Kerinduan Junghuhn Pada Alam Jawa

Dalam buku Drie en Dertig Jaren op Java (33 Tahun di Jawa), Dr. C.W. Wormser sebagai pembuka bukunya, mengutip pernyataan dari Franz Junghuhn mengenai kerinduan Junghuhn pada Pulau Jawa. Ketika itu Junghuhn sedang berada di Belanda, memulihkan dirinya setelah selama 12 tahun bergulat dalam belantara Hindia.

Aku sangat ingat hutan di sana yang berhias warna hijau yang abadi, ribuan bunga dengan semerbak wangi yang tak pernah pudar. Dalam pikiranku terdengar angin laut yang berdesir melewati rerimbun pohon pisang dan pucuk pohon kelapa. Aku dengar gemuruh air terjun yang berundak turun dari dinding gunung tinggi di pedalaman negeri. Seolah-olah aku sedang menghirup udara pagi yang dingin. Seolah aku sedang melangkah di depan pondok orang Jawa yang ramah. Keheningan yang sunyi dari hutan belantara mengepungku dari segala sisi. Tinggi di langit di atasku terlihat kepakan kelelawar yang berkerumun, beterbangan kembali ke tempat mereka pulang di siang hari. Perlahan kehidupan bergerak semakin dalam ke hutan. Burung merak berteriak berlomba saling pamer suara. Monyet-monyet melanjutkan permainan mereka dan teriakannya menggema dalam sunyi hutan pegunungan, seolah membangunkan hutan dengan nyanyian paginya. Ribuan burung benyanyi merdu. Bahkan sebelum matahari menampakkan warnanya di timur langit, puncak-puncak gunung telah menyala keemasan. Dari ketinggiannya yang agung, mereka seolah melihatku sebagai seorang kawan lama. Betapa rindu dan membuncah keinginanku untuk mendaki, hingga pada hari nanti di mana aku bisa bilang, Salam padamu, Wahai Gunung-Gunung!

Franz Junghuhn,
Leiden, November 1851