Diskursus Danau Bandung: Dari Zaman Junghuhn hingga Sekarang

Oleh: Muhammad Malik Ar Rahiem (Kelompok Riset Cekungan Bandung)

Pertama Kalinya Danau Bandung Dikenali

Diskursus mengenai asal-muasal hingga jebolnya Danau Bandung sudah terjadi cukup lama. Salah satu pendapat awal dari Junghuhn yang mengatakan bahwa Bandung pastilah dulunya adalah sebuah danau,

katanya: Seluruh wilayah dataran tinggi Bandung, sepertinya merupakan dasar dari suatu danau. Ada beberapa alasan dari dugaan ini, yaitu: 1) dataran yang nyaris sempurna ke semua arah; 2) tepi-tepiannya dikelilingi oleh pegunungan, di mana kaki gunungnya terpisah sepenuhnya dari dataran; 3) keberadaan rawa-rawa yang sangat luas; 4) suatu cekungan air yang sangat besar, berasal dari gunung-gunung tinggi yang berhutan lebat dan ratusan aliran sungai, namun kesemuanya bermuara menuju ke satu sungai, Tjitaroem, yang keluar melewati celah sangat sempit di Pegunungan Kapur di sebelah barat. Sungai ini terjepit di antara dinding-dinding bebatuan yang tinggi dan curam. Alirannya berbuih deras, seolah berbusa, ketika melewati bongkah-bongkah bebatuan, hasil runtuhan bebatuan pegunungan yang digerus sungai (Junghuhn, 1841).

Karya Junghuhn di Jawa memikat seorang Geolog Jerman yang berkunjung ke Jawa dalam rangka ekspedisi sains pada tahun 1858, namanya Ferdinand von Hochstetter. Ia mendapatkan saran dari Junghuhn untuk melakukan ekskursi geologi mengunjungi lembah Ci Tarum mulai dari Curug Jompong hingga ke Sanghyang Tikoro. Tak jauh dari Curug Jompong ia menemukan lapisan-lapisan sedimen berlapis datar, terutama lempung, yang menurutnya merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung (Hochstetter, 1864).

Pada tahun 1896, Reindeer Fennema, seorang geolog Belanda, mengemukakan pendapatnya tentang penyebab terjadinya danau. Menurutnya dulu Ci Tarum mengalir ke arah utara, kemudian Gunung Burangrang meletus, dan produk letusannya menutupi lembah aliran Ci Tarum di sekitar Padalarang. Akibatnya danau terbentuk, hingga akhirnya menemukan jalur di sebelah barat, di mana Ci Tarum menoreh pegunungan kapur Rajamandala (Stehn & Umbgrove, 1929; Verbeek & Fennema, 1896). Selain menoreh lembah ini, bocornya danau juga menoreh endapan danau yang telah terbentuk tebal sebelumnya. Ini bisa terlihat dengan baik, terutama di hilir Curug Jompong, sebelum sekarang tergenang oleh Waduk Saguling.

Pada tahun 1926, N.J. Taverne, seorang vulkanolog, menyatakan kesetujuannya terhadap pendapat Fennema. Ia menyatakan bahwa lembah yang kini ditoreh oleh Ci Tarum adalah hasil erosi yang lebih muda. Menurutnya, berdasarkan topografi pegunungan kapur tersier, kita bisa perkirakan bahwa tinggi muka air danau adalah antara 700-740 mdpl. Kita bisa duga juga bahwa di tepian-tepian danau akan terdapat deta-delta (Taverne, 1926). Misal Kota Bandung yang didirikan di atas delta yang terbentuk akibat aliran Ci Mahi, Ci Beureum, dan Ci Kapundung. Atau Soreang yang terbentuk di atas delta Ci Sondari dan Ci-Widey, serta Majalaya yang terbentuk di atas delta Ci Tarum.

Penelitian mendalam mengenai endapan danau pertama kali dipublikasikan oleh Stehn dan Umbgrove pada tahun 1929. Penelitian mereka terutama dilakukan ke arah hilir dari Curug Jompong, jauh sebelum Ci Tarum tergenang oleh Waduk Saguling, sehingga sangat penting karena lokasi penelitiannya kini tak bisa diakses lagi. Hasilnya adalah bahwa lapisan-lapisan horizontal endapan danau ini mengendap di atas lapisan yang terlipat, dan pada lapisan yang lebih tua ini didapatkan fosil-fosil mamalia, seperti Bos, Sus, dan Cervus, selain juga fosil-fosil moluska (Stehn & Umbgrove, 1929).  

Pada tahun 1934, R.W. van Bemmelen mempublikasikan peta geologi Lembar Bandung skala 1:100.000. Dalam peta ini dan buku keterangan peta, Bemmelen mengemukakan mengenai Danau Bandung dan sejarah pembentukannya (Bemmelen & Szemian, 1934). Van Bemmelen sangat tertarik terhadap evolusi geologi di Cekungan Bandung, hingga menuliskan cukup rinci dalam kitabnya yang paling penting, The Geology of Indonesia. Menurutnya pembentukan Danau Bandung terjadi akibat letusan Tangkuban Perahu, yang ia beri nama Erupsi Fase A. Erupsi ini membendung Ci Tarum dan menghasilkan danau dengan ketinggian maksimal 720 mdpl, hingga kemudian menyurut akibat menemukan jalan keluarnya di sekitar Saguling (Bemmelen, 1949). Ia juga menyitir pendapat arkeolog, Von Koenigswald yang melaporkan penemuan artefak obsidian pada lereng-lereng di Cekungan Bandung. Menurut Koenigswald, karena artefak hampir selalu ditemukan pada wilayah yang cukup tinggi, maka masuk akal bila di tengah-tengahnya terdapat danau (Koenigswald, 1935). Menurutnya juga, sumber obsidian berasal dari wilayah sekitar Kendan dan Nagrek, yang berada di sekitar elevasi 700 mdpl, sehingga mungkin manusia purba ketika itu berperahu melewati danau untuk saling bertukar barang, salah satunya komoditas berbahan obsidian. Keberadaan artefak dan kisah Sangkuriang yang begitu sesuai dengan kejadian geologi, membuat van Bemmelen meyakini, bahwa manusia purba Bandung menyaksikan pembendungan Ci Tarum oleh letusan gunungapi yang terjadi dalam satu malam.

Gambar 1 Lokasi penemuan artefak dan delineasi Danau Bandung Purba (Koenigswald, 1935)

Endapan danau Bandung dipetakan sebaran dan stratigrafinya oleh Koesoemadinata dan Hartono pada tahun 1981. Menurut mereka, Endapan Danau Bandung dapat dikelompokkan menjadi Formasi Kosambi (Koesoemadinata & Hartono, 1981). Nama ini digunakan untuk menggantikan nama Endapan Danau yang digunakan dalam peta geologi yang ada sebelumnya (Alzwar et al., 1992; Silitonga, 1973; Sujatmiko, 1972). Ciri litologinya berupa batulempung, batulanau, dan batupasir, yang belum terkompaksi dengan baik, dengan umur Holosen.

PenulisTinggi Max Danau BandungKeteranganSumber
N.J. Taverne700-740 mdplBerdasarkan rekonstruksi elevasi lembah di perbukitan kapur Rajamandala(Stehn & Umbgrove, 1929; Taverne, 1926)
Von Koenigswald723 mdplBerdasarkan elevasi tertinggi di Padalarang, di mana Danau Bandung mungkin bocor. Penemuan artefak di lereng-lereng Cekungan Bandung(Koenigswald, 1935)
Van Bemmelen720 mdplHasil erupsi Gunung Tangkuban Perahu fase A(Bemmelen, 1949)
Koesoemadinata dan Hartono725 mdplPemetaan stratigrafi Cekungan Bandung(Koesoemadinata & Hartono, 1981)
Suparan-Dam700 mdplPemetaan geologi Kuarter Cekungan Bandung(M. A. C. Dam & Suparan, 1992)
Rien Dam690 mdplBerdasarkan data endapan danau dan rekonstruksi kompaksi sedimen(DAM, 1994)
Brahmantyo-Bachtiar700-712.5 mdplAnalisis terhadap pola kontur 700 dan 712.5 mdpl(Brahmantyo & Bachtiar, 2009)
Tinggi maksimal permukaan Danau Bandung Purba menurut beberapa peneliti

Bobolnya Danau Bandung

Sampai titik ini, hampir semua peneliti bersepakat bahwa Danau Bandung purba itu pernah eksis. Dan semua bersepakat bahwa jebolnya Danau Bandung terjadi di Lembah Ci Tarum yang menoreh Perbukitan Rajamandala, di sebelah barat Bandung. Namun di titik mana?

Ketika pertama keluar dari lembah yang terjal, Ci Tarum menghadapi bukit batugamping yang bernama Pasir Sanghyang Tikoro. Bukit ini dinamai demikian karena di bagian bawahnya terdapat goa kapur, di mana aliran deras Ci Tarum masuk ke dalamnya. Saking megahnya, hal ini membangkitkan imajinasi, Ci Tarum masuk ke dalam tenggorokan Tuhan, karena begitulah arti secara harfiah dari Sanghyang Tikoro. Saking megahnya, goa ini telah dikunjungi begitu banyak orang, bahkan seorang Antoine Payen, yang merupakan guru dari pelukis legendaris Indonesia, yaitu Raden Saleh, pada sekitar 1820an pernah melukis goa ini.  

Catatan paling tua terkait Pembendungan Danau Bandung di Sanghyang Tikoro mungkin dari Jonathan Rigg, seorang Inggris yang menulis kamus Sunda-Inggris (Rigg, 1862). Dalam lema mengenai Tangkuban Prahu, ia menyatakan bahwa pembendungan Ci Tarum terjadi di Sanghyang Tikoro. Rigg mencatat ini berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, yang melegenda di Tatar Sunda. Saking melegendanya, menurut T. Bachtiar, pada masa Perang Kemerdekaan, pejuang Jawa Barat berencana meledakkan Sanghyang Tikoro (Brahmantyo & Bachtiar, 2009), sehingga alih-alih Bandung Lautan Api, yang terjadi adalah Bandung yang kembali tergenang. Legenda ini kemudian diformalkan ke dalam sains oleh Katili yang menulis buku Geologi Indonesia, dan digunakan sebagai buku panduan Ilmu Bumi bagi guru Geografi, sehingga hampir semua meyakini Sanghyang Tikoro sebagai tempat bobolnya Danau Bandung (Brahmantyo & Bachtiar, 2009).

Gambar 2 Sanghyang Tikoro sebelum adanya PLTA Rajamandala

Baru kemudian pada tahun 2002, melalui analisis geomorfologi, diketahui bahwa Danau Bandung tak pernah mencapai Sanghyang Tikoro, sehingga mustahil di Sanghyang Tikoro terjadi kebocoran. Alih-alih Sanghyang Tikoro, bobolnya Danau Bandung diduga terjadi lebih ke hilir, tepatnya di lembah sempit antara Pasir Kiara dan Pasir Larang (Brahmantyo et al., 2002). Bagaimana mekanismenya? Hal ini masih berupa hipotesis. Menurut Brahmantyo, pembobolan terjadi karena erosi ke hulu yang ekstrim karena muka air laut surut begitu dalam pada masa glasiasi terakhir (Brahmantyo & Bachtiar, 2009).

Salah satu penelitian yang memanfaatkan metode modern adalah penelitian dari Rien Dam pada dekade 1990an. Dam tertarik pada endapan danau Bandung, karena meyakini bahwa endapan ini menyimpan rekaman iklim yang sangat panjang dan berguna bagi rekonstruksi paleoiklim global, karena merekam sejarah beberapa kali siklus glasial dan interglasial. Dam melakukan pengeboran dan menganalisis inti bor yang dihasilkan, baik secara deskriptif, dan juga dengan analisis palinologi, sedimentologi, dan juga penanggalan absolut menggunakan Karbon-14 dan Uraniun-Thorium. Beberapa hasil penting yang didapatkan antara lain bahwa pengendapan sedimen danau terjadi sejak sekitar 130 ribu tahun silam dan mengalami fluktuasi dan sesekali diselingi letusan-letusan gunungapi yang kuat (DAM, 1994). Endapan danau tidak terendapkan lagi sejak 16 ribu tahun silam, yang mana menggugurkan pendapat van Bemmelen, yang menduga pembendungan terjadi 6000 tahun silam (Bemmelen, 1949; Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Dam juga merekonstruksi kemungkinan elevasi tertinggi endapan danau, dan menduganya pada elevasi 690 mdpl, setelah mempertimbangkan subsidensi dan kompaksi (R. Dam, 2021).

Dalam penelitiannya juga Dam menyatakan bahwa pembentukan danau tidak semata terjadi karena letusan gunungapi yang membendung Ci Tarum saja, melainkan juga subsidensi tektonik pada Cekungan Bandung dan perubahan iklim menjadi lebih humid pada sekitar 125 ribu tahun silam. Selama lebih dari 100 ribu tahun eksis, Danau Bandung Purba mengalami fluktuasi ketinggian, akibat efek iklim, dan juga erupsi gunungapi. Letusan gunungapi yang materialnya mengisi cekungan, mengakibatkan muka danau menjadi naik, terutama pada 35-20 ribu tahun yang lalu. Sementara itu hilangnya Danau Bandung terjadi karena beberapa faktor, yaitu: 1. Sedimentasi yang mengisi penuh cekungan, 2. Faktor iklim, 3. Erosi dari Ci Tarum yang mengakibatkan turunnya elevasi dasar sungai (DAM, 1994).

Peluang Penelitian Lanjutan

Pada tahun 1985, Bendungan Saguling diresmikan Pemerintah. Bendungan ini dibangun di daerah Saguling, tepatnya antara Pasir Pancalikan dan Pasir Saguling pada elevasi sekitar 650 mdpl. Dari bendungan, air dialihkan dan kemudian dikeluarkan melalui pipa pesat ke PLTA yang berada di dekat Pasir Sanghyang Tikoro. Pembendungan ini mengakibatkan segmen Ci Tarum antara Saguling dan Sanghyang Tikoro menjadi kering karena hanya dipasok oleh air dari tangkapan air di sekitar lembah ini saja.

Suksesnya PLTA Saguling menginspirasi pembangunan PLTA lainnya, yaitu PLTA Rajamandala yang baru diresmikan pada 2019 silam. PLTA ini memanfaatkan air yang baru dilimpaskan dari PLTA Saguling. Aliran yang keluar kemudian dipindahkan melalui terowongan yang menerobos bukit, untuk kemudian memutar turbin. Akibat dari pembangunan PLTA ini cukup dramatis. Debit aliran Ci Tarum mulai dari Sanghyang Tikoro hingga PLTA Rajamandala menjadi cukup kecil, dari sebelumnya sangat deras dan bisa menjadi tempat latihan arung jeram. Pemindahan aliran ini juga mengakibatkan Goa Sanghyang Tikoro menjadi kering, sehingga bisa disusuri, mungkin untuk pertama kalinya setelah selama puluhan ribu tahun dialiri oleh aliran deras Ci Tarum.

Dalam satu kesempatan menyusuri Goa Sanghyang Tikoro dari arah Sanghyang Kenit, dijumpai endapan-endapan sungai yang terendapkan sangat baik di lorong-lorong goa. Endapan kerakal-berangkal yang membundar dengan sortasi baik dan memiliki struktur imbrikasi mencirikan bahwa di dalam lorong-lorong goa ini, aliran sungai mengalir dengan arus yang sangat deras, namun stabil dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu juga di beberapa tempat dijumpai endapan-endapan banjir, yang mencirikan bahwa di dalam goa ini juga beberapa kali terjadi banjir, atau mungkin cukup rutin. Di dalam goa dijumpai batang kayu yang cukup besar yang mencirikan besarnya aliran air yang masuk ke dalam goa ini.

Gambar 3 Endapan sungai di dalam goa Sanghyang Tikoro. Foto oleh Deni Sugandi

Penemuan ini cukup menarik, sehingga memancing rasa ingin tahu. Menurut pendapat para ahli sejak zaman kolonial, Ci Tarum sebelumnya tidak mengalir lewat Saguling-Rajamandala. Aliran ini relatif baru. Mungkin setelah terjadi pembendungan. Jika pembendungan diduga terjadi pada 130 ribu tahun silam, dan surutnya Danau Bandung terjadi pada 16 ribu tahun silam, maka mungkin Goa Sanghyang Tikoro baru pertama kali dimasuki Ci Tarum pada saat itu juga. Artinya, jika kita menggali parit pada endapan sungai di dalam Goa Sanghyang Tikoro dan mencapai dasarnya, kemudian mencari material yang bisa dianalisis umurnya, apakah kita bisa mengetahui kapan pertama kali endapan sungai masuk ke dalam goa ini? Jika hipotesis ini benar, apakah kita bisa tentukan kapan Danau Bandung jebol?

Penutup

Mengetahui kapan dan dimana Danau Bandung Jebol mungkin bukan hal yang menyangkut hidup dan mati atau terkait dengan hajat hidup orang banyak. Namun rasa ingin tahu adalah bagian dasar dari diri manusia, dan keingintahuan terkait Danau Bandung telah ada sejak ratusan tahun silam. Sangat menarik untuk menelusuri keping-keping berserak mengenai sejarah tempat kita tinggal, yang kini perlahan mulai terangkai menjadi kisah yang utuh. Mulai dari terbentuknya danau, pelamparan danau, bagaimana surutnya, dan kini kita mencoba menjawab kapan terjadinya, secara lebih eksak dan presisi. Wilayah Lembah Ci Tarum di Saguling-Rajamandala kini sedang bersolek untuk mengembangkan diri menjadi objek geowisata kelas dunia, yang salah satu elemennya adalah latar belakang ilmu pengetahuan. Semoga ada kesempatan untuk melakukan penelitian terkait hal ini.

Referensi:

Alzwar, M., Akbar, N., & Bachri, S. (1992). Peta Geologi Lembar Garut (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Bemmelen, R. W. van. (1949). The geology of Indonesia (Vol. 2). Govt. Printing Office The Hague. https://nla.gov.au/nla.cat-vn2287853

Bemmelen, R. W. van, & Szemian, J. (1934). Geologische Kaart van Java Blad 36, Bandoeng [Map]. Batavia : Topografische Dienst. https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/813208

Brahmantyo, B., & Bachtiar, T. (2009). Wisata Bumi Cekungan Bandung (1st ed.). Truedee Pusaka Sejati. https://catalogue.nla.gov.au/Record/4603322

Brahmantyo, B., Sampurno, & Bandono. (2002). Analisis Geomorfologi Perbukitan Saguling-Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak Melalui Gua Sangiangtikoro. Majalah Geologi Indonesia, 17(3).

DAM, M. A. C. (1994). The Late Quaternary evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. Thesis VU Amsterdam. https://ci.nii.ac.jp/naid/10013487372/

Dam, M. A. C., & Suparan, P. (1992). Geology of the Bandung Basin. Republic of Indonesia, Department of Mines and Energy, Directorate General of Geology and Mineral Resources, Geological Research and Development Centre.

Dam, R. (2021, July 24). The Geology of Bandung Basin and Potential Future Research. Geologi ITB Menyapa #16, Zoom Meeting. https://youtu.be/nPJdRDpcDe4?t=1736

Hochstetter, C. G. F. R. von. (1864). Geologische Ausfluge auf Java. https://www.zobodat.at/pdf/MON-GEO_0032_0113-0152.pdf

Junghuhn, F. W. (1841). Uitstapje naar de bosschen van de gebergten Malabar, Wayang en Tilu, op Java. bij S. en J. Luchtmans. https://books.google.co.id/books?id=2oP5Vr-eGoIC

Koenigswald, G. von. (1935). Das Neolithicum der Umgebung von Bandung. Tijdschriff voor Indische Taal. Land-En Volkenkunde, 75, 394–419.

Koesoemadinata, R. P., & Hartono, D. (1981). Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 23 pp.

Rigg, J. (1862). A Dictionary of the Sunda language of Java, by Jonathan Rigg … Lange.

Silitonga, P. H. (1973). Peta Geologi Lembar Bandung (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Stehn, C. E., & Umbgrove, J. H. F. (1929). Bijdrage tot de geologie der vlakte van Bandoeng. Tijdschr. K. Nederl. Aardrijkskd. Genoot., 46, 301–314.

Sujatmiko. (1972). Peta Geologi Lembar Cianjur (1st ed.) [Map]. Direktorat Geologi, Dinas Pertambangan Republik Indonesia.

Taverne, N. J. M. (1926). Vulkaanstudien op Java. Algemeene Landsdrukkerij.

Verbeek, R. D. M., & Fennema, R. (1896). Geologische beschrijving van Java en Madoera (Vol. 2). JG Stemler Cz.