Resensi Buku Krakatoa: The Day The World Exploded

Pasca letusan dan tsunami Gunung Anak Krakatau pada hari Sabtu, 22 Desember 2018, saya segera memesan buku Krakatoa yang ditulis oleh Simon Winchester. Saya ingin membaca buku ini karena ulasan-ulasannya yang sangat bagus, juga rekomendasi dari sangat banyak orang untuk membaca buku ini


…a trove of wonderfully arcane information. The author has been able to attach so many tentacles to a single event – the spectacular and catastrophic eruption of the title volcano – that there seems to be nowhere he can’t go

Janet Maslin – New York Times

Penulis buku ini adalah seorang geolog lulusan Oxford yang banting setir menjadi penulis dan jurnalis. Karir kepenulisannya sudah sangat panjang sejak 1975. Ia mempublikasikan Krakatoa pada tahun 2004.

Buku Krakatoa: The day the world exploded, bagi saya adalah buku yang sangat komprehensif. Dalam buku setebal 432 halaman yang diterbitkan oleh Penguin Books di London ini, Simon Winchester bercerita segala hal yang berkaitan dengan letusan Gunung Krakatau tahun 1883, salah satu letusan paling dahsyat di periode modern.

Secara umum buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian pertama sebelum terjadi letusan, bagian kedua ketika letusan terjadi, dan bagian ketiga yaitu pasca letusan.

Di bagian pertama, Winchester membuka cerita ini dengan menuturkan kisah-kisah tentang Tektonik Lempeng untuk memberikan gambaran kenapa terjadi letusan di Selat Sunda, bukan di tengah-tengah Benua Eropa, misal. Ia bercerita tentang Alfred Wegener dan teori Pengapungan Benua yang ditolak habis-habisan oleh para geolog, hanya karena Wegener tidak mampu menjelaskan sumber energi yang mengakibatkan Pengapungan Benua terjadi.

Winchester juga bercerita tentang Alfred Russel Wallace, seorang Naturalis dari Inggris, yang kalah tenar dari Charles Darwin, padahal ia dianggap sama berjasanya terhadap perkembangan teori evolusi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya. Alfred Wallace menarik garis batas flora dan fauna Indonesia bagian barat dan timur, yang kelak diketahui bahwa batas ini juga adalah batas lempeng.

Kemudian Winchester juga menjelaskan tentang perkembangan teknologi komunikasi. Ini penting untuk menjelaskan premis Winchester tentang kenapa letusan Krakatau bisa sangat terkenal di dunia, yaitu karena teknologi komunikasi sudah berkembang cukup pesat kala itu.

Di bagian kedua, Winchester berkisah tentang laporan-laporan dari Anyer, dari Teluk Betung, dari Batavia, dari para pelaut yang melewati Selat Sunda pada masa-masa sebelum Krakatau meletus, dan sebelum letusan paroksismal terjadi. Ia juga bercerita tentang saat letusan terjadi, secara runtun hari per hari, dari semua sisi. Laporan resmi pemerintah kolonial, para pelaut, dan saksi-saksi.

Ia juga menuliskan sejauh mana letusan ini terdengar. Membuat ilustrasi petanya agar bisa dibayangkan lebih mudah. Kesaksian-kesaksian dituliskan dalam bentuk kutipan, seolah kita sedang menjadi orang yang membaca laporan.

Di bagian ketiga, Winchester bercerita tentang dampak letusan ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kehidupan sosial. Ia berkisah tentang pemberontakan petani di Banten tahun 1888 yang kemungkinan besar juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial pasca letusan. Ia bercerita tentang langit dunia sepanjang tahun 1883-1884 yang memberikan semburat warna yang indahnya luar biasa akibat distorsi abu Krakatau di atmosfer membelokkan cahaya matahari.

Letusan Krakatau 1883 juga membuka peluang ilmu biologi untuk berkembang, karena untuk pertama kalinya kita bisa mempelajari suksesi kehidupan pasca bencana besar terjadi.

Di akhir Winchester juga menyertakan bahan-bahan bacaan untuk memahami buku ini lebih baik lagi.

Secara umum buku ini sangat keren! Seperti ulasan dari Janet Maslin yang berkata bahwa kisah-kisah di buku ini seperti tentakel-tentakel cerita yang bermuara pada satu kisah utama, saya hanya bisa setuju, karena memang begitu benar adanya.

Saya sangat mengagumi cara bercerita Winchester karena kita seolah dibawa kembali ke masa lalu. Ia memberikan gambaran pentingnya kejadian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bagi perkembangan kehidupan umat manusia. Dan 432 halaman tak terasa begitu panjang, seperti kedipan mata, mungkin karena asyiknya membaca.

Maka tak ada kata lain selain, Sangat Direkomendasikan untuk Dibaca!

Orang Pertama yang Melaporkan Kawah Patuha (?)

Waktu saya kecil dulu, dalam perjalanan kami ke Cimanggu untuk berendam air panas, ayah saya sering bercerita tentang orang pertama yang menemukan Kawah Putih. Ia adalah orang Eropa. Konon kata ayah, orang itu merasa penasaran kala melihat dari kejauhan, tepatnya dari Kota Ciwidey sekarang, bahwa burung-burung tak pernah terbang di atas Gunung Patuha. Ada pun jika burung terbang di atas Patuha, maka segera ia akan mati, menukik jatuh, seolah pesawat yang rusak mesinnya. Di Ciwidey kala itu, masyarakat mencoba menerangkan fenomena ini dari kacamata mistis, tentang makhluk-makhluk penunggu gunung yang enggan diganggu, bahkan oleh burung sekali pun.

Sebagai seorang Eropa yang menolak perkara mistis, tentu si petualang itu menolak percaya mitos. Ia ingin membuktikan sendiri dan merancang sebuah ekspedisi mendaki Gunung Patuha. Ratusan kuli dikerahkannya untuk menemani perjalanannya mendaki. Orang Eropa itu bernama Franz Junghuhn, si Humboldt dari Jawa, yang masyhur karena penelitiannya pada abad ke 19, membuka tabir Pulau Jawa dari kacamata sains modern.

Cerita ini diteruskan turun temurun dari mulut ke mulut. Tak bisa kita telusuri siapa orang pertama yang menceritakannya, siapa yang pertama bilang Junghuhn adalah orangnya yang pertama ke sana, atau pertama kali melaporkan keberadaan Kawah Putih yang megah. Karena ayah saya juga mendapat cerita ini dari entah siapa, maka ia pun tidak bisa mempertanggungjawabkan cerita ini. Tidak ada sumber yang pasti, selalu desas-desus, selalu konon, selalu kabar angin. Hingga suatu hari saya menemukan nama dan tanggal yang lebih pasti.

Yang sudah bisa saya pastikan adalah bahwa bukan Franz Junghuhn orang pertama yang datang ke Kawah Putih. Franz Junghuhn datang ke Kawah Putih dalam perjalanan penelitiannya di Pulau Jawa pada 1837. Junghuhn kala itu bekerja di bawah supervisi dari peneliti Jerman bernama Ernst Albert Fritze yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda kala itu.

Pada tanggal 11 Juli – 23 Agustus 1837, Junghuhn bersama Fritze berkelana di rimba hutan Jawa Barat. Ia mendatangi Situ Patengan, Gunung Patuha, Gunung Tangkuban Perahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Catatan perjalanan Junghuhn di Pulau Jawa dibukukannya dalam Topographische und naturwissenschaftliche Reise durch Java yang diterbitkan pada tahun 1838.

Dalam magnum opusnya: Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart  volume kedua yang diterbitkan pada tahun 1857 di Leipzig, Junghuhn menuliskan orang-orang yang lebih dahulu melaporkan tentang Kawah Gunung Patuha.

Pada tahun 1787, seorang ahli Botani dari Spanyol bernama Francisco Noronha mengunjungi Kawah Putih. Noronha terkenal memberikan jasa yang luar biasa besar bagi pembuatan katalog tanaman di Jawa. Kemudian pada tahun 1804, seorang naturalis dari Amerika Dr. Thomas Horsfield juga mengunjungi Kawah Putih.

Setelah Horsfield, pada tahun 1819 giliran Professor Caspar Georg Carl Reinwardt, seorang naturalis kelahiran Prusia berkebangsaan Belanda yang mengunjungi Kawah Putih. Menurut Junghuhn, Reinwardt melaporkan ketinggian Kawah Putih pada 6950 kaki, sementara menurut pengukuran Junghuhn, ketinggian Kawah Putih berada pada elevasi 6685 kaki. Reinwardt adalah salah satu perintis Kebun Raya Bogor. Reinwardt memberikan apresiasi untuk Noronha dengan memberi nama satu spesies tanaman, yaitu Pohon Puspa Schima noronhae.

Empat tahun sebelum ekspedisi Junghuhn, pada tahun 1833, dua orang peneliti dari Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië, Salomon Müller dan Pieter van Oort juga melakukan kunjungan ke Kawah Putih. Müller adalah seorang naturalis dari Jerman, sementara van Oort adalah seorang pelukis dari Belanda. Mereka melakukan perjalanan ke Jawa Barat dan melaporkan perjalanannya pada komite. Perjalanan dimulai pada awal Januari 1833 dari Situ Lembang menyusuri Ci Mahi hingga ke Cililin, kemudian ke Gunung Lumbung untuk melihat peninggalan Dipati Ukur, selanjutnya mereka menyusuri Pegunungan Tumpak Royong, yang kini dikenal sebagai Gunung Padang Ciwidey hingga akhirnya sampai di Ciwidey yang kala itu termasuk dalam Distrik Cisondari. Perjalanan berakhir di Banjaran pada 10 Maret 1833.

Lukisan Kawah Putih oleh Pieter van Oort. Sumber 

Di Ciwidey, Müller dan van Oort menyusuri kebun kopi yang subur yang merupakan produk dari periode Tanam Paksa yang di kawasan Priangan telah dilaksanakan sejak abad ke-18 (Preangersteelsel), dan dilanjutkan kembali sejak 1830 melalui Cultuurnstelsel. Mereka akhirnya sampai di Kawah Gunung Patuha dan melihat pemandangan indah Kawah Putih. Van Oort membuat sketsa yang indah dari kawah ini.

Kini hampir dua ratus tahun atau lebih sejak Reinwardt berkunjung ke Kawah Putih. Hampir 250 tahun sejak Noronha menjejakkan kaki di sana. Tempat ini kini ramai hiruk pikuk tak karuan. Orang-orang datang tanpa henti, tapi banyak yang kembali tanpa membawa apa-apa selain rasa senang sudah bepergian, atau stroberi yang ditanam warga di lereng-lereng Ci Sondari. Memang bukan urusan hidup dan mati siapa yang pertama datang, atau siapa pernah melakukan apa. Juga bukan suatu keharusan orang harus tahu tentang Junghuhn, Mueller, van Oort, Reinwardt, dan seterusnya. Tapi seperti Soekarno selalu bilang, “jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah“. Atau seperti kata Kuntowijoyo “Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta.” 

Dan memang setelah kita mengetahui sejarah panjang Kawah Patuha, semakin pula kita mencintainya.

Lukisan Kawah Putih Gunung Patuha oleh Franz Junghuhn. Sumber https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Junghuhn_See_Kawah_Patua_auf_Java.jpg

catatan: Sejauh ini saya belum dapat catatan orang yang lebih dulu melaporkan Kawah Patuha sebelum Noronha. Boleh jadi ada yang lebih dulu. Mohon infonya bila ada di antara pembaca yang budiman mengetahui. Karena saya bukan ahli sejarah, hanya orang yang menggemari sejarah.