Curug Halimun Tahun 1928

Minggu lalu saya baru berkunjung ke Curug Halimun, yang terletak di Kampung Cikondang, Saguling. Saya ke sana dengan Pak Bachtiar dan istri, serta adik saya. Kami dipandu langsung oleh ketua Pokdarwis Curug Halimun, Kang Ryan. Untuk memperkaya wawasan tentang Curug Halimun, maka saya sengaja menerjemahkan artikel tentang Curug Halimun yang ditulis oleh S.A. Reitsma (mantan walikota Bandung tahun 1928). Artikel ini dimual dalam Majalah Tropisch Nederland tanggal 28 Desember 1928.

Berikut terjemahannya:

Pada zaman dahulu kala, Dataran Tinggi Bandung pastilah sebuah danau yang begitu luas. Hal ini bisa terlihat dari formasi batuan yang ditemukan di dasar dataran ini.  Hal ini juga tercermin dari berbagai macam legenda Sunda dan penamaan Bandung. Bandung berarti membendung, yang kemudian juga diabadikan sebagai simbol dari logo kota.

Legenda pembentukan dataran tinggi Bandung masih diceritakan dari mulut ke mulut hinga sekarang. Kisahnya kurang lebih adalah begini:

Pangeran Galuh Sri Pamekas mempunyai seorang putri, namanya Dayang Sumbi. Dayang Sumbi mempunyai seorang putra, namanya Sangkuriang, yang begitu ahli dalam berburu. Suatu hari Dayang Sumbi dan putranya sedang bertengkar. Dayang Sumbi tak sengaja melukai putranya di kepala, meninggalkan jejak luka yang dalam. Sangkuriang pergi dari rumah, berkelana mengarungi Jawa dengan pengikut-pengikutnya.

Tahun dan tahun berlalu hingga Sangkurinag kembali ke Bukit Karang Penganten,di mana ia bertemu dengan seorang putri yang cantik Dayang Sumbi yang telah diusir dari Kerajaan Galuh. Tanpa mengetahui tentang hubungan darah yang mereka berdua miliki, mereka merencanakan pernikahan. Hingga Dayang Sumbi akhirnya menemukan bekas luka di kepala Sangkuriang.

Ia begitu terkejut dengan fakta ini. Dia tidak bisa menikahi putranya sendiri. Untuk membatalkan rencana ini, ia membuat syarat, bahwa untuk menikahinya, Sangkuriang haru membendung Ci Tarum, sehingga ada danau yang luas untuk mereka berperahu di sana. Tenggat waktunya besok pagi. Sangkuriang harus mengerjakannya dalam waktu semalam.

Permintaan yang hampir mustahil ini diterima Sangkuriang. Dengan pasukan jin dan roh alam dewata yang dimilikinya, tugas ini sepele saja baginya.

Sebagian pasukan gaibnya dikirim ke Ngarai Ci Tarum dan mulai membendung dengan bebatuan di bagian yang paling sempit. Pepohonan ditebang. Bukit-bukit digali dan dipindahkan. Bebatuan diangkut dan ditumpahkan. Pasukan yang lain dikirim untuk memotong pohon Lambitang raksasa, yang akan dijadikan sebagai perahu. Sementara pasukannya yang wanita dikerahkan untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan pesta.

Pekerjaan Sangkuriang dan pasukannya berjalan dengan lancar. Di tengah malam, sebagian besar Bandung telah tenggelam dalam bendungan. Dalam terang purnama, Sangkuriang bersiap-siap menjemput pengantinnya.

Dayang Sumbi mengamati dari puncak bukit. Cemas semakin cemas. Ia berdoa, memohon pertolongan dewa-dewa, terutama Brahma yang agung.

Tak lama muncul seorang dukun yang memberinya daun dari Pohon Surgajaya. Dedaunan ini punya kekuatan gaib, yaitu ketika dilemparkan ke danau, ia merusak bendungan, membentuk lubang yang besar, Sangiang TIkoro, sehingga air mengalir keluar dari bendungan yang telah dibuat. Danau mengering cepat. Sangkuriang yang marah menendang perahu yang kemudian terbalik. Pasukan Sangkuriang musnah di rawa-rawa.

Perahu yang terbalik kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu, yang berarti Perahu Nangkub, atau perahu terbalik. Tentu ini dinamai karena bentuknya yang memang menyerupai perahu terbalik. Dayang Sumbi yang bersedih karena mengorbankan nyawa begitu banyak manusia untuk menghindari menikah dengan putranya sendiri, sangat bersedih. Ia melompat dan masuk ke dalam gunung, kini menjadi Kawah Ratu, kawah utama di Tangkuban Perahu.

Semua sungai di dataran tinggi Bandung, mulai dari yang berhulu di Pengalengan, Malabar, Tangkuban Perahu semua mengalir dan bermuara ke Ci Tarum. Kota Majalaya dan Dayeuhkolot mengalir di tengah dataran Bandung. Di Dayeuh Kolot sungai ini bisa dinavigasi beberapa kilometer hingga rentetan jeram-jeram dimulai. Curug Jompong adalah jeram paling utama di sana.

Kemudian Ci Tarum menerobos pegunungan Neptunian yang menjadi batas barat Dataran Tinggi Bandung. Sungai ini telah melewati kawasan ini selama ratusan bahkan ribuan tahun, membentuk ngarai yang sempit dan dalam, lebih dari 500m. Di beberapa tempat, lebarnya hanya beberapa meter. Melalui jurang yang sempit dan dalam ini, di tebing-tebing batukapur, volume yang masif dari aliran CI Tarum membentuk deretan air terjun yang sangat menakjubkan, paling menakjubkan yang ditemukan di Jawa, sebelum kemudian keluar di dataran Rajamandala.

Bagian terdalam dari ngarai ini disebut Junghuhn sebagai Sanghyang Heuleut. Tak jauh di sana terletak juga Sanghyang Tikoro. Curug Halimun juga ada di sekitar sana, dan telah ditandai dalam peta.

Untuk sampai ke Curug Halimun, kita bisa berkendara dengan mobil atau kereta dari Padalarang. Mengambil jurusan Buitenzorg (Bogor), kemudian berhenti di Rajamandala. Kemudian di pal-26, sebelum jembatan menuju Cihea kita berbelok. Di sana ada perusahaan bernama “Pangkalan”. Setelah satu setengah jam jalanan menanjak, kita akan sampai di Gunung Guha.

Ci Nungnang, sungai kecil, mengalir di tepian gunung ini, yang juga dikenal sebagai Gunung Nungnang. Gunung ini dideskripsi oleh Junghuhn sebagai berikut:

Tebing batugamping ini menjulang tinggi besar. Puncak dan tepi-tepiannya ditutupi pepohonan yang hijau dan subur. Karena curamnya lereng, maka puncak tebing tidak bisa diakses, sehingga penebangan kayu tak terjadi. Jika ingin melihat gambaran mengenai keindahan alam hutan tropis, kunjungilah tebing kapur Gunung Nungnang. Ia menjulang hampir vertikal setinggi 500 kaki di atas Desa Guha. Pohon-pohon besar, tumbuh tinggi menjulang, seolah kolom raksasa. Keindahannya melampaui semua deskripsi. Batang-batangnya menjulang seolah berlomba siapa yang paling tinggi. Kubah pohonnya seolah amfiteater, yang berdekatan satu sama lain. Saking rapatnya, lereng-lereng curam dinding kapur yang putih ini hanya terlihat di beberapa tempat saja.

Kami terus berjalan dan segera mencapai titik tertinggi, 1736′, di Desa Cacaban. Sebelumnya, dari Puncak Larang, kami disuguhi menikmati pemandangan indah Dataran Batujajar dengan markas tantara artileri dengan kelok-kelok Ci Tarum bermeander seolah memahat dataran.

Tak lama kita sampai di Curug Halimun. Jalan menurun sangat ekstrim. Ci Tarum jatuh bebas sebebas-bebasnya. Suaranya menggemuruh yang menggelegar. Sangat disayangkan bahwa air terjun ini sangat sulit untuk direkam baik melalui sketsa dan foto. Sejauh yang kami ketahui, belum ada rekaman foto dari lokasi yang sangat indah ini.

Foto Curug Halimun dalam buku Bandoeng en Haar Hoogvlaakte (1950)

Kami menyusuri tepian Ci Tarum ke arah hulu. Memanjat dari batu ke batu. Melewati satu per satu jeram. Mengikuti persis jejak langkah dari pemandu kami yang lincah. Menyeberangi sungai-sungai kecil, menembus belantara yang lebat. Hingga akhirnya kami sampai di tempat di mana Ci Tarum menerobos bebatuan. Atau mungkin lebih tepat kita sebut di mana Ci Tarum menyayat dinding pegunungan selama ratusan atau ribuan tahun, dibantu gempa bumi dan banjir yang besar.

Air yang mengalir deras dari Dataran Bandung harus melewati jalur sempit selebar 10m. Di sinilah bendungan itu pasti berada. Saat dataran Bandung yang indah dan subur masih berupa danau yang luas. Di sinilah, di antara gunung-gunung yang tinggi, jalan keluar dari danau yang luas, yang legenda dan hikayatnya direkam dari mulut ke mulut oleh leluhur orang Sunda.

Bertumpu pada dinding yang terjal, dan pohon yang tumbuh di tepiannya, masyarakat lokal membangun jembatan dan menamainya Cukang Rahong (Cukang berarti Jembatan. Rahong artinya Membual (*)). Pohon yang menjadi tumpuan, tumbuh mengakar kuat pada rekahan-rekahan. Bisa kita lihat jika kita melihat dengan cermat. Lebar jembatan ini tak lebih dari 11m, dan tersusun atas beberapa batang bambu, yang disambung satu sama lain membentuk segitiga.  

(*) Dalam Kamus Jonathan Rigg, Rahong berarti celah yang sempit, atau ngarai. lebih sesuai untuk konteks Cukang Rahong. Jadi bukan jembatan pembual, tetapi jembatan di atas celah yang sangat sempit.

Pemandangan dari jembatan ini sangatlah indah. Jembatan kecil di atas ngarai sedalam 40m itu berada sekitar 15m di atas permukaan air. Aliran air menggemuruh melewati bebatuan. Buihnya seolah menggelegak, seolah mendidih.  Di sisi sebelah selatan, kami turun ke sungai, di mana kami melihat pemandangan jejak erosi yang begitu indah. Kami lihat juga pohon yang sangat besar yang terbawa oleh banjir.

Karena kami masih di sekitar Ci Tarum, kami memutuskan untuk mengunjungi Sanghyang Tikoro, atau Tenggorokan Ci Tarum.

Jalan mengarah dari Rajamandala menuju Cidohong, kemudian dari sana menuju perkebunan teh dan karet Rajamandala, lalu menuju hutan belantara. Dari sini kami menyusuri lembah Ci Leat. Sesekali kami bisa melihat pemandangan indah dari puncak Gunung Guha. Tak lama hutan semakin rapat. Terik matahari memancarkan sinarnya di atas kanopi. Di antara vegetasi hutan yang rimbun bisa kita temukan begonia dan anggrek, serta tanaman liana (merambat) terbesar di Jawa dengan legum raksasa yang panjangnya lebih dari 1m. Kemudian kami melewati Desa Cisambeng, di mana terdapat mata air panas mengandung belerang dengan suhu hingga 50oC. Sebuah pipa bambu dipasang di belakang batu-batu besar dan membawa air panas ke kamar mandi kecil, di mana air dikumpulkan di dalam baskom batu. Di dekat sumur, ada pipa bambu lain di bawah, di mana banyak penduduk asli membasuh diri untuk mengobati segala macam penyakit.

Desa Cisambeng terletak di anak sungai kecil yang bernama sama, yang mengalir dari gunung yang juga disebut Cisambeng. Rumah kampung masih seluruhnya dilapisi alang-alang panjang.

Kami bisa sampai di sini dengan menunggang kuda. Kemudian kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Jalanan segera menanjak di Desa Cisambeng. Saat melihat ke belakang, kami melihat gambaran desa yang tenang, sepi, dan damai. Jalan setapaknya sempit, naik dan turun. Tak lama, sekitar 15 menit kami tiba di penghujung perjalanan kami. Ci Tarum baru saja berbelok keluar dari ngarai yang sempit di ujung Gunung Guha. Kemudian sungai ini mengalir mengikuti dinding tebing yang curam dan berhutan, hingga kemudian masuk ke dataran Cihea.

Di sini kami melihat pemandangan yang sangat memesona. Pegunungan kapur berwarna putih keabuan Gunung Guha menjadi latarnya. Ci Tarum terbelah menjadi dua, cabang sebelah kanan menghilang dengan cepat ke dalam gua yang gelap, gua Sanghyang Tikoro. Di atas mulutnya, tanaman-tenaman tergantung miring seolah-olah menjadi karangan bunga. Dengan sangat berhati-hati kami bisa turun sedikit di antara bebatuan, yang bertumpukan satu sama lain. Gua ini kemungkinan besar terbentuk akibat runtuhan dinding bebatuan kapur ini.

Kami menghanyutkan sebuah peti berisi obor yang menyala ke dalam gua. Hasilnya luar biasa! Ribuan kelelawar dan burung walet segera berhamburan keluar dari persembunyiannya. Mereka yang sebelumnya bergelantungan menempel di langit-langit gua segera beterbangan. Sanghyang Tikoro panjangnya beberapa ratus meter. Dari atas gua kami menyusuri dan menemukan beberapa sungai keluar dari gelapnya gua-gua yang dalam ini.