Belajar Mineralogi Lewat Mineral Cup!

Ada banyak cara belajar mineral. Kita bisa lihat dan baca buku Rock and Mineral, kita bisa mampir ke museum geologi, kita bisa nonton Youtube, kita bisa pergi ke lapangan dan mengeksplorasi sendiri. Tapi cara yang satu ini saya kira jenius dan super seru, lewat Twitter dan lewat kompetisi. Mineral Cup namanya.

Hah? Gimana-gimana?

Mineral Cup adalah kompetisi voting mineral terfavorit yang diadakan di Twitter. Pencetusnya adalah Dr. Eddie Dempsey dari Uni Hull @tectonictweets. Jadi idenya adalah Dr. Dempsey membuat bagan turnamen yang isinya 32 mineral. Setiap hari 2 mineral ditandingkan, dan divoting. Para geologist, mineralogist, dan semua yang senang mineral ngetweet tentang mineral jagoannya. Isi twitnya adalah fakta-fakta tentang mineral jagoannya. Serunya orang-orang yang ngetwit ini banyak yang jago-jago mineralogi dan mereka memberi fakta-fakta baru yang belum kita tahu. (baca cerita tentang MinCup 2017 menurut Dr. Dempsey di sini)

Setiap hari ada mineral yang maju dan ada mineral yang tersingkir. Pendukung mineral-mineral makin rajin ngetwit dan mencantumkan tagar mineralnya, misal #TeamOlivine, #TeamTourmaline, dll. Ada juga yang mengetwit foto-foto mineral yang cantik-cantik; berbentuk sampel, sayatan tipis, singkapan, atau bahkan sudah jadi perhiasan.

Meskipun cuma lomba voting mineral terfavorit, MinCup ini seru banget. Idenya original. Hebatnya Mineral Cup adalah bahwa sesuatu yang awalnya seru-seruan, ternyata kemudian menjadi satu contoh konkrit komunikasi sains dan bagaimana suatu komunitas periset di seluruh dunia bersatu, saling berbagi pengetahuan. MinCup pertama tahun 2017 divoting lebih dari 17 ribu orang. MinCup kedua tahun 2018 divoting lebih banyak lagi, lebih dari 31 ribu orang.

Kehebatan lainnya adalah bahwa Mineral Cup bisa jadi bahan pembelajaran mahasiswa. Seorang dosen geologi @Geol_Greenhead membawa Mineral Cup ke kelasnya. Mahasiswa disuruh berdebat tentang mineral-mineral.

Mineral Cup sudah masuk tahun ke-tiga. Dimulai sejak tahun 2017, yang dijuarai oleh Olivine, dan tahun 2018 yang dijuarai oleh Garnet, yang kala itu bersaing hebat dengan penantang tak terduga, Ice.

Saya pertama ikut tahun lalu. Dan saya belajar banyaaaak banget tentang mineralogi dari Mineral Cup ini. Jadi saya gak sabar lagi mau ikut MinCup 2019, 1 September nanti.

Olivine – Pemenang #MinCup2017. Sketsa oleh Hazel Gibson @IamHazelGibson
Klasemen akhir Mineral Cup 2018. Source

Mineral Cup 2019 akan dimulai tanggal 1 September 2019 nanti. Kita bisa ikutan dengan mengikuti akun Twitter @MineralCup. Setiap hari kita ikut vote mineral mana yang harus lanjut, atau yang mana yang akan tersingkir. Kalau kita punya foto singkapan, sampel, atau sayatan tipis boleh banget ikutan ngepost di Twitter. Saya jamin banyak keseruan yang bisa didapat.

Di atas adalah bagan turnamen #MinCup2019. Jadi apa mineral jagoanmu? Kalau saya #TeamTourmaline

Liddicoatite Tourmaline – Mineralogy Museum Marburg

Source:
1. MinCup: Elevating humble minerals to new heights
2. #Mincup2017 – how Olivine became the greatest mineral of all (for one year at least)

Model Interaktif Batimetri 3D Gunung Anak Krakatau Sebelum Letusan 2018

Masih tentang Anak Krakatau. Kegiatan ngulik saya ternyata belum selesai. Semakin saya cari, semakin banyak data tentang Krakatau yang saya temukan. Salah satu yang bisa saya mainkan adalah data batimetri yang saya dapat dari makalah Inner structure of the Krakatau volcanic complex (Indonesia) from gravity and bathymetry data karya Deplus dkk (1996) yang dimuat di Journal of Volcanology and Geothermal Research.

Data batimetri ini saya digitasi, lalu saya konversi jadi model elevasi digital, kemudian saya tampilkan di ArcScene. Dari ArcScene saya ekspor datanya menjadi vrml (Virtual Reality Modeling Language), ini adalah jenis data yang biasa dipakai untuk 3D.

Data vrml ini kemudian saya konversi lagi jadi .obj agar bisa saya tampilkan online menggunakan media sosial Sketchfab. Sketchfab ini semacam media sosialnya 3d modeller. Gratis dengan batas unggah 50 MB.

Hasilnya adalah model interaktif di bawah ini:

Gunung yang tinggi adalah Rakata, letaknya berada di paling selatan. Di tengah ada Gunung Anak Krakatau sebelum letusan 2018. Sebelah timur Gunung Anak Krakatau adalah Pulau Panjang, sementara sebelah baratnya adalah Pulau Sertung.

Karena saya masih belum tahu caranya bikin legenda di model 3 dimensi, jadi saya sertakan legenda model Krakatau saya di peta 2 dimensi berikut:

Saya buat peta ini pakai ArcMap, datanya sama dengan model 3 dimensi, dari batimetri dan DEMNAS. Warnanya agak beda karena ditumpuk dengan hillshade supaya ada efek 3 dimensi.

Model lain yang saya bikin adalah model ArcScene yang saya tumpuk dengan citra satelit. Harusnya model ini yang diunggah ke Sketchfab, tapi entah kenapa software saya error jadi gak bisa unggah.

Model ArcScene Krakatau sebelum letusan 2018. Warna biru semakin tua menunjukkan kedalaman laut yang semakin dalam. Utara ke arah kiri peta.

Oke deh segitu dulu. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Salam

keterangan: semua gambar di dalam tulisan ini bebas digunakan asal mencantumkan sumber dan menautkan ke halaman blog ini.

Membandingkan Elevasi Gunung Anak Krakatau Sebelum dan Setelah Erupsi Desember 2018

Kemarin saya lihat satu cuitan Twitter dari salah satu peneliti yang saya ikuti, Dr. Sotiris Valkaniotis dari Universitas Tesaloniki, Yunani. Beliau ini rajin membagikan info-info menarik, terutama tentang kebencanaan. Saya pertama mengikuti akunnya pasca erupsi Anak Krakatau, akhir tahun 2018 lalu.

Di cuitannya, Dr. Valkaniotis membagikan perbandingan elevasi Gunung Anak Krakatau sebelum erupsi besar akhir tahun 2018 lalu dan setelah erupsi. Data elevasi sebelum erupsi didapat dari model elevasi nasional DEMNAS yang dipublikasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), bisa diakses di http://tides.big.go.id/DEMNAS/. Data elevasi setelah erupsi didapat dari satelit ICEsat 2 (Ice, Cloud, and Land Elevation Satellite), yang bisa diakses di https://openaltimetry.org/data/icesat2/.

Karena saya penasaran dengan data ICEsat 2 ini, saya langsung cari di google dan akhirnya ketemu. Lalu saya coba sendiri mengolah data mentah elevasi dari ICEsat 2 ini.

Misi ICEsat 2 ini menarik karena dia menyediakan kita data elevasi dari satelit. Satelit ini mengelilingi bumi dan mengukur ketinggian dengan presisi yang mengagumkan. Dia bisa mendeteksi perubahan tinggi kanopi, bisa juga mendeteksi perubahan ketebalan lapisan es, yang mana dua ini merupakan alasan utama diluncurkannya satelit ini ke angkasa. Untuk tahu lebih lanjut bisa langsung buka di sini.

Saya kemudian mencoba membuat ulang apa yang sudah dibuat oleh Dr. Valkaniotis. Rekonstruksi ketinggian Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah erupsi akhir tahun 2018.

Gambar di atas adalah hasil rekonstruksi saya. Titik-titik elevasi dari ICEsat 2 (berwarna biru) saya ekstrak kemudian saya tampilkan bandingkan dengan elevasi dari DEMNAS. Agak sedikit tricky karena model bumi yang dipakai oleh ICEsat 2 adalah model bumi ellipsoid, sementara model bumi DEMNAS adalah model bumi geoid. Ini pelajaran dasar ilmu geodesi yang sejujurnya gak pernah saya menduga akan mengaplikasikannya sendiri.

Intinya elevasi dari ICEsat 2 ini harus dikonversi dulu. Tapi tenang sudah ada kalkulatornya, jadi kita tidak perlu cemas.

Setelah dibandingkan kita jadi tahu bahwa kawah yang terbentuk sekarang itu dulunya puncak Anak Krakatau yang hampir 250 meter tingginya. Kalau sempat, sebenarnya bisa juga kita estimasi volume yang hilang (volume sebelum erupsi – volume setelah erupsi), tapi untuk ini kita baiknya punya data batimetri agar volume di bawah laut dihitung juga.

(Bangga baru bisa bikin slider image kaya gambar di atas!) Gambar sebelum erupsi menggunakan false color dengan komposisi Band 12, Band 11, dan Band 4. Gambar setelah erupsi menggunakan mode True Color komposisi Band 4, Band 3, Band 2.

Pesan penting!
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tiga hal yang menurut saya sangat penting bagi perkembangan sains.

Pertama adalah keterbukaan data. Bayangkan data Openaltimetry.org dan DEMNAS gak terbuka dan bebas diakses? Gak akan ada tulisan ini. Maka penting sekali bahwa data-data yang sifatnya publik dan bisa bermanfaat bagi orang banyak untuk dibuka atau dimudahkan aksesnya. Jangan dibuat ribet harus datang, bikin surat, bikin segala macam administrasi yang menghambat perkembangan sains. Jangan cuma investasi yang dipermudah.

Maka saya berterima kasih banyak pada BIG yang membagikan data secara gratis. Saya ingat dulu waktu mahasiswa kalau mau beli data Autocad topografi itu harus bayar ke Bakosurtanal. Sekarang kita sudah bisa akses mudah dan gratis di web BIG.

Kedua adalah keinginan untuk berbagi. Tulisan ini tidak akan ada kalau Dr. Sotiris Valkaniotis tidak membagikan gambarnya tentang ICEsat 2 dan Gunung Anak Krakatau. Tanpa twitnya, saya tidak akan tahu ICEsat dan tidak akan terbesit untuk mencoba. Tapi dia berbagi, dan karena kesediaannya untuk berbagi, dia menginspirasi orang.

Bayangkan jika semua ilmuwan berbagi ilmunya, wah betapa cepatnya sains terdiseminasi. Semakin inklusif dan bisa diakses semua orang. Dibagikan dengan kalimat yang mudah dimengerti dengan bentuk yang tidak kaku.

Ketiga adalah pentingnya kita untuk bermedia sosial, dalam hal ini Twitter. Buat saya, twitter adalah media sosial paling bagus untuk mengupdate hal termutakhir dalam sains. Sekarang sudah sangat banyak peneliti yang punya akun Twitter dan mereka sehari-hari membagi apa yang mereka kerjakan. Sudah banyak instansi riset yang mengumumkan aktivitas dan hasil riset mereka. Dan Twitter adalah media yang paling cepat. Dalam hitungan jam sesuatu bisa mendunia di Twitter

Terakhir, semoga tulisan ini menjadi hal yang bermanfaat, terutama bagi diri saya pribadi, dan bagi rekan-rekan sekalian yang membacanya.

Salam

Urun Daya dalam Sains

Salah satu masalah yang paling sulit diselesaikan oleh para saintis adalah kekurangan data. Masalah ini umumnya berasal dari kurangnya dana, ketiadaan alat, atau lokasi penelitian yang sulit dijangkau sehingga tidak memungkinkan kunjungan yang rutin.

Seringkali para peneliti berandai-andai, bila saja masyarakat lokal bisa membantu melaporkan temuan-temuan, atau perubahan-perubahan yang mungkin bermanfaat untuk penelitiannya. Namun tentu saja masyarakat juga punya kesibukan lain, sehingga enggan direpotkan oleh hal demikian. Kecuali misal mereka mendapat insentif. Yang mana kembali ke permasalahan pertama, yaitu ketiadaan dana.

Salah satu upaya yang kemudian dilakukan oleh para peneliti adalah melakukan Urun Daya atau crowdsourcing. Dalam istilah sains sebenarnya lebih dikenal sebagai Citizen Science, tapi entah kenapa saya lebih senang istilah Crowdsourcing Science. Bagi saya Citizen Science itu masyarakat sebagai pelaku risetnya, semacam peneliti amatir. Sementara Crowdsourcing Science itu masyarakat dengan sadar atau boleh jadi juga tidak sadar membantu peneliti mengambil data.

Dalam Urun Daya Sains, peneliti mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan data penelitian. Bedanya, masyarakat benar-benar berpartisipasi dengan kehendaknya sendiri. Peneliti hanya perlu memastikan metode pengambilan data yang tidak merepotkan, tapi datanya cukup baik untuk digunakan sebagai data penelitian.

Gambar di atas adalah satu contoh Urun Daya Sains yang diinisiasi oleh The National Trust dari Inggris. Mereka mengajak masyarakat untuk mengambil gambar dari anjungan yang telah disediakan, kemudian meminta pengambil gambar untuk mengunggah gambar mereka dengan tagar #NTshiftingshores di media sosial. Dengan adanya tagar, National Trust bisa mengakses gambar dengan mudah, memasukkannya ke dalam basis data, menganalisisnya dengan bantuan mesin (menggeoreferensi, dll), sehingga yayasan ini bisa mengetahui perubahan garis pantai.

Bayangkan misal dalam satu minggu kita dapat 10 gambar, maka dalam satu tahun kita punya 520 gambar, dan dalam 10 tahun kita punya lebih dari 5000 gambar. Cukup hanya dengan bermodalkan papan informasi seperti ini. Mungkin modal lainnya yang harus dikeluarkan adalah setiap tahun kita harus kunjungi, bersihkan, kemudian pasang suatu benchmark di pantai yang bisa kita gunakan untuk pembanding.

Crowdhydrology – Crowdsourcing data hidrologi
Salah satu projek urun daya sains lain yang saya suka adalah Crowdhydrology dari Amerika Serikat. Projek mereka adalah mengumpulkan data hidrologi di Amerika Serikat.

Yang mereka lakukan adalah mereka memasang tongkat pengukur ketinggian air dan di sekitarnya terdapat papan informasi yang berisi nomor stasiun dan kontak. Citizen scientist kemudian melihat dan mengirim sms ke nomor kontak. Data yang diberikan kemudian bisa diakses semua orang.

Tidak ada insentif apa-apa. Para kontributor data diberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk bisa menyebut diri mereka sendiri sebagai citizen scientist karena mereka telah berkontribusi terhadap perkembangan sains.

Lokasi titik pengamatan CrowdHydrology di seluruh Amerika Serikat

GlobalXplorer – Urun Daya Bidang Arkeologi
Salah satu projek urun daya yang saya pernah ikuti adalah projek menarik dari Dr. Sarah Parcak, pemenang Ted Prize tahun 2016. Projeknya, GlobalXplorer, mengajak orang-orang untuk menganalisis data citra satelit untuk bisa melihat jejak arkeologi, misal bentukan kanal purba, penggalian-penggalian, dll.

Projeknya Dr. Parcak ini keren banget. Dengan bantuan masyarakat yang mengidentifikasi secara visual, kemudian data identifikasi ini dikombinasikan dengan pemelajaran mesin machine learning, Dr. Parcak dan tim bisa mengidentifikasi potensi keberadaan 17 piramida, 3100 pemukiman, dan sekitar 1000 makam di Mesir.

GlobalXplorer ini didesain seperti permainan. Kita diberi medali, kemudian ada jalan ceritanya mengikuti kisah arkeologi. Misal cerita Suku Inca, Suku Maya, dan lain sebagainya. Keren!

Contoh petualangan di GlobalXplorer

Bagaimana di Indonesia?
Saya sudah terpikir banyak hal yang bisa kita kerjakan di Indonesia terkait hal ini. Bangsa kita sangat murah hati dalam media sosial. Mereka akan dengan senang hati membantu apabila ada penghargaan yang mereka terima, misal sebuah pengakuan akan kontribusi.

Misal di Stone Garden, Padalarang. Kita pasang satu papan seperti punya National Trust. Kita arahkan ke daerah yang ditambang. Jika kita lakukan cukup lama, misal 5 tahun atau 10 tahun, kita bisa dapat gambar timelapse perubahan bentang alam di sana.

Lainnya, misal di Karangsambung, lokasi primadona mahasiswa geologi Indonesia. Sebagai tempat yang terus dikunjungi, kita pasang beberapa titik pantau. Mahasiswa yang melihat papan informasi di titik pantau ini kemudian bisa melaporkan fotonya sehingga kita bisa memantau titik tersebut setiap tahun, misal di Kekar Kolom Diabas Gunung Parang yang terakhir saya ke sana sedang berpacu melawan linggis para penambang.

Lainnya lagi misal pasang satu titik di Jakarta sehingga kita bisa lihat perkembangan pertambahan gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Dan lain sebagainya.

Kalau bisa jadi, wah mantap! Semoga sepulang ke Indonesia nanti ada waktu dan energi untuk kerjakan hal-hal ini. Insyaallah.

Contoh proyek Citizen Science dari NOOA Amerika Serikat