Cerita Berguru Kepada Mahasiswa di Unikom

Salah satu pengalaman hidup saya yang paling saya banggakan adalah pengalaman mengajar saya. Pada tahun 2015-2016 saya diminta untuk membantu mengajar mata kuliah Geologi Lingkungan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Unikom Bandung. Sebenarnya saya paham saya belum pantas untuk mengajar karena minimnya pengetahuan yang saya punya, juga status pendidikan saya yang hanya sarjana, tapi mungkin inilah kenyataan di Indonesia bahwa kita kekurangan tenaga pendidik.

Sebelum mengajar di Unikom, pengalaman mengajar saya adalah sebagai asisten praktikum di Jurusan Teknik Geologi ITB, yaitu praktikum Petrologi, praktikum Sistem Informasi Geografi (SIG), dan praktikum Geologi Teknik. Selain itu saya juga membantu pengajaran mata kuliah Geologi Lingkungan, yaitu memfasilitasi penyelesaian masalah geologi lingkungan menggunakan SIG. Juga membantu almarhum Pak Budi Brahmantyo mengajar peserta Olimpiade Geografi Nasional untuk mempersiapkan ke Olimpiade Geografi Internasional.

Tapi tentu yang paling berkesan bagi saya adalah mengajar di Unikom, karena di sini saya bertanggung jawab penuh terhadap tata cara pengajaran dari materi, ujian, penilaian, hingga ekskursi.

Saya yang waktu itu masih berumur 24 tahun sudah dipanggil Bapak oleh mahasiswa-mahasiswa yang tidak lebih muda dari adik saya. Rasanya agak canggung, tapi saya merasakan hormat yang besar dari kawan-kawan saya itu. Ya, mereka lebih pantas saya sebut sebagai kawan-kawan saya dibandingkan sebagai mahasiswa saya.

Rasanya juga tak pantas jika saya disebut mengajar kawan-kawan saya itu, karena saya merasa saya belajar lebih banyak dari mereka. Saya belajar untuk mempersiapkan diri, saya belajar untuk berbicara di depan publik, saya belajar untuk menuangkan pikiran saya dengan kalimat yang sederhana. Tapi yang paling utama adalah saya belajar untuk mempraktikkan ilmu yang saya terima dari guru saya, Pak Budi Brahmantyo, yaitu cara menciptakan suasana belajar mengajar yang egaliter tapi tetap saling menghargai.

Saya menikmati setiap kunjungan saya ke Museum Geologi untuk memikirkan cara yang paling mudah mengajari kawan-kawan saya ini mengerti bebatuan dan geologi. Membayangkan tugas yang diberikan, seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas karena saya paham mahasiswa tidak senang mengerjakan tugas.

Saya menikmati menyiapkan presentasi kuliah, mengatur temponya agar sesuai dengan lama waktu perkuliahan. Saya ingat di awal periode perkuliahan saya memakai salindia (slide) milik Pak Budi. Saya ingat Pak Budi menghabiskan lebih dari 2 jam mata pelajaran untuk menyelesaikan salindia tersebut, sementara saya bercuap-cuap dan selesai dalam 30 menit. Saya sadar di sana bahwa saya perlu berlatih dan bersiap-siap. Saya harus tahu betul apa yang mau saya sampaikan dan bagaimana cara saya mengukur ketersampaian apa yang saya sampaikan.

Suatu hari setelah berkisah tentang bencana geologi, seorang mahasiswa saya melaporkan tentang banjir bandang di daerah Cikutra. Ia menuliskan opininya, pandangannya tentang alih fungsi lahan di Bandung Utara yang menyebabkan terjadinya banjir bandang di sana. Saya bangga luar biasa pada dia, bahwa dalam dirinya ada keinginan untuk mencari tahu dan peduli pada sekitar.

Di hari yang lain kawan-kawan saya ini menyusun sebuah acara geowisata kunjungan ke Taman Hutan Raya Djuanda. Ini merupakan ekskursi mandiri mereka setelah ekskursi wajib pertama ke Rajamandala. Saya merasa melihat diri saya sendiri bertahun-tahun lalu ketika masih mahasiswa dan punya energi untuk melakukan banyak hal. Begitu juga teman-teman saya ini, energinya besar untuk berbuat dan menghasilkan karya.

Mengajar di Unikom merupakan salah satu pengalaman terbaik saya. Di sana saya belajar banyak tentang ilmu kehidupan. Benar-benar ilmu kehidupan karena jarang kita punya kesempatan untuk belajar menjadi teman, guru, mentor, teladan. Tak banyak kesempatan kita untuk belajar bersikap, menghargai pendapat, memberi semangat dan motivasi.

Dan untuk itu saya berterima kasih banyak pada kawan-kawan saya,

PWK Unikom 2014

pwk2014

PWK Unikom 2015

pwk2015

Menyusur Deretan Air Terjun di Curug Malela

Curug Malela adalah aset berharga Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Air terjun ini merupakan destinasi wisata nomor satu di Kabupaten Bandung Barat bagian selatan. Pencarian google per tanggal 14 Juli 2018 menghasilkan 96100 halaman membahas mengenai Curug Malela dan terdapat lebih dari 12 ribu kiriman dengan tagar (hashtag) #CurugMalela di Instagram.

Pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Curug Malela sudah memetakan potensi kawasan di Curug Malela. Hasilnya adalah jika kita menyusur ke hilir Ci Curug dari Curug Malela, maka kita bisa temui deretan curug-curug lainnya, mulai dari Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Sumpel, Curug Ngebul, Curug Palisir, dan Curug Pameungpeuk. Informasi mengenai curug-curug ini masih sukar didapat meski sudah ada beberapa kiriman foto di media seperti Facebook atau Instagram.

Kesan-kesan mereka yang sudah mengunjungi curug-curug ini adalah tentang potensi besarnya untuk berkembang. Curug-curug ini memiliki potensinya masing-masing, seperti Curug Katumiri yang berpelangi di pagi hari, Curug Sumpel yang tinggi yang kita bisa mengamati fenomena geologi sesar, atau Curug Ngebul yang alirannya jatuh tegak dan menimbulkan percikan hebat, bahkan seringkali seolah-olah langit “ngebul” atau berasap, semua air terjun punya karakter dan keindahannya masing-masing. Namun permasalahan utama dari deretan air terjun penuh potensi ini adalah belum adanya akses. Saat ini untuk menyusuri deretan air terjun ini, kita harus merintis jalur menyusuri lereng yang sangat terjal. Jalurnya masih sangat berbahaya dan sangat tidak dianjurkan untuk dilewati.

Saat ini jika kita berkunjung ke Curug Malela, maka hampir dipastikan bahwa kita akan datang dan pergi melalui jalur yang sama. Di sepanjang jalur ini, fasilitas yang tersedia sudah sangat baik. Banyak pula warga sekitar yang mendapatkan manfaat dengan membuka warung, membuat anjungan untuk berfoto, menjual jagung, dan lain-lain. Namun jika kita membuka jalur ke bagian hilir dari Ci Curug menyusuri curug-curug yang ada, kita bisa membuat suatu lintasan wisata tertutup. Jadi kita bisa pergi dan pulang lewat jalur yang berbeda. Ini bisa memberikan pengalaman baru yang positif bagi mereka yang berwisata ke Curug Malela.

Pada peta di bawah ini, dapat dilihat bahwa ada potensi untuk membuka jalan setapak sepanjang 2 kilometer sepanjang aliran Ci Curug untuk kemudian menyambungkan jalur wisata yang sudah ada dengan jalur di Kampung Cikadumanglid yang selama ini mungkin kurang mendapat ekspos dibandingkan kampung tetangganya, Kampung Manglid yang berada di area parkir Curug Malela.

curugmalelacopyright
Saran rancangan jalur geotrek Curug Malela. Dari Curug Malela harus membuka jalur baru hingga ke Curug Ngebul dan ke Lembur Cikadumanglid. Potensi besar untuk mengembangkan perekonomian Lembur Cikadumanglid.

Dengan membuka jalan setapak baru ini juga, kita bisa memperpanjang waktu kunjungan wisatawan ke Curug Malela. Saat ini belum ada data pastinya, tapi diperkirakan rata-rata pengunjung Curug Malela menghabiskan 2-3 jam untuk bermain di sekitar Curug Malela. Jika ada jalur wisata baru kita bisa menambah waktu kunjungan 3 jam untuk 1 penelusuran (jika jalur sudah siap dan baik). Tiga jam tambahan waktu ini bisa menjadi alasan kuat untuk pengunjung memutuskan bermalam di Curug Malela, baik berkemah maupun menyewa rumah penduduk. Selain itu juga karena jalurnya ekstrim, tidak menutup kemungkinan pula pengurus Pokdarwis membatasi kunjungan ke hilir dan mewajibkan pemanduan. Tentu ini menjadi peluang baik bagi masyarakat untuk bekerja di sektor jasa wisata.

Bayangkan Curug Malela seperti Taman Hutan Raya Djuanda yang jalurnya nyaman, pengunjungnya datang menyusuri jalur yang sudah ada, berfoto di air terjun, Curug Malela, Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul dan seterusnya. Dari situ berkembang lagi potensi yang lain, mendaki Gunung Malela misalnya, atau entah apa lagi potensi yang bisa terbuka lebar jika kita serius memanfaatkan potensi yang kita punya.

Bagi yang ingin tahu lebih lanjut tentang curug Malela bisa mampir di Geotrek Curug Malela, Ekspresi Rasa Takjub pada Ciptaan Yang Maha Kuasa

Kembali (Lagi) ke 49 Juta Tahun Yang Lalu di Messel

Hari Kamis, 12 Juli 2018, saya berkesempatan lagi untuk berkunjung ke Messel Pit. Bagi yang belum pernah dengar Messel Pit, bisa mampir ke tulisan saya yang pertama tentang situs ini.

Pada kunjungan pertama, saya hanya berkunjung ke museumnya saja. Padahal inti dari Messel ya pit-nya ini, tempat terbaik di dunia untuk belajar tentang kala Eosen, 49 juta tahun yang lalu.

Kami dipandu oleh pemandu resmi dari pengurus Situs Messel, seorang sarjana geologi dengan spesialisasi paleontologi. Dia bercerita sudah bekerja di Messel sejak 2015. Memang sangat terlihat bahwa ia sangat terlatih untuk memandu, sebuah contoh yang keren bagi pegiat geowisata seperti saya.

20180712_151542

Di Messel, situsnya seperti masuk ke dalam kawah, kita menyusuri jalan yang dibuat melingkar menurun hingga ke dalam situs. Sebenarnya tak banyak yang bisa dilihat karena semua hanya hutan, alang-alang, dan beberapa situs penggalian. Pengunjung tidak dibolehkan untuk mengambil fosil, meskipun ada satu tempat di mana kita bisa melihat batuan dan mengecek apakah ada fosil di dalamnya.

Dengan tempat yang praktis tidak banyak pemandangannya, maka kemampuan si pemandu untuk bercerita sangat penting, dan pemandu kami selain kemampuannya hebat, persiapannya juga mantap.

Selama pemanduan ia membawa banyak gambar berlaminating dengan alur cerita yang sedemikian rupa menarik. Contoh di awal kita berhenti di percabangan jalan. Tidak ada apapun untuk dilihat, hanya pohon dan alang-alang. Lalu ia berhenti dan mengeluarkan gambar, menunjukkan fosil tanaman yang ada di Messel, lalu meminta kami untuk menebak kira-kira ini tanaman apa? Foto yang ia tunjukkan pada kami adalah foto fosil daun lili, itu menjadi petunjuk selanjutnya untuk membuat pengunjung menebak, kira-kira lingkungan Messel 49 juta tahun yang lalu itu seperti apa. Selanjutnya ia mengeluarkan gambar fosil ikan, fosil katak, dan fosil binatang-binatang danau untuk kita menggiring bisa menebak bahwa lingkungan pengendapannya adalah danau.

1280px-palaeoperca_proxima
Fosil Ikan di Messel. By Petter Bøckman – Own work, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=7061612

Kemudian dia mengeluarkan lagi botol-botol, isinya adalah daun-daun dan bubuk-bubuk. Sang pemandu kemudian meminta kami mencium bau yang ada di dalam botol itu. Petunjuk lainnya adalah, di Messel daun-daun dan bubuk-bubuk itu ada fosilnya. Di Messel ditemukan fosil kakao, kayu manis, dll. Menarik kan?

Saya belajar bahwa penting untuk seorang pemandu untuk mengisi waktu perjalanan dengan materi. Ketika perjalanan cukup jauh atau cukup lama, kita tidak boleh membiarkan pengunjung bosan. Kita harus beri informasi-informasi. Berikan dengan cara yang menarik!

Kami kemudian sampai di tengah pit. Di sini kami berhenti di titik pengeboran untuk mencari tahu ada batuan apa di bawah Messel dan bagaimana sejarahnya evolusinya. Dia menjelaskan lewat gambar yang dipasang di dekat sumur tentang geologi bawah permukaan situs Messel. Situs Messel terbentuk karena letusan gunungapi tipe Maar. Kemudian ia menunjukkan contoh letusan gunungapi tipe Maar.

Di tengah Pit ada beberapa titik penggalian. Waktu kami datang, sedang tidak ada penggalian, kami tidak diizinkan mendekat. Tapi pengurus situs sudah menyiapkan kontainer-kontainer berisi fosil, baik asli maupun replika, dan lagi si pemandu dengan pandainya menjelaskan.

Di situs Messel ditemukan 8 spesies buaya. Bayangkan satu lokasi di selang zaman yang pendek, hanya sekitar 1.5 juta tahun, ditemukan 8 spesies buaya. Selain itu ada juga fosil leluhur kuda yang ukurannya sangat kecil. Ada juga semacam tupai tapi besar. Kemudian ular, kadal, katak, dan yang menarik adalah fosil kura-kura yang sedang dalam posisi kawin. Menariknya dari fosil kura-kura ini, menurut pemandu kami, dari semua fosil kura-kura, mereka menemukan bahwa 25% fosilnya dalam posisi kawin, artinya ada sebuah pola kapan kura-kura itu mati dan memfosil.

grube-messel-pit-pair-of-007
These 49 million-year-old freshwater turtle fossils are believed to have died of poisoning during copulation
Photograph: Jonathan Blair/Corbis

Kemudian hal lain yang menarik adalah saking bagusnya tingkat preservasi fosil, kita bisa mengamati isi perut dari binatang-binatang zaman purba, bagaimana cara mereka makan, bagaimana cara mereka hidup. Satu yang menarik adalah ketika si pemandu menunjukkan fosil kelelawar. Di sini fosil kelelawar bukan hanya tulangnya saja, tapi ada juga jejak sayapnya. Di dalam perut kelelawar itu ada rambut kelelawar. Dia minta kita menebak, kira-kira apa interpretasinya.

Ada yang menebak kelelawarnya kanibal, makan kelelawar juga. Tapi kata pemandu kami itu tebakan yang kurang oke. Sampai keluar tebakan-tebakan konyol, tapi justru mencairkan suasana dan akhirnya si pemandu memberikan interpretasi paleontologinya, yaitu kelelawar itu punya perilaku seperti kucing, mereka suka menjilat badannya dan di badannya ada rambut, sehingga masuk akal bila ada rambut di perutnya.

Di kontainer yang lain, si pemandu menunjukkan pada kami fosil serangga, semacam kumbang. Bayangkan yang memfosil bukan hanya badannya saja, tapi juga warnanya terawetkan. Ini sangat-sangat jarang dan saya merasa sangat beruntung bisa melihatnya. Selain warnanya, ada juga fosil sayap serangga. Kalau sayap burung jangan ditanya, banyak!

800px-prachtkc3a4fer_aus_der_grube_messel
Fosil serangga dengan warna di kulitnya. By Foto: Torsten Wappler, Hessisches Landesmuseum Darmstadt – Hessisches Landesmuseum Darmstadt, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3236678

Hingga akhirnya terakhir di tempat favorit saya, yaitu di singkapan. Si pemandu mengajak kami ke singkapan serpih minyak, singkapan yang dulu menjadi tambang minyak, sempat menghasilkan 40% minyak produksi Jerman. Serpih ini sangat aneh, dia sangat tipis dan getas. Batuan paling tipis yang pernah saya lihat. Lebih mirip kayu atau bahkan kertas.

20180712_155025

1024px-messelshalesplitting
Paleontologist is preparing the fossil. By Wilson44691 – Own work, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=11256926

Di batuan ini, kami semua diberi segenggam batu dan meminta untuk mencari fosil di dalamnya. Sontak saja kami kegirangan dan mulai mencari dengan tekun. Sayang saya tidak berhasil menemukan apa-apa. Hanya teman saya menemukan fosil daun, teman yang lain menemukan sirip ikan. Si pemandu bilang, pernah suatu hari ada yang menemukan fosil utuh, luar biasa. Fosil hasil penemuan kami kemudian dibawa ke kontainer, disimpan di dalam air untuk diawetkan, karena lapisan batu ini sangat mudah hancur. Jika terpapar panas maka akan cepat hancur.

Jalan-jalan di Messel adalah pengalaman luar biasa buat saya. Untuk kali pertama berkunjung ke situs geologi yang dikelola secara profesional dan dipandu oleh pemandu yang juga profesional memberi saya pengetahuan baru tentang geowisata. Ada begitu banyak cara untuk mengelola situs geowisata, tapi yang paling utama adalah kemauan kita untuk memahami apa yang kita punya untuk kemudian membagikannya pada orang lain. Situs Messel adalah contoh, tanpa peran dari paleontolog untuk melindungi situs ini, mungkin 40 tahun lalu situs ini berubah jadi tempat pembuangan sampah dan tak akan ada cerita ini. Tapi karena ada keinginan untuk menjaga dan mengonservasi, maka jadilah situs Messel, situs terbaik di dunia untuk kembali ke 49 juta tahun yang lalu.