Tulisan dimuat di DW dan Detik.com

Beberapa bulan lalu saya lihat tawaran menulis untuk blog DWnesia. Temanya tentang pengalaman berkuliah di Jerman. Langsunglah saya tulis cerita bergeowisata ke Geopark di Jerman. Hasilnya tulisan saya dimuat di DW dan diteruskan ke Detikcom. Lumayan juga membanggakan, bikin semangat untuk menulis lagi dan masukkan ke media.

Berikut tautannya.

DW

Detik

Setelah membaca-baca tulisan sendiri, baru menyadari kemampuan berbahasa saya yang payah. Agak membingungkan juga bagaimana cara pasang koma, titik, titik dua, titik koma, dan tanda baca lainnya. Tapi yang penting selalu bersemangat dan terus berusaha menulis menulis dan menulis!

Berbagi Ilmu di Kuliah Tamu

Di Institut Geosains Terapan (Institut für Angewandte Geowissenschaften) TU Darmstadt, setiap minggunya diadakan kuliah tamu, mengundang saintis-saintis dari seluruh dunia. Minggu lalu, yang hadir adalah Profesor Emeritus dari Stanford, Profesor Martin Reinhard yang mempresentasikan tentang kontaminan organik di Singapura, minggu ini kami kehadiran Dr. Georg Houben dari Badan Geologi Jerman (BGR) yang mempresentasikan tentang eksplorasi air tanah di Namibia.
Peserta kuliah tamu ini mahasiswa, dosen, dan umum. Mahasiswa sarjana untuk lulus wajib hadir dan meminta tanda tangan dosen di lembar kehadiran (seperti lembar kolokium di GL ITB). Yang menarik dari kuliah tamu ini saya kira adalah antusiasme dari dosen-dosen untuk hadir dan mendengarkan presentasi yang disampaikan. Saya melihat dosen, baik yang muda dan yang sudah sangat sepuh sekali pun hadir, menyimak, dan bertanya dalam sesi diskusi. Seringkali pertanyaannya bahkan sangat serius hingga diskusi harus dilanjutkan setelah kelas selesai. 
Yang mengagumkan lagi adalah bahwa kuliah tamu ini diadakan pada pukul 17.15 (CET), yang artinya di musim dingin sekarang hari sudah gelap, dan orang-orang “seharusnya” sudah kehilangan konsentrasinya untuk menyimak pelajaran. Tapi tetap, orang-orang datang menunjukkan antusiasmenya.
Kuliah kemarin oleh Dr. Houben dari BGR sangat menarik, karena bagi saya sebagai mahasiswa hidrogeologi, semua teknik yang dipelajari dalam perkuliahan dibahas dan diaplikasikan dalam riset eksplorasi air tanah di Namibia. Detilnya bisa dilihat di laman ini.
Saya kira program seperti ini sangat menarik juga untuk dilaksanakan di Indonesia. Sekarang yang ada hanya kolokium yang biasa diselenggarakan oleh Pusat Survei Geologi atau oleh Badan Geologi. Saya kira bagus juga kalau universitas yang mengadakan dan mengundang peneliti dari universitas lain. Ini bakal membuka wawasan mahasiswa untuk lebih paham di kampus lain atau di instansi riset itu penelitiannya seperti apa dan juga membuka peluang kerja sama yang lebih baik lagi.
Jangan terlalu banyak saling bersaing, berdebat, tapi kurang berkolaborasi.

Curug Lanang, Air Terjun yang Hilang di Ci Tarum

Dulu, di aliran Ci Tarum di sekitar Leuwigajah, di tempat sekarang Curug Jompong berada, tidak hanya ada satu air terjun saja. Di sana terdapat deretan air terjun, ada dua air terjun lainnya ke hilir dari Curug Jompong. Dua air terjun itu kini tidak ada lagi, karena sejak 1985 ikut tenggelam dalam genangan Waduk Saguling setelah struktur bendungan dibangun antara Pasir Saguling dan Gunung Pancalikan, membendung Ci Tarum pada elevasi 650 meter di atas permukaan laut.

Keberadaan deretan air terjun di Bandung ini telah dilaporkan sejak lama. Tercatat Junghuhn yang pertama melaporkannya pada 1854. Junghuhn dalam bukunya Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi En Inwendige Bouw volume ke 4 yang diterbitkan tahun 1854 (hal. 384), melaporkan penemuan bebatuan Diorit di sekitar Curug Jompong. Ia juga melaporkan deretan air terjun setelah Curug Jompong. Curug Jompong adalah air terjun yang pertama, kemudian Curug Lanang, dan ketiga adalah Curug Kapek.

Pada tahun 1857, Ferdinand Hochstetter dan timnya dalam ekspedisi Novara, menapaktilasi jejak Junghuhn dan melaporkan hasil ekspedisinya dalam buku “Narrative of the Circumnavigation of the Globe by the Austrian Frigate Novara“. Dipimpin oleh Komodor B. von Wullerstrof-Urbair dan ditulis oleh Dr. Karl Scherzer, laporan mengenai tiga air terjun di sekitar Lagadar dilaporkan dalam buku volume kedua yang diterbitkan di London tahun 1862. Tapi catatan lengkap mengenai perjalanan ke Jawa ditulis langsung oleh Ferdinand Hochstetter dalam Geologische Ausflüge auf Java.

Laporan ini merupakan yang paling lengkap dan terperinci mengenai tiga air terjun di Lagadar. Dalam laporannya ini Hochstetter menuliskan pengalamannya berkunjung ke daerah ini.

” Curug Jompong adalah air terjun pertama di Ci Tarum. Lokasinya merupakan gerbang di mana Ci Tarum berpindah dari dataran Bandung menerobos perbukitan yang jika dilihat dari selatan (Gunung Tilu dan Gunung Patuha), perbukitan ini seolah membentuk koridor memanjang ke arah utara menuju dataran tinggi Bandung. 

Erosinya cukup dalam di sini, hingga 100 kaki. Sebatang pohon kiara berdiri tegak di dasar sungai yang berdebur kencang, menjadi pemandangan indah yang natural dengan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Aliran air menerjang di lembah dengan lebar sekitar 100 kaki, menderu menurun karena ada dua tingkatan, kemudian bersamaan jatuh setinggi 30 kaki. Sedikit jauh ke hilir kita bisa amati turunan ketiga. 

Di tengah-tengah air yang berbusa, tampak batuan tertutup semak dan batuan besar yang seolah membentuk pulau kecil dengan pohon tumbuh dari retakannya. Dinding batuan di sebelah kiri sungai menunjukkan karakter felspatik, teramati juga hornblende dan massa trakitik yang mengandung kuarsa, dengan tekstur porfiritik dan berwarna terang. 

Batuan ini mirip dengan batuan Vorospatak di Transylvania yang diteliti oleh Dr. Strassen yang mendeskripsi batuan ini sebagai Dasit. Sayang sekali saya tidak bisa mendapat spesimen yang segar dari tempat ini. 

Sekitar setengah mil ke hilir dari Curug Jompong, Ci Tarum yang menoreh bukit-bukit trakitik, seperti Bukit Korehkotok di kiri sungai, dan kerucut Gunung Selacau yang mencolok di kanan sungai, kembali terdisrupsi.  

Di sinilah air terjun kedua, yaitu Curug Lanang berada. Erosi sungai semakin dalam di sini. Tepi sungai terjal dan berbatu, sehingga untuk turun ke sungai hanya mungkin dengan bantuan tangga bambu. Curug Lanang ini lebih berupa jeram daripada air terjun. Batuannya sangat resisten dengan mineral berwarna abu kehijauan tanpa hornblende. Dinding vertikal di kiri sungai menunjukkan seri lapisan sedimen yang menarik, yaitu:

–6 kaki lempung
–8 kaki kerakal
–12 kaki batupasir coklat dengan selingan lempung
–10 kaki kerikil
–dan 20 kaki lapisan tipis batupasir kecoklatan.

Lapisan-lapisan sedimen ini berlapis datar tanpa disrupsi di atas masa batuan yang menjadi dasar sungai. Lapisan ini merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung. 

Kami beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan ke Curug Kapek, yaitu air terjun ketiga. Air terjun ini tidak jauh dari Curug Lanang, tapi karena tidak ada akses kami harus jalan memutar. Curug Kapek juga lebih tepat disebut sebagai jeram daripada air terjun. Sungai di segmen ini hanya selebar 24 kaki, dan air terjun jatuh dari ketinggian 6 kaki dari lapisan batupasir yang merupakan lapisan paling bawah dari profil yang saya sebutkan di atas. Pasir dalam profil ini merupakan endapan volkanik berukuran pasir halus. 

Setelah mengamati sendiri, saya merasa cukup yakin tentang pendapat Junghuhn mengenai material yang dianggap sebagai lapisan danau di Dataran Bandung ini berasal dari endapan gunung api. Juga bahwa dataran tinggi ini, seperti juga daerah lain di tengah-tengah Pulau Jawa, ditimbun oleh endapan volkanik, lava, material rombakan, debu, dan pasir. Sementara endapan yang lebih tua mungkin endapan aluvial. Kami bisa membayangkan asal muasal dari material-material ini dengan menganalogikan dengan letusan gunung yang terjadi belakangan ini di Jawa, misal letusan Gunung Galunggung tahun 1822 yang aliran lumpurnya mengakibatkan areal yang berada pada jarak tertentu dari pusat erupsi ini tertimbun hingga 50 kaki dalamnya.”

Kemudian pada tahun 1930, Profesor geologi Th. Klompe dalam buku buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tingginya), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, menulis:

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. “

Profesor Klompe tidak menyebutkan secara gamblang nama air terjun setelah Curug Jompong. Ia hanya menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan jeram di daerah ini. Boleh jadi ini merujuk pada Curug Lanang dan Curug Kapek seperti yang telah dilaporkan oleh Hochstetter dan Junghuhn.

Setelah mencari-cari cukup lama, akhirnya saya dapat foto air terjun yang saya duga adalah Curug Lanang. Foto-foto ini merupakan koleksi digital dari Universitas Leiden. Kira-kira diambil tahun 1910. Keterangan dalam foto ini hanya menyebut jeram di Ci Tarum tempat bermuaranya Ci Kuya.

Perhatikan batu di gambar 1, merupakan batu yang sama dengan gambar 2. Sementara gambar 3 kemungkinan adalah foto dari jarak jauh.

Yang menarik di dalam Peta Geologi Lembar Bandung yang dibuat oleh van Bemmelen dan Szemian tahun 1934, terdapat toponimi Kapek di sebelah utara Curug Jompong. daerah ini berada di sekitar Ci Kuya yang kemudian bermuara ke Ci Tarum. Meski demikian kemungkinan besar di muara Ci Kuya ini justru merupakan letak dari Curug Lanang, karena deskripsi geografisnya lebih cocok, yaitu di antara Pasir Korehkotok di kiri sungai dan Gunung Selacau di kanan sungai (kiri kanan sungai dilihat dari arah sungai mengalir). Sementara dalam tulisan Klompe, ia menyatakan bahwa Ci Lanang berada di muara sungai pertama setelah Curug Jompong.  Dalam peta geologi van Bemmelen dan Szemian ini, Curug Jompong ditandai dengan kata Stroomversnelling yang artinya jeram.

Peta Geologi Lembar Bandung van Bemmelen 1934
Kemungkinan lokasi Curug Lanang. Paling besar kemungkinannya adalah lokasi di hilir.

Tentu Curug Lanang tak bisa kita lihat lagi keberadaannya. Namun bukan berarti kita lupakan saja dan lanjutkan hidup seperti biasa. Justru kita harus menggali apa yang mungkin bisa kita manfaatkan untuk masa depan. (Menggali di sini bukan berarti menambang yaa).

Membuka ulang catatan-catatan lama bukan berarti bernostalgia dengan masa lalu dan menganggap masa lalu lebih baik dari masa sekarang. Ini hanyalah upaya untuk merefleksi diri, melihat kembali apa yang pernah kita punya agar kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan ke depannya. Mempelajari sejarah adalah mempelajari kebijaksanaan lampau untuk kita manfaatkan dalam kehidupan kita sehari-hari sekarang. Paling sederhana bisa jadi menghidupkan kembali jalur berwisata di sekitar Curug Jompong. Mengajak orang-orang kembali ke masa lalu untuk bisa memperbaiki Ci Tarum yang rusak berat saat ini.

Dalam catatan-catatan panduan perjalanan berwisata di Bandung, sering sekali disebut bahwa daerah perbukitan intrusi yang diterobos Ci Tarum ini memiliki bentang alam paling indah di Pulau Jawa. Mungkin kita bisa mengembalikan daerah ini seperti dulu, kembali pada habitatnya sebagai tempat yang indah, tempat yang dikunjungi dan dibanggakan, bukan tempat yang dibelakangi dan ditinggalkan.

Semoga bermanfaat.

Ci Tarum Tercemar Amat Sangat Super Luar Biasa Berat!

Hari ini saya belajar mengenai status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman ini, metoda yang digunakan untuk menentukan status mutu air adalah metoda STORET. Metoda ini secara prinsip membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Untuk mengklasifikasikan status mutu air, digunakan sistem nilai dari US-EPA, yang mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu
(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10  cemar ringan
(3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30  cemar sedang
(4) Kelas D : buruk, skor lebih kecil dari -31  cemar berat

Angka di atas kurang lebih berarti seperti ini: setiap ada satu parameter yang lebih besar dari batas ambang minimal, maka akan dapat skor minus. Parameter yang diukur seperti parameter fisika (TDS, suhu, DHL), kimia (kandungan zat-zat kimia), dan biologi (e-coli). Semakin rendah nilainya (semakin minus), maka semakin buruk skornya.

Nah kemudian saya mencoba membaca hasil analisis kualitas air Ci Tarum di Nanjung, dekat Jembatan Ci Tarum di Leuwigajah, yang dilaporkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat. Pengukurannya sendiri dilakukan pada bulan April, Mei, Juli, September, dan Oktober 2013. Hasilnya adalah skor Storet Ci Tarum di Nanjung -176! (cek tabelnya di: NANJUNG)

Skor -176 ini selisihnya lebih dari 140 dari batas minimal kelas D yang artinya tercemar berat. Mungkin kita bisa menambah beberapa kelas lagi sampai kelas Z untuk menunjukkan bahwa Ci Tarum ini tingkat ketercemarannya sangat luar biasa buruk.

Lebih lima tahun lalu saat kampanye mantan Gubernur Ahmad Heryawan, beliau menjanjikan pada 2018 air Ci Tarum bisa diminum. Janji ini tentu hanya sekedar janji politik yang omong kosong. Kenapa begitu? Karena lihat saja tahun 2013 saat janji itu diungkapkan, angkanya -176, mungkin di stasiun pengukuran lain sama juga, sementara untuk bisa diminum, yaitu memenuhi baku mutu maka nilainya itu 0. Ada puluhan parameter yang harus diperbaiki, sementara aksinya tidak terasa kalau tidak boleh bilang tidak ada.

Kini tahun 2018, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat belum menyediakan lagi data kualitas air Ci Tarum di laman situsnya. Konon klaimnya, meski kualitas air tetap buruk, tapi angkanya membaik.

Karena di rezim jaman sekarang itu tidak boleh asal kritik dan harus memberi solusi, maka saya ingin mencoba memberi solusi.

Solusi dari saya adalah keterbukaan data agar masyarakat bisa melihat sendiri perbaikan yang terjadi di Ci Tarum. Buka akses selebar-lebarnya terhadap semua pengukuran dan monitoring di Ci Tarum. Buka data analisis kualitas air, dan tunjukkan grafiknya bahwa perubahan terjadi menuju arah yang lebih baik. Biar kita bisa mengukur sendiri, biar kita bisa tahu sejauh mana dampak upaya kita untuk melindungi Ci Tarum.

Saat ini data yang tersedia hanya data tahun 2013. Sementara itu untuk mengakses data-data terbaru harus mengajukkan permohonan yang tentu memakan waktu dan terutama karena kita paham ruwetnya birokrasi. Dengan terbukanya akses data, maka partisipasi warga akan lebih mudah. Toh data milik warga juga, tidak perlu disembunyi-sembunyikan. Kecuali memang ada yang ingin disembunyikan.

Solusi saya yang kedua sifatnya lebih lokal. Salah satu simpul Ci Tarum adalah Curug Jompong. Dalam tulisan saya yang lalu, saya menulis tentang Curug Jompong yang telah dikenal sejak lama dan telah menjadi tempat bergeowisata sekurang-kurangnya sejak 1918. Dengan menghidupkan kembali Curug Jompong sebagai tujuan berwisata (meskipun masih kotor, jorok, dan berbau tak sedap) kita mengundang masyarakat untuk menjadi pengawas Ci Tarum. Ini untuk membuka pikiran masyarakat bahwa Ci Tarum adalah beranda rumah kita, yang harus kita jaga dan pelihara. Juga untuk mengingatkan semua orang bahwa Ci Tarum pernah begitu berjaya dengan Curug Jompongnya, menjadi objek wisata kebanggaan warga Bandung sejak 100 tahun yang lalu.

Semoga saya bisa menjadi bagian dari solusi, bukan hanya yang berucap tanpa berbuat.

Sanghyang Tikoro Tempo Dulu dalam Foto dan Sketsa

Berikut beberapa gambar Sanghyang Tikoro tempo dulu dalam foto dan sketsa. Gambar didapat dari berbagai sumber.

Sanghyang Tikoro dalam buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (1930)

 

Sanghyang Tikoro dalam Collection of the Natural Sciences Commission for the Dutch East Indies (1839-1844)

 

Sketsa Sanghyang Tikoro oleh Junghuhn dalam buku Java: Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (1854)

 

Sketsa Sanghyang Tikoro oleh Junghuhn dalam buku Java: Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw (1854)
Sketsa arah aliran Ci Tarum di Sanghyang Tikoro oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853). Koleksi Tropenmuseum

 

Lukisan Sanghyang Tikoro oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853) tahun 1827
Lukisan Sanghyang Tikoro dari hilir oleh Antoine Aauguste Joseph Payen (1792 – 1853) tahun 1827

Cilanang Beds, Sebuah Sejarah Panjang Penelitian Fosil Moluska dari Bandung Barat Daya

Apa yang terlintas dalam benak anda saat dengan kata “fosil”? Mungkin hal pertama yang terpikirkan adalah fosil-fosil dinosaurus dan petualangan Jurassic Park yang menjadi sumber imajinasi anak-anak tahun 90-an. Tapi jika ditambahkan satu kata “moluska” di belakang kata fosil, maka seolah-olah kata itu kehilangan daya tariknya. “Hah apaan fosil moluska? So what?” mungkin begitu respon yang ada.

Bagi kebanyakan orang mungkin begitu, tapi tidak bagi peneliti-peneliti klasik tempo dulu yang menemukan begitu banyak informasi berharga dari fosil moluska. Catatan orang-orang yang melaporkan tempat penemuan fosil dibaca dan kemudian jejaknya ditelusuri. Mereka berusaha agar bisa melakukan suatu ekspedisi penelitian ke sana dan mengumpulkan spesimen-spesimen untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan.

Tulisan ini adalah tentang Cilanang Beds. Suatu lapisan sedimen kaya dengan fosil moluska yang masyhur di antara para paleontolog di Jawa, terutama mereka yang membaca literatur-literatur klasik. Sayangnya, meski hanya berjarak 50 kilometer dari Kota Bandung, kota yang memiliki begitu banyak lembaga penelitian geologi, tempat ini hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Padahal, ternyata tempat ini memiliki sejarah penelitian yang panjang, sejak lebih dari 150 tahun yang lalu.

Kisah panjang Cilanang bermula pada pertengahan abad ke 19, kala Franz Junghuhn, seorang naturalis berkebangsaan Jerman, melakukan perjalanan penelitiannya yang masyhur di Pulau Jawa. Junghuhn menulis 4 jilid buku tentang Jawa dengan tebal lebih dari dua ribu halaman yang dipublikasikan secara berkala dari tahun 1850 hingga 1854.

Dalam buku jilid ke 4, Junghuhn melaporkan tentang kondisi geologi dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Catatannya ini sangat mengagumkan. Deskripsinya penuh presisi dengan sketsa yang luar biasa. Ketika membacanya seolah kita tak percaya bahwa buku ini ditulis hampir dua ratus tahun yang lalu.

Salah satu catatan geologi yang dilaporkan Junghuhn adalah penemuan fosil-fosil yang lokasi penemuannya ia kelompokkan dengan kode lokasi A-Z. Salah satu lokasi yang penemuan fosilnya cukup banyak dan catatannya cukup detil adalah Lokasi O.

Tentang Lokasi O Junghuhn menulis:

“Bagian barat daya dari dataran tinggi Bandung, terutama di Distrik Rongga, di sebelah selatan dari Ngarai Ci Tarum, antara Curug Jompong dan lembah yang menerobos pegunungan memanjang antara Bandung dan Rajamandala. Bagian selatan dari tempat ini adalah suatu pegunungan yang berasal dari endapan gunung api. Dari Lio Tjitjangkang berjalan turun ke arah barat hingga Gunung Sela, kita akan temui daratan yang menjorok ke sungai, di mana kita bisa lihat lapisan lempung dan batupasir marl yang lunak dan berwarna kebiruan dengan kandungan fosil yang luar biasa baik dengan tingkat keterawetan yang sangat tinggi. Dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut, singkapan ini berada di tepian Ngarai Ci Lanang hingga ke Gunung Sela, di mana sepanjang ngarai inilah fosil-fosil bisa ditemukan.”

Terpesona oleh catatan Junghuhn, pada tahun 1857, dalam sebuah ekspedisi sains berkeliling dunia yang didanai Kerajaan Austria, Ferdinand von Hochstetter bersama timnya menyusuri kembali jalur yang dilaporkan Junghuhn. Perlu diketahui bahwa pada masa itu dunia riset di Eropa sedang giat-giatnya melakukan ekspedisi untuk mengumpulkan spesimen-spesimen fosil dari seluruh dunia. Dalam ekspedisi yang diberi nama Ekspedisi Novara ini (berdasarkan nama kapal ekspedisi), Hochstetter dan timnya mengumpulkan begitu banyak spesimen yang dikirimkan ke Vienna. (lihat Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro)

Kemudian pada tahun 1879, seorang geolog dan paleontolog berkebangsaan Jerman Johann Karl Ludwig Martin, mempublikasikan laporannya tentang hasil analisis fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Junghuhn dan oleh ekspeditor lain yang dilakukan di Jawa. Laporan ini berjudul “Die Tertiärschichten Auf Java” atau “Lapisan Tersier di Jawa”. Dalam laporan ini Martin juga menganalisis mengenai Lokasi O yang disebutkan Junghuhn. Lokasi ini cukup istimewa karena jumlah spesies yang bisa diidentifikasi sangat banyak, lebih dari 100 fosil bisa diidentifikasi dari lokasi ini.

Sedikit bocoran tentang Martin. Ia lahir di Jever, Jerman pada 1851 dan kemudian pada 1877 diangkat menjadi  profesor geologi di Universitas Leiden, Belanda. Kemudian dari tahun 1878 hingga 1922 ia menjadi direktur Museum Geologi di Leiden. Sebagai seorang saintis, penelitiannya terutama pada bidang paleontologi dan stratigrafi di Hindia Belanda, terutama di Maluku. Martin ini dianggap sebagai sesepuhnya paleontologi di Belanda.

Martin pertama kali berkunjung ke Jawa pada tahun 1910. Setahun kemudian ia mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “Vorläufiger Bericht über geologische Forschungen auf Java” atau jika diterjemahkan menjadi “Laporan Awal Mengenai Penelitian Geologi di Jawa”. Dalam publikasi ini, Martin melaporkan banyak hal menarik, seperti letusan Gunung Tangkuban Perahu pada tahun 1910. Tapi yang paling utama adalah laporannya mengenai lapisan-lapisan sedimen kaya moluska di Jawa, salah satunya di Cilanang. Bermula dari makalah inilah istilah Tjilanang Beds atau Lapisan Cilanang dikenal, yang kemudian menjadi penamaan lapisan ini.

Martin mencari tahu lokasi-lokasi mana saja yang dideksripsi oleh Junghuhn sebagai Lokasi O. Setelah mempelajari detil laporan Junghuhn dan Hochstetter, Martin mengunjungi Cilanang dan mendapati 4 lokasi penemuan fosil, yaitu; di pertemuan Ci Lanang dan Ci Tangkil, kemudian di Lembah Ci Lanang menuju Gunung Sela, kemudian di Lembah Ci Bining, dan di Lio Cicangkang. Tempat-tempat ini beberapa masih bisa dikenali hingga sekarang.

Ci Lanang adalah sungai menjadi batas dua desa di Kecamatan Gunung Halu, yaitu Desa Wargasaluyu dan Desa Tamansari. Ciburial adalah nama kampung di Desa Celak, Kecamatan Gunung Halu, juga merupakan nama sungai.

Lio Cicangkang tidak dikenali lagi, tapi ada nama daerah Cicangkang di perbatasan Kecamatan Gununghalu dan Sindangkerta. Menurut Hochstetter, Lio Cicangkang adalah tempat pembakaran kapur, dan tempat ini merupakan satu-satunya lokasi bisa ditemukan kapur di daerah ini. Dalam peta geologi lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), terdapat satuan batuan Mtjl atau anggota batugamping Formasi Cilanang di sekitar Cicangkang yang kemungkinan besar merupakan sisa-sisa Lio Cicangkang. Sementara Ci Bining tidak dikenali lagi.

Dari keempat lokasi ini Martin mengumpulkan 2563 spesimen dari 119 spesies yang berbeda. Ditemukan 104 spesies di Ci Burial, kemudian 46 spesies di Ci Lanang, dan 29 spesies di Ci Bining.

Contoh sketsa fosil-fosil yang disketsa Martin dalam buku Die Tertiarschichten auf Java (1879)

Martin melanjutkan penelitiannya tentang lapisan Tersier di Indonesia dan melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1928 melalui publikasinya “Eine Nachlese zu den Neogenen Mollusken von Java”, “Sekilas tentang Moluska berumur Neogen di Jawa”. Dalam publikasinya ini, Martin memberikan sintesis fosil-fosil yang ditemukan di Ci Lanang. Secara total terdapat 189 spesies moluska yang dikenali di Cilanang. Moluska ini berasal dari dua kelas, yaitu kelas Gastropoda (kelas siput) dan kelas Lammelibranchiata (kerang-kerangan yang memiliki dua tangkup cangkang atau bivalvia). Dari 189 spesies ini, 63 spesies masih ditemukan hidup hingga sekarang, sehingga terdapat persentase 34%. Fosil-fosil yang dikumpulkan oleh Martin dapat dilihat dalam katalog di sini.

Persentase antara fosil yang masih hidup dengan jumlah fosil yang ditemukan ini digunakan Martin untuk mengklasifikasikan umur lapisan-lapisan sedimen. Untuk lapisan di Cilanang, Martin menyimpulkan lapisan ini berumur Miosen tengah atas atau sekitar 7-10 juta tahun yang lalu.

Oleh Martodjojo (1984) lapisan kaya moluska di Cilanang dikelompokkan ke dalam Formasi Cimandiri yang berumur Miosen atas. Singkapan di sepanjang aliran Ci Lanang diusulkan Martodjojo sebagai hipostratotipe dari Formasi Cimandiri.

Stratotipe adalah perwujudan alamiah satuan stratigrafi yang memberikan gambaran ciri umum dan batas-batas satuan stratigrafi. Hipostratotipe adalah tambahan bagi stratotipe. Lokasi tipe dari Formasi Cimandiri terletak di Ci Talahab, Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Pengukuran penampang stratigrafi di Ci Talahab hanya menunjukkan ketebalan 167 meter, sementara pengukuran di Ci Lanang menghasilkan ketebalan 407 meter. Lapisan yang kaya moluska memiliki ketebalan sekitar 100 meter.

Lama waktu berselang, lebih dari 100 tahun sejak publikasi Martin tahun 1911. Pada tahun 2013 di Ci Burial saya sedang menggali singkapan dengan palu geologi saya. Suatu lapisan batupasir berwarna terang yang kaya dengan kandungan fosil moluska. Bingung dan payah tak tahu bagaimana cara mengidentifikasi moluska yang ada di hadapan saya. Padahal ia telah begitu lama diidentifikasi, telah lebih seratus tahun lamanya.

Begitulah cerita tentang Cilanang. Tentang suatu lapisan penting yang mengandung cerita panjang lingkungan pengendapan purba di Pulau Jawa dan saya yang baru sekarang memahami penting dan indahnya lapisan sedimen yang pernah saya teliti.

Marburg, Ibukota Tuna Netra Jerman

Seberapa seringkah kamu melihat tuna netra berjalan-jalan keluar di kotamu? Coba keluar dan perhatikan trotoar jalanan, mungkin jarimu jarang sekali menghitung. Tapi jika kamu ada di Marburg, negara bagian Hesse, Jerman, kamu akan sering sekali melihat tuna netra berjalan bebas di jalanan, karena Marburg adalah ibukotanya tuna netra di Jerman.

Di Marburg, orang-orang dengan tongkat panjang berwarna putih dengan bola di ujung tongkatnya adalah tetangga, sahabat, dan bagian tak terpisahkan dari pemandangan jalanan. Tidak ada kota lain di Jerman dengan jumlah tuna netra sebanyak Marburg. Kota ini menyediakan fasilitas yang begitu mendorong inklusivitas dan memfasilitasi tuna tetra untuk berkarya, memanifestasikan bakatnya. Seluruh persimpangan dan lampu lalu lintas sudah ramah tuna netra, tangga-tangga telah ditandai, trotoar dengan ubin taktil, lift yang bersuara, denah kota yang taktil, dan menu dalam huruf braile.

Kolam renang memiliki sistem pemanduan tuna netra. Stasiun kereta api, pasar swalayan, stadion olahraga, dan kantor-kantor pemerintahan memiliki denah taktil. Bahkan ada juga mesin ATM dan teater serta bioskop yang menyediakan fasilitas deskripsi suara. Telah begitu lama Marburg mengupayakan kesejahteraan bagi para tuna netra, sehingga sangatlah pantas kota ini menyandang sebutan Der Blindehaupstadt, atau ibukotanya tuna tetra.

Kota universitas ini berutang kepada Blindenstudienanstalt (blista, lembaga pendidikan tuna netra) yang didirikan di Marburg lebih 100 tahun lalu. Alumni mereka yang terkenal seperti peraih medali emas Paralimpiade, Verena Bentele, kemudian Sabriye Tenberken, Komisaris Pemerintah Federal untuk Penyandang Cacat, yang pernah naik ke Gunung Everest. Kemudian ada komposer muda Sarah Pisek yang memenangkan penghargaan Bambi. Selain itu masih banyak lagi alumni lainnya yang menjadi aktrik terkenal, penyanyi, wartawan, politisi, dan pengacara.

Verena Bentele, peraih medali emas Paralimpiade

Di Marburg, tuna netra bisa beraktualisasi diri tanpa perlu merasa berbeda dengan orang lain. Kita bisa melihat siswa-siswa blista berlarian melalui jalanan Marburg, begitu cepat seolah-olah mereka tidak punya disabilitas. Kita dengan mudah melihat mereka berjalanan di dalam bus, di ruang publik, dan tinggal di apartemen yang sama dengan orang-orang lain.

Informasi menarik ini saya dapat dari lembar panduan wisata di Der Blindenhauptstadt Marburg. Dalam kunjungan saya ke Marburg, saya terkesima dengan cara Marburg memuliakan penduduk tuna netranya. Bahkan mereka membuat sebuah jalur wisata khusus untuk menceritakan tentang Marburg sebagai ibukotanya tuna netra. Tak semua tempat dalam jalur wisata ini saya kunjungi, hanya beberapa saja.

Wisata ini dimulai dengan berkisah tentang sejarah bagaimana ini bermula. Kisah ini diceritakan sambil mengunjungi tempat tinggal Carl Strehl dan Alfred Bielschowsky pada masa lampau dan juga mengunjungi Rumah Bielschowsky, yaitu Pusat Rehabilitasi untuk Tuna Netra. Siapakah Strehl dan Bielschowsky?

Alkisah pada akhir perang dunia pertama, lebih dari tiga ribu orang tentara menjadi tuna netra akibat pecahan peluru atau gas beracun. Kebanyakan dari mereka diarahkan menuju Marburg, di mana Prof. Alfred Bileschowsky (1871-1940), direktur dari departemen Ophtalmology, memulai departemen khusus bagi korban kebutaan akibat perang. Kemudian mereka menyadari bahwa pendekatan pemulihan bagi mereka yang kehilangan penglihatan akibat perang tidak bisa hanya pendekatan pengobatan saja, mereka harus diberikan masa depan agar tidak menjadi pengangguran dan peminta-minta pengharap belas kasihan. Bielschowsky mengatur penyelenggaraan kursus Braille. Tak hanya itu, ia juga mengurus akomodasi, pengadaan bahan literatur, dan semua yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi tuna netra. Untuk kebutuhan ini, ia mempekerjakan seorang mahasiswa, Carl Strehl (1886-1971) yang hampir kehilangan seluruh penglihatannya akibat kecelakaan di laboratorium kimia di New York. Mereka berdua kemudian membentuk Asosiasi Pendidikan Tuna Netra Jerman pada tahun 1916, dan mendirikan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan pusat konseling bagi tuna netra. Ini artinya, untuk pertama kalinya di Jerman, tuna netra mampu dan bisa untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Bielschowsky kemudian menjadi direktur kehormatan dari Blista dan Strehl memimpin manajemen.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg (Blista). Sekolah ini adalah sekolah menengah (setara SMA) khusus tuna netra pertama di dunia. Sekolah Carl Strehl ini merupakan inti dari Blista Marburg, yang menerima siswa dari Jerman mulai dari kelas 5. Sekolah ini sangat sukses, dengan rata-rata nilainya sesuai dengan rata-rata nasional Jerman. Banyak lulusan dari sini mendapatkan pekerjaan yang baik, karena suasana pembelajarannya yang nyaman dan menarik.

Kelas terdiri dari hanya 6 hingga 12 siswa dengan literatur beraksara Braille, komputer dengan tampilan Braille dan memiliki fitur berbicara, membaca layar dan piranti lunak untuk memperbesar gambar dan tulisan, serta banyak fitur bantuan lainnya. Yang tidak bisa divisualisasikan digantikan dengan merasakan, mendengar, mencium, dan meraba. Ada model untuk merasakan gempa bumi, meraba molekul dan bentuk geometri. Ada orang-orang yang mentransformasikan listrik dan warna menjadi suara.

Selain kegiatan akademik, Blista juga menyediakan aktivitas luar lapangan seperti berkuda, berenang, bersepeda, mendayung, judo, berselancar, ski, dan bahkan bermain sepakbola. Ada juga kegiatan lain seperti ekskursi, drama, dan magang. Blista juga mengajarkan siswa-siswanya untuk hidup normal, berbelanja, menggunakan transportasi umum, mengunjungi teman, makan tidak belepotan, memasak, mencuci baju, dan bersih-bersih juga merupakan bagian dari pembelajaran. Karenanya, pada pelajar yang tinggal di sekitar 40 tempat di seluruh Marburg merupakan bagian aktif dari masyarakatnya.

Siswa tuna netra Berperahu di Sungai Lahn

Blista juga memiliki program untuk meningkatkan kompetensi pemuda-pemuda dengan menyediakan hampir 48 ribu buku dan majalah dalam format suara yang bisa dipinjam secara gratis. Pusat rehabilitasi menawarkan konseling, pelatihan orientasi, mobilitas, dan juga kemampuan sehari-hari. Mereka juga menyediakan konseling untuk para senior, konseling untuk sekolah-sekolah, juga saran-saran untuk mereka yang membutuhkan alat bantu penglihatan, terutama mereka yang mengalami low-vision.

Menyusuri jalanan Marburg, kita bisa melihat lampu-lampu lalu lintas yang khusus didesain untuk tuna netra. Lampu lalu lintas ini bisa berbunyi bersuara memberi tanda untuk berhenti atau mulai berjalan. Lampu lalu lintas khusus tuna netra ini pertama dibuat pada tahun 1971 di dekat Lembaga Pendidikan Tuna Netra Marburg di Ketzerbach. Sekarang, hampir semua lampu lalu lintas di Marburg dilengkapi dengan sinyal suara. Di sekitar pusat kota, hanya ada tiga lampu lalu lintas yang tidak dilengkapi suara. Ini sengaja dilakukan agar di sana siswa Blista bisa belajar bagaimana menyebrang jalan di persimpangan jalan tanpa sinyal suara.

Secara ritmik mereka mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke jalan sembari menyeberang dari ujung ubin taktil ke ujung ubin taktil lainnya di seberang jalan. Ubin-ubin ini sudah dipasang sejak tahun 2000, sejak saat itu sangat banyak jalur-jalur yang dilengkapi dengan ubin ini. Meski demikian ubin ini tidak menjadi satu-satunya alat pemandu, tepi-tepi trotoar, tiang pegangan, juga bisa menjadi alat bantu pemanduan berjalan.

Ada tombol di setiap lampu lalu lintas. Di halte-halte bus, jika tombol dipencet, kedatangan dan kepergian bus diumumkan nyaring. Stasiun Marburg juga dibuat sangat nyaman untuk dikunjungi tuna netra. Denah stasiun kereta sudah dibuat dan ubin-ubin taktil dipasang di dalam stasiun. Sejak direnovasi menjadi stasiun yang nyaman untuk tuna netra, Stasiun Marburg menjadi kebanggaan kota. Pada 2015, bahkan stasiun ini menjadi Stasiun Tahun 2015 oleh Pemerintah Jerman.

Tipikal kota-kota di Jerman pasti memiliki bangunan-bangunan megah yang menjadi tengara (land mark) kota. Di Marburg ada beberapa tengara yang menarik dan selalu menjadi tujuan berwisata para turis. Namun tentu saja sulit bagi tuna netra untuk membayangkan bangunan-bangunan megah hanya dengan bantuan suara. Oleh karena itu, pemerintah kota Marburg membuat maket-maket tengara Kota Marburg dari perunggu dengan keterangan beraksara Braille. Ada beberapa maket yang dibuat seperti maket Marktplatz (pasar utama), maket Marburger Schloss (Kastil Marburg), maket Gereja Elisabeth (Elisabetkirche), dan maket sinagog. Maket ini dibuat sangat detil dan presisi dengan keterangan yang lengkap. Saya melihat beberapa kali tuna netra yang sedang meraba-raba maket mencoba membayangkan bangunan yang ada di depannya.

Maket Gereja Elisabeth Marburg dengan aksara Braille sebagai keterangannya

Tuna netra dan penyandang low vision yang mengunjungi Marburg bisa memilih enam paket tur yang ditawarkan oleh pemerintah kota. Pemerintah kota telah melatih para pemandu wisata dengan bantuan Lembaga Pendidikan Tuna Netra Jerman, agar bisa memandu para tuna netra. Sebelum menerima lisensinya mereka wajib untuk menjelajahi kota dengan mengenakan penutup mata agar mereka bisa melatih nalurinya. Mereka akan mengajak para peserta tur untuk menyusuri Kota Marburg, mendengarkan para pemain terompet memainkan musiknya. Mereka akan mengajak peserta untuk menjelajahi Gerbang Dominika di Kampus Lama, serta tengara-tengara kota lainnya.

Peta Wisata Blindenhauptstadt Marburg

Lokasi terakhir yang saya kunjungi adalah Jalur Planet. Ini adalah instalasi sederhana yang menurut saya penuh makna. Di tempat ini pemerintah Kota Marburg membuat suatu jalur setapak yang di sepanjang jalur itu, mereka membuat deretan planet di tata surya mulai dari Matahari hingga Pluto dalam skala satu banding satu miliar. Jalur ini menunjukkan betapa berdekatannya planet-planet dalam dibandingkan planet-planet luar, juga perbandingan antara matahari yang berukuran 1.39 meter dibandingkan dengan bumi yang berukuran sebiji kacang. Tentu instalasi ini bentuknya 3 dimensi dan memiliki keterangan beraksara Braille.

Jalur Planet. Foto oleh Michael Fielitz

Begitulan Marburg, ibukotanya tuna netra. Sebuah bukti bahwa ada cara untuk memberdayakan tuna netra, bahwa itu mungkin, sangat mungkin, dan juga menjadikan tuna netra sebagai subjek pembangunan. Dengan diberikan akses yang sama terhadap pendidikan, maka tuna netra juga menjadi golongan pekerja yang memberikan sumbangan tak kecil dalam bentuk pajak untuk pembangunan negeri. Semoga Bandung bisa menjadi kota ramah tuna netra yang berikutnya.

Aamiin.

sumber: Brosur wisata Marburg Blindenhauptstadt

Catatan Ekspedisi Novara 1857-1859: Menyusuri Ci Tarum dari Curug Jompong Hingga ke Sanghyang Tikoro

Pada tahun 1857, angkatan laut Kerajaan Austria meluncurkan ekspedisi saintifik skala besar menjelajahi dunia dengan nama Ekspedisi Novara (1857-1859). Penelitian ini berlangsung selama 2 tahun 3 bulan, dari 30 April 1857 hingga 30 Agustus 1859. Penjelajahan ini dilakukan dengan kapal Novara di bawah komando Komodor Bernhard von Wüllerstorf-Urbair dengan 345 kru dan 7 orang saintis. Persiapan ekspedisi riset ini dilakukan oleh “Imperial Academy of Sciences in Vienna” oleh para peneliti terkemuka di bawah arahan geolog Ferdinand von Hochstetter dan zoolog Georg von Frauenfeld.

Ferdinand von Hochstetter dan laporannya

Kisah perjalanan ini dilaporkan dalam laporan “Reise der österreichischen Fregatte Novara um die Erde in den Jahren 1857, 1858, 1859 unter den befehlen des Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Narrative of the circumnavigation of the globe by the Austrian frigate Novara (Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair)”, atau kalau dalam bahasa Indonesia menjadi Kisah Naratif Perjalanan Mengarungi Bumi dengan Kapal Penjelajah Novara.

Yang menarik dari ekspedisi ini adalah perjalanannya melewati Indonesia, dan Bandung pada 1857. Hochstetter, sebagai geolog dalam tim riset ini melaporkan perjalanan mereka berkunjung ke Bandung menelusuri Ci Tarum melewati Curug Jompong, kemudian melewati Ci Lanang hingga sampai di Gunung Guha dan Sanghyang Tikoro. Catatan yang lengkapnya dalam bahasa Jerman saya coba alih bahasakan dengan bantuan Google Translate.

Bagaimana ceritanya? Silakan ikuti berikut ini:

“Pada 19 Mei kami mengarahkan tujuan kami ke timur ke Bandung untuk mengunjungi Tji Tarum (baca: Ci Tarum) . Keinginan kami adalah mengeksplorasi bentang alam indah yang dihasilkan dari interaksi sungai dan batuan dasarnya, terutama ketika Ci Tarum menerobos bebatuan hijau dan batuan porfiritik membentuk deretan air terjun, Tjuruk Kapek (entah padanannya sekarang apa), Tjuruk-Lanong (baca: Curug Lanang, sudah tidak ada sejak digenang Saguling), dan Tjuruk Djombong (baca: Curug Jompong). Dari sana kami berkuda menerobos perbukitan porfiritik menuju kerucut bebatuan Batu Susun, di tepi Gunung Bulut (Gunung Buleud?) yang terbentuk dari kolom batuan beku porfiritik.

Batu Susun Gunung Bulut. Sumber: Hochstetter
Gunung Buleud masa kini. Foto dari Instagram Desa Situwangi

Pada sore hari yang sama, kami mencapai Tjililui (baca: Cililin), ibu kota dari kabupaten Rongga, karena kekayaan bebatuannya. Yang sangat mengejutkan adalah ramahnya sambutan dari masyarakat ketika kami sampai di sana. Makanan penuh di Pesanggrahan, bahkan Wedana Cililin juga menyediakan spesimen geologi yang ia kumpul dan siapkan, kemudian berikan pada kami. Nama orang sunda yang bersemangat ini adalah Mas Djaja Bradja, Wedana Cililin.

Pada tanggal 20 Mei kami mengecek tempat di mana spesimen itu ditemukan. Di tengah hari kami menemukan tempat pembakaran kapur, Liotji Tjangkang (Lio Ci Cangkang? Ci Cangkang adalah daerah di dekat Gunung Halu), di mana koral yang telah membatu berlimpah dan dapat diamati dari kejauhan. Karenanya kami mengarahkan kompas kami ke barat laut, masuk semakin dalam ke pegunungan, di sekitaran Gonnong Gatu (Gunung Batu?). Daerah ini terkenal karena banyaknya harimau, juga karena tebalnya alang-alang. Kami menyusuri Tji Lanang (Ci Lanang) dan cabang-cabang sungainya. Pertama kami harus turun jauh menuju pertemuan Tji Burial (Ci Burial) dan Tji Tangkil (Ci Tangkil), di mana di sana ada korok trakhit. Kami mengidentifikasi fosil kerang conchylia di antara puing-puing bebatuan yang terlepas dari dinding sungai. Batuan dasarnya adalah lumpur tufan.

Kami berkuda dengan kecepatan penuh melewati gunung yang tidak banyak penduduknya. Ini karena kami harus menghindari hujan badai karena petir dan kilat sudah menyambar-nyambar. Kami beruntung tiba tepat waktu di desa kecil di kaki gunung, yaitu Desa Gunung-Alu (baca: Gunung Halu), di tepi Tji Dadass (baca: Ci Cadas), di kaki pegunungan yang menjadi batas air antara pegunungan utara dan selatan Jawa.

Pada tanggal 21 Mei, kami pergi ke Lembah Tji Lanang yang membentang di lereng terjal Gunung Sela yang terbentuk dari batupasir yang miring terjal. Lokasi ini adalah di mana petrifaksi melimpah dan di mana sisa-sisa fosil bisa diamati pada posisi fosil itu terendapkan di antara lapisan lumpur dan batupasirnya. Satu spesies fosil resin sering juga ditemukan di sini, berdampingan dengan fosil-fosil indah lainnya. Dari titik ini kami mengikuti lembah Tji-Lanang ke arah utara, dan di ujung lembah ini kami berbelok ke jalan yang jarang dilalui menuju lembah Tji-Tjamotha (baca: Ci Camota?), yaitu di batuan breksi gampingan Batu-Kakapa (?). Masih sedikit jauh dari desa perbukitan Tji-Jabang (?), di mana kemudian kami akan kembali ke sungai Tji-Tarum, di mana di titik ini Tji Tarum membentuk air terjun paling megah di Pulau Jawa, yang membelah pegunungan yang menjadi batas dataran Bandung, terbentuk dari batu hijau porfiritik, basal-trakit, dan tebing-tebing tegak kapur. Mengalir ke hilir, setelah melewati jeram-jeram yang indah, Tji Tarum kemudian menjadi sungai yang bisa dilayari, mengalir pelan melewati teras Rajamandala.

Pemandangan alam Jawa terasa sangat megah dengan deretan bukit berbatu, hutan primer yang dihantui kisah-kisah mengerikan binatang-binatang liar. Di daerah ini ada tiga titik yang sangat menarik, Tjukang-Raon (baca: Cukang Rahong), Tjuruk-Almion (baca: Curug Halimun), dan Sangjang-Holut (baca: Sanghyang Heuleut). Ketiganya menyimpan potensi menarik, yang orang-orang dapat mempelajari struktur-struktur geologinya. Ketiga titik ini terletak saling berdekatan. Untuk mencapai daerah ini, orang dapat memulai dari desa Tjijabang, di dataran perbukitan, kemudian menuruni lereng-lereng terjal dengan ketinggian 300-500 meter! Orang-orang dapat mempercayai apa yang ditulis Junghuhn pada 1854, bahwa meskipun Tjurak-Almion (Curug Halimun, air terjun kabut) adalah air terjun paling megah di Pulau Jawa, tapi tidak ada satu pun orang Eropa, kecuali dirinya yang pernah ke sana. Kami bisa membayangkan penderitaan masyarakat lokal yang membuat jalur ke sana untuk membuat akses memungkinkan. Kami menemukan jejak-jejak langkah, tangga, dan tali rotan, dan karenanya kami bisa bilang bahwa kami mengikuti jalur Junghuhn.

Pada tanggal 21 Mei, kami hanya mengunjungi Tjukang-Raon, di mana Tji-Tarum mengalir dahsyat karena dipaksa melewati celah yang lebarnya tidak lebih dari 4 meter. Di sini ada tangga bambu yang tampak rapuh dengan tali rotan tergantung di kedua sisinya, mengarah ke dinding tegak lurus dari portal batu ini.

Pada pagi hari tanggal 22 Mei, kami mengunjungi Tjuruk-Almion, air terjun terindah di Tji Tarum, di mana di sini air terjun jatuh di atas tebing batu hijau setinggi empat meter. Kemudian kami melewati rantai basal Gunung Lanang, turun sangat jauh dari ketinggian 2653 kaki ke bagian terdalam, yaitu suatu lembah jurang, Sangjang Holut, yang diduga merupakan suatu kawah purba yang sejajar dengan batuan tersier batupasir menyisakan sungai selebar 4 meter saja.

Di hari yang sama, kami sampai di desa kecil Gua, di kaki gunung bagian utara Gunung Nungnang, suatu formasi batugamping yang megah, yang sisi curamnya menjadi batas antar perbukitan batugamping dengan dataran Radjamandala yang luas ke utaranya. Gunung Nungnang memeiliki banyak rekahan-rekahan, yang dimanfaatkan oleh burung walet untuk membuat sarang. Sarang ini kemudian diambil oleh masyarakat lokal untuk diserahkan pada Bupati, sebuah pekerjaan yang sangat berbahaya.

Gunung Nungnang bei Gua – Batugamping Eosen. Sumber: Hochstetter

Pada tanggal 23 Mei, kami dengan hati-hati menjelajahi Sangjang Tjikoro, suatu bukit batugamping, di mana Tji-Tarum bercabang masuk menembus masuk ke dalam bukit. Sangat menarik dari sudut pandang geolog, karena pada titik ini kita menemukan batugamping yang sama dalam posisi horizontal membentuk struktur bukit di tepi seberang sungai ini. Dari Radjamandala kami kembali ke jalan utama ke Tjiandjur dan kemudian kembali ke Batavia.

Kegiatan membaca buku-buku lama tentang Bandung membuat saya semakin hanyut dalam kisahnya. Terutama di buku ini dibahas tentang Ci Lanang yang merupakan tempat tugas akhir saya waktu kuliah sarjana dulu. Semoga bisa menggali lebih detil lagi.

Silakan bertanya, meninggalkan komentar, atau memberi saran bacaan menarik tentang sejarah cekungan bandung, saya akan senang sekali.

 

sumber

 

Geotrek Curug Jompong Tahun 1918 (2)

Cerita tentang Geotrek Curug Jompong belum selesai, berlanjut di sini. Pada hari kamis 24 Desember 1918, di harian yang sama, De Preangerbode, peserta geotrek menuliskan pengalaman bergeotrek ke Curug Jompong. Coba bandingkan miripkah dengan geotrek jaman sekarang?

“Pengurus Perkumpulan Sejarah Alam punya rasa percaya diri yang luar biasa untuk mengadakan ekskursi tanggal 22 kemarin karena beberapa hari belakangan ini hujan terus turun. Karena banyak anggota yang tidak sepercaya diri pengurus, akibatnya banyak yang absen karena takut hujan, Bahkan tidak ada satupun anggota perempuan yang ikut, semua absen. Tapi seperti yang sering terjadi, mereka yang absen pasti kecewa berat. Perjalanan kali ini diberkahi oleh cuaca yang indah. Program berjalan luar biasa seru. 

Titik kumpul di Pasar Andir jam setengah tujuh. Sepanjang jalan setapak ke selatan kami sering terpeleset dan terperosok. Heran, kenapa bisa jalan seburuk ini, padahal seharusnya jalur ini dirawat dengan baik. 

Setelah dua jam, kami sampai di Gadjah di tepi Ci Tarum dan mengunjungi makam bupati di sana. Saya tidak bisa bilang bahwa gambaran dewa gajah Ganesha membuat pintu masuk jadi mengagumkan. Kami tidak akan membuat gajah untuk bahan kontemplasi. 

Jembatan bambu melewati Ci Tarum di Gadjah merupakan jembatan yang menarik. Mobil dan gerobak bisa lewatkan. Menarik sekali bagaimana ini terjadi dalam sebuah instalasi bambu.

Dari Gadjah kami menyusuri sisi selatan Ci Tarum menuju Leuwisapi hingga sampai di Curug Jompong, tujuan akhir kami. Di sini kami langsung turun ke dasar sungai untuk melihat jeram yang terbentuk oleh “bendungan” andesit piroksen”, batuan yang cukup jarang ditemui di sini. 

Dengan matahari yang hangat, kami menginginkan untuk bersegera mencari kesegaran dengan mandi di Soeka Bernang. Agar kami tetap enjoy dan segar, juga karena banyak peserta yang kelelahan, kami pergi ke Soeka Bernang dengan naik Sado. Kemudian dari sana, kami pulang ke Bandung naik mobil. Hari itu adalah hari yang menyenangkan.” 

 

 

 

Geotrek Curug Jompong Tahun 1918

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Pernah gak membayangkan bahwa geotrek itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu? Atau lebih mantap lagi pernah gak membayangkan bahwa geotrek ke Curug Jompong itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu?

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2)
Curug Jompong tahun 1915. Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde. Foto: 

Ternyata budaya berkelompok dan mengunjungi objek geowisata bersama-sama sudah dikenal sejak lama. Dalam sebuah pengumuman yang dimuat oleh Harian Umum Hindia: Tanah Priangan (nama asli korannya Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode), Perkumpulan Sejarah dan Alam Cabang Bandung (Natuurhistorische Vereeniging) mengajak anggotanya atau mungkin masyarakat umum untuk ikut dalam ekskursi mereka ke Curug Jompong. Pengumuman ini bertanggal 19 Desember 1918, hampir 100 tahun yang lalu. Modelnya persis dengan geotrek yang biasa dilakukan oleh komunitas-komunitas di Bandung.

Seperti apa ceritanya? Berikut artikel yang telah dialihbahasakan secara bebas dengan bantuan Google Translate.

Perkumpulan Sejarah dan Alam cabang Bandung mengadakan ekskursi pada tanggal 22 Desember tahun ini ke salah satu jeram Ci Tarum di daerah Leuwi Sapi yang dikenal sebagai Curug Jompong. Jeram ini terbentuk akibat halangan dari batuan andesit piroksen (salah satu spesies batuan tertua berumur miosen), dan merupakan tipe batuan yang langka, karena hanya ditemukan beberapa saja di Pulau Jawa. Lokasinya sekitar 7 km arah selatan dari Cimahi. 

Peserta yang ingin ikut bisa berkumpul jam 6 pagi di Pasar Andir dan dari sana kita akan berjalan kaki ke arah selatan. Rute ini secara umum jalan setapak, tapi akan menyenangkan karena kita akan melihat banyak desa-desa di sepanjang jalan yang jarang kita lihat karena tidak terletak di jalan utama. 

Setelah dua jam berjalan kaki kita akan sampai di daerah Gadjah di tepi Ci Tarum. Kita sebrangi Ci Tarum lewat sebuah jembatan bambu yang indah, mengobati energi kita yang terkuras habis di sini. 

Gadjah pada waktu lampau merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang, tetapi harus didirikan dan dibangun ulang oleh Rangga Abdoelrachman. Pada tahun 1802, kabupaten ini dilebur ke Bandung karena bupatinya berlaku buruk karena kebanyakan mabuk dan mengonsumsi opium. Kabupaten ini juga enggan membayar pajak pada Batavia dan akibatnya Bupati Bandung harus menalangi tagihan kabupaten ini. 

Gadjah yang sekarang (tahun 1918) merupakan desa kecil di tepi Ci Tarum dan kita bisa temukan makam dari Bupati Batulayang. “Bupati, istri, dan anaknya dimakamkan di sini”, kata penduduk setempat. Di makamnya ada atap kayu dan makamnya di kelilingi oleh pagar bambu yang tidak rapi. Penduduk lokal tidak tahu siapa nama bupati itu, dan hanya menyebutnya sebagai “Dalem”, yang mana merupakan sebutan umum untuk bupati di wilayah ini. Kemungkinan besar itu adalah makan Raden Tumenggung Angadiredja.

Di depan pintu masuk utama, ditemukan arca/gambar Ganesha, Dewa India yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan berbentuk gajah. Gambar inilah kemungkinan besar yang menjadi asal muasal nama Kampung Gadjah. Dari kampung Gadjah, kita menyusuri tepian Ci Tarum hingga ke kaki Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini. Di kanan ada deras aliran air sungai, dan di kiri kita lihat kerucut sempurna Gunung Lalakon. 

Di Leuwisapi sampailah kita ke Ci Tarum, dan dengan sedikit perjuangan lagi tiba di tujuan utama, yaitu Curug Jompong. Ci Tarum meninggalkan dataran Bandung di sini dan menerobos perbukitan Selacau-Lagadar dan Lalakon dan membentuk beberapa air terjun dengan tinggi hingga 15 kaki atau 5 meter. Dari Curug Jompong kita masih harus berjalan sekitar 1.5 jam hingga Cimahi (yang capek bisa naik Sado – moda transportasi seperti delman). Jika masih ada waktu tersisa maka kunjungilah resort tepi danau Soeka Bernang. Kemudian peserta bisa naik kereta dari Cimahi kembali ke Bandung. 

MMKB08_000137465_mpeg21_p001_image.jpg
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode 19 Desember 1918

Curug Jompong punya modal sejarah yang cukup untuk bangkit dan merebut kembali predikat lokasi wisata utama di Bandung raya. Saya ingin membandingkan Curug Jompong dengan Rheinfall, air terjun paling besar di Swiss dan di Eropa karena karakternya yang serupa. Kedua air terjun jatuh di sungai yang besar dan merupakan sungai utama di kedua daerah. Rheinfall jatuh di Sungai Rhein, sungai utama di Swiss dan Jerman, sementara Curug Jompong jatuh di Ci Tarum yang merupakan urat nadi kehidupan di Jawa Barat.

Semoga tulisan ini bisa merupakan langkah konkrit menuju jayanya kembali Curug Jompong di masa yang akan datang.