Manusia dan Perubahan Iklim (2): Pentingnya Skala Waktu dalam Memahami Perubahan Iklim

Dalam gembar-gembor akan isu perubahan iklim yang banyak diperdebatkan oleh orang-orang, umumnya para geolog merupakan orang-orang yang skeptis dan cenderung menolak. Ini bukan pendapat saya tok, meskipun kesan yang saya tangkap dari pengalaman saya yang singkat selama ini pun demikian. Jika anda mengetik dalam laman pencari dengan kalimat: geologist and climate denial, maka akan ada banyak artikel mengenai hal ini. Saya pun tidak bermaksud menggeneralisasi, tapi untuk kemudahan tulisan ini maka mari kita lanjutkan.

Saya ingin mencoba mengemukakan pendapat saya mengapa kita harus mempercayai apa yang sedang terjadi dengan bumi ini dan apa yang (mungkin) harus kita lakukan sebagai seorang geolog untuk merespon perubahan iklim yang sedang terjadi.

Geolog biasa berpikir dalam dimensi ruang dan waktu. Disini lautan, disana daratan, dulu bersatu kemudian memisah, dulu tinggian sekarang lembahan, dll, selalu ditanggapi dengan pertanyaan “pada saat kapan?” Skala waktu yang digunakan umumnya adalah dalam jutaan tahun. Diskusi dalam skala jutaan tahun inilah yang seringkali membuat bias mengenai perdebatan perubahan iklim di kalangan geolog.

1

Gambar di atas merupakan bagian dari makalah yang ditulis oleh Will Steffen dkk tahun 2011, berjudul The Anthropocene: From Global Change to Planetary Stewardship. Sebuah makalah yang menarik untuk memahami pengaruh manusia dalam perubahan iklim sehingga ia mengusulkan sebuah kala baru, kala antroposen (layak dibaca). Jika melihat dalam skala waktu puluhan juta, saat ini kita berada dalam periode pendinginan kuarter (gambar a). Jika kita perbesar skala waktu kita menjadi jutaan, terutama 3 juta tahun terakhir, maka terlihat bahwa temperatur rata-rata di bumi lebih tajam naik turunnya (gambar b). Jika kita perbesar lagi skala kita menjadi puluhan ribu, maka terlihat bahwa setelah 11 ribu tahun, bumi yang sebelumnya beku dalam zaman es menjadi hangat dan kemudian menjadi nyaman untuk kebudayaan manusia berkembang (gambar c). Perbesaran skala menjadi skala ribuan tahun menunjukkan pada bagian akhir kita sedang dalam tren menukik naik (gambar d).

Jika kita berbicara dalam orde puluhan juta tahun, maka pemanasan global adalah suatu omong kosong, lah datanya kita sedang pendinginan global kok. Tapi jika berbicara dalam orde ribuan tahun, maka tentu kita coba duduk bersama karena permasalahan barulah nyata.

Homo sapiens dipercaya sudah ada sejak 200 ribu tahun yang lalu, namun populasi dan kebudayaannya baru bisa meningkat pesat sejak 11 ribu tahun yang lalu, kenapa? Jawabannya tentu karena suhu bumi setelah 11 ribu tahun yang lalu hangat. Mendukung manusia untuk kemudian bisa bercocok tanam mengembangkan kebudayaan. Perdebatan mengenai perubahan iklim, terutama mengenai pemanasan global harus kita diskusikan dalam skala waktu manusia, maksimal ribuan tahun, lebih baik dalam jangka puluhan tahun karena dalam skala waktu inilah diskusi perubahan iklim menjadi signifikan bagi peradaban umat manusia.

Pada gambar d, terlihat di bagian akhir bahwa temperatur kita sedang menukik naik. Hal ini sejalan dengan banyak hal-hal lain yang naik seperti pada gambar di bawah ini:

2
Steffen et al, 2011 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3357752/)

Pertumbuhan luar biasa dari manusia selepas penemuan mesin uap oleh James Watt menghasilkan perkembangan hebat yang kemudian memberi dampak pula bagi bumi yang ditunjukkan pada gambar berikut:

 

3
Steffen et al, 2011 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3357752/)

 

Jika kita berbicara dalam skala waktu yang lebih pendek, misal puluhan atau ratusan tahun, kita harus bersepakat bahwa aktivitas manusia berdampak begitu berat bagi bumi. 97% peneliti iklim bersepakat bahwa manusia adalah penyebab utama perubahan temperatur global (Oreskes, N. 2007).

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar umat manusia abad ke 21. Dampaknya begitu nyata dan terasa. Temperatur akan terus meningkat, es di kutub akan terus mencair, perubahan pada pola musim, kekeringan dan gelombang panas, badai-badai yang semakin dahsyat dan datang lebih sering, punahnya biodiversitas, asamnya air laut mengakibatkan kematian koral dan hilangnya ikan, serta dampak-dampak lainnya (Nasa dan WWF). Di Suriah, perang yang sedang terjadi dipercaya juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Sebelum perang berkecamuk, di Suriah terjadi kekeringan luar biasa yang mengakibatkan gagal panen bertahun-tahun (Gleick, 2014)

Sebagai seorang geolog, hal pertama yang harus dilakukan menurut saya adalah mempercayai bahwa perubahan iklim, terutama pemanasan global adalah suatu hal yang sedang terjadi dan memberi dampak yang besar bagi umat manusia. Langkah selanjutnya tentu terserah pada anda.

Daftar Pustaka:

Gleick, P.H. 2014. Water, Drought, Climate Change, and Conflict in Syria. Weather, Climate and Society 6(3):331-340 DOI:10.1175/WCAS-D-13-00059.1

Oreskes N 2007 The scientific consensus on climate change: how do we know we’re not wrong? Climate Change: What It Means for Us, Our Children, and Our Grandchildren (Cambridge, MA: MIT Press) (www.lpl.arizona.edu/sites/default/files/ resources/globalwarming/oreskes-chapter-4.pdf)

https://www.wwf.org.uk/updates/effects-climate-change

http://climate.nasa.gov/effects/