Island (UHI)?
UHI ini isu penting perkotaan. Menurut Bank Dunia 52% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Tahun 2025, diperkirakan persentasenya akan meningkat hingga 68%. Kota sebagaimana yang kita tahu, suhunya lebih panas karena ketiadaan pepohonan. Selain itu dengan ancaman perubahan iklim, kota semakin terancam tidak mampu menanggulangi panas ekstrim, yang di beberapa tempat terbukti mematikan.

Di Eropa misal, pada tahun 2003 terjadi gelombang panas mematikan yang menewaskan hingga 70 ribu orang! (Jean Marie Robin dkk, 2008)

Oleh karena itu, penting bagi setiap kota untuk memahami karakteristik daerahnya. Penting untuk setiap kota memahami variasi spasial dan temporal suhu di daerahnya, sehingga bisa mengantisipasi segala macam kemungkinan.

Urban Heat Island di Bandung
Penelitian UHI di Bandung sudah sangat banyak. Misal penelitian dari Tursilowati (2005) yang menyatakan bahwa perubahan suhu di Bandung terjadi akibat perubahan peruntukan lahan. Penelitian lain misal dari Paramita dan Fukuda (2014) yang menyatakan bahwa terjadi perubahan panas yang signifikan di daerah urban di Bandung. Penelitian lain misal adalah makalah tesis dari Inu Kusuma Wardana dari ITC, Twente (2015) yang menggunakan data satelit untuk membandingkan suhu dan tutupan lahan di Kota Bandung sejak tahun 1994 hingga tahun 2014. Widya Ningrum dan Narulita (2018) menyatakan bahwa suhu rata-rata Kota Bandung meningkat sebesar 1,3 derajat Celcius antara tahun 2005-2016.

Dari sekian banyak penelitian ini, lantas apa yang berbeda dari makalah kami?

Kami mencoba cara baru mengolah data citra satelit. Biasanya untuk meneliti suhu permukaan, orang membandingkan citra satelit dari tahun-tahun tertentu. Misal satu gambar dari 2005, satu gambar dari 2010, kemudian satu gambar dari 2015, lalu dibuat perubahannya, kecenderungannya, dan lain sebagainya. Orang harus mengunduh citra satelit, kemudian menggunakan piranti lunak pengolah data citra satelit, seperti ArcGIS, Erdas, SNAP, QGIS, dll.

Cara ini tentu valid dan sudah mapan. Sudah sangat banyak penelitian suhu permukaan dilakukan dengan cara ini. Tapi cara ini punya kelemahan, yaitu tidak bisa menganalisis data yang sangat banyak, karena keterbatasan kemampuan komputer memproses data.

Apalagi di zaman sekarang, ketika data citra satelit semakin tinggi resolusi spasial dan resolusi temporalnya. Di zaman sekarang, di era Big Data yang semua serba cepat dan serba internet. Cara yang saya sebut di atas semakin tertinggal sehingga kita harus pindah ke cara baru, yaitu dengan memanfaatkan komputasi awan.

Apa itu komputasi awan?

Komputasi awan adalah sebuah teknik menggunakan jaringan internet untuk menyimpan, mengatur, dan memproses data, alih-alih menggunakan jaringan lokal atau komputer pribadi kita.

Di bidang inderaja, ada Google Earth Engine (GEE) yang memberikan layanan gratis pemanfaatan komputasi awan untuk mengolah data citra satelit. Komputasi awan ini sangat powerful. Komputer super google mampu mengolah data ratusan bahkan ribuan gigabyte dengan cepat. Kita hanya tinggal menulis naskah pemrograman yang berisikan perintah-perintah yang ingin dikerjakan, lalu komputer GEE akan melakukannya dan kita akan diberikan hasilnya.

Dengan menggunakan komputasi awan GEE, kami bisa menganalisis 125 citra satelit Landsat 8 di daerah Cekungan Bandung dari tahun 2013 hingga sekarang. Semuanya dilakukan dengan GEE.

Data dan Metodologi
Hebatnya GEE adalah berbasis kode. Para pengembang GEE atau mereka yang sudah mempublikasikan makalahnya tentang GEE, biasanya membagikan kode mereka. Karena kode ini dibagikan, orang bisa melihat dan mempelajari kode ini.

Kami mengadaptasi kode yang dikembangkan seorang peneliti dari Amerika bernama Anthony Cak. Ia melakukan penelitian Land Surface Temperature di Amazon. Kodenya ia bagikan di githubnya. Saya mengirim surel kepada Pak Cak ini untuk meminta izin menggunakan dan memodifikasi kodenya. Beliau mengizinkan.

Kode dari Cak, kami modifikasi dan kode ini bisa diakses pada tautan berikut. Di dalam kode ini terdapat banyak fungsi, misal fungsi menentukan area penelitian, fungsi menghitung nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), fungsi memilih jenis satelit, interval penelitian, filter awan, dll. Kode ini juga kami terjemahkan sebisa mungkin agar bisa dipahami oleh semua orang. Data-data dan kode kami simpan di dalam repositori yang bisa diakses semua orang di tautan berikut: https://github.com/malikarrahiem/urbanheatislandbandung.git

Hasil dan Diskusi
Tak banyak hal baru yang kami temukan dalam penelitian ini. Hampir semua hasil merupakan hal yang lumrah dipahami semua orang. Suhu di Bandung lebih panas daripada daerah di sekitarnya. Suhu di kota lebih panas daripada suhu di hutan kota, dan suhu di hutan kota lebih panas daripada suhu di hutan.

peta persebaran suhu permukaan tanah Kota Bandung tahun 2013-2018

Hal baru yang kami tunjukan adalah bahwa hal ini bisa diperoleh dengan waktu waktu singkat saja. Sekali klik Ctrl+Enter menggunakan Google Earth Engine. Hebatnya lagi data ini dapat dengan mudah dimodifikasi dan jika Anda berminat, Anda bisa praktikkan di mana saja di seluruh dunia.

Prasyaratnya tentu adalah kemampuan memahami cara bahasa pemrograman Java bekerja. Tapi sebenarnya itu juga bukan hal yang sulit karena sudah begitu banyak tutorial dan panduan tersedia.

Dengan menggunakan GEE, kami bisa memangkas waktu sangat banyak, tanpa perlu komputer yang hebat atau kapasitas harddisk yang besar. Kami tidak perlu mengunduh apa pun. Kami hanya perlu akses internet agar bisa mengakses Google Earth Engine dan voilaa, skrip kami berjalan seperti sihir.

Hal lain yang kami temukan adalah bagaimana pentingnya replikabilitas dari suatu penelitian ilmiah. Kami belajar dan mengulik bagaimana naskah Java Anthony Cak bekerja, bagaimana teori yang melandasinya, dan kami bisa membuat makalah ini dengan begitu mudahnya. Dan Anda pun pasti bisa. Kami sadar pentingnya keterbukaan data dan pentingnya memberi kemudahan orang mengakses dan mereplikasi penelitian kita. Ini mempercepat perkembangan sains dan akan memberi keuntungan bagi semua orang.

Big Data Remote Sensing dan Sustainable Development Goal
Melalui penelitian ini, kami ingin menunjukkan bahwa komputasi awan bisa merevolusi teknik pengolahan data citra satelit. Kita tidak lagi terbelenggu oleh kapasitas komputer. Kita bisa mengolah data yang begitu besar, asal kita tahu data kita mau diapakan dan kita mampu menerjemahkan keinginan kita itu ke dalam bahasa yang dimengerti oleh GEE, yaitu bahasa pemrograman Java.

Kita bisa membuat satu naskah yang sama, tapi misal untuk seluruh Indonesia. Kita bisa membuatnya untuk menganalisis data dengan interval panjang bertahun-tahun. Batasan kita hanyalah imajinasi. Ketika kita mampu berimajinasi cara mengolah data, maka kita bisa melakukannya. Kita hanya perlu berkreasi dan berinovasi.

Dalam dunia yang penuh tantangan dan kewajiban kita untuk mewujudkan Tujuan Pembangungan Berkelanjutan 2030, kita harus memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Kita harus memanfaatkan big data inderaja yang luar biasa besar. Tapi kita begitu terbatas dalam memanfaatkan big data jika kita masih menggunakan cara-cara lama yang konvensional.

Kita perlu cara-cara baru. Kita perlu teknik-teknik mutakhir, dan makalah kami ini bertujuan untuk menunjukkan itu.

Semoga bermanfaat.

Salam

Silakan mampir di repositori makalah ini di:

https://github.com/malikarrahiem/urbanheatislandbandung.git

Apakah Tuna Netra Bisa Jadi Geolog?

Beberapa bulan lalu ada perdebatan seru di Twitter, tentang apakah seorang buta warna bisa berkuliah di jurusan geologi di Indonesia. Di kampus saya dulu, Insitut Teknologi Bandung, memang ada aturan ini. Bahwa salah satu pra-syarat masuk jurusan geologi adalah mampu menunjukkan surat bebas buta warna. Entah apakah sekarang masih ada atau tidak.

Sebelumnya saya tidak pernah benar-benar memikirkan hal ini, tapi saya kemudian sadar bahwa ini adalah aturan diskriminatif yang harus dihapuskan. Geologi adalah ilmu yang harus bisa dipelajari oleh siapa saja. Lebih umum lagi, pendidikan harus bisa diakses siapa pun, terlepas dari kondisi fisiknya. Jadi siapa saja bisa belajar apa saja yang dikehendakinya.

Apa hak kampus untuk melarang seorang buta warna belajar geologi? Apakah seorang buta warna tidak bisa menjadi geolog? Jika buta warna saja tidak bisa, apalagi tuna netra. Lalu muncul pertanyaan lain, apakah seorang tuna netra tidak bisa menjadi geolog?

Tuna netra jadi geolog? Jawabannya bisa!

Ini adalah cerita yang menjungkirbalikkan semua asumsi-asumsi keliru, yang membuktikan bahwa ketika kesempatannya ada, semua orang bisa, mampu, dan bahkan menjadi yang terbaik. Bahkan seorang tuna netra bisa menjadi nomor satu di dunia dalam bidangnya.

Ini cerita tentang Dr. Geerat Vermeij, seorang ahli moluska, profesor di bidang Paleobiologi di Universitas California Davis (UC Davis), Amerika Serikat. Ia bukanlah seorang buta warna. Ia adalah seorang tuna netra. Ia kehilangan pandangan sejak umurnya 3 tahun.

Profesor Vermeij membuktikan bahwa ketidakmampuan untuk melihat bukanlah hambatan untuk berkarya. Dalam puluhan tahun karirnya ia mempublikasikan lebih dari 200 publikasi, termasuk 5 buku. Publikasinya tersebar di jurnal ternama, Paleobiology, Science, American Naturalist, dll.

Contoh publikasi Vermeij

Buku terbarunya, Nature an Economic History, membahas mengenai ekonomi dan evolusi. Ia membandingkan antara prinsip dasar evolusi dengan prinsip dasar ekonomi, kemudian mengorelasikannya dengan tren sejarah kehidupan dan sejarah kemanusiaan.

Profesor Vermeij adalah seorang tuna netra. Tapi itu tak mencegah ia menjadi yang terbaik di bidangnya. Tahun 2001, ia dianugerahi Medali Daniel Giraud Elliot. Penghargaan ini diberikan oleh U.S. National Academy of Sciences bagi mereka yang memberikan dampak besar di bidang zoologi atau paleontologi.

Pada tahun 2017, ia dianugerahi Fellow Medalist dari Fellows of the California Academy of Sciences. Ini adalah penghargaan tertinggi di California untuk ilmuwan yang memberikan kontribusi ilmiah di bidang ilmu alam.

Kedua penghargaan prestisius ini tentu tidak diberikan karena Dr. Vermeij adalah seorang tuna netra. Kedua penghargaan ini diberikan karena karya-karya Vermeij memang eksepsional dan memberikan dampak yang luar biasa.

Tidak mudah tapi mungkin
Perjalanan Profesor Vermeij hingga di posisinya sekarang itu sama sekali tidak mudah. Tapi ia membuktikan bahwa ia bisa. Sejak kecil ia dibimbing oleh orang tuanya untuk menyukai ilmu pengetahuan. Pada umur 10 tahun, mereka pindah ke Amerika Serikat, dan Vermeij mulai tertarik pada kerang-kerangan. Ia mulai mengoleksi kerang. Orang tua dan saudara-saudaranya sangat senang dan antusias dengan kegemarannya. Mereka membacakan, mentranskrip, dan mendiktekan setiap buku ilmu pengetahuan yang mereka bisa dapat.

Sejak kecil, ia selalu mendapat dukungan yang ia perlukan. Semua guru-gurunya menerima dengan hangat dan mendengarkan dengan antusias ketika Vermeij muda menceritakan keinginannya untuk menjadi ahli kerang atau biologi. Bidang yang sama sekali visual. Tak pernah sekalipun mereka menyatakan bahwa bidang yang ingin ia geluti ini tidak cocok dengan kondisinya. Mungkin dalam hatinya mereka berpikir bahwa tuna netra janganlah belajar biologi karena itu akan merepotkan, tapi tak pernah sekalipun pikiran-pikiran itu mereka sampaikan.

Vermeij muda kemudian diterima masuk Universitas Princeton di jurusan Biologi dan Geologi. Profesor-profesornya di sana memberikan dukungan penuh.

Selepas dari Princeton, tahun 1971 Vermeij melanjutkan studi doktoral di Yale. Ketika ia diwawancara oleh kepala departemen, ia dites. Ia diberikan dua buah cangkang dan ditanya apakah ia mengenali cangkang itu. Vermeij muda hanya tersenyum, karena dua cangkang itu sangat dikenalinya.

Kepala departemen sangat puas dengan kecerdasan Vermeij dan kemudian memberikan dukungan penuhnya. Vermeij mendapatkan beasiswa penuh dan juga diberikan dana untuk riset doktoralnya. Posisi terakhirnya adalah profesor paleontologi di UC Davis, kampus ternama di Negara bagian California, Amerika Serikat.

Yang dilakukan Vermeij sama dengan yang dilakukan geolog-geolog lainnya. Ia pergi ke lapangan. Ia mengumpulkan sampel. Ia menganalisis sampel yang dikumpulkannya di laboratorium. Ia pergi ke museum, ke perpustakaan. Ia meneliti sampel yang ada. Ia mempelajari literatur yang tersedia.

Kegiatan lapangannya pun sama seperti geolog-geolog lainnya. Ia meneliti terumbu karang. Ia berbasah-basahan di rawa mangrove, di rawa berlumpur, di pantai, di gurun, hutan hujan, di kapal, di stasiun pengamatan, dan banyak tempat lainnya.

Apakah kebutaan menjadi halangan? Tidak. Sama sekali tidak.

Vermeij mendapat bantuan ketika ia bekerja. Ada orang yang memandunya. Tapi apakah ini kemewahannya sebagai seorang peneliti yang tuna netra? Tidak juga. Penulis sendiri ketika dulu bekerja selalu ditemani oleh asisten. Franz Junghuhn di tahun 1830an ketika meneliti di Indonesia, konon ditemani lebih dari 20 asisten.

Bagi Vermeij, kebutaan bukanlah hal yang menghalangi ia untuk bekerja sama seperti peneliti lainnya. Bahkan menurut dia, tak ada hal dalam pekerjaannya yang membuat seorang tuna netra lain tak bisa melakukan apa yang dia lakukan. Ketika di lapangan, ia pernah disengat lebah, dicapit kepiting, terpeleset di batu, terkena batu tajam, dan banyak hal lainnya. Baginya, baik tuna netra, maupun mereka yang bisa melihat mempunyai risiko yang sama saja.

Pesan Vermeij
Pengalaman Vermeij bertahun-tahun sebagai ahli kerang bisa menjadi contoh bagi kita semua bahwa ketika kesempatannya ada, maka tuna netra bisa menjadi yang terbaik di bidangnya. Bahkan lebih baik dari mereka yang bisa melihat. Bahkan di bidang yang sangat visual seperti biologi, dan juga geologi.

Menurut Vermeij, pendidikan umum selama ini harus direformasi. Terlalu lama pendidikan memperlakukan tuna netra dengan tidak adil. Selama ini tuna netra selalu diarahkan menuju ilmu sosial atau jurusan-jurusan yang “aman”, jauh dari laboratorium atau jurusan yang berkegiatan di lapangan. Ini tidak adil, katanya. Kunci dari semua ini adalah kesetaraan, dan kunci kesetaraan adalah kesempatan dan respek. Selama kesempatannya tidak sama, maka tidak akan pernah ada kesetaraan.

Lantas bagaimana?
Bagi saya, yang utama adalah mendukung kesetaraan. Setiap orang harus dapat kesempatan yang sama. Sekarang bagaimana bisa semua orang dapat kesempatan yang sama jika aturan dasar masuk sekolah saja sudah sangat diskriminatif?

Maka ayolah kita sudahi perdebatan-perdebatan tidak perlu perihal penerimaan mahasiswa jurusan geologi atau jurusan lain harus begini begitu, yang aturannya malah diskriminatif dan memberatkan orang lain. Cukuplah persyaratan akademik yang menjadi batas.

Kampus janganlah mendiskriminasi orang dari kondisi fisiknya. Beri kesempatan untuk semua orang. Siapa yang tahu kalau jenius paleontologi moluska itu seorang tuna netra? Apakah ini mungkin terjadi jika dulu Princeton dan Yale menolak mahasiswa tuna netra di kampusnya?

Menurut Yayasan Mitra Netra, ada sekitar 3,5 juta orang tuna netra di Indonesia. Ini termasuk mereka yang parsial dan total. Sudah berapa banyak orang kita rebut haknya untuk belajar dengan aturan-aturan yang membelenggu itu? Bagaimana jika ada orang-orang jenius seperti Vermeij yang kita lupakan. Betapa meruginya dunia sains Indonesia.

Ketika masuk hal teknis, misal seorang tuna netra terdaftar di jurusan geologi yang banyak kegiatan lapangan. Mungkin kampus dapat meminta mahasiswa untuk menyanggupi menyediakan pemandu yang bisa mendampingi. Jangan mahasiswa ditolak ketika ia punya keinginan kuat dan kemampuan untuk mewujudkan keinginannya. Atau kita tidak akan pernah punya Vermeij-Vermeij lain di Indonesia. Yang bisa mewakili kaumnya, yang bisa menjadi inspirasi kelompoknya. Yang bisa menjadi bukti bahwa kesempatan bisa mewujudkan kesetaraan. Yang bisa menjadi bukti bahwa setiap orang, tak peduli kondisi fisiknya, bisa menjadi yang terbaik di bidang apapun.

Sumber:
https://nfb.org/images/nfb/publications/books/kernel1/kern0610.htm

Tuna netra hebat lainnya: Rumphius.

Image result for rumphius
Rumphius, salah satu botanist ternama yang meneliti Indonesia di tahun 1600an. Karyanya Herbarium Amboinense, adalah katalog tanaman di Maluku. Rumphius menulis bukunya dalam keadaan buta.

Tutorial Membuat GIF Citra Satelit dengan Sentinel-Hub

Adakah yang tertarik bikin GIF kaya gini? Silakan baca lanjutan tulisan saya ini. Saya mau berbagi cara bikin GIF citra satelit.

Perkembangan pengolahan data citra satelit itu luar biasa cepat. Sekarang di zaman 4.0 di mana semua terkoneksi jaringan internet cepat, sudah gak zaman lagi mengolah di komputer sendiri. Data citra satelit yang luar biasa gede itu harus diolah di server dengan teknologi komputasi awan.

Di bidang inilah Amerika dan Eropa bersaing ketat. Google Earth Engine, milik Google sudah lama berjaya. Perusahaan ini mengumpulkan data citra satelit dan menyediakan komputer super mereka untuk algoritma pemrograman yang dibuat oleh pengguna.

Eropa tak mau kalah. ESA dengan Copernicusnya meluncurkan Sentinel-Hub, suatu layanan mengolah data citra satelit, terutama misi Sentinel agar bisa digunakan semua orang. Yang sekarang akan saya sedikit jelaskan bagaimana kita bisa pakai Sentinel-Hub ini untuk hal yang sederhana: membuat GIF.

Pertama buka laman Sentinel Hub https://apps.sentinel-hub.com/eo-browser/

Kurang lebih hasilnnya begini

Silakan mendaftar. Tenang jangan khawatir ini gratis.

Setelah daftar langsung masuk. Login.

Gambarnya sama tapi di bagian kiri atas akan ada nama kita sebagai pengguna.

Langsung tekan huruf i di pojok kanan atas untuk tahu fitur-fitur apa saja yang tersedia dalam layanan ini.

Di panel sebelah kiri kita bisa lihat jenis-jenis data apa yang bisa kita yang bisa kita pakai. Ada Sentinel-1 yang menyediakan data tanpa terpengaruh cuaca dan waktu. Bisa siang dan malam. Ada Sentinel 2 yang menyedikan gambar bumi beresolusi tinggi (satelit ini seperti memotret bumi dari kejauhan). Jenis satelit ini optikal, jadi sangat terpengaruh oleh awan dan cahaya.

Kemudian ada Sentinel-3 yang mirip Sentinel-2 tapi resolusi spasialnya lebih rendah, tapi waktu kunjungan ulangnya lebih rapat daripada Sentinel 2. Setiap 2 hari terdapat data Sentinel 3 yang baru.

Ada juga Sentinel 5P yang menyediakan data pengukuran atmosfir, iklim, ozon, radiasi UV, SO2, NO2, dll. Selain itu ada satelit lain seperti Landsat, Envisat, MODIS, Proba-V, dan GIBS yang gak akan saya bahas.

Di tutorial ini kita akan coba main dengan data Sentinel-2, tepatnya data Sentinel-2 L1C, silakan google sendiri bedanya apa. Kurang lebih Sentinel-2 L2A itu sudah dikoreksi, kalau Sentinel-2 L1C itu belum dikoreksi. Ketersediaannya lebih banyak sentinel-2 L1C, makanya kita akan pakai yang itu. Data Sentinel-2 ini tersedia sejak Juni 2015.

Kita akan bikin GIF letusan Gunung Krakatau seperti yang saya tampilkan di atas.

Di panel sebelah kanan, pilih gambar Mark Point of Interest, bentuknya mirip tanda seru yang ada bolong di tengahnya. Tandai satu titik di mana saja di sekitar Gunung Krakatau.

Selanjutnya centang hanya Sentinel-2 dan centang L1C. Lalu ganti cloud coverage ke misal 30%. Atur juga tanggal pencarian misal ke Juni 2015.

Klik search yang berwarna kuning di bawah. Hasilnya kurang lebih seperti ini:

Hasilnya kurang lebih seperti ini

Pilih gambar yang mana saja. Tapi usahakan yang cakupan awannya paling rendah. Saya pilih yang paling atas. Tertanggal 2019-06-27, cakupan awan 0.65%.

Hasilnya kurang lebih seperti ini

Silakan bermain visualisasi dengan memanfaatkan pilihan-pilihan yang sudah ada. Kita bisa ganti-ganti juga datasetnya ke L2A yang sudah dikoreksi atau L1C. Silakan coba-coba.

visualisasi True Color untuk menunjukkan bagaimana citra terlihat dengan mata normal
Visualisasi false color untuk menunjukkan fitur-fitur yang ingin dilihat. Misal kita ingin membedakan daerah berpohon dengan daerah tidak berpohon

Jika Anda senang dengan gambar yang Anda punya, bisa langsung disimpan dengan mengeklik di panel sebelah kanan kedua dari bawah. Judulnya download image.

Ada tiga pilihan, basic, analytical, atau high-res print. Saya biasa pilih analytical. Lalu pilih image format JPG kalau cuma untuk gambar biasa. Atau pilih TIFF untuk gambar bergeoreferensi. Pilih juga resolusi gambar, misal High Resolution.

Silakan unduh gambar yang Anda kehendaki.

Untuk membuat GIF, tekan tombol yang ada di bawah download image. Judulnya Create Timelapse Animation.

Pilih jangka waktu yang dikehendaki, dan limit cakupan awan. Misal Tsunami Krakatau terjadi sebelum tahun baru 2019, maka pilih gambar dari awal bulan November (konon sejak November pun Krakatau sudah batuk-batuk), dan pilih hingga akhir bulan Januari (2018-11-01 sampai 2019-01-31) dengan cakupan awan misal 100% (tidak disaring). Klik gambar kaca pembesar (search).

Cek bagian bawah yang ada tulisan Speed frames/s. Perhatikan ada 1/37 yang berarti ada 37 gambar tersedia. Kita bisa atur berapa gambar yang ditampilkan dalam gif setiap detiknya. Misal 2 frames/second. Play!

Di kumpulan gambar kita masih ada gambar-gambar yang seperti ini. Gambar-gambar yang tidak kita kehendaki karena tertutup awan harus kita saring. Caranya mudah. Di panel sebelah kiri, cukup matikan centang. Kemudian gambar tidak akan ditampilkan dalam GIF.

Saya hanya pakai 9 gambar dari 37 gambar yang tersedia. Hasilnya kemudian saya unduh dan saya tampilkan sebagai berikut

Perhatikan tanggal 29 Desember 2018, Gunung Krakatau mulai berubah morfologinya. Setelah tahun baru, kita bisa amati danau kawah baru yang terbentuk dengan warna kecoklatan di pantainya. Konon ini karena oksidasi material gunungapi yang baru terpapar atmosfer.

Demikian tutorial singkat menggunakan Sentinel-Hub dari saya. Semoga teman-teman yang membaca bisa mengaplikasikan dan bersedia berbagi apa yang teman-teman kerjakan.

Salam

Banjir Konawe Utara dari Sentinel-1

Satelit adalah mata dunia. Dengan satelit kita semakin memahami bumi. Lebih jauh daripada yang kita bayangkan dulu, ketika kita masih meraba bumi dari darat, sebelum kita mengenal satelit.

Ada banyak jenis satelit. Ada satelit telekomunikasi, ada satelit navigasi, ada juga satelit penginderaan jauh. Yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai mata dunia. Ia mengindera bumi dari kejauhan. Dalam bahasa inggris, dikenal sebagai Remote Sensing. Istilah ini sudah lama dibahasaindonesiakan sebagai inderaja, .

Satelit-satelit inderaja ini bekerja dengan memanfaatkan hukum-hukum fisika. Ada yang merespon refleksi cahaya matahari, baik gelombang yang tampak, maupun gelombang tak tampak. Ada juga satelit yang menembakkan gelombang ke Bumi. Pantulannya kemudian diukur, responnya diteliti. Lalu kita menginterpretasi apa yang terjadi.

Banyak negara mengirim misi satelit inderaja ke langit. Merekam informasi dari kejauhan. Ada banyak tujuan mengirim satelit inderaja; militer, sains, bisnis, dll. Indonesia dengan LAPAN-nya pun tak mau kalah. Kita punya beberapa satelit inderaja di langit sana. Dari laman Pusat Teknologi Satelit, kita tahu bahwa LAPAN punya setidaknya 3 satelit; Satelit LAPAN Tubsat, LAPAN A2, dan LAPAN A3.

Di tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang satelit LAPAN. Karena saya belum pernah coba pakai data dari satelit LAPAN. Meskipun besar keinginan saya untuk kelak mencoba memanfaatkan data dari satelit anak bangsa, tapi untuk sekarang akses ke data satelit LAPAN belum cukup nyaman bagi saya.

Saya ingin bercerita tentang satelit Sentinel-1. Satelit kebanggaan European Space Agency (ESA), LAPAN-nya Uni Eropa.

Satelit Sentinel 1 memiliki dua satelit yang mengorbit di langit, yaitu Sentinel 1A dan Sentinel 1B. Keduanya membawa instrumen C-Band Synthetic-aperture radar yang memungkinkan instrumen ini merekam data siang dan malam, di segala cuaca. Jadi kelebihan satelit ini, tidak terpengaruh awan. Tidak seperti satelit Landsat atau satelit Sentinel 2, yang sifatnya optikal.

Gampangnya satelit ini penting sekali, karena datanya tidak terganggu awan. Jadi setiap dia merekam data, maka jadilah datanya bisa digunakan. Tidak perlu menyaring cakupan awan. Salah satu hal paling menyebalkan dari satelit optik seperti Landsat atau Sentinel-2.

Aplikasi dari Sentinel-1 banyak banget. Dia bisa dipakai untuk aplikasi kemaritiman, misal; memonitor tinggi air laut dan kondisi es, kebocoran minyak di laut, aktivitas kapal. Satelit ini juga biasa dipakai untuk memonitor perubahan lahan di daratan, yang sangat bermanfaat, terutama bagi bidang pertanian dan kehutanan.

Tapi, terutama yang paling saya suka adalah kemampuan satelit ini untuk merespon kondisi darurat bencana, misal banjir, longsor, gunung api, gempa, dll. Satelit ini bisa mengukur perbedaan elevasi akibat bencana. Misal penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah berlebih, perubahan topografi pasca gempa, longsor, letusan gunung api.

Dan banjir. Seperti di Konawe yang lagi rame belakangan ini. (Lokasi Konawe di peta Google Maps berikut)

Image result for banjir konawe
Banjir Konawe Utara
Kawasan terdampak banjir. Citra Sentinel-1 tanggal 9 Juni 2019. Toponimi dari Badan Informasi Geospasial.

Kabupaten Konawe Utara, di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah beberapa minggu ini menjadi tajuk utama di media masa akibat banjir besar yang menghantam wilayah ini. Menurut BNPB, total 5847 kepala keluarga atau sekitar 22.573 jiwa terdampak banjir di sini. Dilaporkan 4688 unit rumah rusak, 32 unit taman kanak-kanak, 49 unit sekolah dasar, dan 14 sekolah menengah pertama terendam banjir yang terjadi sejak sebelum lebaran dan masih menggenang hingga sekarang.

Belum sawah, lahan pertanian, dan kerugian lainnya menimpa saudara-saudara kita di sana. Semoga Allah melindungi mereka semua dan mengganti segala kerugian dengan kebaikan yang melimpah kelak.

Dari gif berikut kita bisa lihat seluas apa banjir yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara. Gif ini dibuat dari citra Sentinel-1 yang diakses menggunakan Sentinel-Hub. Secara total terdapat 5 gambar tertanggal 28 Mei 2019, 2 Juni 2019, 9 Juni 2019, 14 Juni 2019, 21 Juni 2019, atau dengan interval 5-7 hari.

Gif banjir Konawe Utara di daerah Desa Tapuwatu

Di gambar-gambar di atas kita bisa bedakan air dengan daratan. Ini karena air dan daratan memberikan respon yang berbeda terhadap gelombang radar yang dipancarkan satelit. Secara naluriah pun kita bisa bedakan. Air pasti yang warnanya gelap, karena ada sungai. Daratan warnanya abu terang bertekstur kasar. Dari membedakan ini saja kita sudah bisa membayangkan sejauh mana pelamparan banjir terjadi.

Di pojok kiri bawah terdapat garis skala agar terbayang luasnya. Sungai yang ada di peta ini adalah Sungai Lasolo yang bermuara menuju Pulau Bahabulu di bagian timur kaki Sulawesi.

Kita juga bisa dengan mudah menghitung luas banjir. Kita bisa konversi jumlah piksel berwarna hitam sebelum banjir (misal tanggal 28 Mei 2019), kemudian konversi jumlah piksel setelah banjir terjadi. Kemudian kita hitung perbedaannya. Jika satu piksel itu resolusinya 10 meter atau 100 meter persegi, maka jumlah piksel hitam dikali 100 meter persegi adalah luas banjir, Dengan piranti Sistem Informasi Geografi ini mudah saja untuk dilakukan.

Semoga nanti ada waktu untuk melakukannya.

Akibat dari banjir ini, Desa Tapuwatu, yang terletak di tepian Sungai Lasolo, menghilang. Tanggal 9 Juni, Sungai Lasolo meluap hingga ke atap rumah warga. Ketika banjir agak mereda, desa sudah tiada. Banjir tidak meninggalkan sisa.

Bangunan habis semua. Warga mengungsi. Entah sampai kapan mereka bertahan, karena mereka tak lagi punya rumah untuk kembali.

Kemudian gif kedua adalah kondisi di Sungai Lalindu, yang merupakan anak Sungai Lasolo. Letaknya ke arah utara dari Sungai Lasolo. Daerah ini tak kurang parah dihantam banjir yang sama. Perhatikan gambar! Pada puncak banjir, hampir seluruh lembah Sungai Lalindu ini penuh terisi air yang meruah. Meski sekarang sudah cukup mereda.

Gif banjir Sungai Lalindu

Lalu semakin ke utara dari Sungai Lalindu. Ke daerah Wiwirano, di sepanjang Jalan Poros Lamonae-Landawe yang merupakan jalur Trans-Sulawesi tampak banjir merajalela. Memutus jalan poros yang menjadi nadi logistik, membuat tentara harus mengirim bantuan dari udara.

Gif di Wiwirano

Banjir Konawe ini memang dahsyat. Menghantam kita begitu telak di masa lebaran ketika orang-orang harusnya bergembira. Desa-desa harus direlokasi. Tak kurang tiga desa harus berpindah tempat; Desa Tapuwatu, Wanggudu Raya, dan Walalindu. Semua di bantaran Sungai Lasolo.

Respon LAPAN dan BPPT
Meski kemampuan kita untuk memitigasi bencana masih banyak kurangnya di sana-sini, tapi institusi riset kita harus diberi acungan jempol atas kesigapannya merespon kejadian ini. Pada tanggal 10 Juni, 4 hari pasca banjir terjadi, LAPAN menginformasikan estimasi bangunan terdampak banjir dengan memanfaatkan citra Sentinel-1. BPPT juga melaporkan hasil pengamatannya melalui akun instagram PTPSW (Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah).

http://pusfatja.lapan.go.id/simba/qr/BANJIR/2019/06_Juni/Bangunan_Terdampak_Banjir_10_Juni_2019_Konawe_Sulawesi_Tenggara/Konawe_Bangunan_Terdampak_A.pdf

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN (Pusfatja) melaporkan 12 peta yang meliputi semua area terdampak banjir di daerah ini. Peta ini kemudian dimanfaatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mengestimasi jumlah korban, merencanakan aksi tanggap bencana, dan banyak hal penting lainnya yang harus sigap dilaksanakan pasca bencana terjadi.

Yang mana harus kita apresiasi sebesar-besarnya dan kita dukung agar program tanggap bencana ini semakin sigap ke depannya.

Dari kejadian banjir ini saya belajar pentingnya program satelit sebagai mata kita dari langit. Program satelit bukan program gagah-gagahan negara bisa mengirim satelit ke angkasa, tapi program ketahanan negara, bagaimana kita bisa memahami negeri kita sendiri.

Jika NASA tidak menggratiskan lagi layanannya, atau Copernicus ogah membagikan datanya lagi pada kita, lantas bagaimana kita melihat negeri kita sendiri? Maka dari itu, penting bagi kita untuk mendukung program satelit LAPAN, agar semakin berkembang, semakin membuka datanya pada masyarakat. Agar kita bisa gunakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan orang banyak.

Satu riset pernah dilakukan di Amerika Serikat, mengenai dampak digratiskannya citra Landsat ke khalayak umum sejak tahun 2008. Ada 2 milyar dolar Amerika per tahun berputar sebagai omset dari perusahaan yang bergerak di bidang penginderaan jauh. Luar biasa! Padahal biaya misi Landsat ini hanya kurang dari 1 milyar dolar saja

“The economic value of just one year of Landsat data far exceeds the multi-year total cost of building, launching, and managing Landsat satellites and sensors.

 Landsat Advisory Group of the National Geospatial Advisory Committee, 2014

Dari banjir Konawe kita berdoa, semoga tidak ada lagi bencana-bencana menimpa tanah air kita, Indonesia. Semoga korban-korban tetap terlindungi dari penyakit dan kesulitan, serta selalu mendapat bantuan-bantuan yang mereka perlukan.

Insyaallah.

Data: Citra Sentinel-1 tahun 2019 yang diolah menggunakan piranti daring Sentinel Hub

Pengalaman Ikut Copernicus Eyes on Earth Roadshow di Darmstadt

Tahukah kamu bahwa di atmosfer sana terdapat lebih dari 3000 satelit mengorbit Bumi?

Tahukah kamu bahwa terdapat ratusan petabytes data citra satelit yang bisa kita akses gratis? (1 petabyte = 1000 terabyte = 1 juta gigabyte)

Tahukah kamu bahwa European Space Agency merilis sekitar 8 petabyte data citra satelit setiap tahunnya?

Terakhir dan paling menohok. Tahukah kamu bahwa cara kamu mengolah data satelit dengan mengunduh data, terus otak-atik di ArcGIS, QGIS, Erdas, dll itu sudah ketinggalan zaman saking cepatnya perkembangan teknologi satelit yang datanya makin gede dan butuh komputasi super?

Saya juga baru tahu minggu lalu.

Ketika saya ikut acara Lokakarya Penginderaan Jarak Jauh yang diselenggarakan di EUMETSAT (European Organisation for Meteorological Satellites) di Darmstadt. Acara ini merupakan bagian dari Lokakarya Eyes of Earth yang diselenggarakan oleh Copernicus (program Observasi Bumi Uni Eropa). Simak liputan acara ini di sini.

Saya beruntung, karena acara ini diselenggarakan di kota tempat saya studi. Gratis. Tidak perlu akomodasi. Makan siang yang enak. Buah tangan seminar yang mantap. Itu beberapa hal kesukaan mahasiswa seperti saya.

Tapi yang lebih utama adalah kesempatan untuk berjejaring dengan para ahli di bidang penginderaan jauh dan dapat gambaran sejauh mana dunia ini sudah berkembang.

Roadshow_Participants_Pictures
Suasana acara. Gambar diambil dari sini

Berkembang Pesat
Penginderaan Jauh berkembang sangat pesat. Sejak Pemerintah Amerika Serikat dengan misi Landsatnya merekam Bumi dari angkasa, diikuti dengan misi-misi lainnya membuat kita bisa mengerti bagaimana Bumi kita ini bekerja. Dengan citra satelit kita bisa mengetahui sebanyak apa es mencair di kutub dan di tempat-tempat lain di dunia.

Kita bisa memonitor pergerakan arus laut dan plankton yang hidup mengikutinya. Kita bisa mengetahui ke arah mana awan dan angin bergerak, sehingga kita bisa memahami cuaca lebih baik dari sebelumnya. Dan begitu banyak aplikasi lain dari teknologi ini.

Ketika data satelit Landsat digratiskan pada tahun 2008, jumlah pengunduh satelit ini meningkat 100 kali lipat, dan menciptakan bisnis dengan nilai 2 miliar dollar per tahunnya di Amerika Serikat saja. Uni Eropa pun tak mau kalah, dengan meluncurkan satelit Sentinel dan membuka datanya gratis untuk publik.

Di acara Eyes on Earth ini saya melihat ada persaingan hebat antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat dalam teknologi satelit dan pemanfaatannya. Orang-orang Eropa ini begitu bangga dengan program Sentinelnya. Juga dengan program-program lain yang mengikuti Sentinel ini.

Misal ketika saya bertanya tentang Google Earth Engine, salah satu piranti lunak yang biasa digunakan untuk mengolah data satelit. Kebanyakan dari mereka menjawab bahwa itu produk Amerika dan mereka tidak boleh bergantung pada produk itu. Copernicus pun menyediakan platform untuk mengolah data citra satelit berbasis komputasi awan. Tak tanggung-tanggung ada lima program yang mereka sediakan, semua punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Kita harus bersyukur dengan persaingan ini, karena ini memberi kita pilihan sebagai pengguna. Kita terima-terima saja dan gunakan semua yang mungkin dan bisa kita gunakan.

Mendorong Terciptanya Start-up
Dalam acara Eyes on Earth ini, Copernicus mendorong terbentuknya perusahaan rintisan yang menggunakan data inderaja sebagai sumber datanya. Sudah ada banyak perusahaan rintisan yang dibimbing dan dikatalis oleh Copernicus.

Misal perusahaan Deep Blue Globe. Perusahaan ini mengembangkan navigasi maritim berbasis kecerdasan buatan. Jadi mereka menggunakan data lalu lintas perjalanan laut dan kondisi cuaca aktual yang dimasukkan ke dalam sistem kecerdasan buatan mereka untuk menavigasi kapal-kapal di lautan.

Perusahaan lain misal AgriBORA yang mengombinasikan data inderaja, stasiun cuaca, dan model pertanian untuk memberikan informasi waktu tanam terbaik kepada petani di Afrika. Informasi ini dikirimkan secara langsung dan aktual kepada petani melalui SMS.

Panitia Eyes on Earth mendorong kami, para peserta, untuk mengembangkan perusahaan rintisan kami sendiri. Ada 6 sesi khusus, antara 30-60 menit untuk kami berdiskusi mencari masalah dan solusi yang mungkin bisa diciptakan, serta bagaimana data inderaja dapat digunakan sebagai bagian dari solusi.

Grup saya, 4 orang, saya, Sophie, Mennatullah, dan Julian, semua dari TU Darmstadt dibimbing oleh ahli inderaja dari Universitas Twente, Valentin. Kami ingin bikin perusahaan bohong-bohongan yang membuat platform pengidentifikasi kualitas air dengan menggunakan citra satelit. Kita bisa bedakan kualitas misal kejernihan (turbidity), kandungan organik (CDOM), klorofil, salinitas, dan temperatur, dari data satelit.

Valentin, Julian, Menna, Sophie, dan saya setelah presentasi hari pertama

Dari diskusi-diskusi singkat di setiap sesi, kami dipaksa untuk mengisi model bisnis Canvas dan kemudian mempresentasikan singkat ide kami di hadapan ahli-ahli inderaja dan mendengar saran dari para ahli ini. Mereka kemudian memberi tahu alat-alat apa yang sudah tersedia. Misi satelit mana yang sesuai dengan kebutuhan data kami, dan seterusnya.

Pada akhirnya, acara Eyes on Earth ini membuka mata saya, bahwa ada begitu banyak peluang terbuka karena satelit telah membuka cakrawala kita terhadap planet yang kita tinggali ini. Keterbukaan data dan kebersediaan orang-orang untuk membagi pengetahuannya menjadi modal sangat berharga untuk memulai karir atau bisnis di bidang ini.

Kemajuan teknologi diikuti dengan membanjirnya data adalah satu hal, tapi kreativitas manusia untuk memanfaatkannya adalah hal lain. Tanpa kreativitas dan visi kita tidak akan gagap dan melaju lambat. Tak peduli betapa majunya teknologi.

Kehadiran satelit merubah cara pandang kita terhadap Bumi. Kemajuan teknologi pengolahan data berbasis awan merubah cara pandang kita terhadap cara mengolah data konvensional di komputer pribadi kita. Dan begitu banyak revolusi lainnya yang merombak secara signifikan bagaimana cara kita bekerja dan berpikir terhadap sesuatu. Sehingga keengganan untuk beradaptasi boleh jadi akan menjadi titik kemunduran kita. Bukan karena kita payah. Hanya karena orang lain jauh lebih visioner dan berani beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Semoga kehadiran saya membawa manfaat, terutama bagi diri saya pribadi, dan semoga kepada orang banyak .

Tabik.

Fridays for Future – Klimastreik

Diinisiasi remaja fenomenal dari Swedia, Greta Thunberg, Fridays for Future kini telah menjadi gerakan yang mendunia. Greta, 16 tahun, pertama kali menginisiasi gerakan ini pada Agustus 2018.

Greta kala itu masih duduk di kelas 9. Ia memutuskan untuk mogok bersekolah dari tanggal 20 Agustus 2018 hingga pemilihan umum di Swedia pada tanggal 9 September 2018. Keputusan itu ia ambil setelah terjadinya bencana iklim gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia.

Why should I be studying for a future that soon may be no more, when no one is doing anything to save that future

Greta Thunberg, 16 tahun

Gerakannya merembet ke mana-mana. Per 17 Juni 2019, sudah terjadi 4410 demo di seluruh dunia, di lebih dari 100 negara, dan 800 kota. Premis demo ini sederhana, kenapa harus belajar untuk masa depan kalau tidak ada masa depan. Kenapa kita harus berusaha agar menjadi orang terpelajar, ketika pemerintah kita ogah mendengarkan orang terpelajar. Info lebih lengkap mengenai gerakan ini bisa didapatkan di laman https://www.fridaysforfuture.org/.

Statistik Fridays for Future Strike source

Ada banyak kemirisan ketika di satu sisi seorang anak bisa menginisiasi gerakan perubahan iklim yang begitu besar, sementara di sisi lain masih banyak orang-orang yang bahkan tak percaya bahwa perubahan iklim itu nyata.

Anak-anak diajarkan bahwa mereka akan mewarisi bumi. Mereka selalu dibebankan tanggung jawab bahwa mereka adalah generasi penerus yang akan menggantikan bapak dan ibu mereka. Bahwa anak-anak adalah masa depan.

Tapi anak-anak ini kita warisi bumi yang sudah kita bikin bobrok. Yang air sungainya tak bisa dipakai mandi apalagi minum. Yang air tanahnya surut semakin mendalam setiap harinya. Yang atmosfernya kotor, partikulat bertebaran kita hirup setiap saatnya.

Anak-anak ini kita warisi keragaman spesies yang minim, karena satu juta spesies sedang menanti kepunahannya. Karena hutan tropis yang kaya akan variasi spesies kita rubah jadi perkebunan monokultur yang menjadikan gajah, harimau, orangutan sebagai hama, dan kita berkonflik dengan mereka setiap harinya.

Pantas saja mereka berkata, “Ngapain saya belajar untuk masa depan, kalau tidak ada masa depan. Ngapain saya belajar kalau gak ada orang yang berjuang untuk menyelamatkan masa depan?

Aksi Greta menginspirasi dunia. Ribuan jika bukan jutaan orang mendukung aksinya. Aksi Greta diabadikan di Miniatur Wunderland, salah satu tempat wisata utama di Kota Hamburg. Miniatur Greta yang sedang berdemo di atas es yang mencair, dengan mobil dan korporasi hitam di satu sisi, dan beruang kutub yang sangat terancam dengan berkurangnya jumlah es di bumi di sisi lainnya. Sementara Greta sedang berdemo dengan spanduknya “ Skoolstreijk for Klimatet“, aksi demo anak sekolah untuk iklim.

Miniatur Wunderland mendukung Greta dengan mendorong semua yang melihat miniatur ini untuk membagikan gambar dengan takarir “Vi Ar Greta” atau Kita adalah Greta!

Miniatur Greta di Miniatur Wunderland, Hamburg. source

Klimastreik di Darmstadt

Di Darmstadt, kota saya tinggal sekarang, saya sudah lihat kurang lebih 4 demo sampai sekarang. Di demo-demo itu semua kalangan ada di sana; anak-anak, pemuda, orang dewasa. Jalan-jalan ditutup. Polisi mengawal. Wartawan berseliweran mengambil gambar dari gerakan yang fenomenal ini.

Fridays for Future terakhir, hari Jumat lalu diikuti kurang lebih 3500 orang.

Yel-yel mereka teriakkan lantang

“Wir sind hier, wir sind laut, weil ihr unsere Zukunft klaut”

Kami di sini, kami berteriak kencang, karena kalian mencuri masa depan kami!

Hampir setengah kota Darmstadt harus ditutup pada hari jumat ini untuk mengakomodasi peserta demo. Demo dilaksanakan damai, dengan aktivitas dan rute demo yang disetujui dan diamankan oleh polisi lokal.

Di kampus saya, mereka pasang poster menohok para mahasiswa. Katanya menyelamatkan iklim bisa juga tanpa perlu M.Sc. Mungkin mereka menyindir orang-orang yang belajar tinggi-tinggi tapi pada akhirnya malah jadi sumber emisi.

Pada akhirnya anak-anak ini ingin kita sadar bahwa kita sedang mencuri masa depan mereka. Dalam harian lokal Darmstadt, echo-online, seorang anak memberikan testimoni, “Saya gak mau beruang kutub mati“. Anak yang lain berkata, “Kita hanya punya sembilan tahun tersisa menuju titik di mana dampak irreversibel bisa kita cegah. Kalau kita gagal, kita selesai”.

Sedih, miris, dan ironis. Tapi juga membuka mata, bahwa perjuangan belum berakhir. Bahwa masih banyak orang-orang di dunia ini yang memperjuangkan dunia yang lebih baik. Yang akan kita wariskan pada anak cucu kita nanti. Yang sekarang sudah geram dan marah karena tahu betapa buruk cara kita mengorganisasi bumi yang akan mereka warisi.

Semoga kita sadar. Semoga kita mengerti. Bahwa kita tak bisa lagi merampok warisan masa depan anak-anak kita lagi.

Wir sind hier, wir sind laut, weil ihr unsere Zukunf klaut! Wir sind Greta!

Bandung Hareudang – Penelitian Suhu Permukaan Kota Bandung

Bandung yang dingin adalah sebuah kefanaan. Dalam buku-buku nostalgia, banyak dikisahkan cerita tentang Bandung yang dingin, adem, dan nyaman ditinggali. Bahkan ada sebuah memoar terkenal karya Us Tiarsa berjudul Basa Bandung Halimunan, atau jika diterjemahkan berarti Ketika Bandung Berkabut, menunjukkan betapa Bandung sebagai kota yang dingin dan bahkan sering berkabut saking dinginnya.

“Bandung dingin adalah fana, hareudang-lah yang nyata”

Hal inilah yang mendorong saya melakukan penelitian kecil sederhana. Yang sudah banyak dilakukan orang sebelumnya. Hanya sedikit saya modifikasi. Agar ada perbedaan. Ada kebaruan. Saya mencoba memetakan suhu permukaan di Kota Bandung. Memberi bukti, bahwa hareudang itu nyata.

Syahdan NASA (LAPAN-nya Amerika Serikat) dan USGS (Badan Geologi-nya Amerika Serikat) mengirimkan satelit ke atmosfir. Nama misinya Landsat. Mulai dari Landsat 1 tahun 1972, hingga sekarang sudah Landsat 8 sejak 2013, dan nanti Landsat 9 mungkin tahun 2020.

Dari langit satelit ini merekam respon permukaan bumi terhadap radiasi cahaya matahari. Hutan punya respon tersendiri. Kota juga punya. Begitu juga air, sawah, dan berbagai macam bentang alam lainnya.

Setiap 16 hari sekali Landsat 8 ini mengelilingi bumi. Satu titik di gambar yang direkam satelit ini mewakili 0.1 – 1 hektar lahan. Salah satu data yang bisa direkam adalah suhu di permukaan. Yang saya pakai untuk penelitian saya ini.

Selain satelit Landsat, sebenarnya masih banyak lagi satelit lain yang merekam temperatur. Tapi tidak saya pakai. Mungkin nanti. Jika ada waktu dan kesempatan di lain hari.

Citra satelit ini saya saring berdasarkan tutupan awan. Kalau ada awan, tidak ada data suhu permukaan. Yang terekam angka negatif. Sangat dingin karena suhu awan.

Dari tahun 2013 hingga sekarang total ada 125 citra satelit yang berhasil dikumpulkan oleh piranti Google Earth Engine (GEE). Piranti super powerful yang menurut saya harus dikuasai oleh ahli kebumian seperti di tulisan saya yang lalu.

Dengan memodifikasi naskah-naskah pemrograman Java yang tersedia di forum-forum developer GEE, saya membuat peta persebaran suhu permukaan tanah di Cekungan Bandung dan membuat diagram seri waktu suhu di tengah kota, di Baksil, dan di Tahura.

Hasilnya mudah diduga, bahwa suhu di tengah kota lebih tinggi. Kemudian suhu di Baksil, dan paling adem adalah suhu di Tahura.

Peta suhu permukaan tanah rata-rata Cekungan Bandung. Suhu rata-rata 20-22 C.
Peta suhu permukaan tanah rata-rata Kota Bandung dan sekitarnya. Suhu rata-rata 25-26 C.

Fenomena kota yang lebih panas dari daerah di sekitarnya dikenal dengan nama Urban heat island. Ini terjadi di seluruh daerah urban di dunia. Seiring dengan ancaman perubahan iklim akibat ulah manusia, akan semakin sering terjadi suhu ekstrim. Artinya musim panas semakin panas, musim dingin semakin dingin.

Di Kota Bandung, suhu rata-ratanya antara 25-26 C, sementara di Cekungan Bandung suhu rata-ratanya antara 20-22 C. Di titik di kota, suhu rata-ratanya 27.94 C. Di Baksil suhu rata-ratanya 22.57 C. Sementara di Tahura suhu rata-ratanya adalah 19.33 C.

Menurut penelitian dari Widya Ningrum (2018), suhu rata-rata Kota Bandung bertambah 1.3 C antara tahun 2005 hingga tahun 2016.

Penting bagi para perencana kota untuk merespon fenomena Pulau Panas Perkotaan ini agar panasnya Kota Bandung tidak sampai taraf mematikan. Pernah dengar cerita para lansia yang meninggal dunia karena musim panas yang tidak mampu ditahannya? Cerita itu nyata dan terjadi di banyak tempat di bumi kita ini.

Ada banyak penelitian juga yang menunjukkan bahwa orang-orang yang taraf ekonominya kurang, umumnya hidup di wilayah yang lebih panas. Akibatnya mereka lebih rentan terkena dampak fenomena ini.

Data suhu yang saya sajikan di tulisan ini hanyalah data dari satelit. Tingkat akurasinya tidak meyakinkan. Perlu lebih banyak sensor suhu dipasang di darat. Merekam data harian. Agar kita tahu bagaimana kota kita hidup. Bagaimana kota kita ini berdenyut.

Konon saya dengar ada pemasangan sensor suhu di kelurahan-kelurahan di Kota Bandung. Wah ini sangat menarik kalau datanya bisa dielaborasi. Digabungkan dan dianalisis bersama-sama. Lalu kita bisa tahu di mana kekurangan data. Biar kita bisa semakin pahami kota yang kita cintai ini.

Karena aksi itu harus bisa diukur tingkat keberhasilannya. Misal kita menanam sejuta pohon. Apakah itu berhasil atau tidak? Mana kita tahu jika tidak ada pembandingnya. Hanya perasaan saja. Contoh yang paling nyata misal pembuatan sejuta lubang biopori. Apakah itu ada pengukuran dampaknya? Saya kira tidak ada. Maka ya itu seolah gerakan asal saja.

Penelitian Pulau Panas Perkotaan ini masih bisa berkembang jauh lagi. Kita bisa bandingkan setiap kelurahan dan kepadatan penduduknya. Kita bisa bandingkan tingkat pendapatan dan jenis kegiatan dominan yang ada di wilayah tersebut. Kita bisa hitung jumlah ruang terbuka hijau dan membandingkan suhu rata-rata di daerah yang banyak dan sedikit ruang terbuka hijaunya. Dan masih banyak lagi kemungkinan penelitian-penelitian lainnya. Yang seru. Yang membuka mata kita akan fakta-fakta tentang kota yang kita cinta.

Dan Bandung bagiku bukan hanya
masalah wilayah belaka
Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan
yang bersamaku ketika sunyi

Pidi Baiq

PS: oh iya penelitian ini sedang saya tulis makalahnya untuk dimasukkan ke http://sinasinderaja.lapan.go.id/, konferensi tahunan yang diselenggarakan LAPAN (NASA-nya Indonesia). Nanti kalau sudah selesai, saya akan bagikan tautan makalah dan juga kode programnya.

Time Lapse Gunung Anak Krakatau

Sejak letusan Gunung Anak Krakatau akhir tahun 2018 lalu, saya jadi sering mengikuti cuitan-cuitan para peneliti mengenai gunung ini. Salah satu yang sering saya lihat adalah akun Annamaria Luongo @annamaria_84, seorang peneliti inderaja yang rutin membagikan gambar-gambar terbaru Gunung Anak Krakatau.

Gambar-gambarnya bagus, jernih, bebas awan. Saya jadi penasaran bagaimana cara mendapatkan data tersebut.

Saya juga kemudian mengikuti akun-akun terkait inderaja lainnya seperti @CopernicusEU, @CopernicusEMS, atau @USGSLandsat.

Kesemua akun ini, mengajak kita untuk memanfaatkan data inderaja. Data-data ini terbuka untuk publik dan bisa diakses dengan gratis.

Kemudian saya mencoba mengolah data-data ini sendiri. Piranti lunak yang saya gunakan adalah Sentinel-Hub. Piranti lunak super canggih, yang memberi kita kemudahan untuk mengakses data citra satelit, mengolahnya, dan juga membuat gambar berselang waktu (time lapse).

Hebatnya, kita bisa melakukan semua ini tanpa perlu mengunduh data. Kita bisa lakukan menggunakan komputasi awan memanfaatkan server Sentinel. Persis seperti Google Earth Engine yang saya bahas dalam tulisan sebelum ini.

Hasilnya adalah gambar berselang waktu dengan format .gif yang saya unggah di atas.

Di gambar ini, 42 citra satelit Gunung Anak Krakatau dari awal 2018 hingga sekarang ditayangkan secara berurutan. 42 citra satelit ini dipilih berdasarkan cakupan awan terendah. Agar gambar yang ditampilkan tidak merupakan gambar yang tidak tertutup awan.

Kita bisa lihat letusan-letusan kecil sebelum letusan masif yang menghancurkan badan Gunung Anak Krakatau pada akhir 2018 lalu. Menarik bukan?

Dengan memanfaatkan citra satelit, kita bisa memantau apa yang terjadi di sekitar kita. Misal setiap kali terjadi banjir bandang atau musibah-musibah, kita selalu menyalahkan perubahan tata guna lahan di bagian hulu. Apakah benar kejadiannya seperti itu? Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa gunakan citra satelit.

Teknologi satelit saat ini sudah sangat maju. Resolusi spasial citra Sentinel ini bisa mencapai 10 meter. Artinya satu piksel gambar mewakili 10 meter asli. Resolusi ini sudah sangat detil dan bisa dipakai untuk pengamatan berskala besar, misal 1:10.000.

Resolusi temporalnya sekitar 5 hari. Artinya kita akan mendapat gambar baru setiap 5 hari. Keren kan?

Seru sih. Saya jadi bersemangat untuk belajar lebih keras untuk bisa paham cara memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh ini. Saya kira ini salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai oleh ahli kebumian.

Google Earth Engine: Salah Satu Piranti Lunak yang Harus Dikuasai Ahli Kebumian

Ada banyak kemampuan penting yang harus dikuasai oleh seorang ahli kebumian. Selain kemampuan lapangan, kemampuan memahami medan juga sangat penting. Salah satu cara paling mudah untuk memahami medan penelitian adalah dengan melakukan penginderaan jarak jauh. Menerawang lokasi penelitian tanpa perlu menginjakkan kaki ke lapangan. Kemampuan ini amat sangat penting bagi ahli kebumian jaman now.

Minggu lalu saya ikut block course Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing). Block Course ini adalah salah satu kelas yang diampu oleh pengajar tamu dari luar TU Darmstadt. Programnya dipadatkan selama 1 minggu dari jam 9 sampai jam 4 sore. Pengajarnya seorang calon Doktor di bidang Inderaja dari Universitas Zaragoza, Spanyol.

Ada fakta penting yang menarik untuk dicermati terkait bidang ini. Di langit sana, ada ratusan atau ribuan satelit beterbangan mengorbit bumi. Dari mulai Satelit Sputnik dari Rusia yang merupakan satelit pertama yang diluncurkan ke angkasa, hingga Satelit Palapa kebanggaan bangsa Indonesia. Satelit-satelit ini terbang dengan berbagai tujuan; telekomunikasi, militer, riset, dan lain sebagainya. Salah satu satelit, yaitu Landsat yang diluncurkan NASA, sejak 1972 mengorbit bumi dan secara konsisten merekam gambar-gambar permukaan bumi.

Yang menarik lagi satelit ini tidak cuma merekam gelombang warna yang kasat mata (visible wave), tapi juga bisa merekam gelombang warna tak kasat mata. Setiap objek di muka bumi memiliki karakter pemantulan (Reflectance Signature) cahayanya masing-masing, yang kemudian memungkinkan kita untuk mengidentifikasi objek yang terekam dalam gambar.

Tabel yang menunjukkan karakter reflektansi tanaman. Perbedaan karakter reflektansi ini dapat digunakan untuk membedakan tanaman-tanaman sehingga luas tutupan tanaman ini dapat kita ukur. Sumber

Jika kita melakukan validasi di lapangan, kemudian menjadikan titik validasi tersebut sebagai acuan bagi piranti lunak untuk mengidentifikasi suatu bentang alam, maka piranti lunak kita bisa mengidentifikasi area yang sangat luas dengan konsistensi yang baik.

Memahami materi ini, kemudian saya ingat petuah mentor saya di Bandung dulu

Lik, lu harus belajar Earth Engine. Barang bagus itu!

Mbah Rendi

Setelah mendapat petuah ini dulu, saya beberapa kali mencoba Earth Engine dan melihat video serta tutorial. Tapi saya tidak paham kegunaan dan cara memanfaatkannya. Baru setelah kuliah ini saya paham.

Kenapa Google Earth Engine ini penting?

Data inderaja itu besar. Jika kita mengunduh dari Earth Explorer-nya USGS misal, satu data itu bisa sampai 1 GB. Artinya untuk memproses data ini, kita perlu komputer yang tangguh. Itu baru satu area, bagaimana kalau kita mau menganalisis satu Pulau Kalimantan misal, atau satu Benua Eropa?

Nah Google Earth Engine ini jawabannya.

Google punya akses ke hampir semua data-data satelit yang bisa kita akses gratis. Saking besarnya data yang mereka punya, unit datanya bukan lagi Giga atau Tera, tapi Petabyte, 1 PB = 1000 TB = 1000.000 GB. Earth Engine tidak hanya menyediakan data saja, tapi mereka juga memberi kita peluang untuk menggunakan komputer super Google untuk menganalisis data yang kita inginkan.

Kuncinya cuma satu: kemampuan membuat skrip (script) Java (entah apa padanannya script, rasanya naskah kurang pas). Kita bisa membuat skrip ini untuk memerintahkan komputer Google menganalisis data-data yang kita mau.

Hasilnya keren!

Misal studi Tutupan Hutan Global yang dipimpin oleh Matt Hansen dari Universitas Maryland. Mereka menggunakan Google Earth Engine untuk mengetahui perkembangan tutupan hutan di seluruh dunia, baik daerah yang kehilangan tutupan hutan atau daerah yang tutupan hutannya justru bertambah. Studi ini dipublikasikan di Jurnal Science, dan sangat mengagumkan karena bisa menganalisis semua benua, kecuali Antartika dan beberapa pulau di Kutub Utara. Studi ini mencakup area seluas 128.8 juta km2, yang setara dengan 143 miliar piksel data dengan resolusi spasial 30 meter. Ini tidak mungkin bisa dilakukan jika menggunakan komputer biasa.

Peta Perubahan Lanskap Hutan Karya Matt Hansen dkk. Sumber

Lantas kenapa saya bilang ahli kebumian harus menguasai kemampuan ini?

Google Earth Engine ini gratis. Penggunanya belum banyak, komunitasnya berkembang. Saya sudah mencoba beberapa baris kode dan tidak terlalu sulit juga untuk belajar. Permasalahan sangat banyak di Indonesia yang bisa dibantu penyelesaiannya dengan pemahaman spasial dan temporal yang lebih baik.

Kita bisa mengukur perubahan bentang alam di mana-mana. Kita bisa hitung ekspansi perkebunan ke lahan sawit. Kita bisa hitung area habitat orangutan yang terancam. Kita bisa mengetahui di mana daerah kering dan di mana daerah basah, serta bagaimana perkembangan setiap tahunnya. Kita bisa ukur luas kebakaran hutan, dan banyak aplikasi-aplikasi lainnya.

Tapi yang paling utama adalah karena teknologi ini sangat canggih. Kita cukup duduk di warnet yang tidak perlu spesifikasi komputer canggih, lalu tinggal merangkai kode. Kita bisa simpan dan lanjutkan lagi kemudian hari di komputer kantor atau di rumah. Tidak perlu lagi membawa komputer-komputer super yang berat dan menyiksa punggung. Kita bisa kerja di mana saja (asal ada internetnya).

Ayo mari mencoba!

Sumber Air Minum Warga Kota Bandung

Minggu ini saya bermain-main dengan data dari http://data.bandung.go.id/dataset. Ternyata ada banyak data yang bisa dipakai untuk buat peta ala-ala.

Di peta ini digambarkan persentase sumber air minum warga Kota Bandung. Sumber air minum warga kota Bandung terdiri dari air kemasan/mineral, ledeng, pompa, sumur terlindung, sumur tak terlindung,, mata air terlindung, mata air tak terlindung, dan lain-lain. Bisa dilihat di gambar bahwa mayoritas warga Kota Bandung membeli air minumnya berupa air kemasan atau air galon.

Hampir di semua tempat, terutama di Bandung bagian selatan, orang-orang membeli air mineral/kemasan sebagai air minumnya. Hanya di beberapa tempat, terutama di Bandung Utara, warga bisa memakai sumber mata air, atau dari sumur.

Memang kita bisa mafhum, karena air kita memang tercemar. Sehingga untuk minum, memang paling aman pakai air galon.

Mungkin jika ada yang membuat penelitian tentang pengeluaran masyarakat untuk air, peta ini bisa disandingkan sehingga kita bisa bikin perbandingannya. Atau bisa juga kita tumpang tindihkan dengan peta kemiskinan dan pendapatan yang datanya juga tersedia di pusat data Kota Bandung.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan. Pantas saja bisnis air galon maju terus pantang mundur. Pasarnya gede betul, hampir 2.5 juta orang di masa depan akan pakai air galon untuk sumber minumnya. Akibatnya perusahaan air makin rajin beli kaveling di sumber-sumber air kita semua.

Mungkin teman-teman banyak yang tidak tahu bahwa PDAM adalah singkatan dari Perusahaan Daerah Air Minum. Sebenarnya mereka punya obligasi untuk menyediakan air minum bagi masyarakat Kota Bandung. Namun entah kenapa sampai kini mereka hanya sediakan air baku, itu pun jaringannya sangat terbatas, mati-nyala-mati-nyala bergiliran komplain di media masa.

Yang menarik sebenarnya, kita bisa pakai data ini sebagai titik awal Kota Bandung berbenah di bidang air. Kita bikin regulasi yang ketat untuk air galon, kualitas tinggi harga murah. PDAM yang menyediakannya.

Jangan seperti sekarang, harga air galon mahal. Misal merk Aqua yang keluarga saya biasa beli 19 ribu satu galon (19 liter, 1000/liter). Sementara di Jerman, di tempat saya tinggal sekarang, air keran yang bisa diminum itu harganya 2 euro per m3, atau 32 ribu per 1000 liter, atau 32 rupiah per liter. Kualitasnya jangan tanya, standarnya ketat, monitoringnya rutin nyaris tanpa cela.

Kalau kita bikin air galon harga 19 liter atau 1 galon = 600 rupiah, kira-kira orang masih mau kah beli Aqua 19 ribu atau VIT 9 ribu rupiah di Alfa? Kalau kita bisa bikin prosesnya bagus, tentu bisa kita kejar harganya segitu.

Jangan lah masyarakat itu dipaksa menyediakan sendiri air minumnya. Jangan kebutuhan penting kaya begitu diserahkan ke mekanisme pasar. Jangan kita dipaksa membeli yang mahal karena ketidakmampuan kita untuk percaya pada pemerintah mampu menyediakan hal yang lebih murah dan terjangkau.

Data ini ke depannya ingin saya tumpang tindihkan dengan data jaringan distribusi PDAM dan sumur-sumur milik warga. Selain itu saya juga sedang mencari data titik-titik sumur pantau di Kota Bandung. Biar bisa membuat peta kedalaman air tanah di Kota Bandung. Barangkali ada yang tahu di mana saya bisa cari datanya, bisa berbagi dengan saya.

Kira-kira bisa berkembang ke mana saja kah data ini, terutama jika dikaitkan dengan kondisi hidrogeologi Kota Bandung?