Menggeoreferensi Peta Van Bemmelen

R.W. van Bemmelen adalah geologist paling popular di Indonesia. Karya terutamanya, kitab the Geology of Indonesia adalah bacaan wajib seluruh mahasiswa geologi di Indonesia, sejak almarhum Katili, hingga sekarang. Selain buku ini, van Bemmelen juga aktif melakukan pemetaan. Salah satu karyanya adalah Peta Geologi Lembar Bandung skala 1:100.000 yang diterbitkan pada tahun 1934.

Sejak memahami tentang teknik menggeoreferensi, saya ingin mengetahui apakah saya bisa menggeoreferensi peta van Bemmelen ini, sehingga kita tahu bagaimana sebaran batuan menurut van Bemmelen pada kondisi yang sekarang. Tidak terlalu penting sebenarnya, tapi kalau bisa ya kenapa tidak.

Ok pertama kita akan mengunduh peta geologi Lembar Bandung tahun 1934. Kita bisa mengunduh data ini di website koleksi digital Universitas Leiden https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ gunakan kata kunci “Bandoeng” dan cari di bagian “Maps (KITLV) (under construction)“. Kalau sulit, bisa pakai tautan ini.

Di tautan tersebut, Anda akan dapat 11 peta geologi jadul, keluaran tahun 1930an. Kita akan pilih nomor D E 14,3 yang merupakan kode Peta Geologi Lembar Bandung. Di bagian bawah peta, terdapat ikon untuk menguduh. Bentuk ikonnya seperti kardus pipih dengan mata panah mengarah ke kardus tersebut. Letaknya di samping ikon rantai, di atas tulisan In Collections. Silakan mengunduh Original Master dengan ukuran file 121 MB.

Untuk menggeoreferensi, kita akan menggunakan piranti lunak QGIS 3.10.5. Jika tidak punya software ini, maka bisa mengunduh dan menginstalnya di komputer masing-masing. Dalam tulisan ini, saya berasumsi bahwa pembaca sudah paham prinsip dasar menggeoreferensi.

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum menggeoreferensi adalah mengetahui sistem koordinat. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melihat pojok-pojok peta. Pada Peta Geologi Lembar Bandung ini kita melihat terdapat sistem koordinat, terutama pada bagian pojok kiri bawah di mana terdapat informasi sebagai berikut:

Di dalam peta ini kita dapat melihat bahwa Van Bemmelen sudah meletakkan sistem koordinat. Informasi di atas berarti bahwa titik pojok kiri bawah pada peta ini berjarak 0 derajat 40 menit ke arah timur dari Meridian Batavia, dan 7 derajat ke arah selatan dari ekuator. Meridian dari Batavia sendiri didefinisikan berjarak 106 derajat 48 menit 27.8 detik ke arah timur dari Greenwich. Informasi ini sangat penting, karena akan kita bandingkan dengan informasi yang kita miliki di QGIS.

Sekarang kita akan membuka QGIS. Ketika kita membuka QGIS, di bagian pojok kanan bawah, terdapat tulisan EPSG:XXXX yang merupakan sistem koordinat projek kita. Kita bisa klik gambar globe di samping tulisan EPSG untuk tahu sistem koordinat apa saja yang tersedia.

Selanjutnya, karena kita akan menggeoreferensi peta lama Indonesia, maka kita gunakan kata kunci “Batavia”. Maka akan ditemukan beberapa sistem koordinat (lihat baris Predefined Coordinate Reference Systems), yaitu sistem koordinat geografis dan terproyeksi (Geographic Coordinate Systems dan Projected Coordinate Systems).

Karena data kita menggunakan sistem koordinat geografis, maka kita cari di bagian Geographic Coordinate Systems. Perhatikan bahwa ada dua sistem, yaitu EPSG:4211 dan EPSG:4813. Apa bedanya? Kita akan tinjau.

Perbedaannya adalah EPSG:4211 berprime-meridien di Greenwich, artinya titik nol garis bujur berada di Greenwich. Sementara EPSG:4813 berprime-meridien di Batavia, artinya titik nol garis bujur pada sistem koordinat ini berada di Batavia. Namun terdapat keterangan bahwa Jakarta(Batavia) berjarak 106.807719 derajat dari Greenwich. Angka ini jika diubah menjadi derajat menit detik akan sama dengan 106 derajat 48 menit 27.8 detik. Artinya sistem koordinat ini akan sesuai dengan peta kita. Berikut adalah informasi geografis dari sistem koordinat EPSG:4813:

GEOGCRS["Batavia (Jakarta)",
    DATUM["Batavia (Jakarta)",
        ELLIPSOID["Bessel 1841",6377397.155,299.1528128,
            LENGTHUNIT["metre",1]]],
    PRIMEM["Jakarta",106.807719444444,
        ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
    CS[ellipsoidal,2],
        AXIS["geodetic latitude (Lat)",north,
            ORDER[1],
            ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
        AXIS["geodetic longitude (Lon)",east,
            ORDER[2],
            ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
    USAGE[
        SCOPE["unknown"],
        AREA["Indonesia - Bali, Java and western Sumatra onshore"],
        BBOX[-8.91,95.16,5.97,115.77]],
    ID["EPSG",4813]]

Oleh karena itu kita akan pilih sistem koordinat ini di peta kita.

Setelah itu kita akan masuk di bagian georeferensi.

Pada toolbar, klik Raster, kemudian pilih Georeferencer.

Di pojok kiri atas windows Georeferencer, pilih Open Raster. Pilih Raster yang ingin digeoreferensi. Dalam hal ini, raster yang sudah kita download, yaitu raster Peta Geologi Lembar Bandung. Hasilnya kurang lebih akan seperti gambar di bawah ini.

Di bawah tulisan settings, agak ke kanan sedikit, terdapat ikon berwarna kuning yang berbentuk seperti gerigi, yaitu ikon Transformation Settings. Kita akan mengatur Transformation pada pengaturan ini.

Pada pengaturan ini, pilih tipe transformasi menjadi Helmert. Metode Resampel menjadi Nearest neightbour dan Target SRS menjadi Project CRS, yaitu EPSG:4813. Atur output raster, sisanya tinggalkan sebagaimana default.

Pilih empat titik di pojok kiri atas, kanan atas, kanan bawah, dan kiri bawah sebagai titik ikat. Pastikan bahwa Anda menggunakan bagian dalam dari frame sebagai lokasi koordinat. Sebagai contoh saya menggeoreferensi pojok kiri atas peta, maka saya mengisi X/East sebagai 0 dan 40, artinya 0 derajat dan 40 menit. QGIS secara otomatis membacanya demikian. Sementara pada Y/North Anda akan mengisikan sebagai -6 dan 40 karena kita berada di selatan ekuator. Lakukan hal yang sama untuk sudut-sudut peta lainnya.

Setelah empat sudut terpilih sebagai GCP, maka kita bisa mulai menggeoreferensi dengan mengeklik ikon segitiga miring berwarna hijau, yang mirip dengan ikon play. Setelah itu kita bisa mengecek hasil georeferensi kita. Caranya dengan membuka file raster yang kita buat ke dalam QGIS.

Untuk mengecek apakah peta kita tergeoreferensi dengan benar, kita bisa bandingkan dengan peta OSM. Kita atur transparansi dari layer OSM untuk kita bandingkan bagaimana kedua layer ini. Saya pikir layer ini tergeoreferensi dengan baik sekali.

Kesesuaian peta OSM dengan peta hasil georeferensi. Perhatikan daerah Jalan Cagak di atas.
Di sekitar Ci Tarum terlihat ada sedikit distorsi. Tapi masih bisa ditoleransi.
Sangat memuaskan melihat bagaimana sungai-sungai berada di lokasi yang tepat. Gambar ini dioverlay dengan layer ESRI World Hillshade

Demikian tutorial singkat menggeoreferensi Peta Geologi Van Bemmelen tahun 1934.

Curug Jompong Setelah Diterowong

Sudah sangat lama ada rencana-rencana untuk memapas Curug Jompong. Alasannya adalah karena Curug Jompong dianggap sebagai penghambat aliran Ci Tarum, mengakibatkan aliran Ci Tarum melambat, kemudian mengakibatkan banjir di Bandung Selatan. Ide-ide pemapasan itu ekstrim. Ada ide pemapasan dengan bom, dipapas total, dipapas sebagian, dll. Meski kemudian ternyata pilihan yang lain yang dipilih, yaitu pembuatan terowongan menembus bukit di sebelah utara Curug Jompong. Terowongan ini sudah selesai, dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Januari 2020 lalu.

Pemindahan aliran Ci Tarum menuju terowongan Nanjung, mengakibatkan kita harus memikirkan ulang Curug Jompong sebagai sebuah curug. Meski batuannya masih ada, tapi tidak ada lagi air terjun. Tidak ada aliran masif Ci Tarum yang menerobos bebatuan keras, membentuk tingkatan-tingkatan jeram-jeram, yang melaluinya aliran Ci Tarum menderu keras. Tak ada lagi air terjun, melainkan tinggal lembah berbatu, dengan aliran sungai yang sangat kecil, setempat berbentuk kolam-kolam yang dibatasi oleh batuan-batuan masif raksasa.

Curug Jompong yang dulu selalu menderu akibat derasnya aliran Ci Tarum yang menghantam bebatuan keras yang menjadi dasarnya, kini menjadi lembah yang hening, dengan aliran yang tenang nyaris tak ada.

Jika saya mengikuti definisi Almarhum Pak Budi Brahmantyo tentang air terjun, maka menurut beliau air terjun didefinisikan sebagai aliran air yang jatuh dari suatu tinggian. Seberapa tinggi? Menurut Pak Budi, 2 meter. Menurut beliau, orang harus mendongak untuk melihat air terjun, maka tinggi air terjun harus lebih tinggi dari rata-rata orang normal, yaitu 2 meter. Sementara itu, jika kurang dari dua meter, maka kita bisa sebut sebagai jeram, atau rapids.

Modifikasi melalui pembangunan terowongan menyingkapkan bagian Curug Jompong yang telah begitu lama tergenang. Mengunjungi Curug Jompong sekarang seolah mengunjungi dunia yang lain. Dunia yang baru, yang belum pernah orang menyentuhnya selama ratusan ribu tahun karena selalu tergenang oleh derasnya aliran Ci Tarum.

Sebagai curug, riwayat Curug Jompong telah tiada. Kini ia menjadi lembah berbatu, dengan jenis keindahan yang berbeda. Seperti lembah terjal Ci Tarum yang berada di balik bendungan Saguling, yang kini menjadi dunia yang berbeda dibandingkan dengan pemahaman orang-orang sebelum 1985, sebelum bendungan Saguling beroperasi.

Curug Jompong Bulan Juni 2020

Meski begitu, saya menikmati kunjungan saya ke Curug Jompong pagi itu. Melompati bebatuan-bebatuan raksasa. Melihat kolam berwarna kehijauan yang menggoda diri untuk berenang, meski masih sangat tidak meyakinkan mengingat aliran Ci Tarum yang begitu keruh di hulunya. Kita bisa lihat juga bagian Curug Jompong yang begitu lama tak tersentuh orang, karena derasnya aliran Ci Tarum.

Dalam pikiran saya, mungkin kita harus memikirkan ulang branding yang tepat untuk Curug Jompong. Branding ini penting mengingat reputasi Curug Jompong yang sangat tidak baik beberapa tahun ke belakang ini. Aliran yang kotor, kabut air yang berbau kurang enak, sampah, dan lain sebagainya.

Mungkin Leuwi Jompong kata yang tepat. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti Lubuk. Secara geografis berarti bagian terdalam dari sungai. Atau mungkin ada terminologi geografis lain yang lebih tepat, saya belum tahu. Dengan branding baru, kita bisa memulai cerita Curug Jompong dari lembaran baru pula, yang siap menyambut ribuan penikmat alam untuk berwisata.

Curug Jompong yang baru kini berpotensi menjadi lokasi wisata yang hebat. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota, dengan panorama yang menawan, membuat tempat ini punya modal yang sangat besar. Belum lagi sejarah Curug Jompong yang sangat panjang, saya kira bisa membuat orang berlama-lama mampir menghabiskan waktunya di sekitar daerah ini. Begitu juga keberadaan Terowongan Nanjung membuat banyak yang bisa dilihat dan dijelaskan di titik ini.

Mengingat ini, saya teringat kalimat dari Reitsma, tentang jalur melewati Curug Jompong yang merupakan salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa.

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

S. Reitsma – Gids van Bandoeng en Midden Priangan

Mungkin kita bisa menghidupkan Curug Jompong kembali. Bukan sebagai Curug, tapi sebagai Leuwi, atau entah apa namanya kita mendefinisikannya nanti. Tapi Curug Jompong punya peluang untuk berjaya kembali. Kembali menjadi salah satu tempat paling indah di Jawa. Yang orang datang, berwisata, dan kemudian membawa pengalaman yang gembira. Bahwa ia telah datang ke tempat yang indah, yang memberi kesan indah pada dirinya, lalu ia memberitahu teman-temannya. Lalu kelak menuliskan dalam catatan hidupnya, yang nanti akan menjadi catatan sejarah, bahwa Curug Jompong kembali indah.

Semoga.

GIF Curug Jompong sebelum dan setelah diterowong. Terowongan Nanjung dibuka pada akhir 2019 atau awal 2020. Perhatikan buih air curug yang hilang pada tahun 2020, berpindah ke mulut terowongan.

Foto Udara ITB 1933 dan Sekarang

Melanjutkan penemuan foto udara daerah Tegallega yang saya post kemarin, saya juga mendapatkan foto udara orthophoto daerah ITB dan sekitarnya. Kemudian foto ini saya georeferensi, lalu saya bandingkan kondisinya dengan kondisi sekarang. 

Gambar di atas adalah perbandingan foto udara ITB tahun 1933 dibandingkan dengan sekarang. Gambar ini diputar 44 derajat ke arah timur agar menyesuaikan sudut pengambilan gambar. ITB baru dibangun pada tahun 1920, sehingga pada masa itu bangunan belum sebanyak sekarang. 

Pada tahun 1933, hanya ada bangunan yang sekarang menjadi Aula Barat, Aula Timur, Gedung Prodi Teknik Sipil, Gedung Prodi Fisika, dan yang sekarang menjadi Gedung Seni Rupa dan Arsitektur. Penggunaannya ketika itu saya belum tahu, jurusan-jurusan apa yang sudah ada pun saya belum tahu. 

Di sebelah utara masih kosong melompong hamparan lega sampai ke jalan Tamansari sekarang. Begitu pun Sasana Budaya Ganesha belum ada juga karena baru dibangun pada tahun 1997. 

Di sebelah barat terlihat bentukan oval, kini menjadi Kebun Binatang Bandung. Saya belum tahu apakah daerah ini sudah menjadi kebun binatang atau belum, meskipun saya tahu bahwa KBB mulai didirikan tahun 1930. 

Di sebelah selatan, terdapat Taman Ganesha yang dulunya bernama Ijzerman Park sebagai penghargaan untuk Tuan Ijzerman yang berjasa dalam pembangunan ITB. Pepohonan di sekitar jalan Ganesha dan Gelap Nyawang belum ada. Masih berupa bibit-bibit kecil, sehingga pepoponan besar yang ada sekarang itu masih berumur kurang dari 100 tahun.  Begitu juga pepohonan di tepi Jalan Tamansari pun belum ada. 

Di sebelah timur Jalan Dago pun masih sepi. Perkomplekan elite daerah Jalan Imam Bonjol, Teuku Umar, dll masih berupa lahan kosong, bahkan masih berupa petak-petak kebun. 

Gambar di bawah merupakan perbandingan foto udara dengan peta openstreetmap. 

Begitulah bagaimana Bandung berkembang dari dulu hingga sekarang. Betapa banyak yang berubah, namun satu yang kita ketahui, bahwa dulu Bandung pernah gundul tak ada pepohonan. Belum terlambat untuk kita jika ingin memiliki pepohonan besar yang rimbun seperti di daerah Ganesha dan Tamansari sekarang. Mungkin puluhan tahun yang datang, maka tanaman kita akan rimbun, sebagaimana daerah ini sekarang.

Salam

Keterangan:
Foto udara berasal dari Tropenmuseum
Foto pada muka berasal dari Tropenmuseum
Foto citra satelit berasal dari Google Earth
Foto peta berasal dari OpenStreetMap

Foto Udara Tegallega 1933 dan Sekarang

Saya baru menemukan foto udara daerah Tegallega yang diambil sekitar tahun 1933-1940. Sumbernya dari http://collectie.wereldculturen.nl/. Judul fotonya Omgeving raceterrein Bandoeng. Tegallega-wijk yang berarti Area Balapan Bandung, lingkungan Tegallega.

Peta ini agak diputar sekitar 32 derajat ke arah barat untuk menyesuaikan pengambilan gambar dari udara. Di peta ini kita bisa lihat bagaimana kondisi Tegallega sekitar 80 tahun yang lalu. Lapangan Tegallega sendiri dulunya merupakan arena pacuan kuda. Pada masa itu, Lapangan Tegallega adalah batas paling selatan Kota Bandung. Jalan Mohamad Toha merupakan Jalan Raya Banjaran yang menghubungkan Bandung dengan Banjaran, sementara Jalan Oto Iskandar Dinata berada di sebelah baratnya.

Pada masa itu Lapangan Tegallega hanyalah lapangan kosong, dengan lajur pacuan kuda di tepiannya mengitari lapangan. Di bagian tengahnya kemungkinan besar hanyalah tanah kosong. Sementara sekarang, lapangan ini menjadi hutan kota, dengan kolam renang, dan monumen Bandung Lautan Api di tengah-tengahnya. Pedagang banyak tersebar di bagian barat Tegallega, sekaligus dekat dengan terminal.

Pada tahun 1933, sudah banyak pemukim di sekitar Tegallega, terutama di bagian utara Tegallega. Sementara di sebelah timur, yang kini menjadi daerah Sawahkurung (SMP 11, Jalan H. Samsudin) merupakan daerah persawahan yang belum banyak dihuni orang. Kini di area itu telah dipenuhi perumahan; Jalan Sawah Kurung, Jalan Kotabaru, Gang PLN hingga ke Jalan Pungkur.

Demikian, nostalgia kita akan Bandung Tempo Dulu. Yang indah dikenang, yang semoga bisa terulang. Semoga Bandung semakin dicintai oleh warganya, semakin nyaman ditinggali semua penduduknya.

Keterangan:
Gambar di muka merupakan gambar koleksi Wijnand Elbert Kerkhoff/Nederlands Fotomuseum yang dimuat di website AyoBandung. https://www.ayobandung.com/read/2017/02/09/16224/tegalega-riwayatmu-kini

Gambar pada slide komparasi merupakan gambar dari Tropenmuseum yang diakses dari http://collectie.wereldculturen.nl/. Sementara gambar dasarnya merupakan citra google earth yang diakses dari QGIS.