For the Love of Peat

My article for Global Landscape Forum Youth Ambassador Program 2017

For the Love of Peat

My name is Muhammad Malik Ar Rahiem. I am a geologist. In 2014-2015 I was working as hydrologist at peatland restoration project at Katingan, Central Borneo, Indonesia. Those periods change my life forever. Let me tell you a story about that.

Imagine you are in a barbeque party at the back of your house. Somehow the winds are blowing to you and brings you smoke from the stove. You’re coughing because of the smoke, your eyes are hurt and red and tears running down your face. I believe we all have that kind of experience.

But imagine that kinds of situation in a whole city, whole province, almost whole island are covered in smoke. That’s what life is like for Central Borneo, Indonesia, during the huge forest fire in 2014-2015. I was there during the moment. I saw how degraded and burned peatland has devastating my people. There’s haze everywhere, nowhere to hide, planes could not land nor fly, respiratory diseases increased, people were suffered.

Burned peatland was the main reason the forest fire could be so huge. Peatland that is supposed to be wet and inundated are drained to be converted to (mostly) palm oil plantation. As their content are mostly organic material, they are easily burnt if the moisture is low. During the drought season, as the water level are already drained for agricultural purpose, peatland are prone to fire. People even intentionally burned the land to open new agriculture land. This happen in a massive scale so that huge forest fire occurred, then there goes all the CO2 emission to the atmosphere.

Peatland contains a lot of carbon. We only have 3% of peatland in our land surface but they contain more carbon than the entire forest biomass of the world. Converting our peatland is the fastest way to store up CO2 to the atmosphere

It never come up to me before to work in a peatland. I dont even have any idea what is peatland when I was a bachelor student. But then working on peatland has open my eyes of one major climate change challenge in my country Indonesia.

One third of my country carbon emission is coming from degraded peatland and Indonesia is the 6thlargest carbon emitter in the world. Our government has set Peat Restoration Agency with the mission to re-wet 2 million hectares of degraded peatland until 2020. I want to have contribution to that effort. For that reason, I am now pursuing my master degree in Tropical Hydrogeology and Environmental Engineering at TU Darmstadt Germany. I want to learn and conduct research in peat hydrology and methods on peat restoration. This two aspects are very crucial for the effort of peat restoration in Indonesia.

Half of world population are below 30 years, the damage caused by degraded peatland will be felt in our lifetime. We will have the impact of CO2 level rising, sea water level rising, the melts of glacier, the extinction of corals due to the ocean acidity and lots of species following, more extreme weather, and every disaster that has been told to us. I want to take part in a campaign to support peatland restoration as I believe that peatland restoration is one of major issue regarding climate change, especially in my country.

When I joined GLF Jakarta 2017, I was impressed and inspired by GLF communities because in GLF people share their thought and action. People writes inspirational story about landscape restoration success and inspire another to follow and perform their own landscape action. In GLF, scientific words are rewritten so that people can easily followed the latest update of landscape restoration science. It is brilliant.

Inspired by GLF, I started my own blog and write about what I was doing as my landscape restoration action. I wrote about geology and climate change, as well as geology and peatland (malikarrahiem.wordpress.com). I also made my own video about my climate action that I submitted to COP23 (bit.ly/malik-unfcccc). I love using twitter and facebook and follow the official account of internationally recognized organizations in landscape restoration and climate change because they share a lot of interesting stuff about their effort to save the planet and gives us hope that we can do this, that we can have our planet better.

As our population grows, so the pressure to the planet. Demands of foods are continue to rise, peatland will always be threatened because we see the land as an asset to produce food without seeing its environmental role as carbon pool. This year, scientist has found the biggest tropical peatland in the tropical jungle of Republic Democratic Congo. We have not touched it yet, but there must be someone who is already had idea to convert that pristine area for agricultural purpose. We need to protect all the yet unharmed peatland and we must restore the one that already degraded. That is a must because the degradation of peatland will bring nothing but suffer for our planet.

Thats my story about how peatland has changed my life, and here I am, sitting in my couch applying for the youth ambassador program of GLF to bring the voice of peatland conservation and restoration.

Peatland has been storing Earth’s carbon for thousands of year and we need to protect it to keep our carbon cycle balanced. To end this application, I want to quote James Balog, the actor of Chasing Ice, the one I admire so much for his action documenting the glacier melts.

When my daughters, Simone and Emily, look at me 25 or 30 years from now and say “what were you doing when, when global warming was happening and you guys knew what was coming down the road?” I want to be able to say, “guys, I was doing everything I knew how to do.”

I want to do that to, I want to be able to say, I was doing everything I knew how to do.

Thank you.

Rheingraben, Sebuah Perkenalan

20171118_103258
Dinding horst Rheingraben, Zwingenberg, Hesse, Jerman.

Kota tempat studi saya, Darmstadt, berada di ujung utara dari Upper Rheingraben, tepat di sebelah utara dari horstnya, yaitu batuan dasar granitik Odenwald. Daerah ini oleh pemerintah Jerman dijadikan sebagai kawasan Geopark Odenwald-Bergstrasse dengan aspek geologi utamanya adalah batuan dasar kristalin Odenwald, Graben Rhine Atas, dan Buntsandstein Odenwald (batupasir Odenwald) yang berumur Trias.

Saya berkesempatan untuk menyusuri geopark ini melalui jalur yang telah tersedia. Dimulai dari kota kecil Zwingenberg kami berjalan menuju Gunung Melibokus, bukit granit dengan ketinggian sekitar 500 mdpl. Disini kami disuguhi pemandangan Rheingraben yang tertutup kabut tebal dan mendung awan musim gugur November yang dingin.

Ada beberapa kastil tua di sekitar perbukitan yang memanjang utara selatan ini. Kemungkinan besar dibangun ratusan tahun lalu sebagai tempat perlindungan, mungkin dulu banyak peperangan disini. Beberapa kastil yang kami kunjungi seperti Kastil Auberbach, Kastil Alsbach, Kastil Heilenberg, dan Kastil Frankenstein. Kastil yang terakhir ini hampir 200 tahun yang lalu menginspirasi Mary Shelley untuk menulis novelnya yang terkenal, Frankenstein.

Kembali ke batuan. Batuan granit yang menjadi latar foto saya, berumur Paleozoik, mungkin sekitar 300-350 juta tahun pada era Permian. Pembentukannya terjadi karena kolisi antara lempeng Afrika dan Eropa ketika itu. Jutaan tahun berlalu dan batuan-batuan telah menumpuk di atas batuan granit ini, seperti batupasir Buntsandstein, juga batugamping Muschelkalk yang berumur Trias atau sekitar 250-200 juta tahun yang lalu.

Pada kala Eosen hingga puncaknya pada Oligosen, terbentuklah struktur graben akibat tumbukan Lempeng Afrika dan Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Orogenesa Alpen. Proses yang sebenarnya agak rumit karena agak sulit menjelaskan bagaimana suatu orogenesa bisa menghasilkan struktur graben yang begitu besar. Saat ini, penjelasan utama yang diterima oleh para peneliti adalah Orogenesa Alpen menjadi salah satu pemicu pemekaran pasif di Lempeng Eurasia dan menghasilkan Rheingraben. Graben memanjang utara selatan hampir 400 km dari Basel di Swiss hingga Frankfurt yang merupakan bagian dari European Cenozoic Rift System (ECRIS) yang memanjang 1100 km dari Mediterrania hingga ke Laut Utara.

20171118_101022
Sketsa geologi Geonaturpark Odenwald-Bergstrasse, Jerman

Menyusuri geopark di Jerman menjadi hiburan menyenangkan bagi saya yang cukup penasaran dengan kondisi geologi tempat saya tinggal. Ke depannya, saya berniat untuk mencari singkapan-singkapan dari batuan Bundsandstein dan juga Muschelkalk karena cukup banyak juga singkapan-singkapan menarik untuk dikunjungi dan dipelajari.

Selain Geopark Odenwald, di provinsi Hesse juga terdapat geopark lain, yaitu Geopark Westerwald-Lahn-Taunus yang berada di bagian barat laut dari Frankfurt. Akan sangat menyenangkan juga untuk mengunjungi geopark itu.

Aufwiedersehen

Tschuss!

Trotoar yang Aksesibel

Ada dua berita yang terbayang-bayang di benak saya seminggu belakangan ini, yang pertama adalah berita mengenai Indonesia sebagai negara urutan buncit dalam berjalan kaki, yang kedua adalah mengenai perisakan (bullying) pada mahasiswa difabel di Universitas Gunadarma.

Hampir semua setuju bahwa penyebab utama orang Indonesia malas berjalan kaki adalah karena fasilitas trotoar yang tidak mumpuni. Tidak semua ruas jalan punya trotoar, trotoar yang ada pun rusak, atau kalau pun nyaman maka invasi pesepeda motor dan pedagang kaki lima menambah alasan kita untuk enggan berjalan kaki. Ditambah dengan kemudahan transportasi angkot, ojek, kendaraan pribadi yang bisa berhenti dimana saja, parkir dimana pun tanpa perlu peduli bahwa di tempat kita parkir ada hak orang lain yang kita zalimi.

Di jalanan Indonesia, pejalan kaki adalah golongan kelas ke sekian, penyandang difabel adalah kelas yang lebih bawah lagi. Keberadaannya dianggap sebelah mata, fasilitasnya tiada. Bagi penyandang difabel, keluar rumah itu seperti menantang petaka. Contoh kasus yang paling nyata adalah para penyandang tuna netra.

Bayangkan anda harus pergi ke tempat kerja tapi anda tidak punya supir pribadi yang bisa mengantarkan anda langsung ke depan pintu ruangan anda. Harus berjalan kaki, naik angkutan umum, dan berjalan kaki lagi. Tapi di trotoar tempat anda berjalan ada lubang besar yang menganga, kabel listrik menjuntai-juntai berbahaya, belum lagi pecahan ubin siap menorehkan luka. Bayangkan itu pada hampir 3 juta orang tuna netra di Indonesia. Perjalanan ke luar rumah itu mengancam nyawa, padahal ada anak istri harus dinafkahi, padahal ada mimpi untuk bersekolah setinggi-tingginya agar taraf hidup bisa diperbaiki. Belum lagi di sekolah dirisak oleh kawan-kawannya yang padahal bersekolah tapi tak berpendidikan.

TUNE MAP
Lubang mengakibatkan jalur aksesibel menjadi jebakan yang menjerumuskan tunanetra

Pemerintah tentu tidak abai, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas dan pelayanan publik. Selain itu begitu banyak juga peraturan-peraturan teknis mengenai jalur aksesibilitas, bangunan yang aksesibel, beserta sanksi-sanksi apabila tidak dijalankan. Namun implementasinya tentu masih jauh panggang dari api.

Di Bandung, sudah banyak trotoar yang dilengkapi dengan jalur aksesibel. Jalur kuning ini seharusnya membantu memandu tuna netra untuk berjalan kaki dengan aman. Namun masih jauh dari ideal. Kesaksian dari kawan-kawan tuna netra menyatakan bahwa jalur itu banyak yang menjerumuskan. Banyak lubang, tiang listrik, pepohonan, dan pot bunga. Perilaku warga kota yang belum menyadari fasilitas tuna netra ini juga menambah parah kondisi. Pedagang kaki lima, parkir kendaraan, dan juga invasi pesepeda motor bahkan mobil di trotoar.

20170530_135536
Parkir mobil menghalangi dan merusak jalur aksesibilitas tunanetra

Ketiadaan fasilitas trotoar yang aman mengakibatkan ketakutan bagi tuna netra untuk beraktivitas. Menurut data dari Kemendikbud pada pertengahan tahun 2000an angka partisipasi anak-anak tunanetra untuk bersekolah hanya 10 persen, 90 persen lainnya tinggal di rumah. Penyediaan fasilitas untuk tunanetra, salah satunya aksesibilitas yang aman bukanlah dalam rangka berbelas kasihan, tapi dalam rangka menjadikan tunanetra sebagai subjek pembangunan.

Buat kita mungkin fasilitas trotoar yang tidak nyaman hanya mengakibatkan kita malas berjalan kaki. Namun bagi tunanetra, ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka tidak bisa bersekolah dan tanpa pendidikan yang baik, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ketiadaan fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel mengakibatkan mereka kesulitan untuk bekerja dan mengembangkan potensinya. Kurangnya pemahaman warga tentang fasilitas tunanetra juga memperburuk keadaan. Masih begitu banyak yang tidak tahu fungsi jalur aksesibilitas di trotoar, dengan begitu maka tanpa perasaan bersalah jalur aksesibilitas ditutupi oleh gerobak dagangan, oleh parkiran kendaraan, oleh pot, tiang, dan segalanya yang mengakibatkan jalur itu menjadi membahayakan.

Penyediaan trotoar yang nyaman dan askesibel adalah hak asasi dari kelompok difabel, terutama tunanetra. Ia harus terjamin keselamatannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Fasilitas trotoar yang nyaman dan aksesibel bagi kelompok difabel tentu akan nyaman juga bagi kelompok yang lainnya. Maka memperjuangkan hak trotoar yang nyaman dan aksesibel adalah memperjuangkan hak semuanya.

Manusia dan Perubahan Iklim (2): Pentingnya Skala Waktu dalam Memahami Perubahan Iklim

Dalam gembar-gembor akan isu perubahan iklim yang banyak diperdebatkan oleh orang-orang, umumnya para geolog merupakan orang-orang yang skeptis dan cenderung menolak. Ini bukan pendapat saya tok, meskipun kesan yang saya tangkap dari pengalaman saya yang singkat selama ini pun demikian. Jika anda mengetik dalam laman pencari dengan kalimat: geologist and climate denial, maka akan ada banyak artikel mengenai hal ini. Saya pun tidak bermaksud menggeneralisasi, tapi untuk kemudahan tulisan ini maka mari kita lanjutkan.

Saya ingin mencoba mengemukakan pendapat saya mengapa kita harus mempercayai apa yang sedang terjadi dengan bumi ini dan apa yang (mungkin) harus kita lakukan sebagai seorang geolog untuk merespon perubahan iklim yang sedang terjadi.

Geolog biasa berpikir dalam dimensi ruang dan waktu. Disini lautan, disana daratan, dulu bersatu kemudian memisah, dulu tinggian sekarang lembahan, dll, selalu ditanggapi dengan pertanyaan “pada saat kapan?” Skala waktu yang digunakan umumnya adalah dalam jutaan tahun. Diskusi dalam skala jutaan tahun inilah yang seringkali membuat bias mengenai perdebatan perubahan iklim di kalangan geolog.

1

Gambar di atas merupakan bagian dari makalah yang ditulis oleh Will Steffen dkk tahun 2011, berjudul The Anthropocene: From Global Change to Planetary Stewardship. Sebuah makalah yang menarik untuk memahami pengaruh manusia dalam perubahan iklim sehingga ia mengusulkan sebuah kala baru, kala antroposen (layak dibaca). Jika melihat dalam skala waktu puluhan juta, saat ini kita berada dalam periode pendinginan kuarter (gambar a). Jika kita perbesar skala waktu kita menjadi jutaan, terutama 3 juta tahun terakhir, maka terlihat bahwa temperatur rata-rata di bumi lebih tajam naik turunnya (gambar b). Jika kita perbesar lagi skala kita menjadi puluhan ribu, maka terlihat bahwa setelah 11 ribu tahun, bumi yang sebelumnya beku dalam zaman es menjadi hangat dan kemudian menjadi nyaman untuk kebudayaan manusia berkembang (gambar c). Perbesaran skala menjadi skala ribuan tahun menunjukkan pada bagian akhir kita sedang dalam tren menukik naik (gambar d).

Jika kita berbicara dalam orde puluhan juta tahun, maka pemanasan global adalah suatu omong kosong, lah datanya kita sedang pendinginan global kok. Tapi jika berbicara dalam orde ribuan tahun, maka tentu kita coba duduk bersama karena permasalahan barulah nyata.

Homo sapiens dipercaya sudah ada sejak 200 ribu tahun yang lalu, namun populasi dan kebudayaannya baru bisa meningkat pesat sejak 11 ribu tahun yang lalu, kenapa? Jawabannya tentu karena suhu bumi setelah 11 ribu tahun yang lalu hangat. Mendukung manusia untuk kemudian bisa bercocok tanam mengembangkan kebudayaan. Perdebatan mengenai perubahan iklim, terutama mengenai pemanasan global harus kita diskusikan dalam skala waktu manusia, maksimal ribuan tahun, lebih baik dalam jangka puluhan tahun karena dalam skala waktu inilah diskusi perubahan iklim menjadi signifikan bagi peradaban umat manusia.

Pada gambar d, terlihat di bagian akhir bahwa temperatur kita sedang menukik naik. Hal ini sejalan dengan banyak hal-hal lain yang naik seperti pada gambar di bawah ini:

2
Steffen et al, 2011 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3357752/)

Pertumbuhan luar biasa dari manusia selepas penemuan mesin uap oleh James Watt menghasilkan perkembangan hebat yang kemudian memberi dampak pula bagi bumi yang ditunjukkan pada gambar berikut:

 

3
Steffen et al, 2011 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3357752/)

 

Jika kita berbicara dalam skala waktu yang lebih pendek, misal puluhan atau ratusan tahun, kita harus bersepakat bahwa aktivitas manusia berdampak begitu berat bagi bumi. 97% peneliti iklim bersepakat bahwa manusia adalah penyebab utama perubahan temperatur global (Oreskes, N. 2007).

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar umat manusia abad ke 21. Dampaknya begitu nyata dan terasa. Temperatur akan terus meningkat, es di kutub akan terus mencair, perubahan pada pola musim, kekeringan dan gelombang panas, badai-badai yang semakin dahsyat dan datang lebih sering, punahnya biodiversitas, asamnya air laut mengakibatkan kematian koral dan hilangnya ikan, serta dampak-dampak lainnya (Nasa dan WWF). Di Suriah, perang yang sedang terjadi dipercaya juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Sebelum perang berkecamuk, di Suriah terjadi kekeringan luar biasa yang mengakibatkan gagal panen bertahun-tahun (Gleick, 2014)

Sebagai seorang geolog, hal pertama yang harus dilakukan menurut saya adalah mempercayai bahwa perubahan iklim, terutama pemanasan global adalah suatu hal yang sedang terjadi dan memberi dampak yang besar bagi umat manusia. Langkah selanjutnya tentu terserah pada anda.

Daftar Pustaka:

Gleick, P.H. 2014. Water, Drought, Climate Change, and Conflict in Syria. Weather, Climate and Society 6(3):331-340 DOI:10.1175/WCAS-D-13-00059.1

Oreskes N 2007 The scientific consensus on climate change: how do we know we’re not wrong? Climate Change: What It Means for Us, Our Children, and Our Grandchildren (Cambridge, MA: MIT Press) (www.lpl.arizona.edu/sites/default/files/ resources/globalwarming/oreskes-chapter-4.pdf)

https://www.wwf.org.uk/updates/effects-climate-change

http://climate.nasa.gov/effects/

 

 

Manusia dan Perubahan Iklim (1)

Kemarin malam saya baru menonton film dokumenter tentang perubahan iklim yang dibintangi dan diproduseri oleh Leonardo DiCaprio, judulnya Before the Flood.  Leo adalah seorang aktivis perubahan iklim yang juga merupakan duta kampanye perubahan iklim PBB, suatu isu yang banyak ditentang oleh berbagai kalangan, beberapa ilmuwan, politisi, media, dan lain-lain. Film serupa pernah dibuat oleh mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, pada tahun 2006 berjudul An Inconvenient Truth. Setelah menonton Before the Flood, saya menonton ulang An Inconvenient Truth dan kemudian saya memutuskan saya akan membuat sebuah tulisan mengenai isu ini.

Ada beberapa hal mengenai perubahan iklim yang seringkali diperdebatkan oleh orang-orang,

  1. Apakah perubahan iklim itu ada atau hanya mitos saja?
  2. Apakah perubahan iklim itu siklus alami?
  3. Apakah manusia berpengaruh terhadap perubahan iklim?

Pertanyaan pertama dan kedua bisa kita jawab dengan mempelajari sejarah planet bumi. Bumi pernah mengalami beberapa kali zaman es. Bahkan es juga yang mengakibatkan nenek moyang manusia bisa bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain karena ketika itu laut-laut masih saling terhubung. Namun 10-12 ribu tahun yang lalu, zaman es berakhir. Es mencair dan bentangalam terukir menjadi seperti saat ini. Hangatnya bumi memungkinkan manusia untuk bermukim dan memulai kebudayaan. Tak aneh jika bangunan kebudayaan tertua di bumi berumur 11.600 tahun, yaitu situs Gobekli Tepe di Turki.

Jadi ya perubahan iklim itu ada dam merupakan suatu siklus alami.

Pertanyaan ketiga sangat menarik dan kontroversial. Apakah manusia berpengaruh terhadap perubahan iklim?

Efek rumah kaca adalah suatu faktor yang mengakibatkan bumi menjadi hangat. Efek ini sangat penting, karena tanpanya, Bumi akan seperti Mars. Namun jika terlalu banyak, Bumi akan seperti Venus, sangat panas. Efek rumah kaca dibentuk dari akumulasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca sendiri diantaranya uap air (H2O), Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Dinitrogen Oksida (N2O). Namun senyawa yang paling berpengaruh terhadap pemanasan global addalah CO2 dan CH4 terkait kemampuan mereka menyerap radiasi termal matahari.

Seperti yang telah ditulis bahwa gas rumah kaca merupakan faktor yang penting dalam atmosfir kita. Namun ternyata sejak Revolusi Industri di abad ke 19, jumlah gas rumah kaca ekivalen karbon dioksida yang terkandung di atmosfir melesat tinggi. Sebelumnya kandungan karbon dioksida di atmosfir sejumlah 280 bpj pada tahun 1850 (bagian per juta bagian / part per million ppm) menjadi 460 bpj pada tahun 2010.

 

3

National oceanic and atmospheric administration (NOAA)

http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/global.html

 

Jawaban saya untuk pertanyaan ketiga adalah, ya manusia menyebabkan peningkatan jumlah gas rumah kaca di atmosfir yang mengakibatkan percepatan perubahan iklim.

 

Lantas apa?

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memrediksi bahwa dalam 100 tahun temperatur akan meningkat 2.5 – 10 derajat Fahrenheit. http://climate.nasa.gov/effects/

Peningkatan suhu bumi memiliki beberapa dampak,

  1. Temperatur akan terus meningkat
  2. Perubahan panjang musim menjadi tidak beraturan
  3. Perubahan pola presipitasi. Hujan semakin deras, atau tidak ada hujan sama sekali di beberapa tempat.
  4. Kekeringan dan gelombang panas
  5. Badai menjadi semakin kuat dan intens
  6. Muka air laut akan meningkat 30 cm – 1.2 cm
  7. Es di kutub akan mencair

Dampak-dampak ini boleh jadi merupakan tantangan umat manusia yang harus dihadapi. Beberapa sudah terbukti merusak dan menjadi bencana.

(Bersambung)

Tulisan ini akan menjadi permulaan dari seri tulisan mengenai perubahan iklim

Beberapa hal yang ingin saya tuliskan selanjutnya adalah:

  1. Akumulasi Gas Rumah Kaca
  2. Bencana Perubahan Iklim
  3. Pengingkaran Perubahan Iklim
  4. Geologi dan Perubahan Iklim

 

Berburu Fosil Moluska dan Fosil Kayu di Ci Lanang

Alkisah 5-6 tahun yang lalu saya diminta mengantar ibu saya ke daerah Cijenuk, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 35 km arah barat daya Kota Bandung, untuk mengunjungi suatu pesantren. Waktu itu pertama kali saya mengunjungi Cijenuk dan rasanya jauh sekali. Saya mengumpat dan menyumpah, kurang lebih seperti ini, “Aku mah moal sakali-kali deui kadieu” atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya saya tidak akan sekali-kali lagi kesini. Namun ternyata tidak baik mengumpat di depan orangtua, akhirnya saya kena dampaknya. Di tahun 2013, lapangan tugas akhir saya berlokasi di Gunung Halu, ya sekitar 30 kilometer arah barat dari Cijenuk.

Saya punya ikatan batin yang cukup baik dengan daerah Gununghalu, terutama karena berkat peta geologi saya di daerah ini saya dapat lulus sarjana dari ITB dan bisa mencari makan dengan pengetahuan yang saya miliki.

Tulisan kali ini adalah upaya saya untuk memperkenalkan salahsatu tempat untuk belajar dan berwisata di Gununghalu, yaitu Ci Lanang – Wisata Fosil Moluska, Fosil Kayu, dan Akik.

Cilanang Beds

Cilanang Beds adalah istilah yang diperkenalkan oleh Oostingh (1939, dalam van Bemmelen 1949) sebagai suatu lapisan batupasir di Ci Lanang yang mengandung fosil-fosil moluska berumur Miosen Tengah atau oleh Oostingh dikelompokkan ke dalam jenjang Preangerian. Umur ini didapatkan dengan meninjau kandungan fosil moluska yang masih hidup hingga sekarang yaitu sebanyak 33%.

Selain kandungan fosil moluska, di Ci Lanang juga dijumpai fosil-fosil kayu dan batu akik sebagaimana penemuan oleh Sujatmiko dan penulis sendiri ketika melaksanakan tugas akhir di tahun 2013.

Dalam peta geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk, 1996), lapisan ini termasuk ke dalam Formasi Cimandiri (Tmc) berumur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan fluvial-peralihan. Ciri litologinya adalah perselingan batulempung dan batulanau kelabu muda sampai menengah dan batupasir coklat kekuning-kuningan; setempat gampingan; setempat meliputi endapan lahar yang tersusun atas tuf, breksi andesit, dan breksi tuf. Globigerina, butir-butir damar yang lembut dan sisa-sisa tumbuhan terdapat jarang-jarang di dalam sisipan batulanau atau batupasir mengandung glaukonit.

peta-geologi-gabung
Lokasi penelitian pada Formasi Cimandiri (Tmc) berwarna hijau kebiruan. Lembar bagian atas adalah Lembar Cianjur, bagian bawah adalah Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru.

Sedangkan dalam peta geologi Lembar Cianjur (Sujatmiko), lapisan ini dikelompokkan sebagai Tufa Batuapung, Batupasir Tufan (Mt) dengan ciri litologi: Breksi tufan berbatuapung, batupasir tufan, napal tufan. Mengandung foraminifera kecil. Berlapis baik. Bila lapuk, formasi ini bercorak khusus, lunak, putih, atau abu-abu muda dan dapat dikenal mudah dari kejauhan. Di beberapa tempat terdapat tufa-tufa terkersikkan (akik) dan kayu terkersikkan.

Kehadiran fosil, akik dan fosil kayu dalam Formasi Cimandiri merupakan suatu hal unik dan menarik untuk diamati dan dipelajari.

Lokasi Penemuan Fosil Moluska dan Fosil Kayu

Aliran Ci Lanang berasal dari Pasir Ciasahan di Desa Tamanjaya, Kecamatan Gununghalu. Sungai ini bermuara ke genangan Saguling di Kampung Cinangka, Desa Mekarsari, Kecamatan Cipongkor. Lokasi pengamatan fosil moluska, akik, dan fosil kayu berada di Kampung Tonjongpeusing, Desa Wargasaluyu.

Pada lokasi ini ditemukan beberapa jenis fosil moluska yaitu Paphia neglecta, Strombus herklotsi, dan Anadara preangerensis. Moluska-moluska ini hidup pada zaman Miosen Atas dengan lingkungan hidup laut dangkal.

moluska
Kandungan fosil moluska di daerah penelitian. (a) , Paphia neglecta  Martin, 1919 (b) Strombus herklotsi  Martin, 1879 (c) Anadara preangerensis Martin, 1910

Di bagian hulu dari Ci Lanang, ditemukan fosil kayu dalam endapan laharik. Fosil ini merupakan kayu yang sudah mengalami silisifikasi sehingga menjadi keras.

Fosil Kayu di Ci Lanang
Fosil Kayu di Ci Lanang dalam singkapan aliran lahar
Fosil Kayu di Ci Lanang
Fosil Kayu di Ci Lanang dalam aliran laharik. Teramati sisa-sisa karbon pembakaran arang.

Sujatmiko dalam laman facebooknya (https://www.facebook.com/sujatmiko.miko24/posts/10204251346833644) melaporkan penemuan batuakik pada singkapan di Ci Lanang. Penulis menduga bahwa lokasi penemuan tidak jauh dari lokasi temuan penulis.

10406477_10204250413850320_5283812878537429191_n
Temuan batuakik oleh Sujatmiko yang telah diolah dan siap menjadi perhiasan

Menurut Sujatmiko, salahsatu batu mulia yang ditemukan di Cilanang adalah kalsedon yang ditemukan mengisi rekahan-rekahan dalam satu bongkah besar batupasir Formasi Cimandiri. Struktur-struktur pada batu mulia yang dijumpai di antaranya struktur bulu ayam (plume structure) atau bunga (flower structure).

Model Wisata Edukasi

Keberadaan fosil moluska, fosil kayu, dan batuakik dalam singkapan-singkapan di Ci Lanang merupakan suatu potensi pembelajaran yang baik dan menarik. Saya membayangkan geotrek yang kontennya adalah eksplorasi fosil moluska, fosil kayu, dan batu akik. Seperti yang dilakukan oleh Sujatmiko dengan SEG-SC (Society of Economic Geology – Student Chapter) Unpad pada tahun 2014.

Para pengunjung bisa mengeksplorasi fosil-fosil dan mungkin membawa pulang sebagai oleh-oleh seperti wisata fosil di Amerika (U-Dig Fossil, Utah) dimana pengunjung melakukan eksplorasi mandiri terhadap fosil-fosil dan kemudian boleh membawanya pulang. Bahkan beberapa paleontolog muda kemudian lahir dari model pariwisata semacam ini, yaitu anak-anak yang diinspirasi oleh orangtuanya untuk berburu fosil-fosil.

Harapan saya kemudian kelak wisata edukasi seperti ini akan berkembang, semakin diminati dan mewujudkan mimpi para perintis bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

equipment_hammer_chisel2
Contoh wisata edukasi mencari fosil di Inggris (http://www.discoveringfossils.co.uk/equipment.htm)

Salam.

Daftar Pustaka:

Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Jawa skala 1:100.000 edisi ke-2. Puslitbang Geologi, Bandung.

Sujatmiko. 1972. Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1:100.000. Puslitbang Geologi. Bandung

Sujatmiko.”FIELD TRIP SEG-SC UNPAD KE GUNUNG HALU BANDUNG.” Artikel Facebook. 18 Juni 2014. Diakses 31 Oktober 2016. https://www.facebook.com/sujatmiko.miko24/posts/10204251346833644

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia vol 1A.. Martinus Nijhof, The Hague, The Netherland

Lava di Galeri Nuarta

Berkunjung ke Galeri Nuart milik perupa Nyoman Nuarta di Setrasari Bandung merupakan pengalaman seni yang menarik sekali. Ditemani sahabat saya, seorang pemandu di galeri tersebut, kami disuguhi cerita tentang karya-karya Pak Nyoman yang begitu mendunia. 

Namun dalam perjalanan saya, saya terkesima akan satu pemandangan dekat bengkel kerja patung Garuda Wisnu Kencana di bagian belakang galeri ini. Pak Nyoman membangun galeri ini di hamparan aliran lava Tangkuban Perahu purba berumur 48ka. Meski saya tak sempat mendekat untuk mengobservasi lebih teliti, saya mengamati blok-blok lava yang sepintas mirip kekar kolom yang tak membentuk sempurna.

Pak Nyoman sendiri membangun rumahnya di dekat sebuah curug bernama Curug Aleh. Curug ini dipercaya merupakan ujung aliran lava dari Tangkuban Perahu di sungai ini. Analog dengan Curug Dago yang juga merupakan ujung aliran lava Tangkuban Perahu 48ka. 

Lava yang bersifat basaltik ini mengalir encer dari pusat erupsinya di Tangkuban Perahu sana, membentuk aliran lava dengan struktur menarik seperti kekar kolom, pahoehoe lava, dll.

Alangkah baiknya jika informasi geologi disediakan pula di Galeri Nuarta sebagai pengaya informasi sehingga pengunjung menerima informasi komprehensif mengenai Galeri Nuarta. Tapi secara keseluruhan, galeri ini sangat menarik untuk dikunjungi. 

Muhammad Malik Ar Rahiem

Geotrek Curug Malela, Ekspresi Rasa Takjub pada Ciptaan Yang Maha Kuasa

1
Rombongan Travel O’Logy Curug Malela. Foto oleh Azmi Harsana.

Perkenalan saya dengan Curug Malela dimulai di tahun 2009 ketika saya membaca artikel tentang Curug Malela di harian Pikiran Rakyat. Artikel itu memuat cerita tentang Curug Malela yang ditulis oleh Dr. Budi Brahmantyo.Setahun kemudian, Pak Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur mengunjungi Curug Malela dan kemudian air terjun ini menjadi begitu tenar kemana-mana.

Meskipun sudah dikunjungi wagub, perjalanan ke Curug Malela ketika itu sangat mengerikan. Bagaimana tidak, jalanan rusak mulai dari Cililin. Jalan berlubang berbatu, berbahaya. Semakin dekat bukan semakin baik tapi semakin parah. Bahkan masuk di Kecamatan Rongga, jalanan berbatu, berlumpur sangat menguras tenaga.

Ketika itu kami pergi bersepeda motor, dari Bandung pagi hari, sampai di Curug Malela sore hari. Pulang pun terpaksa harus menginap semalam di Cililin karena perjalanan terlalu melelahkan.

Namun kini, jalan menuju Curug Malela mulai diperbaiki. Sejak tahun 2010 hingga sekarang perbaikan cukup terasa. Tahun 2013, waktu saya mengunjungi Curug Malela untuk kali kedua, jalan Bandung hingga Gununghalu sudah mulai mulus. Meski jalanan di Rongga masih banyak yang berbatu. Di tahun 2016 sekarang, jalanan sudah mulus beraspal hingga Desa Cicadas, 5 km dari Curug Malela, sehingga cukup kita trekking sejauh 5 km saja.

Berdasarkan informasi yang saya terima dari masyarakat sekitar Curug Malela, jalan dari Cicadas ke Curug Malela pun akan diperbaiki di tahun ini, sehingga harapannya di tahun 2017, jalan ke Curug Malela sudah tersambung aspal seluruhnya.  Aamiin. Meski begitu harus dipikirkan juga akses jalan yang sempit yag cukup menyulitkan jika dua mobil berpapasan.

Bagi saya, Curug Malela adalah airterjun perjuangan. Curug ini adalah tempat yang pencapaiannya penuh perjuangan, tapi perjuangannya sepadan dengan hasilnya. Hanya 3-4 jam perjalanan berkendara dilanjutkan dengan 1 jam jalan kaki, kita akan disambut airterjun raksasa yang derunya terdengar dari jarak 3 km. Dari kejauhan telah terlihat buih dan aliran putih yang begitu menggoda sesiapa untuk turun melihat ke hadapannya.

Nama Curug Malela

Menurut T. Bachtiar (2016), kata malela  digunakan sebagai suatu ekspresi untuk menggambarkan kekaguman, kekuatan, atau daya lebih dari suatu benda. Oleh karena itu ketika melihat hamparan keusik atau pasir yang berkilauan, masyarakat menambahkan kata malela menjadi keusik malela.  Ketika melihat tanaman yang daunnya berbulu sangat gatal, lebih gatal daripada tanaman daun biasa, maka disebutlah pulus malela.

Dari situ sangat mungkin pula, penamaan Curug Malela bermula. Desa Cicadas tempat air terjun itu berada, merupakan desa dengan topografi berbukit-bukit tersusun atas batuan-batuan yang keras dan kasar atau batu cadas. Air terjun ini jatuh di sungai dengan lebar lebih dari 50 meter dengan tinggi lebih dari 20 meter sehingga tidak lazin dari air terjun biasa yang hanya 2 meter atau kurang dari 10 meter lebarnya.

Aliran Ci Dadap tempat Curug Malela mengalir kemudian berubah menjadi Ci Curug yang mencirikan bahwa alirannya berjeram-jeram. Kemudian alirannya bermuara ke Ci Sokan yang saat ini telah dibangun Bendungan Upper Ci Sokan dan Lower Ci Sokan.

Geologi Curug Malela

Curug Malela jatuh di aliran Ci Dadap yang berhulu di Gunung Kendeng, Kabupaten Bandung. Menurut Koesmono dkk dalam Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Curug Malela berada pada Formasi Beser, yaitu endapan gunungapi berumur Mio-Pliosen atau sekitar 5-7 juta tahun yang lalu. Sedangkan menurut Brahmantyo (2016), Curug Malela merupakan singkapan puncak antiklin Formasi Saguling yang berumur Miosen Awal hingga Tengah atau 15-10 juta tahun yang lalu.

2
Sketsa Curug Malela oleh Budi Brahmantyo (2016)

Curug Malela di Cicadas, Kecamatan Rongga, Kab. Bandung Barat, adalah air terjun jenis katarak (lebar membentuk tabir air) dari Ci Dadap (Ci Curug) yang jatuh setinggi kira-kira 50 m pada perlapisan batupasir amalgamasi (lapisan masif sangat tebal dengan batas lapisan yang tidak jelas) dari Formasi Saguling berumur Miosen Atas. Di sini membentuk kemiringan kecil (seperti plateau) karena diperkirakan persis pada puncak antiklin. Sketsa dibuat pada acara Jelajah Geotrek Matra Bumi 30 Juli 2016

Batuannya sendiri berupa perlapisan datar batupasir dan breksi yang sangat keras. Pannekoek (1946, dalam van Bemmelen, 1949) menyebut daerah ini sebagai Plateau Rongga, yaitu bagian selatan dari Punggungan Rajamandala dan transisi antara Zona Bandung dan Pegunungan Selatan. Plateau Rongga ini memiliki elevasi mulai dari 1000 meter dan permukaannya merupakan bukit dewasa hingga tua.

3
Modifikasi Sketsa Peta Geomorfologi Plato Rongga van Bemmelen 1949, dalam Ar Rahiem 2013.

Sebagai suatu plateau, maka tentu saja morfologi daerah ini tersusun atas lapisan-lapisan datar yang terpotong oleh lembah-lembah yang terjal. Pannekoek menduga daerah Plateau Rongga diduga merupakan dataran berumur Pliosen sebagai akibat dari denudasi Jampang.

Selain di Curug Malela, bentukan morfologi Plato Rongga bisa kita amati dengan baik di Tebing Gunung Celak, Kecamatan Gunung Halu, sekitar 20 km sebelum Curug Malela. Tebing ini merupakan lapisan landai breksi volkanik Formasi Beser berumur Mio-Pliosen atau sekitar 5-7 juta tahun yang lalu.

4
Tebing Celak di Kecamatan Gununghalu. Penciri bentangalam plato, yaitu tinggian yang dibatasi tebing terjal. Foto oleh Azmi Harsana.

Sebagai suatu platau, wajarlah bahwa sungai di kawasan Rongga dan sekitarnya banyak terpotong oleh air terjun. Lapisan datar atau landai memiliki kecenderungan untuk membentuk air terjun. Pada batuan sedimen yang berlapis, terdapat perbedaan resistensi. Ada lapisan yang keras, ada lapisan yang lebih lunak. Gambar di bawah mencoba menjelaskan bahwa aliran sungai mengerosi lapisan yang lebih lunak sehingga menyebabkan lapisan tersebut membentuk cerukan yang dalam istilah arung-jeram disebut sebagai undercut. Cerukan ini makin lama makin dalam dan mengakibatkan lapisan di atasnya menjadi menggantung dan lama-lama runtuh. Keruntuhannya menyisakan bongkah-bongkah besar yang biasanya banyak berada di sekitar airterjun. Selain itu, keruntuhannya juga menyebabkan airterjun semakin mundur. Jika dilihat dari udara, air terjun ini seolah-olah membentuk bentukan tapal kuda. Kita bisa melihat contoh ini dengan baik di Niagara.

5
Ilustrasi pembentukan airterjun pada lapisan landai dan datar.
6
Bentukan tapal kuda Air Terjun Niagara.

Sepanjang sungai, aliran ini mengerosi lapisan-lapisan datar membentuk begitu banyak airterjun. Di Curug Malela sendiri, terdapat 7 air terjun. Menurut dugaan penulis, beberapa curug ini pasti berada pada satu aliran sungai, meskipun ada juga yang jatuh di aliran anak sungai. Curug-curug ini di antaranya adalah Curug Malela, Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan ditutup dengan Curug Pameungpeuk.

 

Sejarah Curug Malela              

22240609
Buku tentang kisah para juragan teh Jawa Barat

Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU Agraria yang mengizinkan swasta melakukan usaha perkebunan di Indonesia. Ketika itu swasta berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia. Di Jawa Barat sendiri, komoditas yang popular adalah teh. Para pengusahanya biasa disebut sebagai Preanger Planters. Beberapa tokoh Preanger Planters yang terkenal diantaranya adalah K.F. Holle, Bosscha, keluarga Kerkhoven, dll.

Di Bandung Barat sendiri, pada 1908 berdirilah perkebunan Montaya milik perusahaan NV Cultuur My. Area kebunnya meliputi Kecamatan Gununghalu dan Kecamatan Rongga dengan luas konsesi keseluruhan sekitar 2100 hektar. Di dekat perkebunan teh inilah Curug Malela berada.

Dalam buku Bandung Tempo Dulu karya Haryoto Kunto pada bagian Pariwisata Bandung ada sebuah foto Curug Malela yang saat itu disebut sebagai Curug Sumpah. Meskipun tidak ada keterangan yang jelas mengenai air terjun ini, tetapi keberadaan informasi ini menjadi titik terang bahwa curug ini telah sejak lama menjadi lokasi wisata.

7
Curug Malela dalam buku Bandung Tempo Dulu karya Haryoto Kunto. Pada saat itu Curug Malela dikenal sebagai Curug Sumpah

 

Curug Malela dan Perkembangan Geowisata

Curug Malela telah berkembang begitu pesat sejak ekspos pariwisata di harian Pikiran Rakyat tahun 2009. Ia bersolek dan bermolek untuk menyambut tamu-tamu yang ingin menyegarkan pikirannya. Bertualang mengagumi keindahan ciptaan-Nya. Masyarakat bahu membahu menata lingkungan Curug Malela agar rapi dan nyaman dikunjungi. Fasilitas yang ada sudah begitu baik, warung makan, kamar mandi, mushola, tempat sampah, dan terbaru adalah platform untuk berfoto-foto kekinian. Pengunjung bisa berpose di atas pohon dengan pemandangan Curug Malela yang tak terhalang. Fasilitas ini menjadi salah satu fasilitas yang digemari oleh pengunjung.

8
Platform di atas pohon untuk berfoto menjadi idola para pengunjung. Cukup membayar Rp3000 saja sekali naik. Foto oleh Malik Ar Rahiem
9
Pak Atip, petugas Curug Malela.

Begitu pula petugas sangat ramah dan tanpa segan bersiap membantu pengunjung yang kesulitan. Mereka telah cukup terlatih dan terbiasa untuk memandu dan menawarkan jasanya tanpa membuat pengunjung merasa dipaksa. Hal ini tentu sangat positif dan meningkatkan kenyamanan pengunjung.

Pariwisata menjadi salahsatu katalis perkembangan wilayah. Keberadaan Curug Malela dan ekspos positif dari media membuat pembangunan menjadi suatu keniscayaan. Interaksi ekonomi antara pengunjung dan masyarakat membuat warga sadar bahwa Curug Malela merupakan aset daerah yang harus dijaga dan dikembangkan.

Menuju Curug Malela

Berjalan-jalan ke Curug Malela adalah suatu keharusan bagi anda yang menyenangi pemandangan alam (sampai saat ini saya belum bertemu orang yang tidak senang dengan pemandangan alam). Perjalanannya yang cukup jauh terbayar dengan keindahan alamnya yang luar biasa.

Untuk menuju ke Curug Malela ada beberapa opsi yang bisa ditempuh. Jalur ke Curug Malela dari Bandung adalah sebagai berikut; Bandung – Batujajar – Cililin – Sindangkerta – Gununghalu – Rongga – Desa Cicadas – Curug Malela sejauh 75km (gambar). Dari Bandung hingga Rongga jalanan sudah beraspal baik, namun dari Gununghalu hingga ke Rongga jalanan cukup sempit hanya bisa dilalui kendaraan kecil (maksimal elf). Panduan jalan dengan menggunakan Google Maps sudah cukup informatif. Di beberapa tempat ada plang jalan yang kadang terlewat sehingga harus berhati-hati agar tidak tersesat.

10
Peta Jalan Curug Malela – T. Bachtiar.

Dari Rongga hingga Cicadas, sudah beraspal baik. Ujung aspal berada di dekat perkebunan teh yaitu di warung Abah Kuluk, sekitar 6 km dari Curug Malela. Jalanan berbatu namun masih bisa dilewati hingga gerbang tiket Curug Malela, yaitu dekat SMPN 3 Rongga. Dari sini kita harus berjalan kaki sekitar 4 km menuju Curug Malela. Jika menggunakan motor, bisa hingga warung-warung Curug Malela, namun perjalanan cukup berat karena jalanan tanah dan berbatu. Dari warung ini juga bisa menggunakan jasa ojek dengan tarif negosiasi sekitar Rp30.000 – Rp50.000 tergantung musim perjalanan.

Musim kunjungan Curug Malela yang terbaik adalah ketika musim penghujan. Saat itu debit Curug Malela sangat tinggi dan aliran air begitu megahnya, tapi sangat tidak disarankan untuk berenang karena aliran yang deras dan rawan terjadi banjir bandang dari hulu. Meski demikian, kunjungan pada musim penghujan cukup berat karena jalanan tanah yang licin. Pada musim kemarau, debit Curug Malela kecil namun bisa untuk berenang dan bermain air.

Jika menggunakan angkutan umum, bisa menggunakan elf Ciroyom – Bunijaya. Informasi tarif belum jelas, namun mungkin sekitar Rp20.000 – Rp50.000. Dari Bunijaya kita harus menyewa ojek yang tarifnya sekitar Rp50.000 – Rp100.000 dengan jarak perjalanan sekitar 20 km (15 km jalan aspal dan 5 km jalan tanah berbatu).

11

Jadi tunggu apa lagi. Siapkan akhir pekanmu, kunjungi Curug Malela segera!

Daftar Pustaka

Ar Rahiem, M.M. 2013. Geologi dan Identifikasi Gerakan Tanah Daerah Celak Kabupaten Bandung Barat. Tugas Akhir Sarjana pada FITB ITB Bandung. Tidak diterbitkan.

Bachtiar, T. (2011, 11, September). Curug Malela, Wow Keren! Geomagz Volume 1 no 3.

Bevis, K.A. 2013. Tumalo Creek; Its Glaciated Valley and Spectacular Waterfalls (Field Trip 1E. [daring]. Tersedia:http://intheplaygroundofgiants.com/field-guides-to-central-oregons-geology/field-guide-to-the-bend-area/tumalo-creek-its-glaciated-valley-and-spectacular-waterfalls-field-trip-1e/ [diakses 4 Oktober 2016]

Brahmantyo, B. (2009, 3, Agustus). Curug Malela Lebih Dari Sekedar Wisata. Harian Pikiran Rakyat.

Brahmantyo, B. 2016. Sketsa Curug Malela-Album Facebook. [daring]. Tersedia: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1020257771414681&set=a.117584741681993.22623.100002914046227&type=3&theater. [diakses 4 Oktober 2016]

Kunto, Haryoto. 1982. Bandung Tempo Dulu. Bandung. Grasindo

Niagara Parks. 2016. Niagara. [daring]. Tersedia: http://www.infoniagara.com/attractions/canadian_falls/images/image2.jpg [diakses 4 Oktober 2016]

Excellence Prize of Big Data Competition For Sustainable Cities and Urban Communities 2016

So, we did it yeayy! After a month of discussion and several late night meetings, we finally win Excellence Prize in Big Data Competition For Sustainable Cities and Urban Communities 2016 held by UN Global Pulse. I’m proudly present you to this two young pretty ladies who inspire me a lot and always spread some positive energy.

Pravitasari and Gita!!

115735
Ita – Malik – Gita

A few months ago, I was asked to accompany Ita and Gita to Tangkuban Perahu. They were doing some research about tourism accessibility for the disables. Later they proposed an idea to some sociopreneurship competition about Captour which stands for Capable Tourism, an act to provide tourism for everyone, especially the disable.

Unfortunately, their brilliant idea didn’t make it to the competition. But the idea itself is still waiting to be manifested.

In May, I saw a competition leaflet. It is Big Ideas Competition For Sustainable Cities and Urban Communities 2016 held by UN Global Pulse. I read the booklet and I think that the proposal wouldn’t be so hard to create. So I ask Ita and Gita to join the competition as a team and we discussed about topic we should proposed. Later we chose this idea, Tune Map – Mapping accessible pedestrian routes for people with visual impairments in Bandung.

Of course for Ita dan Gita, this is not a new idea since they’re deeply concern about the mobility for the disables. Me? I think I’m a great catalyst. It is a great honor for me to be able to work with such brilliant peoples. Those who’s never stop spreading the positive vibes.

So here we are, Excellence Prizes Winner of Big Ideas Competition for Sustainable Cities and Communities.I praise Allah for this Ramadhan Kareem, Praise Him for this blessing. I’m really proud to be part of the team, and I’m looking forward for our next project. Lezgooo!

http://unglobalpulse.org/news/winners-big-ideas-competition-sustainable-cities-and-urban-communities-announced

Sepercik Kasih Travel O’Logy

Saya senang bercerita. Mungkin ini turun dari mama saya yang sangat pandai bercerita. Pernah suatu ketika beberapa kawan mampir ke rumah. Mereka sudah ingin pulang, tapi mama menahannya dengan tidak berhenti-berhentinya bercerita. Waktu teman-teman sudah berdiri mendekat ke pintu, mama melanjutkan lagi ceritanya sampai teman-teman akhirnya duduk lagi.

Kesenangan itu saya bawa hingga mahasiswa dan sekarang setelah lama lulus kuliah. Ketika mendirikan Travel O’Logy, salah satu motivasi saya saat itu adalah agar saya bisa menjadi interpreter sekaliber dosen saya, Pak Budi Brahmantyo, yang hampir semua orang mengakui bahwa beliau pandai membawakan kisah geologi dengan cara yang sederhana. Motivasi dari beliau pun sama, harapannya adalah ada interpreter muda yang bisa mengedukasi geologi dengan cara yang populer lagi tidak menggurui.

Bercerita tentang geologi membuat saya merasa berkembang. Bagaimanapun saya dipaksa untuk merangkum semua detil rumit kisah geologi tentang tektonik, petrogenesa, sedimentologi, vulkanisme, dan lain-lain ke dalam bahasa sederhana yang bisa dimengerti bahkan oleh bocah TK. Mencoba berbagi juga berarti saya harus membuka diri bahwa saya lebih banyak tidak tahu dan menerima juga bahwa mungkin ada orang lain yang lebih tahu, dan saya boleh jadi salah.

Bagi saya, pengalaman bersama Travel O’Logy adalah suatu pencapaian paling hebat dalam hidup saya. Meskipun Travel O’Logy belum berkembang sebagaimana yang saya bayangkan, meskipun ia masih tersengal-sengal, namun saya merasa bangga bahwa kami sudah sampai sejauh ini.

Perlu energi yang begitu besar untuk mendirikan sesuatu yang berkelanjutan. Perlu energi yang besar untuk menciptakan sistem yang bisa berjalan. Perlu energi yang besar untuk bertahan selama ini. Namun yang lebih diperlukan adalah kerendahan hati, untuk bisa menerima bahwa saya tak akan menjadi apa-apa tanpa bantuan dari teman-teman semua. Terima kasih banyak untuk : Fusi, Kure, Yuanita, dan Ikhrandi sebagai founder pertama Travel O’Logy. Terima kasih juga untuk Amran, Ndoy, Edo, Asmi, Carok, Sirka, Nabilah, Dulleh, dan teman-teman lain yang sudah banyak membantu kami bisa berjalan sampai sejauh ini.

Mari berkarya lagi setelah Lebaran!