Mendaki Tangkuban Perahu via Jayagiri

Hampir semua orang Bandung pernah ke Tangkuban Perahu, tapi mendaki Tangkuban Perahu? Hey tunggu dulu. Nah salah satu jalur pendakian Gunung Tangkuban Perahu yang paling mudah dan populer adalah Jalur Jayagiri. Tulisan ini akan membahas sebuah jalur pendakian untuk mengisi akhir pekan anda dengan kegembiraan.

Sebaiknya untuk perjalanan ini gunakan angkutan umum, atau simpan kendaraan anda di sekitar Lembang. Mulai dengan kunjungan ke Taman Junghuhn, yaitu makam seorang Naturalis asal Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn yang berjasa besar dalam penelitian vegetasi di Pulau Jawa. Taman Junghuhn berjarak 1 km dari Kota Lembang, yaitu setelah belokan kanan pertama Pasar Lembang, ambil belokan kiri pertama dengan plang hijau Taman Junghuhn.

IMG_4218
Tugu Obelisk Junghuhn

Di taman Junghuhn kita akan disambut oleh sebuah nisan berbentuk obelisk yang merupakan persemayaman terakhir Franz Wilhelm Junghuhn. Di taman ini banyak terdapat pohon kina, yang mana merupakan salah satu jasa terbesar Junghuhn di Indonesia. Ia merupakan orang pertama yang mengembangbiakan kina yang dicuri pemerintah kolonial Belanda dari Peru ketika itu. Dari kina anakan yang dikembangkan Junghuhn, Indonesia kemudian dikenal sebagai penghasil kina terbesar di dunia. Hal ini tentu menjadi keuntungan luar biasa bagi pemerintah kolonial karena kebutuhan kina sebagai obat-obatan ketika itu sangat tinggi dan harganya sangat mahal.

Selepas dari Taman Junghun, kembali ke jalan utama dan lanjutkan ke atas hingga bertemu gerbang Perhutani. Disinilah trekking kita akan bermula. Cukup dengan membayar Rp5.000 kita bisa menikmati suasana hutan pinus dan kebun kopi di Jayagiri ini. Total perjalanan dari gerbang Perhutani hingga ke Terminal Jayagiri Tangkuban Perahu sejauh 6.5 km dengan kenaikan elevasi setinggi 450 meter. Medan yang tidak terlalu terjal, dengan suasana hutan pinus yang meneduhkan membuat perjalanan ini tak terasa berat. Di sepanjang perjalanan pun kita akan sering bertemu dengan para pejalan kaki lainnya yang juga sedang menikmati suasana syahdu hutan Jayagiri. Saya mencoba membayangkan suasana tahun 70an ketika Abah Iwan Abdulrachman menciptakan lagu Melati dari Jayagiri. Pasti suasana ketika itu lebih khidmat dan menenangkan.

“Melati dari Jayagiri

Ku terawang keindahan kenangan

Hari-hari lalu di mataku

Tatapan yang lembut dan penuh kasih”

IMG_0076
Rombongan Ex Undis Solum I berfoto di gerbang Jayagiri (dari kiri berdiri : Teh Tyas, Jessy, Cae, Harits, Yudi, Teh Dian, Teh Akih, Nza, Arlyn, Kang Rakhman, Kang Shandi, Fabila, Bdi. dari kiri duduk : Gita, Edna, Dea, Hesty, Malik, Rayhan, Feby, Dadan)

Ada dua warung di perjalanan menuju Terminal Jayagiri, bisa ditempuh setelah 2 jam berjalan kaki. Warung ini dikenal sebagai Warung Abah. Warung ini merupakan tempat favorit para trekker dan offroader yang jalurnya bertemu di warung ini. Dari Warung Abah menuju Terminal Jayagiri bisa dicapai dengan 1 jam berjalan kaki. Kemudian kita harus membayar tiket masuk Tangkuban Perahu sebesar Rp30.000/orang.

IMG_0114
Suasana perjalanan di hutan pinus Jayagiri

Dari Terminal Jayagiri kita memiliki dua opsi, yaitu menggunakan Ontang-Anting yang disediakan PT GRPP seharga Rp7.000 atau melanjutkan jalan kaki menuju Kawah Ratu. Jika lelah gunakan saja fasilitas yang tersedia, karena berjalan kaki menuju Kawah Ratu akan menghabiskan 1 jam perjalanan menanjak tanpa henti. Kepuasan karena sudah berhasil mendaki Tangkuban Perahu merupakan hal yang patut kita syukuri. Keberhasilan karena sudah berhasil menaklukan diri sendiri.

Untuk menghibur kaki yang lelah karena telah berjalan begitu jauh, berjalanlah ke Kawah Domas. Kawah ini merupakan mata air panas yang terjadi akibat adanya energi panas bumi dari dalam Tangkuban Perahu. Di kolam-kolam dengan suhu 40o-100o C ini kita bisa merendam kaki kita. Kandungan sulfur yang tinggi dalam air panas menjadikan air panas ini baik bagi kulit kita. Beberapa turis dari Timur Tengah bahkan begitu senang membalurkan lumpur sulfur ke badan dan wajah mereka. Konon katanya lumpur ini baik agar kulit wajah tetap kencang dan sehat.

IMG_0301
Foto bersama di Kawah Domas. Peserta paling muda umur 6 tahun, paling tua ga usah ditanya lah. Tapi semua bahagia.
IMG_0271
Penjelasan singkat mengenai manifestasi panas bumi di Kawah Domas. Interpretasi geologi sederhana sebagai sebuah nilai tambah pariwisata.

Kita akhiri perjalanan kita di parkiran Kawah Domas dengan total trekking sejauh 15 km. Pengalaman perjalanan ini saya harap dapat menjadi energi untuk menjalani esok hari.
Salam

Beauty of Curug Cimahi

Beauty of Curug Cimahi

When I was in highschool I came to this place and all I see is a waterfall.
I went there just now, and what I see is an amazing waterfall, made up from lava and volcanic breccia with 90 metres tall.
We can see the vertical collumnar joint which indicate the horizontal flows.
Curug (sundanese language for waterfall) Cimahi is a waterfall from Ci Mahi (Ci in english means River, so Ci Mahi means River Mahi). This river come from Situ Lembang (Situ means Lake), Situ Lembang now become the training center of Kopassus, Indonesian Army.

Desa Mukapayung sebagai Lokasi Wisata Alam Paling Komplit di Sekitar Bandung

Berwisata alam di Bandung Raya, tentu orang akan langsung berpikiran pada beberapa lokasi terkenal seperti Gunung Tangkuban Perahu di utara, atau Kawah Putih dan sekitarnya di kawasan Ciwidey, Bandung Selatan. Dua kawasan ini memang menjadi primadona wisata alam di sekitar Bandung Raya. Namun kali ini saya akan mengajak kita untuk berwisata ke tempat yang berbeda, yaitu Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Berbicara Cililin, berdasarkan obrolan dengan beberapa teman, maka yang terlintas adalah satu, longsor. Di Cililin memang pernah terjadi beberapa longsoran besar, seperti pada bulan Maret 2013 di Desa Mukapayung, dan pada 2003 di Desa Kidang Pananjung. Korbannya cukup banyak dan merupakan berita utama pada Koran-koran pada saat itu. Namun longsor tentu merupakan musibah. Selain itu tentu saja kawasan Cililin memiliki potensi lain yang mungkin belum tergali dengan baik sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.

Di Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, terdapat sebuah kawasan wisata alam yang sangat menarik, namanya “Lembah Curugan Gunung Putri”. Kawasan ini merupakan kawasan wisata yang dikelola oleh masyarakat sekitar dengan memanfaatkan berkah aliran Ci Bitung. Disini masyarakat menggunakan aliran Ci Bitung untuk membuat kolam pancing dan juga kolam renang. Selain itu terdapat pula warung-warung yang menjajakan kuliner khas sunda seperti nasi liwet, ayam bakar, ikan bakar yang tentu menggugah selera.

ImageFoto kawasan Mukapayung dilihat dari Situs Mundinglaya, sepintas terlihat kemiringan lapisan (Foto oleh Oman Abdurrahman)

Image

Sajian kuliner berupa ayam bakar dengan nasi timbel. Makan di dalam saung beralaskan bilik bambu (Foto oleh Sarah Najmillah)

Pesona kawasan ini tidak hanya itu saja. Kawasan ini memiliki pesona geologi yang luar biasa. Kawasan ini termasuk ke dalam Formasi Pb menurut Soejatmiko (1972) yang berumur Pliosen atau sekitar 2-5 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri atas breksi yang berbentuk bukit-bukit besar yang dibelah oleh aliran Ci Bitung. Selain itu gejala kemiringan lapisan juga membuat orang dapat bertanya-tanya mengapa batuan memiliki lapisan yang miring sehingga dapat menjadi peluang edukasi geologi. Bongkah-bongkah raksasa yang jatuh dari tebing dinding breksi menambah eksotisme kawasan ini. Toponimi atau penamaan lokasi-lokasi di wilayah ini ternyata memiliki sebuah kisah yang cukup menarik. Alkisah terdapatlah seorang pemuda tampan bernama Pangeran Asep Roke yang ingin melamar seorang putri. Ia telah menyiapkan segala hal untuk pernikahannya termasuk seserahan dan juga seekor kerbau (munding). Namun pada hari pernikahannya, ia terlambat. Warga yang telah bersiap menyambut Pengantin laki-laki kesal dan meneriakinya. Ini direpresentasikan oleh salah satu gunung yang berada di lokasi ini yang bernama Gunung Hanyewong (dalam bahasa sunda berarti menyoraki). Kesal diteriaki, Asep Roke mengacak-acak bawaannya hingga bertebaran, sedangkan kerbaunya berlari ketakutan dan masuk ke dalam lumpur yang dalam, masyarakat melempari kerbau ini dengan batu-batu, sehingga kerbau takut dan memasukkan kepalanya ke dalam lumpur, tinggalah batu berbentuk punggung kerbau yang dikenal sebagai batu Mundinglaya. Putri yang tidak jadi dilamar kemudian menjadi gunung yang dikenal sebagai Gunung Putri. Selain itu payung untung memayungi pengantin pun terbalik dan menjadi Bukit Mukapayung yang kemudian menjadi nama dari daerah ini.

ImageBerfoto dengan latar Gunung Hanyewong saat Geotrek Cililin (Foto oleh Muhammad Malik Ar Rahiem)

Image

Gua dan Mata air yang berada di Gunung Putri (Foto oleh Muhammad Malik Ar Rahiem)

Berwisata di sekitar Mukapayung ini merupakan wisata yang komplit. Dengan unsur geologi yang kental berupa bebatuan terjal membentuk tebing-tebing, air terjun, gua, mata air menjadikan wisata ini menantang bagi kita yang menyenangi wisata petualangan. Mitos yang berkembang di masyarakat juga sangat menarik sebagai bagian dari kegiatan wisata yang terpadu.

Batu Selendang, Sebuah Kisah di Lembah Tahura

Kita sering mendengar kisah tentang letusan dahsyat Gunung Tangkuban Perahu di masa silam, namun seberapa dahsyatnya, seberapa jauh aliran lavanya, seberapa banyak abu yang ditebarkannya tak banyak dari kita yang tahu. Hanya tahu dahsyat tanpa tahu seberapa besar kuantitasnya.

Kenampakan lava yang terlipat-lipat, sangat menarik. (foto oleh Arrahiem, 2011)

Warga Bandung Raya tentu tak asing dengan Taman Hutan Raya Ir. Djuanda atau biasa disingkat Tahura. Suatu hutan yang biasa kita jadikan sebagai lokasi untuk menyegarkan pikiran di akhir pekan setelah sebelumnya berpenat-penat dalam berbagai kesibukan. Lokasi ini menyediakan sebuah pemandangan khas hutan yang tenang dan nyaman serta beberapa jeram yang juga sangat menarik untuk dikunjungi.

Jadi di akhir minggu ini saya melakukan sebuah kunjungan singkat ke Tahura, selain dengan tujuan untuk “refreshing” juga dengan satu tempat yang sangat ingin saya datangi, yaitu lokasi Batu Selendang. Lokasi Batu Selendang ini mungkin hanya segelintir saja yang tahu, bahkan mungkin mayoritas baru mendengarnya. Padahal lokasi ini merupakan lokasi yang sangat menarik untuk dikunjungi karena mempunyai cerita yang luar biasa di dalamnya.

Alkisah 48 ribu tahun yang lalu (Sunardi & Koesoemadinata, 1997), terjadilah sebuah letusan dari Gunung Tangkuban Perahu, gunung yang identik dengan kisah Sangkuriang ini mengeluarkan aliran lava yang sangat banyak dan mengalir sejauh mungkin melalui lembah-lembah sungai di sekitarnya, salah satunya ke Sungai Cikapundung. Sungai Cikapundung ini pada saat letusan, ikut pula menjadi jalur aliran lava, yang kini buktinya terekam pada batuan lava basalt di Sungai Cikapundung, terutama pada aliran di daerah Tahura yang beberapa di antaranya kini telah menjadi jeram-jeram yang sangat menarik untuk dikunjungi, contoh Curug Omas, Curug Lalay, dan Curug Dago.

Dan ternyata tercatat pula pada batuannya, sebuah jejak luar biasa dari efek pendinginan lava encer yang mengalir yaitu yang kini kita sebut sebagai Batu Selendang karena bentukannya menyerupai selendang yang terlipat-lipat.

Batu Selendang dengan koordinat lokasi S 06o50’35.6” dan E107o39’02.4” merupakan suatu fenomena geologi menarik yang tersingkap di bantaran Sungai Cikapundung, batu ini membentuk suatu motif batik seperti tumpukan gulali yang terbentuk akibat aliran lava encer yang jatuh dari suatu tinggian sehingga mengakibatkan hasil sebuah jejak lava yang begitu eksotis karena membentuk pola lipatan berulang-ulang dengan ukuran dan jarak yang sama. Ada lipatan yang lancip dan gemuk yang tergambar secara vertikal. Bila dilihat dari atas, sepintas jejak itu mirip motif batik(T. Bachtiar).

Lava yang terlipat, (Foto oleh Arrahiem, 2011)

Jika kita ingin ke lokasi ini maka kita dapat menyusuri jalan setapak menuju Maribaya dari Pintu Gerbang Utama Tahura kemudian melewati beberapa tanjakan yang cukup melelahkan hingga kita menemukan Curug Lalay, namun saat ini plang penunjuk menuju Curug Lalay sedang dicabut karena jalannya mengalami kerusakan. Batu Selendang ini dapat kita temui sebelum lokasi Curug Lalay, berada di tepian Sungai Cikapundung dipisahkan dengan tebing terjal dari jalanan utama. Bisa juga kita meminta tolong kepada warga sekitar atau petugas dari Tahura untuk menunjukkan lokasi Batu Selendang.

Sesampainya di Batu Selendang maka kita akan melihat suatu fenomena tak lazim yang luar biasa indah, suatu jejak batuan berukuran 5x2m dengan motif seperti selendang yang terlipat-lipat. Di sampingnya mengalir aliran Sungai Cikapundung yang agak kecoklatan dengan bantaran sungai berupa batuan basalt yang indah, hitam mengilap terpapar matahari. Beberapa foto yang saya ambil mungkin tidak cukup untuk mendeskripsikan keindahan yang luar biasa itu. Fenomena ini diyakini mirip dengan fenomena aliran lava di Hawaii, yaitu berupa aliran lava yang sangat encer, yang dalam bahasa geologi tipe lava ini biasa disebut Pahoehoe yang berarti lava yang mengalir bebas. Menurut T. Bachtiar, fenomena ini diyakini sebagai yang pertama kali ditemukan di Indonesia.

Batu Selendang ini merupakan suatu kisah geologi yang harus dijaga kelestariannya, karena ia dapat bertutur tentang kejadian di masa lampau, tentang lava yang encer, tentang jalur aliran lava, dan tentang banyak hal lagi. Diharapkan upaya dari pengurus Tahura untuk mulai menambah informasi kepada pengunjung agar lokasi Batu Selendang ini dapat dikunjungi lebih sering lagi karena selain merupakan sumber informasi, ini juga merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi oleh pengunjung Tahura. Upaya yang bisa dilakukan seperti mulai memasukkan lokasi Batu Selendang pada peta Tahura, memasang plang yang berisi informasi lokasi dan informasi geologinya, dan juga pembuatan jalan atau pagar-pagar pengaman yang aman namun tetap tidak merusak lingkungan Tahura. Dan tentu kearifan dari pengunjung untuk melindungi lokasi yang sangat berharga ini mutlak diperlukan demi terjaganya jejak lava Tangkuban Perahu ini.

Penulis : Muhammad Malik Arrahiem (Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi “GEA” ITB)